Minggu, 15 Mei 2016

proyek buku "Three bachelors"

Serabuter No. 1 Jakarta oh Jakarta begitukah cara kerjamu? Haruskah mengiklankan lowongan kerja yang bagus-bagus hanya demi menjadi pencari nasabah untuk perusahaan investasi? Semua memang sudah gila. Apapun akan dilakukan untuk mencari mangsa. Tak peduli siapapun itu padahal yang dibohongi sangat berharap mengubah kehidupannya yang itu-itu saja. Ipul yang merasa tertipu merobek-robek habis koran itu. Karena tiap hari lowongan serupa masih saja diiklankan oleh koran nasional dengan alamat imel yang berbeda. Ini pembohongan publik namanya. Beberapa orang lagikah yang akan tertipu oleh iklan saru itu. Ipul yang kesal mencoba iseng mengirim cv ke imel itu. Beberapa menit kemudian ponselnya berdering. Si penelepon meminta Ipul untuk datang ke kantor itu di alamat yang sama, yakni jalan Sudirman. “Kami dari perusahaan Gayalama meminta Anda datang untuk wawancara besok,” begitu kata si penelepon. Ipul langsung menutup telepon. Sialan, bulsit, katanya dalam hati. Lupi yang merasa mimpi-mimpinya akan segera tercapai masih syok. Betapa ia menginginkan pekerjaan itu. Betapa ia sudah mencatat mimpi-mimpinya dalam buku hariannya tapi semua bohong belaka. Betapa dirinya sudah mempersiapkan segalanya dari mulai pakaian hingga sepatu. Dari mulai penampilan rambut sampai ujung kaki. Sementara Didi harus merelakan wanita Malaysia itu bukan karena hanya tidak berhasil mendapatkan pekerjaan yang diimpikan tapi lebih karena wanita itu mau menjadi penipu demi memancing investor. Sungguh cara yang dilakukan jauh dari kejujuran dan profesionalitas. Dunia Jakarta sudah penuh tipu daya. Wanita juga ikut-ikutan menjadi tukang ngibul. Mau jadi apakah bangsa ini ke depan. Jakarta benar-benar tidak dapat dipercaya. Jakarta sungguh telah mempermainkan ketiga jejaka muda itu. “Ada ide lagi?” kata Didi. Ipul masih malas berbicara. Lupi tetap belum bangkit dari kekecewaan. “Apa kalian mau menyalahkan gue gara-gara ini?” Didi mulai tak enak hati. “Ya ini memang salah gue. Seandainya gue enggak ngajakin elu nyari duit hasilnya tidak akan begini,” Didi melanjutkan. Ipul menggelengkan kepala, tidak membenarkan. “Ini resiko kita.” “Anggap saja itu pengalaman berharga,” Lupi mencoba bijak. “Lalu?” tanya Didi. “Aha,” Lupi girang karena mendapatkan ide paska melihat gitar bolongnya. “Itu,” dia menunjuk gitar disudut ruangan itu. “Ngamen?” Ipul menebak. “Yap.” “Ampun deh gue enggak bisa nyanyi,” Ipul mengeluh. “Elu bisa enggak, Di?” “Suara sama gitar suka enggak nyambung sih.” “Gampang,” Lupi menenangkan. “Gue yang main gitar. Gue juga yang nyanyi. Elu berdua tingal ikuti instruksi gue saja.” Ketiga jejaka gendeng itu benar-benar sudah fokus mencari duit. Malam tadi mereka sudah mengatur rencana untuk ngamen di kopaja Jakarta. Lupi yang mengagas ide ini. Dia pun yang mengendalikan vokal dan gitar bolongnya. Sementara Didi memainkan bekas botol mineral yang diisi dengan beras sehingga meniimbulkan bunyi kecrek kecrek. Dan Ipul mendapat tugas untuk mengumpulkan uang dari penumpang dengan plastik bekas makanan ringan. Inilah sementara hal yang bisa dilakukan oleh mereka untuk mengumpulkan uang. Mereka ngamen di Pasar Jumat tempat kopaja mangkal. Kopaja itu berangkat dari Lebak Bulus dan Ciputat dengan tujuan ada yang ke Pasar Senen, Blok M, Tanah Abang, dan wilayah Jakarta lainnya. Mereka memilih Pasar Jumat lebih karena dekat dengan kostan mereka dan pastinya lumayan strategis untuk mengamen. Ketangkasan mereka bersinergi dengan para orang-orang yang sudah bersiap bergumul dengan aktivitas Jakarta. Ketiganya sudah siap secara mental dan fisik. Lupi sudah menyiapkan beberapa lagu alakadarnya. Didi sudah berlatih mengoperasikan kecrekan berasnya itu. Ipul sudah bersimulasi bagaimana caranya menyodorkan dengan plastik bekas makanan ringan. “Ayo cepetan naik,” kata Lupi dengan menaiki kopaja yang mau ke Blok M. Didi dan Ipul mengikuti. “Selamat pagi para Insan pekerja keras Jakarta. Kami, perkenankanlah, sebagai pendatang baru musisi jalanan mengganggu sebentar kenyamanan Anda. Karena memang menyanyi lebih baik daripada mencuri. Menyanyi menjual suara dengan halal. Mencuri, menggunakan tangan untuk hal-hal haram. Sebelum menyanyikan lagu. Perkenalkan saya Lupi sebagai vokalis. Ini Didi sebagai penebuh kecrek, dan ini Ipul sebagai backing vokal sekaligus bendahara kami. Semoga lagu yang akan kami bawakan menyesap ke dada Anda sekalian yang terhormat.” Para penumpang—yang biasa disebut sewa—mulai menyadari kehadiran mereka. “Ok sebuah lagu dari Iwan Fals,” kata Lupi. “Judulnya kemesraan.” Lupi menyanyikan dengan penuh penghayatan dan sesekali dia melihat ke sekitar penumpang. Didi memainkan kecrekannya sesuai tempo lagu. Ipul sesekali membekingi suara Lupi. Para penumpang yang masih terlihat segar sedikit terbawa oleh lagu yang melegenda itu. Mungkin lagu yang dibawakan cocok dengan udara pagi Jakarta yang masih adem dan segar. Bahkan beberapa penumpang mengikuti lagu yang dibawakan Lupi. Hmmm Lupi serasa menjadi Iwan Fals. Dia terbang ke awan. Dua lagu selesai dibawakan dengan satu lagunya dari Slank. Ipul meenyodorkan plastik makanan ringan itu ke seluruh penumpang dari penumpang terdepan sampai ke belakang. Syukur para penumpang menyisihkan dua ribuan. “Terima kasih,” ucap Ipul bahagia karena penumpang berkepala pelontos itu memberikan sepuluh ribuan. “Semoga rezeki Anda lancar, Pak,” Ipul mendoakan si pelontos itu. “Tidak segitu. Aku minta kembalianannya sembilan ribu. Aku enggak ada recehan,” kilah si pelontos. Ipul menghela nafas. “Mana ada penumpang yang berela hati memberi uang sepuluh ribu,” gumamnya dalam hati. “Ini,” kata Ipul dengan berat hati. Si pelontos senyum-senyum. Didi dan Lupi yang menyaksikan ikut senyum pula. “Terima kasih atas kemurahan Anda. Semoga selamat sampai tujuan. God bless you all,” kata Lupi menutup aksinya. Ketiga jejaka muda itu meloncat dari kopaja yang mulai berjalan cepat. Kemudian ketiganya bersiap ke kopaja yang lainnya. Matahari Jakarta semakin terik. Sudah beberapa kopaja yang mereka sambangi. Mereka duduk di sisi-sisi jalan Pasar Jumat. Mata Ipul memicing karena tak tahan menahan terik. Didi menciptakan angin sendiri dan kibasan koran. Lupi menghitung uang hasil dari ngamen. “Wah lumayan. Baru setengah hari sudah dapat seratus dua puluh ribu.” “Mantap, Lup,” seru Ipul. “Kalikan saja seratus dua puluh ribu dikali tiga puluh hari. Lumayan buat jajan, buat bayar kostan, buat traktir bidadari-bidadari kalian,” Didi meneruskan. “Elu harus rajin-rajin menghapal banyak lagu, Lup.” “Siap,” kata Lupi. Mereka bersiap lagi beraksi. “Halo,” seorang pria berjaket kelabu, berjenggot kumal, berambut lusuh dengan rokok yang menyala menegur mereka. “Halo juga,” jawab Didi santai. “Anak mana kalian?” tanya si pria itu. “Anak sini, bang,” giliran Lupi menjawab. “Gue baru lihat muka kalian.” “Kita pendatang baru, bang.” Ipul menimpali. “Kalian pergi dari sini sekarang juga. Tidak usah ngamen lagi di kawasan ini,” katanya sambil bertolak pinggang. “Tapi,...” tukas Lupi. Sebelum meneruskan perkataan beberapa anak jalanan muncul dari belakang pria berjaket itu. Pakaian mereka layaknya pakaian preman. Wajah mereka sangar dengan memegang pentungan dan sabuk yang terbuat dari benda tajam. Tapi sebenarnya mereka pengamen yang biasa mangkal di Pasar Jumat. Artinya dengan kehadiran ketiga jejaka muda itu jatah mereka untuk mendapatkan uang sedikit tersendat. Salah mereka tidak ngamen pagi-pagi. Ketiga jejaka muda itu mulai mengerti dengan suasana ini. Ingin mereka menawarkan solusi di mana kalau pagi-pagi sekali itu jatah ketiga jejaka miris itu untuk ngamen. Dan selebihnya adalah hak para pengamen lama. Penawaran itu tidak disampaikan karena hal-hal yang sia-sia. Para pengamen lama tidak mau terusik. Lebih baik ketiga jejaka itu angkat kaki dari dunia musisi jalanan. Jakarta memang sialan. Sudah ditipu oleh lowongan iklan kerja ditambah pula dengan usiran secara halus oleh para pengamen merangkap preman Pasar Jumat. Langkah mereka lusuh. Tubuh mereka dialiri keringat yang apek dan bau ikan asin. Kemudian mereka mendarat di warung kopi. Para pelanggan yang sedang menikmati kopi merasa terganggu. Telapak tangan mereka menutupi hidungnya karena tak kuat menahan bau. Ketiga jejaka bau itu sedikit risih tapi mereka datang tidak untuk mengganggu tapi untuk membeli. “Kita seperti makhluk-makhluk yang terbuang di kota ini,” kata Didi sambil melirik para pelanggan yang jijik kepada dia, Lupi, dan Ipul. “Mereka sok bersih,” umpat Lupi pelan karena takut terdengar oleh pelanggan yang lain. “Ada solusi lagi?” Ipul menenggak es teh manis dengan garang. Dia tak menghiraukan sikap tak hormat para pelanggan lain. Didi melahap mie rebus dengan beberapa gorengan. Kemudian dia mengusulkan, “kita ngamen di komplek orang kaya saja. Bagaimana?” “Ide yang cemerlang,” suara Lupi yang keras mengagetkan para pelanggan yang lain. Dia melanjutkan, “tapi komplek perumahan kelas menengah juga harus kita bidik. Mereka biasa peduli sama orang-orang terbuang seperti kita.” “Mantap,” Kata Ipul. Mereka bersiap memulai aksi baru. Sebelum meninggalkan warung kopi Sunda itu Didi berkata, “mang semuanya berapa? Sekalian dengan yang dipesan para pelanggan yang cunihin—gelo ini?” Si mamang warung kopi tersenyum, sedang para pelanggan yang menyebalkan melirik Didi. Mungkin mereka tidak mengerti makna cunihin tapi muka mereka sedikit memerah. “Elu masih bocah kemarin. Jangan banyak tingkah elu. Elu pikir gue enggak ngerti maksud elu. Gue sudah lama di Pasar Jumat ini. Elu mau habis di sini. Elu punya apa berani ngomong gitu? Mau elu gue panggilin anak-anak sini. Duel jantan. Satu per satu,” umpat salah satu pelanggan yang rupanya kuncen Pasar Jumat ini. “Ngerti enggak elu?” dia membentak. Didi mulai panas dingin. “Enggak bang kita cuma mau bayarin doang, kok. Enggak ada maksud apa-apa,” Didi berkilah. “Pergi kalian bocah-bocah bau,” kata si pria itu. Didi, Lupi, dan Ipul langsung ngibrit. “Taik kucinglah orang itu,” umpat Didi. “Ngomong apa elu?” ucap salah seorang pria yang lagi nongkrong dengan teman-temannya yang main catur. Mereka merasa apa yang diumpatkan Didi itu tertuju kepada mereka. Pria itu mulai geram. Didi menghela nafas. “Enggak, bang. Maksud saya teman saya ini bau badannya kayak taik kucing,” Didi beralasan dengan menunjuk Lupi. “Iya, bang. Badan saya bau kayak taik kucing. Maklum tidak mandi beberapa hari,” kata Lupi terpaksa. “Lain kali elu mandi yang bener ya. Jadi pemuda harus klimis kayak gue supaya cewek suka sama elu,” si pria itu menasehati dengan berlagak sombong. Lupi manggut-manggut. Didi dan Ipul menahan tawa. “Sudah pulang elu. Cepetan mandi,” kata si pria itu lagi. Ah, hidup di jalanan memang selalu tak disangka-sangka. Mereka pikir jalanan itu datar-datar saja tapi kenyataannya penuh dengan gesekan, umpatan, sampai kekerasan. Sekali saja lengah, habislah kita. Sekali saja bertingkah babak belurlah wajah kita. Tapi bagi ketiga jejaka tanggung itu kehidupan jalanan yang baru mereka rasakan seolah kehidupan lain yang sangat kontras dari kehidupan di kampus. Di kampus mereka harus selalu tampil sempurna dan paripurna. Di jalanan mereka tidak perlu berepot-repot menampilkan fisik agar terlihat apik. Apakah mereka akan tetap memilih kampus atau memutuskan menjadi manusia jalanan? Siang yang terasa tidak bersahabat itu mereka lakoni dengan mengamen di komplek sesuai usulan Didi. Keringat dan baju lusuh sudah mereka akrabi. Jadi tak perlu repot-repot lagi pulang ke kostan untuk mandi. Stereotif manusia jalanan setidaknya sudah mereka akrabi. “Selamat siang ibu-ibu. Ibu-ibu saja ya. Kan bapak-bapaknya sedang pada kerja,” Lupi memulai aksinya. “Mohon maaf apabila suara ini mengganggu. Ini sebab karena kami hanya ingin mencari seperak dua perak dari rezeki yang Anda sisihkan. Daripada nyolong entar diboyong ke kantor polisi. Di akhirat nanti gosong. Lebih baik kami menyumbangkan suara alakadarnya. Kalau terganggu tinggal bilang saja. Kalau tidak terganggu kami ucapkan beribu-ribu terima kasih. Ini lagu persembahan dari kami.” “Maaf mas kami tidak menerima sumbangan,” kata wanita yang kira-kira berusia sekitar lima puluh ini. “Ibu yang punya rumah ini?” tanya Didi. “Bukan. Saya hanya pembantu rumah tangga.” “Nyonya dan tuannya ke mana?” “Semua kerja. Rumah ini kosong kalau wayah gini,” katanya dengan aksen jawa yang masih terasa. “Kesempatan dong,” kata Didi. Si pembantu itu tidak mengerti. “Begini ibu yang baik hati. Kita mau menyanyi di sini. Soal bayaran gampang. Tidak usah pake uang. Apa saja deh yang penting bisa dipake. Bermanfaat githu, Bu.” “Tapi aku enggak ngerti lagu-lagu zaman sekarang. Aku ngertinya lagu Jawa lho, mas.” Ketiga jejaka muda itu mikir-mikir. Si ibu nampak punya ide. “Begini saja, mas. Kebetulan ada makanan di dapur.” Ketiga jejaka muda itu mulai sumringah. “Tapi sisa tadi malam, mas. Masih segar kok. Entar aku panasin yah. Sayang kan soalnya tidak ada yang makan.” “Malahan kucing pun tidak mau memakannya,” kata si pembantu. Ketiga jejaka yang terbuang itu lesu tapi mata mereka membelalak. ‘Gimana mas?” tanya si pembantu ingin memastikan. “Enggak apa-apa, Bu. Terima kasih sudah mau berbaik hati,” kata Ipul setengah hati. Semakin siang beranjak, perut mereka mulai keroncongan. Mie rebus plus gorengan yang dilahap Didi belum benar-benar menghilangkan rasa laparnya. Lupi yang tadinya tak berselera makan mulai merasa lapar. Begitu pun dengan Ipul. Mau membeli nasi padang tapi tempatnya lumayan berjarak sementara perut mereka tak bisa kompromi. Terpaksa mereka memakan makanan pemberian si pembantu yang kucing pun enggan memakannya. Akhirnya mereka membuka makanan yang diwadahi kotak nasi. “Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada nasi padang, nasi sisa pun tak jadi soal. Bahkan kucing tak mau pun tak jadi masalah.” Kata Ipul. Didi sudah membuka duluan. Wow! Rezeki yang tak diduga-duga. Kotak nasi itu memiliki menu udang bakar yang kemerah-merahan. Sangat menggoda lidah. Ayam panggang yang masih terlihat segar. Sambal terasi yang menggugah selera. Dan beberapa lalapan yang segar, yang cocok bila dicocol ke sambal. Benar-benar makanan yang nikmat untuk disantap di siang hari. Mereka makan di taman komplek dengan lahap sekali. Sekonyong-konyong mereka teringat semasih tinggal di pondok pesantren. Karena bagaiamanapun gendengnya mereka adalah alumni pondok pesantren yang penuh kesederhanaan. Ipul mengingat bagaimana pondok pesantren mengajarkan kesetaraan di mana para santri makan bareng melalui nampan yang besar dengan lauk-pauk yang sederhana pula. Lupi mengenang ketika di bersama para santri lainnya masak bareng dengan peralatan yang seadanya dan bahan-bahan yang dimasak juga alakadarnya. Didi membuka kenangan bagaimana dirinya dan santri-santri lain senang bukan main ketika mendapatkan makanan dari warga yang menyumbang. Begitu nikmatnya saat itu. Kini suasana itu terulang kembali. Betapa kota Jakarta yang tak bersahabat tetap saja membuka kenangan mereka di masa-masa pesantren dulu. “Ayo kita nyari duit lagi,” kata Didi setelah mengakhiri lapar mereka. “Siap,” jawab Ipul. Mereka kembali beraksi. Ketiga jejaka itu mulai menyambangi rumah-rumah mewah dengan lagu-lagu gubahan Lupi. Jakarta yang masih terik tak menyurutkan langkah mereka. Karena mereka sudah berkeyakinan bahwa ini adalah pilihan mereka yang harus dipertanggung jawabkan. Sore sebentar lagi mengerubungi Jakarta. Mereka tetap menyambangi rumah satu per satu. Para penghuni rumah yang diwakili pembantunya sudah berbaik hati memberikan mereka uang seperak-dua perak. Beberapa menit kemudian mereka mengakhiri ikhtiarnya. “Dapat berapa pul?” tanya Lupi yang suaranya hampir habis. “Lebih sedikit ketimbang di Kopaja. Delapan puluh ribu, bro.” “Lumayanlah untuk hari ini. Tinggal lanjutkan besok.” “Betul,” kata Lupi. Esok memang terasa cepat datang bagi para pemburu pulus di Jakarta. Ketiga jejaka itu mulai bersiap dengan penampilan yang sederhana. Kalau mau turun ke jalan memang harus sederhana supaya mengundang simpati tapi baru seharian panas-panasan kulit mereka hampir gosong. Tidak peduli lah toh cewek mana yang mau melirik seorang pengamen jalanan. Di Jakarta ini segalanya diukur dari barang apa yang melekat dengan kita. Makanan apa yang biasa kita santap di pagi sampai malam hari. Destinasi mana yang dikunjungi jika akhir minggu tiba. Sedangkan bagi jejaka muda itu apa yang dimiliki mereka kecuali kegilaan yang mereka tampilkan kepada dunia. “Lagu apa hari ini, Lup?” tanya Ipul. “Lagu yang kemarin gue bawakan. Gue enggak terlalu hapal lagu lainnya. Kalau bawain lagu Barat kan sangat tidak mungkin,” Lupi menyombong. Mereka bertiga berangkat menuju komplek yang berada di depan komplek kemarin yang mereka sambangi. “Ada perlu apa?” tanya satpam komplek. Lupi menjelaskan maksud mereka. “Maaf. Di sini dilarang ngamen,” tegas satpam kekar itu. “Tapi kami cuma pengen ngamen saja. Tidak akan mengganggu,” terang Ipul. Keputusan sudah bulat. Mereka tidak diperkenankan mengamen. Ya mau tak mau mereka ke komplek kemarin. Tapi sayang di depan pintu gerbang itu tertulis : Dilarang Ngamen Di sini lagi. Tertanda ketua Satpam. Terima kasih.” Ketiga jejaka itu beralih ke komplek lain. Ternyata mereka menemukan hal yang sama: Dilarang Ngamen Di sini. Tertanda lurah. Terima kasih. Sungguh Jakarta semakin tidak berpihak kepada mereka. Mengamen seperti mencari kerja di perusahaan saja. Susah bukan main. Mau jadi apa bangsa ini? Kelas tertindas saja susah diberi ruang untuk mengembangkan potensinya, mencari rezeki yang halal. Dunia semakin menunjukan keegoisannya. Ah, zaman semakin modern tapi cara berpikir masih kalah dengan orang-orang terdahulu. “Ada solusi?” Ipul mencoba tenang sambil menikmati hembusan angin pohon akasia di dekat pintu gerbang komplek itu. “Kita tanya ke Siswo. Dia kan sekarang lagi ngerjain proyek penelitian bersama seniornya. Siapa tahu dia bisa mengajak kita jadi relawan surveyor,” usul Didi. “Patut dicoba,” tegas Lupi dengan mantap. Siswo merupakan kawan terdekat sekelas mereka, Dia salah satu mahasiswa tekun, aktivis forum diskusi, dan dekat kepada para senior yang bekerja di lembaga penelitian politik dan sosial independen. *** Siswo, kawan terdekat mereka dari Brebes, mendaftarkan mereka mengikuti penelitian survey politik. Penelitian politik ini dilaksanakan menjelang Pilkada dengan tujuan mengukur kekuatan kandidat para calon. Kebetulan survey ini dilaksanakan di wilayah Banten dan Jakarta. Didi mendapat tugas di Banten, sedangkan Ipul dan Lupi mendapat tugas di wilayah Jakarta dengan area yang berbeda. Lupi di daerah Timur dan Ipul mendapat tugas di daerah Jakarta Pusat. Didi berangkat dari Jakarta pagi sekali dengan naik bus Kalideres menuju Banten supaya tiba di tempat tujuan tidak terlalu siang. Setelah hampir tiga jam perjalanan, tiba sudah Didi di tempat tujuan. Di desa Antah Berantah. Tempat ini yang akan menjadi tujuan penelitian Didi. Sebelum memulai penelitian Didi mengurusi perizinan dengan pemerintahan desa setempat. Kemudian paska beres perizinan, dia mulai menggunakan metode acak sampel guna menentukan rukun tetangga mana yang akan diteliti. Setelah mendapat rukun tetangga mana yang akan diteliti, Didi menemui rukun tetangga terpilih untuk meminta izin melakukan penelitian dan meminta daftar warga rukun tetangga yang terpilih. Daftar warga didapat lalu Didi menggunakan metode acak sampel lagi untuk menentukan sepuluh orang yang akan diwawancarai. Begitulah metode sederhananya penelitian survey itu. Metode itu harus benar sesuai instruksi peneliti senior. Karena kalau salah dalam metode hasil penelitian akan jauh dari keakuratan. Ini soal ilmu statistika sosial dan penelitian empiris. Sama sekali tidak ada kendaraan atau ojek di daerah itu, jadinya Didi memulai wawancara dengan berjalan kaki untuk mendatangi responden yang akan diwawancarai. Berdasarkan petunjuk warga rumah responden pertama sudah ketemu. Syukur sang target sedang ada di rumah. Responden pertamanya ini seorang bapak yang usianya sekitar lima puluh tahunan. Sebagaimana orang desa yang selalu ramah pada tamunya bapak itu mempersilakan Didi duduk dan meminta penjelasan ihwal kunjungan Didi itu. Si bapak itu mengangguk-angguk. Dia bersiap diwawancarai. Didi mengambil nafas karena memang kuisioner pertanyaan itu berjumlah dua ratusan lebih. Dia harus mencari cara agar si bapak mengerti setiap pertanyaannya mengingat faktor pendidikan si bapak ini yang kurang sesuai dengan isi pertanyaan itu. Mendadak beberapa warga mendatangi rumah si bapak itu. Berkumpul. Mereka meneliti Didi seolah-olah orang luar angkasa. Ada yang mesem-mesem. Ada yang berbisik-bisik. Ada yang menampilkan wajah yang menyimpan harapan. Tapi Didi mencoba besikap biasa-biasa saja karena bagaimanapun dirinya juga orang kampung. Dia terus mewawancarai si bapak itu dengan pelan tapi serius. Kadang Didi mencoba memakai bahasa sederhana. Tidak menggunakan bahasa yang kaku dan melangit seperti dalam kuisioner. Dia baru merasakan bagaimana menjadi penerjemah bahasa kuisioner yang merupakan bahasa akademis ke dalam bahasa sehari-hari. Butuh perjuangan dan ketelitian memang. Sungguh menjadi peneliti yang turun lapangan tidak semudah seperti yang ditampilkan di televisi. Wawancara selesai sudah dengan menghabiskan waktu satu setengah jam. Si bapak menawarkan makan alakadarnya. Didi menerima karena di daerah itu tidak ada warung nasi. Dalam acara makan sederhana itu berlangsung obrolan yang serius antara dirinya dan si bapak itu. Didi mulanya tidak menyangka sama sekali. Si bapak yang kulitnya mulai mengeriput kerap menyimpan harapan kepada pemuda yang meneruskan studi ke kampus supaya menjadi orang jujur. Menurutnya setelah menonton berita dirinya merasa kecewa melihat orang-orang pintar dari kampus yang masuk penjara karena kasus korupsi. “Saking pinterna akal teu teu digunakan. Malah maling duit rakyat—saking pintarnya akal tidak digunakan. Malah maling duit rakyat,” katanya heran. Didi mendengarkan dengan seksama. Dia menjadi mafhum bagaimana masyarakat biasa sekarang sudah cukup kecewa denga para petinggi di negeri ini. “Semoga adik jadi mahasiswa anu bener nganggo akal—menjadi mahasiswa yang benar menggunakan akal,” kata si bapak itu lagi. Didi masih mendengarkan. “Bapak pasti ngadu’aken adik Didi supaya jadi mahasiswa anu bener—bapak pasti mendoakan semoga adik Didi menjadi mahasiswa yang benar,” katanya lagi seolah ingin menumpah ruahkan isi hatinya. Didi mengangguk dengan mengucapkan terima kasih. Acara makan sederhana itu selesai dengan meninggalkan pengalaman yang berharga. Mendengarkan suara yang muncul dari seorang bapak yang tidak lulus sekolah dasar tapi cukup prihatin dengan kelakuan para pejabat dan birokrat negeri ini. Tiba-tiba Didi mengingat kampusnya tempat belajar. Mengingat teman-temannya yang sekarang mungkin sedang belajar di kelas. Dan mengingat keluarganya yang pasti berharap dirinya menjadi orang yang benar-benar diharapkan oleh bangsa dan negara. Tapi ah tidak tahulah semua itu. Dia melakukan penelitian ini demi mendapatkan uang agar bisa hidup di Jakarta. Agar bisa membayar kostan untuk beberapa bulan kemudian. Agar bisa membeli segala yang diinginkannya. Agar tidak meminta lagi kepada orang tuanya. Didi kemudian beralih ke responden lainnya yang ternyata rumahnya cukup berjauhan. Berjalan kakilah dia dengan dilihat masyarakat sekitar. Didi menyapa mereka hangat. Mereka menyapa balik Didi. Setelah hampir seharian Didi sudah menyelesaikan sembilan responden. Artinya dia tinggal menyisakan satu responden lagi. Dia berniat melanjutkannya besok. Karena ini hampir menjelang malam. Tidak enak harus mengganggu ketenangan warga karena urusan penelitian ini. “Tidur di mana nih gue malam ini?” gumam Didi. Tidak mungkin dia pulang ke Jakarta karena ini sudah larut malam. Akses ke kendaraan terlalu jauh. Lagian tidak mungkin pulang juga sebab wawancara belum rampung semua. Dalam dirinya dia berharapa agar ada warga yang menawarkan dia tidur untuk satu malam saja. Apakah kembali ke rumah si bapak itu? Ah tidak mungkin dia tidak kuat harus mendengarkan keluh kesahnya. Apakah harus meminta bantuan ke Pak RT atau Kepala Desa? Ah tidak itu akan merepotkan. Beginilah menjadi surveyor lapangan. Harus siap menerima resiko menghabiskan malam tapi tanpa tahu di mana akan tidur. Tubuh Didi sudah pegal-pegal karena dibawa berjalan kaki. Kakinya terasa encok. Matanya sudah tak kuat menahan kantuk tapi perut lapar. Dia sudah ingin merebahkan tubuhnya. Didi mencari mesjid terdekat. Membuka pintu mesjid, mengucapkan salam kepada penghuni gaib mesjid, lalu tubuhnya sudah tak kuat lagi berdiri. Dia sudah jatuh tertidur di lantai mesjid. Angin malam berhembus menembus dinding kokoh mesjid. Hembusan angin yang sejuk menjadi menderu. Sesekali angin itu diiringi air. Padahal hujan tidak turun. Mungkin air laut yang terbawa oleh kekuatan angin. Suasana mesjid tiba-tiba menjadi gelap. Didi terbangun serentak. Didi mulai was-was. Dirinya mulai berlindung di mimbar mesjid. Tapi angin semakin kencang. Dibacanya ayat suci. Dikumandangkannya azan. Suasana malah kian mencekam. Nafas Didi mendadak sesak. Matanya membelalak ketika melihat keranda melayang sendiri ke arahnya. Haruskah hidupku berakhir begini, Tuhan, katanya dalam hati. Keranda melayang mendekati dirinya. Tuhaaaaaaaaaaaan, katanya. “Mas, gugah, mas—bangun, mas. Ini sudah subuh,” kata pengurus Masjid. “Cuma mimpi. Kampret,” gumam Didi dalam hati. Pak RT yang hendak shalat subuh menyapa Didi. Dia mengatakan mengapa Didi tidak menginap di rumahnya saja. Pak RT merasa tidak enak hati kemudian meminta Didi untuk sarapan di rumahnya paska salat subuh. “Oh, begitu,” kata Pak RT setelah mendengar cerita mimpi Didi. Beberapa menit kemudian ibu RT datang menghidangkan teh hangat dan nasi uduk ala Sunda. Nasi uduk jengkol. Didi yang lapar melahap habis hidangan itu. “Lain kali kalo mas tidur di mesjid itu lagi kudu minta izin selain mengucapkan salam. Konon penunggu mesjid merasa risih. Itu sih hanya peringatan saja,” kata Pak RT menjelaskan sambil menyuruput kopinya. Bahu Didi bergidik. Ah tidak mungkin dia akan tidur di mesjid itu lagi. Bukankah ini hari terakhir wawancara? Selesai wawancara dia akan langsung pulang ke Jakarta. Melaporkan hasil penelitiannya kepada kordinator. Kemudia menerima honor dari hasil kerjanya. Dan tinggal santai sebentar bersama Lupi dan Ipul sambil menceritakan pengalaman masing-masing turun ke lapangan, lalu nyari duit lagi. Ya hidup ketiga jejaka muda itu sekarang konsentrasi mencari duit yang banyak. Kuliah? Itu urusan nanti saja. Didi hendak menuju responden berikutnya sekalian pamit kepada Pak RT. Kemudian dia berbisik pelan, “Pak RT salamin sama keponakan bapak yang geulis itu—cantik itu.” Pak RT tertawa kecil. Didi memang anak kampung yang bermetamorfosis menjadi anak Jakarta yang tak tahu diri. Tapi Pak RT memakluminya karena memang juga dirinya sudah akrab dengan jejaka gebleg ini. Sebabnya mereka sama-sama dari Sunda meskipun terdapat aksen yang sedikit berbeda. Sunda Bogor lebih halus ketimbang Sunda Banten yang terdengar kasar. Responden terakhir adalah seorang ibu muda berusia kurang dari empat puluh. Agak takut dengan kedatangan Didi, ibu itu memanggil suaminya. Diwawancarainya ibu itu dengan ditemani suaminya. Setiap pertanyaan dijawab dengan lancar. Bahkan Didi tidak perlu berepot-repot untuk menerjemahkan bahasa kuisioner. Sampai dipertanyaan selanjutnya ihwal harapan yang diwawancara soal masa depan Indonesia yang menguras emosi. Si ibu menangis mengapa pemerintah tidak berpihak kepadanya. Suaminya baru saja keluar dari pekerjaannya karena ikatan kontrak sudah habis. Kini mereka harus berjibaku dengan hidup untuk kehidupan sehari-harinya. Mengapa para calon kepala daerah hanya memasang poster-poster mereka tanpa mengetahui persoalan dirinya dan rakyat kecil yang senasib dengannya. Mereka hanya membagikan uang dua puluh ribuan, baju, dan stiker tanpa mendengar kelus kesah rakyat. Program-program yang diusung pun terkesan basi-basi. Lagu lama yang tak bosan-bosan diputar. Si ibu berharap hasil wawancaranya ini akan sampai kepada para pejabat negeri ini. Wajahnya menggambar harapan yang membubung tinggi. Ingin kelak dirinya bisa seperti keluarga sejahtera lainnya. Si filsuf dramatik mencoba menahan air mata. Emosinya tersulut. Dia semakin geram dengan pemerintah, terutama para pejabat. Bayangan-bayangan demonstrasi menyeruak kembali diingatannya. Ketika itu bagaimana ia bersama Lupi, Ipul, dan kawan aktivis lainnya menyuarakan kegelisahan mereka terhadap persoalan-persoalan negeri ini yang tidak kunjung selesai. Tapi persetanlah semua itu. Dia bersedia turun ke lapangan yang curam, berkeringat, jalan kaki, tidur di mesjid demi mendapatkan beberapa lembar rupiah. Tidak untuk menjadi dewa penolong rakyat. Dia hanya menjadi relawan yang dibayar atas kerjanya. Titik. Perlahan hati Didi terhunus mengingat ia memang manusia yang dibekali hati oleh Tuhan. Hatinya kali ini berfungsi untuk merasakan, menyesap, dan mendengarkan suara-suara sumbang dari dusun negeri ini. Didi sadar jawaban si ibu ini tidak akan direspon sekalipun para kandidat calon membacanya. Toh jawaban kuisioner ini dimanfaatkan guna mendobrak tingkat keterpilihan mereka. Selebihnya adalah basa-basi. Diam-diam dia merasa berdosa dengan kerja wawancara ini. Tapi sekali lagi ini memang bagian dari penelitian empiris dan tanggung jawabnya sebagai peneliti lapangan. Didi harus menerimanya. Dua lembar uang seratus ribuan dirogohnya dari kocek. “Ini untuk keluarga. Lumayan buat beli beras dan lauk-pauknya,” kata Didi yang akhirnya menangis juga. Si ibu dan suaminya menolak, tapi didi berkeras agar keluarga yang sedang tak beruntung itu untuk menerimanya. Selesai juga kerja lapangan ini. Hati Didi lega. Pikirannya sudah lapang. Kini tinggal pulang ke Jakarta. Bertemu dua koleganya yang masih di lapangan. Melaporkan hasil penelitiannya. Dan menerima honor. Indah benar hidup ini. Ah, tapi suara-suara yang lahir dari pedalaman itu masih mengganjal dalam dirinya. Kapan negeri ini dianugerahi kesejahteraan yang merata? Kapan negeri ini tidak terdapat lagi orang-orang yang mengeluh karena tidak mampu membeli beras? Kapan? Ah biarlah. Ah biarin. Toh masih banyak petinggi negeri ini yang peduli terhadap rakyat yang masih terkatung-katung. Toh masih banyak mahasiswa yang jujur, pintar, dan peduli dengan negeri ini. Ya benar masih banyak, tapi termasuk tipe mahasiswa apa dirinya. Sudahlah! *** Ketiga jejaka gila itu sudah berkumpul kembali di kostan. Wajah mereka menggambar kebahagiaan terutama Lupi dan Ipul. Sebab honor mereka akan digunakan untuk bidadari-bidadari pujaannya itu. “Kenapa murung, elu Di?” tanya Ipul. “Kangen Linda?” Lupi menebak. Didi tidak menjawab. Lupi dan Ipul saling melirik, menangkat bahu mereka yang terlihat segar. “Kalau penelitian lagi gue enggak mau turun di pedalaman,” kata Didi. Ipul bertanya, “kenapa, bro?” “Menyesakan,” kilah Didi. Didi menceritakan pengalaman memilukan ketika penelitian di Banten dengan detil. Lupi dan Ipul terharu, mengelus dada. “Gue enggak enak hati mendengar keluhan mereka. Gue kan kerja wawancara dapat duit, mereka malah dapat isak tangis,” kata Didi, masih murung. Lupi dan Ipul mengelus bahu Didi pelan. “Sudahlah. Tak usah elu jadi dramatik begini,” Ipul mencoba menghibur hati Didi. “That’s right,”Lupi membenarkan. “Tapi, elu, pul selama wawancara di komplek Jakarta dapat tante-tante yang cantik enggak?” Didi mulai gatal. Ipul menggelengkan kepala sebagai rasa tak percaya dengan perubahan Didi yang begitu mendadak. Lupi tertawa terbahak-bahak. ‘Penyakitan,elu. Virus Linda masih menyebar,” timpal Lupi. “Enggak ada pengalaman yang menarik selama survei di Jakarta. Kebanyakan responden kota tidak terlalu peduli dengan politik. Mereka lebih peduli dengan dapur mereka. Mereka sudah muak dengan politik,” kata Ipul. “Betul,” Lupi menyetujui. “Tapi, “ kata Ipul, “ada nih tante yang asyik. Responden gue,” Ipul menggoda. “Siapa?” Didi tergoda. “Isterinya bapak kostan,” Ipul menipu. “Neraka, Lu,’ timpal Didi kesal. Kemudian dia meminum kopi Lupi. “Aduhhhh. Pedes banget nih kopi,” Didi menyeringai. Bibirnya langsung jontor. “Kopinya gue campur merica bubuk, tujuh sendok. Supaya gue lancar berak,” Lupi ngikik. Ipul juga ikut ngikik. Didi lekas minum di dalam botol mineral, “gila rasa asam apa ini?” “Itu cuka, bro. Cuka sekarang pake kemasan botol mineral,” timpal Ipul yang tidak bisa menahan tawa. Sedang Lupi semakin ngikik. *** Honor dari penelitian habis sudah. Hanya menyisakan beberapa lima puluh ribuan saja. Honor itu mereka gunakan untuk membayar kostan selama beberapa bulan. Digunakan untuk membiayai kebutuhan mereka ke depan. Tapi mereka sudah lupa dengan buku. Lupi gagal membelikan novel John Grisham untuk Nurkho karena Nurkho sudah memiliki seluruh novel yang diburunya itu. Lagi pula sekarang Nurkho sedang asyik dan sibuk mendalami dunia tulis-menulis. Jadi ia berusaha menghindari gangguan dari Lupi dan pria-pria lainnya. Ia memang wanita berintegritas dan berani mengambil resiko. Tapi Lupi tetap menaruh hati kepada perempuan cantik itu. Ipul mengendurkan niat untuk memamerkan uangnya yang sedikit itu kepada gadis mangga Inderamayu. Dia terhindar menjadi lelaki sombong. Tuhan menyelamatkannya. Uang sudah menipis. Mereka harus segera mencari jalan keluar. Akan ke mana sekarang mereka mencari penghasilan? Sedang studi mereka untuk beberapa mata kuliah menuju kehancuran. Dari enam mata kuliah yang diambil semester ini, kemungkinan tiga mata kuliah yang akan lancar-lancar saja itu pun sudah dipastikan nilai dari tiga mata kuliah tersebut jauh dari A dan B. Ditambah mereka sudah semakin tidak bersemangat mengikuti kelas yang membosankan. Imbas dari kekacauan kuliah mereka itu adalah Ipul diturunkan dari jabatan ketua kelas. Tapi Ipul berkeras pendapat bahwa dirinya tidak diturunkan melainkan sadar mengundurkan diri. Ipul senang karena dirinya bebas untuk tidak mengikuti kuliah. “Keputusan sudah disepakati. Jadi hidup kita tidak boleh nanggung,” ucap Didi memberi semangat. Bah! Bukan semangat tapi propaganda yang sempurna. “Tugas kita sekarang adalah mewujudkan cita-cita untuk menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia. “Sepakat,” kata Lupi. Ipul memberi jempol kepada Didi. Ipul mulai berselancar di dunia maya untuk mencari penghasilan tambahan. Lupi mulai mencari informasi kanan-kiri. Didi mulai memikir-mikir tempat kerja yang tidak membolehkan kerja paruh waktu. Terpikir olehnya untuk menimbang gerai cepat saji yang pernah ia dan kedua sobatnya itu datangi. Didi menelepon gerai itu tapi lowongan sudah ditutup. Satu-satunya jalan adalah membuka halaman lowongan kerja di koran meskipun dirinya sudah kapok gara-gara PT. Gayalama yang tidak jelas itu. Aduh, setiap lowongan menginginkan kualifikasi sarjana. Ada perusahaan yang tidak memerlukan gelar sarjana tapi itu diperuntukan untuk wanita. Wanita memang beruntung. Mereka selalu diproritaskan meskipun masih terdapat dari beberapa mereka yang menggaungkan gerakan kesetaraan. Koran yang dibacanya sudah gila. Iklan lowongan data entri dengan tawaran penghasilan tiga juta setiap minggu itu masih bertengger. Kacau sekali. Berapa korban yang akan tertipu lagi dari para pelamar yang berharap-harap cemas. Didi merobek-robek koran itu. “Gue dapat, bro,” Ipul berteriak sumringah. Didi dan Ipul menghambur ke arah Ipul. Segera mereka mengirimkan data diri ke alamat imel yang dituju. Data diri itu tidak perlu ditulisi ijazah, prestasi, dan pengalaman kerja yang seabrek. Yang penting mereka memiliki motivasi untuk bekerja. Cukup itu sudah. Mereka ditelepon oleh perusahaan yang mereka kirimi data diri untuk langsung kerja besok hari. Ketiganya merona wajah senang. Pikir mereka, uang segera akan didapat. Cita-cita mereka menjadi pemuda paling tajir nasional tinggal menunggu waktu. “Ini kerja apa sih, Pul?” tanya Lupi.’ “Konsultan kebersihan. Tenang aja ini bukan penipuan seperti yang sudah-sudah,” terang Ipul. Pagi-pagi mereka menuju kantor di sekitar Blok M dengan berpakaian sederhana sesuai instruksi dari staf kantor yang menelepon. Kopaja melaju dengan cepat. Belum setengah jam mereka sudah sampai. “Ini benar kantornya,” kata Ipul yang mengecek alamatnya sesuai catatan. Gedung kantor itu memiliki tingkat tiga. Berdasarkan tulisan gedung itu tertulis bahwa kantor ini bergerak dalam pendanaan sosial untuk orang-orang atau anak yang kurang beruntung. Tapi mengapa pagi ini banyak sekali orang-orang berkumpul. Apakah mereka juga pelamar? Tapi orang-orang ini memakai seragam kaos bertuliskan : Hari Disabilitas Internasional. Wajah mereka juga diberi masker. Ditangannya memegang pengumpul sampah dan beberapa lidi. Ketiganya masuk menemui staf yang menelepon. Staf yang bernama Erna itu menyambutnya dan menanyakan kesiapan mereka. “Kita mau kerja apa, Mbak?” tanya Ipul. “Petugas kebersihan, “ jelas si Mbak. Ketiganya membelalakan mata. “Apa?” kata mereka setengah kaget. “Tenang, kalian akan dikontrak selama beberapa bulan. Dengan honor tujuh puluh ribu rupiah satu kali acara—event. Tugas kalian hanya membersihkan sampah di acara-acara besar di Jakarta. Bahkan diluar Jakarta. Lumayan untuk bujangan seperti kalian. Bagaimana?” Mata ketiga jejaka itu saling beradu. “Sepakat,” kata Ipul. Menurut mereka lebih baik kerja ini diambil ketimbang ditipu tapi tidak dapat duit. Tidak jadi masalah ditawari jadi konsultan kebersihan sekalipun faktanya hanya menjadi petugas kebersihan untuk acara-cara besar di kota-kota besar. Selesai penandatanganan kontrak, dengan memakai seragam kebersihan yang sudah dipersiapkan mereka menuju tempat acara bersama para pekerja lainnya dengan memakai kendaraan pick up yang disediakan kantor. “Filsuf kebersihan,” kata Didi kepada Lupi dan Ipul. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan jabatan barunya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar