Selasa, 03 Mei 2016

Siapa Kamu?



Siapa Kamu?
Sebegitu pentingnya bermimpi karena dengan bermimpi hidup kita menjadi lebih berarti. Terlebih, sudah beratus-ratus motivator atau mungkin beribu-ribu mengatakan dalam sebuah pelatihan, talk show, dan buku mengenai pentingnya bermimpi. Bermimpi itu gratis, begitu mereka selalu berkata. Apa salahnya sih bermimpi jadi orang sukses, jadi pengusaha kaya raya, jadi dokter yang disenangi pasien karena kalau sudah disenangi tentu akan semakin banyak pasien yang berobat, jadi penulis terkenal. Yang salah itu tidak bermimpi sama sekali. Hanya bermimpi pun sudah enggan, bagaimana mau menjadi manusia yang berarti, kata motivator lagi.
Pada suatu Febriana si gadis cilik yang menarik itu ditanyai oleh teman sekelas yang bernama Rina Noser, mirip artis Rina Nose yang hidungnya menarik untuk dilirik itu. “Apa mimpimu?” kata Rina Noser dengan tangan yang menyapu keringat di dahinya. “Menjadi dokter yang disayangi pasiennya!” kata Febriani dengan mengangkat alisnya, sehingga mendekati keningnya. “Kalau kamu?” Febriana bertanya balik. “Menjadi dosen teladan di seluruh Indonesia,” tegas Rina Noser. Aku Anom Ali melihat percakapan kedua gadis muda itu dengan antusias dan khususnya aku memandangi Febriana yang memiliki hidung yang Indonesia banget. Tidak terlalu bangir, juga tidak terlalu menjorok ke dalam.
Sampai menjelang tidur aku masih dingiangi oleh percakapan singkat Febriana dan Rina Noser. Mimpi? Payah sekali aku ini, anak kecil seluruh negeri ini pasti memiliki mimpi dan cita-cita, namun aku baru mendapati mimpi sebagai bukan bunga tidur dan mimpi basah belaka. Ya mimpi ternyata menyangkit dengan jalan kehidupan kita nanti. Bodoh sekali aku ini, bukankah bu Mudrikatun yang guru sejarah tapi kadang berperan sebagai motivator selalu menyebut bahwa Soekarno dan para pendiri bangsa ini memiliki mimpi untuk membebaskan negeri ini dari kolonialisme guna menuju bangsa yang berdaulat dan merdeka.
Lalu apa mimpiku?
Spirit yang ditampilkan Febriana dan Rina Noser telah menjangkiti pikiranku untuk memiliki sebuah mimpi. Maka aku mulai bermimpi ingin menjadi seorang pengusaha yang sukses, tampil di televisi, dihormati seluruh orang, dihargai oleh para tokoh terkemuka. Semenjak duduk di sekolah SMP aku mulai mengkhususkan diri menjadi seorang pengusaha tapi masih bingung usaha apa yang hendak digeluti. Aha aku mulai menemukan ide; mengumpulkan barang bekas seperti yang dilakoni oleh para perantau Madura. Setidaknya, ini proses membangun mentalku untuk menjadi pengusaha.
Sepulang sekolah aku tidak langsung ke rumah. Aku menuju pemukiman yang dipenuhi rumah menengah dan bawah karena biasanya di sini terdapat banyak barang bekas yang bisa dimanfaatkan. Seminggu dijalani, aku sudah bisa mengumpulkan tiga karung bekas minuman air mineral dan kaleng bekas minuman bersuplemen serta barang-barang yang terbuat dari alumunium.  Stelah itu kujual ke pengusaha barang bekas Madura. Hasilnya, barang bekas itu memiliki bobot sepuluh kilo dikali seribu rupiah. Aku mendapatkan uang sebesar sepuluh ribu rupiah. Jumlah yang lumayan untuk siswa sekolah.
Dalam perjalanan dan berbagai pengaruh lingkungan, tiba-tiba aku mengubah haluan cita-citaku untuk menjadi seorang kiai populer dengan memiliki santri yang ribuan. Aku sendiri tidak memahami mengapa ingin menjadi kiai. Bukankah kiai tidak sekaya seperti pengusaha? Namun aku berpikir menjadi kiai itu enak. Disayangi masyarakat, dihormati pejabat, dan dihargai oleh orang-orang kaya. Kepada kedua orang tuaku, aku meminta untuk dimasukan ke sebuah pesantren yang tidak jauh dari sekolahku. Di pesantren aku mulai seirus mengaji kepada kiai. Selesai mengaji, aku mengulangi apa yang diajarkan kiai. Aduh lagi-lagi haluanku berubah, menjadi kiai rasanya berat juga. Harus menghapalkan dan memahami kitab-kitab agama. Dan yang pasti menjadi kiai tidak seenak yang dibayangkan. Menjadi kiai, segala tindak tanduk kita harus dijaga karena kiai adalah teladan bagi umat.
Aku banting setir mimpiku menjadi politisi. Itu terjadi ketika hendak keluar dari SMA. Hmmm aku mulai menuliskan dibukuku untuk menjadi politisi. Masuklah aku di kampus dengan jurusan ilmu politik. Di kampus aku seolah aku menjadi mahasiswa baru yang paling memiliki semangat dan progresifitas tinggi dengan mengikuti organisasi ekstra mahasiswa. Mobilitas dan kadang aku berpura-pura aktif menyampaikan pendapat inilah  membuat  senior diorganisasi mendaulatku untuk menjadi perwakilan mahasiswa baru di organisasi. Karena itu, banyak di antara senior dan mahasiswa baru memprediksi bahwa aku beberapa semester lagi akan menjadi ketua di organisasi. Tapi lagi-lagi di tengah jalan mimpiku berubah lagi. Menjadi politisi ternyata tidak enak juga setelah aku mendengar cerita para senior di mana politisi memang banyak musuh. Mereka sering menyebut dalam politik itu tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Ngeri-ngeri sedap juga ya, kalau meminjam kata-kata Shoetan Batoegana yang populer itu.
Aku memutuskan untuk menjadi dosen saja kalau di politik aku merasa tidak mampu. Dosen. Dosen. Dosen. Aku mencatat baik-baik lima huruf itu di pikiranku. Maka aku memulai menjadi kutu buku sebagaimana persyaratan untuk menjadi pengajar mahasiswa yang katanya cara berpikirnya harus menelebih anak sekolah. Ah, ternyata untuk menjadi dosen repot. Harus terus membaca buku dengan teliti dan tekun di samping harun mendapatkan indeks prestasi yang di atas angka tiga.
Aku pelan-pelan mulai meneliti pekerjaan dosen dari segi materialnya. Oh tidak setelah  berlelah-payah menguras otak, gaji dosen  tidak lebih jauh dari pegawai biasa. Mendingan jadi pengusaha saja! Pikirku. Aku kembali mempersiapkan mental untuk kembali menjadi pengusaha.
Bersama teman kelasku, Matunis, mahasiswa asal Madura, aku berpatungan modal untuk mendirikan rental play station di sekitar area yang dilewati para mahasiswa kampus. Maka berdirilah usaha rental play station di area yang disebut sebagai tempat bisnis karena memang itu strategis. Sepasang mata memandang berjejer kios-kios yang beraneka usaha. Ada jasa foto kopi dan penjilidan, warung makan, warnet, dan sebagainya. Mulanya usaha kami ramai oleh para mahasiswa, bahkan uniknya kami disebut teman-teman sebagai perusak otak mahasiswa karena mengalihkan perhatian mereka untuk main ps ketimbang belajar dan berorganisasi, namun dipertengahan jalan usaha kami melempem. Karena kalah saing oleh usaha rental ps yang lebih canggih yanmg letaknya tidak berjauhan dengan rental kami.
Kegagalan usaha menyebabkanku mengubah haluan lagi. Aku mulai menaruh perhatian pada dunia menulis karena waktu itu ramai sekali para penulis pemula yang karyanya dikenali dan dibaca masyarakat. Kepopulerannya ini berimbas pada materi mereka.  Dalam sekejap laiknya selebritas baru, para penulis mendulang materi yang berlimpah dari royalti plus iklan-iklan lainnya.  Belajar dari penulis orang lain melalui bukunya, mengklik cara-cara menulis yang baik dari google, dan mengikuti mpelatihan gratis menulis, aku menyibukan hampir tiap malam dengan latihan menulis.
Atas saran senior aku disuruh mengirim artikelku ke media dan mengikuti setiap lomba menulis. Alhasil, kerja kerasku berhasil. Artikel pertamaku mengenaim politik—demokrasi—dimuat di harian lokal Jakarta. Aku semakin beringas menulis dan menulis lagi. Aku mengikuti lomba menulis resensi buku yang diadakan kompas gramedia dengan syarat membeli buku yang akan dilombakan. Tidak masalah bagiku, namun aku berpikir uang pembelian buku ini harus kembali. Jelasnya balik modal. Maka untuk itu setidaknya aku wajib menjadi pemenang. Tidak menjadi pemenang pertama, ya menjadi pemenang kedua juga dan ketiga juga boleh. Tuhan mungkin sudah memberi jalan, aku tak disangka menjadi pemenang kedua dari tiga ratusan peserta. Oleh penerbit aku diganjari hadiah uang sebesar satu juta rupiah.
Kemenangan kedua dari lomba menulis diturut dengan kemenangan lainnya dengan hadiah uang yang lebih besar. Saat itu aku mulai yakin bahwa masa depanku dimulai dari tulisan. Setiap lomba menulis aku sikat dengan kepercayaan diri yang tak bisa diukur. Namun mengecewakan, berpuluh-puluh lomba yang kuikuti aku tak lagi mendapat peringkat pemenang. Kegagalan telah membuatku putus asa. Jalan apakah yang harus kutempuh? Aku mulai bertanya bagaimana masa depanku?
Kawan, pada akhirnya aku si Anom Ali belum memutuskan akan menjadi apa aku nantinya. Kuliah, menurutku saat itu tidak memberi jalan hidupku. Kuliah hanya membuang waktu dengan kegiatan yang tidak menghasilkan materi. Tapi tunggu dulu, kesimpulanku itu keliru belaka. Kuliah dalam arti yang sebenarnya itu memang penting. Dalam arti kuliah kita isi dengan belajar yang tekun dan sungguh tanpa harus berpikir nantinya akan jadi apa. Ilmu tidak memberi kepastian, tapi kepastian hidup akan terasa jika kita memiliki ilmu.
Namun bagaimana yang tidak kuliah atau tidak ada kesempatan kuliah karena waktu dan biaya? Mengutip kalimat budayan yang terkenal, kita boleh berhenti sekolah atau kuliah, tapi belajar harus terus berjalan.  
Dalam kasus ini aku ingin mengomentari bahwa memang si Anom Ali merupakan tipikal mahasiswa yang tidak berusaha menggali diri. Ia mungkin belum menyadari siapa dirinya. Kenalilah dirimu sendiri, begitu kata filsuf Yunani kuno yang juga sejalan dengan ajaran agama di dunia. Kita seakan dituntut untuk mengenali siapa diri kita berikut karakter, watak, dan kemampuan kita. Nah si Anom Ali ini terlalu fokus dengan spesifikasi karir-karir yang menjanjikan tanpa bertanya dulu kepada dirinya sendiri.
Karena itu dalam kesempatan yang berbahagia ini aku ingin menantang kawan-kawan pembaca dengan pertanyaan sederhana: siapa kamu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar