Siapa Kamu?
Sebegitu
pentingnya bermimpi karena dengan bermimpi hidup kita menjadi lebih berarti.
Terlebih, sudah beratus-ratus motivator atau mungkin beribu-ribu mengatakan
dalam sebuah pelatihan, talk show, dan buku mengenai pentingnya bermimpi.
Bermimpi itu gratis, begitu mereka selalu berkata. Apa salahnya sih bermimpi
jadi orang sukses, jadi pengusaha kaya raya, jadi dokter yang disenangi pasien
karena kalau sudah disenangi tentu akan semakin banyak pasien yang berobat,
jadi penulis terkenal. Yang salah itu tidak bermimpi sama sekali. Hanya
bermimpi pun sudah enggan, bagaimana mau menjadi manusia yang berarti, kata
motivator lagi.
Pada
suatu Febriana si gadis cilik yang menarik itu ditanyai oleh teman sekelas yang
bernama Rina Noser, mirip artis Rina Nose yang hidungnya menarik untuk dilirik
itu. “Apa mimpimu?” kata Rina Noser dengan tangan yang menyapu keringat di
dahinya. “Menjadi dokter yang disayangi pasiennya!” kata Febriani dengan
mengangkat alisnya, sehingga mendekati keningnya. “Kalau kamu?” Febriana bertanya
balik. “Menjadi dosen teladan di seluruh Indonesia,” tegas Rina Noser. Aku Anom
Ali melihat percakapan kedua gadis muda itu dengan antusias dan khususnya aku
memandangi Febriana yang memiliki hidung yang Indonesia banget. Tidak terlalu
bangir, juga tidak terlalu menjorok ke dalam.
Sampai
menjelang tidur aku masih dingiangi oleh percakapan singkat Febriana dan Rina
Noser. Mimpi? Payah sekali aku ini, anak kecil seluruh negeri ini pasti
memiliki mimpi dan cita-cita, namun aku baru mendapati mimpi sebagai bukan
bunga tidur dan mimpi basah belaka. Ya mimpi ternyata menyangkit dengan jalan
kehidupan kita nanti. Bodoh sekali aku ini, bukankah bu Mudrikatun yang guru
sejarah tapi kadang berperan sebagai motivator selalu menyebut bahwa Soekarno
dan para pendiri bangsa ini memiliki mimpi untuk membebaskan negeri ini dari
kolonialisme guna menuju bangsa yang berdaulat dan merdeka.
Lalu
apa mimpiku?
Spirit
yang ditampilkan Febriana dan Rina Noser telah menjangkiti pikiranku untuk
memiliki sebuah mimpi. Maka aku mulai bermimpi ingin menjadi seorang pengusaha
yang sukses, tampil di televisi, dihormati seluruh orang, dihargai oleh para
tokoh terkemuka. Semenjak duduk di sekolah SMP aku mulai mengkhususkan diri
menjadi seorang pengusaha tapi masih bingung usaha apa yang hendak digeluti.
Aha aku mulai menemukan ide; mengumpulkan barang bekas seperti yang dilakoni
oleh para perantau Madura. Setidaknya, ini proses membangun mentalku untuk
menjadi pengusaha.
Sepulang
sekolah aku tidak langsung ke rumah. Aku menuju pemukiman yang dipenuhi rumah
menengah dan bawah karena biasanya di sini terdapat banyak barang bekas yang
bisa dimanfaatkan. Seminggu dijalani, aku sudah bisa mengumpulkan tiga karung
bekas minuman air mineral dan kaleng bekas minuman bersuplemen serta
barang-barang yang terbuat dari alumunium. Stelah itu kujual ke pengusaha barang bekas
Madura. Hasilnya, barang bekas itu memiliki bobot sepuluh kilo dikali seribu
rupiah. Aku mendapatkan uang sebesar sepuluh ribu rupiah. Jumlah yang lumayan
untuk siswa sekolah.
Dalam
perjalanan dan berbagai pengaruh lingkungan, tiba-tiba aku mengubah haluan
cita-citaku untuk menjadi seorang kiai populer dengan memiliki santri yang
ribuan. Aku sendiri tidak memahami mengapa ingin menjadi kiai. Bukankah kiai
tidak sekaya seperti pengusaha? Namun aku berpikir menjadi kiai itu enak.
Disayangi masyarakat, dihormati pejabat, dan dihargai oleh orang-orang kaya. Kepada
kedua orang tuaku, aku meminta untuk dimasukan ke sebuah pesantren yang tidak
jauh dari sekolahku. Di pesantren aku mulai seirus mengaji kepada kiai. Selesai
mengaji, aku mengulangi apa yang diajarkan kiai. Aduh lagi-lagi haluanku
berubah, menjadi kiai rasanya berat juga. Harus menghapalkan dan memahami
kitab-kitab agama. Dan yang pasti menjadi kiai tidak seenak yang dibayangkan. Menjadi
kiai, segala tindak tanduk kita harus dijaga karena kiai adalah teladan bagi
umat.
Aku
banting setir mimpiku menjadi politisi. Itu terjadi ketika hendak keluar dari
SMA. Hmmm aku mulai menuliskan dibukuku untuk menjadi politisi. Masuklah aku di
kampus dengan jurusan ilmu politik. Di kampus aku seolah aku menjadi mahasiswa
baru yang paling memiliki semangat dan progresifitas tinggi dengan mengikuti
organisasi ekstra mahasiswa. Mobilitas dan kadang aku berpura-pura aktif
menyampaikan pendapat inilah
membuat senior diorganisasi
mendaulatku untuk menjadi perwakilan mahasiswa baru di organisasi. Karena itu,
banyak di antara senior dan mahasiswa baru memprediksi bahwa aku beberapa
semester lagi akan menjadi ketua di organisasi. Tapi lagi-lagi di tengah jalan
mimpiku berubah lagi. Menjadi politisi ternyata tidak enak juga setelah aku
mendengar cerita para senior di mana politisi memang banyak musuh. Mereka
sering menyebut dalam politik itu tidak ada kawan dan lawan yang abadi.
Ngeri-ngeri sedap juga ya, kalau meminjam kata-kata Shoetan Batoegana yang
populer itu.
Aku
memutuskan untuk menjadi dosen saja kalau di politik aku merasa tidak mampu.
Dosen. Dosen. Dosen. Aku mencatat baik-baik lima huruf itu di pikiranku. Maka
aku memulai menjadi kutu buku sebagaimana persyaratan untuk menjadi pengajar
mahasiswa yang katanya cara berpikirnya harus menelebih anak sekolah. Ah,
ternyata untuk menjadi dosen repot. Harus terus membaca buku dengan teliti dan
tekun di samping harun mendapatkan indeks prestasi yang di atas angka tiga.
Aku
pelan-pelan mulai meneliti pekerjaan dosen dari segi materialnya. Oh tidak setelah
berlelah-payah menguras otak, gaji dosen
tidak lebih jauh dari pegawai biasa.
Mendingan jadi pengusaha saja! Pikirku. Aku kembali mempersiapkan mental untuk
kembali menjadi pengusaha.
Bersama
teman kelasku, Matunis, mahasiswa asal Madura, aku berpatungan modal untuk
mendirikan rental play station di sekitar area yang dilewati para mahasiswa
kampus. Maka berdirilah usaha rental play station di area yang disebut sebagai
tempat bisnis karena memang itu strategis. Sepasang mata memandang berjejer
kios-kios yang beraneka usaha. Ada jasa foto kopi dan penjilidan, warung makan,
warnet, dan sebagainya. Mulanya usaha kami ramai oleh para mahasiswa, bahkan
uniknya kami disebut teman-teman sebagai perusak otak mahasiswa karena
mengalihkan perhatian mereka untuk main ps ketimbang belajar dan berorganisasi,
namun dipertengahan jalan usaha kami melempem. Karena kalah saing oleh usaha
rental ps yang lebih canggih yanmg letaknya tidak berjauhan dengan rental kami.
Kegagalan
usaha menyebabkanku mengubah haluan lagi. Aku mulai menaruh perhatian pada
dunia menulis karena waktu itu ramai sekali para penulis pemula yang karyanya
dikenali dan dibaca masyarakat. Kepopulerannya ini berimbas pada materi
mereka. Dalam sekejap laiknya selebritas
baru, para penulis mendulang materi yang berlimpah dari royalti plus
iklan-iklan lainnya. Belajar dari
penulis orang lain melalui bukunya, mengklik cara-cara menulis yang baik dari
google, dan mengikuti mpelatihan gratis menulis, aku menyibukan hampir tiap
malam dengan latihan menulis.
Atas
saran senior aku disuruh mengirim artikelku ke media dan mengikuti setiap lomba
menulis. Alhasil, kerja kerasku berhasil. Artikel pertamaku mengenaim
politik—demokrasi—dimuat di harian lokal Jakarta. Aku semakin beringas menulis
dan menulis lagi. Aku mengikuti lomba menulis resensi buku yang diadakan kompas
gramedia dengan syarat membeli buku yang akan dilombakan. Tidak masalah bagiku,
namun aku berpikir uang pembelian buku ini harus kembali. Jelasnya balik modal.
Maka untuk itu setidaknya aku wajib menjadi pemenang. Tidak menjadi pemenang
pertama, ya menjadi pemenang kedua juga dan ketiga juga boleh. Tuhan mungkin
sudah memberi jalan, aku tak disangka menjadi pemenang kedua dari tiga ratusan
peserta. Oleh penerbit aku diganjari hadiah uang sebesar satu juta rupiah.
Kemenangan
kedua dari lomba menulis diturut dengan kemenangan lainnya dengan hadiah uang
yang lebih besar. Saat itu aku mulai yakin bahwa masa depanku dimulai dari
tulisan. Setiap lomba menulis aku sikat dengan kepercayaan diri yang tak bisa
diukur. Namun mengecewakan, berpuluh-puluh lomba yang kuikuti aku tak lagi
mendapat peringkat pemenang. Kegagalan telah membuatku putus asa. Jalan apakah
yang harus kutempuh? Aku mulai bertanya bagaimana masa depanku?
Kawan,
pada akhirnya aku si Anom Ali belum memutuskan akan menjadi apa aku nantinya.
Kuliah, menurutku saat itu tidak memberi jalan hidupku. Kuliah hanya membuang
waktu dengan kegiatan yang tidak menghasilkan materi. Tapi tunggu dulu,
kesimpulanku itu keliru belaka. Kuliah dalam arti yang sebenarnya itu memang
penting. Dalam arti kuliah kita isi dengan belajar yang tekun dan sungguh tanpa
harus berpikir nantinya akan jadi apa. Ilmu tidak memberi kepastian, tapi
kepastian hidup akan terasa jika kita memiliki ilmu.
Namun
bagaimana yang tidak kuliah atau tidak ada kesempatan kuliah karena waktu dan
biaya? Mengutip kalimat budayan yang terkenal, kita boleh berhenti sekolah atau
kuliah, tapi belajar harus terus berjalan.
Dalam
kasus ini aku ingin mengomentari bahwa memang si Anom Ali merupakan tipikal
mahasiswa yang tidak berusaha menggali diri. Ia mungkin belum menyadari siapa
dirinya. Kenalilah dirimu sendiri, begitu kata filsuf Yunani kuno yang juga
sejalan dengan ajaran agama di dunia. Kita seakan dituntut untuk mengenali
siapa diri kita berikut karakter, watak, dan kemampuan kita. Nah si Anom Ali
ini terlalu fokus dengan spesifikasi karir-karir yang menjanjikan tanpa
bertanya dulu kepada dirinya sendiri.
Karena
itu dalam kesempatan yang berbahagia ini aku ingin menantang kawan-kawan
pembaca dengan pertanyaan sederhana: siapa kamu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar