Rabu, 11 Mei 2016

Menginjak Bumi, Menggapai Langit

Menginjak Bumi, Menggapai Langit Gapailah cita-citamu setinggi langit! Demikian ungkapan populer yang kita dapat sedari kecil. Sejak kecil kita pernah ditanyai oleh keluarga kita dan guru tentang cita-cita kita kelak. “Apa cita-cita kalian anak-anak?” tanya seorang guru kepada kelas. Beragam jawaban muncul dari teman-teman kelas. Sebagian mereka menjawab ingin menjadi dokter, insinyur, presiden, menteri, tapi ada seorang murid yang menjawab dengan percaya diri ingin menjadi artis sekaliber Ahmad Dhani. Agak kaget sang guru mengangkat alisnya yang tidak terlalu gelap. Kemudian sang guru yang bernama bu Mudrikatun bertanya, “Kenapa kamu ingin menjadi seperti Ahmad Dhani?” si murid yang dinamai Anom Ali oleh kakak perempuannya menjawab, “Ahmad Dhani tanpa menjadi seorang dokter, insinyur, presiden, dan menteri pun toh terkenal juga kan, sudah kaya raya lagi. Bahkan pernah dicalonkan jadi gubernur!” jawab si Anom Ali dengan nada yang terkesan menyindir. Teman-teman kelas yang lain bergemuruh, menyoraki Anom Ali. Bahkan sang guru yang selalu setia dengan jilbabnya menggeleng-gelengkan kepala. Si Anom Ali yang memang selalu berbeda tanpa dibuat-buat, sedikit menyunggingkan senyum. Seolah ia sudah memenangi kompetisi dalam event yang besar. “Cita-citamu aneh!” kata Febriana, gadis cilik yang beralis lentik yang menurut Anom Ali sangat menarik tapi gadis itu selalu jijik dengan gaya Anom Ali yang selalu melirik genit kepadanya. Anom Ali menerima kata-kata Febriana dengan senang hati meskipun teman-teman yang lain merasa Febriana meledek habis-habisan. “Terima kasih gadis cilik,” ujar Anom Ali, “tapi kamu manis juga.” Anom Ali mengulur senyum. Sementar Febriana merengut sinis menatap Anom Ali. Ibu Mudrikatun menenangkan mereka dan menjelaskan kepada kelas bahwa yang dicita-citakan oleh Anom Ali sah-sah saja. Atau meminjam dalam bahasa agama, tidak dilarang sehingga tidak perlu menanggung dosa. Kasus yang terjadi pada Anom Ali, yang itu adalah aku semasih duduk di bangku SD memang bukanlah sekelumit peristiwa yang harus digaduhkan karena setiap manusia wajib memiliki cita-cita sekalipun itu dianggap aneh nan nyeleneh. Karena keanehan dan kenyelenehan itu pada suatu waktu akan menampilkan kebenarannya tanpa kita sadari. Dalam melihat kasus ini aku menjadi teringat perkataan seorang pemikir Islam yang di sekitar tahun 1970-an melontarkan sebuah pemikiran keislaman yang dianggap tabu dan lebih-lebih dianggap menyimpang. Namun perlahan-lahan gagasan si pemikir tersebut terbukti di kemudian hari. Si pemikir tersebut pada sekitar tahun itu dan tahun-tahun selanjutnya selalu menggaungkan tentang harusnya umat Islam melakukan pembaharuan dalam pemikiran pemahaman agama. Upaya pembharuan pemikiran ini ditujukan untuk menjawab segala tantangan zaman yang bergerak ke arah modernisasi. Modernisasi yang menawarkan meajuan harus diinisisasi oleh sikap yang maju pula. Nama pemikir tersebut tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita khususnya bagi masyarakat yang gemar dan mengikuti perkembangan pemikiran keislaman. Nama tokoh yang memang memiliki raut wajah yang teduh itu bernama Nurcholis Madjid yang akrab disapa Cak Nur. Aku di sini tidak hendak mengurai pemikiran beliau yang mudah-mudahan dirahmati Tuhan di alam sana. Biarlah detil pemikirannya ditulis oleh orang-orang yang ahli keislaman. Namun pelajaran penting dari Cak Nur adalah keberanian kita untuk mengemukakan pemikiran yang ada di kepala kita. Soal salah dan benar itu urusan nanti. Jika benar tentu akan memiliki kemanfaatan, jika salah tentu akan diperbaiki oleh orang-orang yang dianggap memilikim kapasitas kepakaran. Namun yang menjadi masalah bagi aku, si Anom Ali selalu ceplas ceplos dalam mengemukakan pemikiran yang ada di kepalanya tanpa ditimbang matang-matang—namanya juga anak kecil. Keceplas-ceplosan itu berjalin-menjalin di kemudian hari. Teman-teman kelas SD aku yang memiliki cita-cita berbeda dariku kini pelan-pelan mulai terlihat terwujud. Sebagian mereka ada yang menjadi dokter dan pengusaha, tapi untuk yang bercita-cita menjadi presiden dan menteri agaknya harus bersabar dulu ya. Harus menunggu beberapa tahun lagi. Sementara aku di usia sekarang belum menandakan gejala-gejala yang membahagiakan. Nah, menurutku yang menjadi masalah bukan bentuk cita-citanya mau jadi apa, tapi yang harus disimak adalah asal-usul lahirnya cita-cita. Sejak kecil aku selalu diakrabi dengan ungkapan bercit-citalah setinggi langit, dan kemudian wujudkanlah. Dari ungkapan itulah aku mulai bertekad untuk menjadi orang paling kaya meskipun harus menjadi musisi Ahmad Dhani. Tekadku ini kian berlanjut seiring usia menambah. Aku tetap berkeinginan menjadi seorang anak uda yang kaya. Guna mewujudkan cita-cita tersebut aku bekerja serabutan sewaktu menjadi mahasiswa. Setidaknya bisa menjadi mahasiswa yang memiliki uang lebih dari mahasiswa lainnya. Kutulislah dalam bukuku target-target besar yang harus dicapai. Dalam buku yang kunamai buku sakti itu ditulis kalau sudah semester II aku harus sudah memiliki motor gede sekelas Ninja RR dan harus sudah berpenghasilan dua juta ke atas. Namun, semester II kuinjak tidak ada ada tanda-tanda targetku tercapai. Malah aku hidup ngos-ngosan demi mengenyangkan perut dan membayar biaya kostanku. Sekalipun target itu tidak tercapai aku mulai memasang target yang lebih tinggi lagi, tapi lagi-lagi target yang kupasang nihil termanifestasi. Dan buntutnya adalah kekecewaan. Dari kasus itu aku mulai menyadari bahwa tak perlulah hidup memasang cita-cita atau target-target yang terlalu tinggi—meskipun cita-cita itu penting—karena bila tidak tercapai akan membuat kepala kita seperti pecah ditimpa bebatuan yang meluncur dari pegunungan. Bukankah cita-cita harus diwujudkan dengan kerja keras dan ketekunan? Aku setuju kerja keras dan ketekunan berbanding lurus dengan tercapainya cita-cita atau target-target kita. Itu dalam bahasa agama sering disebut dengan sunatullah—hukum sebab dan akibat. Namun realitas kehidupan tidak selalu seindah yang kita bayangkan. Kadang ada cita-citanya yang terwujud dan belum ada yang terwujud. Boro-boro terwujud, tanda-tandanya pun belum menyentuh kita.Nah ini bagiku sebagai bahwa manusia memang memiliki keterbatasan dalam kemampuan. Artinya kemampuan manusia masing-masing memiliki porsi dan kadar tertentu. Dari hal itu aku mulai menyadari keterbatasan itu mesti diterima dan diimani. Tidak melulu ditangisi bahkan menyalahkan orang lain dan Tuhan semesta alam. Hidup memang harus bertapa. Bertapa, maksudnya adalah menerima kepayahan, kelemahan, keterbatasan kita dengan sadar dan senang hati sambil merenugi diri dan kehidupan. Mungkin dalam kasusku ini bolehlah orang tua seyogianya mulai menanamkan pengertian diri pada anak-anaknya terhadap persoalan kehidupan dengan telaten dan hati-hati dalam menjelaskan sambil terus menyemangati sebegitu pentingnya memiliki cita-cita sampai setinggi langit atau melebihi. Intinya mungkin sebelum kita terbang ke langit, penting pula untuk menginjak tanah (bumi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar