Senin, 30 Mei 2016

Proyek buku Three Bachelors

Ketoprak Doraemon Setelah kontrak mereka dengan perusahaan jasa kebersihan dengan kamuflase sebagai lembaga pendanaan sosial untuk orang-orang yang belum beruntung, ketiga jejaka muda itu, praktis kehilangan penghasilan tetap. Mereka harus memutar otak. Bagusnya mereka menyimpan honor mereka dalam tabungan. Ketiganya sudah pintar mengelola keuangan. Lupi merasa belum tepat waktu untuk membelikan Nurkho Novel. Apalagi dia belum mengerti sebenarnya apa yang menjadi kriteria lelaki pilihan Nurkho. Tapi dia masih berharap bisa menarik perhatian Nurkho. Ipul cukup sadar bahwa si gadis mangga Inderamayu itu belum memiliki kesan tertarik kepadanya. Sedang Linda tampaknya sangat berjarak dengan Didi. Karena itu ketiga jejaka itu sadar diri kini wanita bukanlah tujuan mereka. Kini mereka benar-benar memantapkan diri menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia. Mereka harus memecahkan kebuntuan masalah mereka : mencari penghasilan tetap. “Melamar menjadi guru private?” Lupi bersaran. “Oh, sangat tidak mungkin. Gue tak ada potongan jadi pengajar,” Didi berkilah. “Honornya kecil, Lup,” sela Ipul. Seperti biasa mereka mencari ide-ide segar dengan caranya masing-masing. Didi menulis serampangan di buku kecilnya. Entah apa yang ditulisnya. Ipul menyetel televisi menonton apa saja. Akhir-akhir ini dia kurang menikmati berita tentang politik dan seputarnya. Lupi memainkan gitar bolongnya, menyanyiakan lagu Queen. Sampai beberapa menit tak ada gagasan yang diajukan. Semuanya terlihat mandek dan jalan di tempat. “Nah,” kata Lupi tiba-tiba. “Apa?” Ipul penasaran. “Bisnis,” jawab Lupi. “Modalnya gede,” timpal Didi. “Beri gue waktu buat jelasin, “Lupi memulai. Didi dan Ipul bersiap mendengarkan. “Kita jualan makanan. Nasi uduk. Bukanya pagi dan malam saja. Tenang gue bisa belajar dari nyokap gue,” jelas Lupi. “Jualan di mana?” tanya Ipul. “Di perempatan arah kostan kita.” “Enggak bisa. Di sana sudah banyak yang dagang itu—nasi uduk,” imbuh Didi. Lupi tidak sabar menjawab. “Kita bikin nasi uduk yang berbeda. Lagian nasi uduk tuh bisnis jualan yang simpel.” “Kasihan yang jualan. Kita akan mengambil rezeki mereka,” ucap Ipul. “Ah, elu gimana mau jadi pemuda paling tajir se-Indonesia, bisnis pake perasaan segala. Kita bersaing. Kompetitip.” Penjelasan Lupi ini sudah menunjukan betapa dirinya sudah siap untuk turun lapangan menjadi pebisnis. “Ada yang lain?” tanya Didi. Lupi menggeleng-gelengkan kepala. “Elu mau jadi pecundang juga, Di?” Didi menjawab, “gue merasa nasi uduk tidak cocok untuk kita.” “Penjelasan elu?” Lupi menagih alasan. “Gue pikir nasi uduk sudah banyak penjualnya,” jelas Didi dengan tangan yang tak bisa diam, “maksud gue bukan masalah alasan kompetitipnya tapi lebih ke soal kejenuhan pembeli. Di mana-mana nasi uduk, apa para pembeli tidak jenuh itu. Pasti jenuhlah.” “Pembeli butuh sesuatu yang beda. Yang baru,” Ipul memberi ide. Lupi menghela nafas. “Pemikiran kalian bisa dipertimbangkan juga.” “Lalu apa?” Lupi masih tak bisa bersabar. “Ketoprak!” kata Ipul. “Gue suka ketoprak. Ketoprak itu bisa menjadi pengganti nasi. Bikin orang kenyang juga. Gue sepakat dengan ide Ipul.” Didi merasakan perutnya kekenyangan bila mengingat ketoprak. Dari kecil dia memang suka dengan jajanan khas ini. Tapi Lupi masih berberat hati. Baginya ketoprak masih kalah sama nasi uduk. Dia masih mengedepankan egonya lebih karena nasi uduk merupakan kuliner khas Betawi. Dan lebih-lebih ibunya sering menjual nasi uduk di pagi hari. “Gue terserah kalian. Gue setuju,” kata Lupi. Setelah menyepakati bisnis ketoprak, mereka mulai menyusun rencana dari mulai anggaran, tempat, sampai pemberian nama ketoprak mereka. Modal ketoprak mereka peroleh dari rekapitulasi tabungan mereka selama menjadi petugas kebersihan. Tapi itu cukup untuk memodali gerobak dan bahan baku. Untuk sewa tempat mangkal harus mereka pikirkan secara matang. Bukan hanya memikirkan mereka seyogianya mencari kekurangan tersebut. Tapi mencari ke mana? “Minta ke orang tua?” Didi memberi masukan. “Apa memang diizinkan? Mereka pasti bertanya,” Lupi sedikit berkeberatan. “Alasannya kita gunakan uang itu buat bayaran semester. Sudah lama kan kita tidak minta uang semesteran,” jelas Didi. “Jadi pembohong besar?” tanya Ipul setengah hati. Kedua sahabatnya itu melongok seperti orang bodoh. “Kita sudah bhong soal kuliah, sekarang mau ngibulin orang tua lagi?” Ipul melanjutkan. Lupi hanya bereaksi diam. “Kita kan sudah lama tidak minta duit ke ortu kita masing-masing. Enggak apa-apalah berbohong sedikit,” Didi tak mau kalah. Ipul berkeras pendapat. Baginya kebohongan ini sangat tidak terpuji. Ini baginya tindakan seorang pecundang. Dia sangat tidak menyetujuinya. “Kebohongan demi kemajuan,” Didi mencoba meyakinkan Ipul. Ipul tetap tidak sepakat. Sedang lagi-lagi Lupi hanya bisa menyaksikan perdebatan sengit ke dua sahabatnya itu. “Ok kalau begitu elu ada cara lain buat nyari tambahan modal?” tanya Didi ke Ipul. Ipul yang ditanya tidak menyuguhkan jawaban. Dia tak punya solusi cemerlang. “Sidang urun pendapat ditunda!” kata Lupi mencoba mencairkan suasana dengan maksud bergurau. “Enggak lucu,”Ipul sedikit membentak. Lupi yang tidak mudah terpancing emosi hanya diam sambil hatinya ketawa-ketawa. “Kalau begitu gagal deh kita jadi pemuda paling tajir se-indonesia.,” Didi memancing. Lalu dia menyindir Ipul, kapan dong elu beli gadget keluaran terbaru? Kapan elu beli barang serba baru?” Ipul tidak bergeming. Sampai malam tiba Didi dan Ipul tampak masih dingin kecuali Lupi. Tapi Ipul masih belum menemukan jalan keluar. Pikirannya masih buntu. Dia malah menonton berita seputar politik yang sudah ditinggalkannya. Sementara Didi menikmati udara di luar teras kostan sambil berharap Linda akan melewatinya. Perempuan itu masih belum kembali ke kostannya. Pikirannya kacau karena Ipul menolak idenya. Sementara Linda tak keunjung terlihat. Padahal ingin sekali dia bertemu perempuan itu. Harus kemana dia mencarinya atau sekadar mendapat kabar darinya? “Lup, elu setuju dengan idenya Didi?” tanya Ipul yang masih menonton berita televisi. Lupi yang masih asyik memetik gitar langsung menjawab. “Sebenarnya gue enggak setuju. Ini ide yang gila. Seumur-umur gue enggak pernah ngibulin orang tua.” “Tapi kita selama ini sudah bohongin orang tua,” kata Ipul. Dahi Lupi menyeringai. “Hampir satu semester kita tidak masuk kuliah,” terang Ipul. Lupi mengangkat alisnya, pertanda membenarkan. “Menurut gue memang idenya tidak benar tapi...” “Tapi apa?” Ipul menyela. “Tapi tepat, Pul.” “Terus?” “Terpaksa kita mengikuti idenya,” jelas Lupi. “Demi menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia?” “Mengapa tidak?” jawab Lupi. Mereka diam sejenak seperti menimbang-nimbang ide Didi yang memang melawan arus. Pikiran mereka menajdi semrawut gara-gara kekonyolan Didi. Didi jejaka penggila mie rebus itu campur nasi itu memang sudah melewati batas. Dialah biang keladi semua ini. “Didi memang provokator,” ucap Ipul. Lupi membenarkan. Beberapa menit kemudian dia berkata, “tapi sekalipun begitu dia sudah membuat hidup kita menjadi lebih berwarna. Selama ini gue enjory-enjoy saja. Mungkin kalau tidak berkawan dengan dua, hidup gue terasa kaku.” “Betul,”kata Ipul, “tapi tetap saja dia itu gila. Aneh. Provokator. Entahlah gue masih bingung dengan kekonyolan dia itu.” “Tapi ini kesempatan kita, Pul. Coba elu pikirin semuanya dari awal. Kita sudah tidak mementingkan kuliah, lalu mutusin nyari duit sebanyak-banyaknya demi mimpi menjadi pemuda berduit. Mungkin mimpi kita tinggal selangkah lagi. Ayolah, kawan, jangan egois.” “Elu nyalahin gue, Lup?” “Jangan salah paham dulu, begini,”Lupi mencoba menjelaskan, “ok anggap saja sekarang kita berbohong kepada orang tua tapi ini demi masa depan kita. Sekarang gue mau tanya elu,Pul. Seandainya elu jujur tentang kuliah kita, jujur tentang minta modal buat usaha, apa orang tua elu bakal bahagia? Bakal ngizinin?” Ipul menggelengkan kepala. Dia kini menjadi pendengar setia Lupi yang terasa sudah mulai terpengaruh oleh Didi. “Orang tua gue juga bakal kecewa. Bakal enggak ngasih modal. Didi pun begitu. Kita bermain cantik saja,” Lupi menjelaskan lagi. *** Terpaksa dan berat hati Ipul mengikuti ide Didi. Biarlah soal kebohongan kepada orang tua dirinya sendiri yang akan menanggung sendiri. Habisnya, Didi tidak mau bertanggung jawab soal dosa. Didi menyunggingkan senyum. Senyumnya seolah mendapatkan kemenangan dalam sebuah pertandingan penting. Lupi berlega. Kedua sahabatnya mulai bersinergi kembali. Ketiganya mulai mempersiapkan anggaran dan konsep bisnis, tempat, dan pemilihan nama. Anggaran dan konsep bisnis menjadi urusan Lupi dan Ipul. Untuk soal tempat dan nama bisnis Didi ahlinya. Lupi dan Ipul merancang konsep dengan baik. Lupi dan Ipul mencoba menerapkan sajian ketoprak yang berbeda. Sebuah keberanian berbisnis sekalipun pemula. Meskipun pada umumnya bahan dasar ketoprak mereka sama, mereka berani bermain dalam soal bumbu dengan berbagai pilihan menu. Menu pertama, ketoprak pedas sekali. Menu ini diperuntukan bagi pelanggan yang menggilai cita rasa pedas. Karena menurut mereka masyarakat Indonesia adalah pasarnya pedas. Menu kedua adalah ketoprak pedas. Berbeda dengan menu pertama yang tingkat kepedasannya sampai 100%, tingkat kepedasan menu kedua ini berkisar pada angka 80%. Menu ketiga adalah ketoprak sedang. Menu ini diperuntukan buat anak-anak sekolah menengah. Dan menu ketiga adalah menu ketoprak tidak pedas sekali. Menu yang sengaja disajikan untuk anak kecil ini memiliki level kepedasaan 20 %. Singkatnya, aneka menu ini disajikan untuk berbagai ragam usia. Didi sangat puas dengan konsep Lupi dan Ipul ini. Kini giliran dia memberi nama ketoprak mereka setelah selesai mengurus perizinan tempat. “Apa nama ketopraknya, Di?” tanya Lupi. “Ketoprak Doraemon,” jawab Didi lugas. Didi tersenyum. Lupi dan Ipul merasa aneh dengan penamaan tersebut. Didi menguraikan pendasarannya dengan antusias. Pendasaran penamaan tersebut dilatar belakangi oleh tiga hal. Pertama, doraemon merupakan tokoh kartun produksi Jepang yang disukai di berbagai negara, termasuk Indonesia. Siapa tahu dengan memakai nama ini ketoprak mereka disukai oleh pembeli. Kedua, Doraemon adalah kartun legendaris yang disukai oleh lintas generasi. Sekalipun kartun itu diproduksi puluhan tahun silam, tetap saja disukai oleh generasi sekarang. Karenanya Didi berharap ketoprak ini eksis sampai kapanpun. Lebih-lebih bisa menjadi ketoprak legendaris. Ketiga, nama Doraemon merupakan nama yang unik untuk dipadu-padankan dengan kuliner. “Pendasaran yang sempurna,” Ipul memuji. Didi melenggangkan senyum. Tidak percuma gue baca buku, katanya dalam hati. Ah, kata siapa dia membaca buku, toh buktinya dia sudah sangat berjarak dengan buku-buku yang kemarin-kemarin dibacanya. “Kawan-kawan ada yang mau gue sampaikan,” Lupi merasa tidak enak hati menyampaikan gagasannya. “Hah?” Didi menyipitkan matanya. “Apa?” kata Ipul. Lupi menjawab, “tentang promosi.” “Kita mendegarkan,” jawab Ipul. Lupi melihat lekat-lekat wajah Didi dan Ipul secara teratur. Didi dan Ipul balik memandang Lupi dengan saksama dan teliti. “Begini kawan-kawan, gue sangat puas dengan udaha Didi nyari tempat dan nama. Apalagi namanya unik sekali. Gue juga salut sama elu, Pul soal pilihan menu. Kalian pokoknya orang-orang cerdas menurut gue...’ “Sudahlah langsung ke inti,” Ipul menyela. “Setuju,” kata Didi. “Ya percuma saja konsep bagus kalau promosinya tidak bagus,” kata Lupi. “Ya kita sebarin pamflet saja buat promosi,” Didi bersaran. “Atau lewat media sosial,” Ipul menambahkan. “Tapi itu akan terasa biasa-biasa saja kalau kontennya tidak berbeda,” Lupi menyanggah. “Jadi konsep, elu apa?” Didi nampak tidak cukup bersabar. Tingkat semangat yang tinggi mulai menjalari Lupi. “Gue punya usul bagaimana di hari pembukaan bisnis kita ini, kita gratiskan untuk tujuh puluh porsi. Kita pasang pamflet di gerobak ketoprak kita dan sebarkan lewat pamflet. Gue jamin perlahan-lahan ketoprak kita banyak yang kenal. Setelah kenal pasti dibeli deh,” jelas Lupi dengan rinci. Did dan Ipul hening sementara. “Kegilaan macam apa ini?” umpat Didi. Ipul menghela nafas, “belum apa-apa elu sudah merugi. Ingat! Buat nyiapin semua ini tidak mudah, Lup.” “Tujuh puluh porsi pasti terbayar dalam beberapa hari. Lagian tujuh puluh porsi pertama berbeda dengan porsi di hari selanjutnya. Kita pangkas porsinya untuk hari-hari berikutnya.” “Memangkas porsi?” Didi terkekeh yang dipaksakan. Kemudian dia melanjutkan, “porsi yang berbeda, resikonya akan rumit. Bisa-bisa pelanggan kecewa. Tapi yang jelas gue enggak setuju dengan gagasan promosi ini.” “Promosi yang standar aja, Lup,” tukas Ipul. Mendengar reaksi kawannya itu Lupi hanya bisa mengigit bibir. Sungguh keduanya primitif dalam berbisnis, gumamnya dalam hati. “Baiklah,” kata Lupi tenang, “untuk tujuh puluh porsi yang gratis, gua yang bakal ganti ruginya. Jadi elu berdua tidak usah khawatir.” Didi dan Ipul menunduk. Malu menggumuli mereka. Hmmm, pecundang. Untuk mencapai kesuksesan saja keduanya tidak mau berkorban penuh. Jadi pebisnis itu seyogyanya berani melakukan kegilaan meskipun seperti kelihatan merugikan. Tapi hasilnya pasti terlihat di kemudian hari. “Tidak perlu, Lup. Elu enggak usah menutupi biaya promosi,” Ipul berpendapat. Didi menarik nafas. Lega. “Elu emang jempolan, Lup. Gue dan Ipul setuju ide elu. Ingat! Demi menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia.” Mereka tertawa. Lalu mengepalkan tangan dan meninjukannya ke tangan satu sama lain secara serempak. Kini mereka tidak meu berpelukan seperti yang sudah-sudah mereka lakukan. Menurut mereka pelukan kebahagiaan sekalipun masih berada dalam batas kewajaran itu menggelikan. Bahkan terlihat seperti perempuan saja. Bisa membuat bulu kuduk mereka bergidik. Hari pertama pembukaan, jantung mereka berdebar-debar. Karena hari ini merupakan pintu pertama mereka menjalani kehidupan yang berbeda dari hari-hari yang sudah mereka lewati. Karena bisa jadi hari ini adalah hari yang akan menggambarkan masa depan mereka. Karena mereka sudah mantap mengucapkan selamat tinggal kampus, dan tidak tahu apakah suatu saat mereka akan kembali ke kampus lagi atau tidak sama sekali. Entahlah. Mereka tidak bisa memastikan sebab tidak ada yang tahu secara pasti apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tapi dengan jelas mereka menjalani kehidupan sesuai langkah kaki. Ketiganya tidak pernah menduga bisa menjadi penjual ketoprak. Hmmm, bukan penjual ketoprak tapi pengusaha ketoprak, begitu kata Lupi. Ini pasti rencana Tuhan, menurut mereka. Dan seandainya jika ada kesalahan, siapa yang harus disalahkan?” Ah, hidup memang harus selalau berada di tengah-tengah. Kita memilih, memutuskan, dan menjalani. Tuhanlah yangn menentukan. Jadi seandainya ada kesalahan, siapa yang harus disalahkan?” “Tak pernah gue segerogi ini?” kata Didi dengan telapak tangan yang berkeringat setelah mereka membagikan pamflet ke sekitar perempatan mereka berjualan. Bah! Bukan berjualan tapi berbisnis, itu kata Lupi. “Tarik nafas,” saran Ipul. “Siap.” Beberapa menit kemudian para calon pembeli mendatangi ketoprak mereka. “Benar ini dengan ketorprak Doraemon?” kata ibu-ibu kompak. “Ini ketoprak Doraemon yang promosi itu ya?” seraya cewek-cewek yang sepertinya mahasiswi satu kampus dengan mereka bertanya dengan penuh antusisme. “Bang gratisannya masih berlaku?” tanya anak-anak sekolah menengah. “Wah yang jualan ternyata masih berondong ya?” kata ibu-ibu muda sepantaran Linda, genit. Lupi tak bisa menerima klaim sepihak ini. “Kita pemilik, mbak. Bukan penjual. Tapi penjual sekaligus pemilik.” “Oh, sebuah pledoi yang memikat,” sahut salah satu dari ibu-ibu muda itu. Lupi merasa jijik tapi Didi dan Ipul berusaha mengulur senyum. Tujuh puluh porsi dengan cepat habis tidak bersisa. Para calon pelanggan lain yang datang terlambat beraut wajah kecewa, “besok gratis lagi dong, mas.” Ketiga jejaka pebisnis itu memasang senyum terpaksa meskipun hati mereka merasa eneg. Tidak mungki melakukan promosi gila-gilaan terus-menerus ini untuk pebisnis pemula seperti mereka yang modalnya pelintat-pelintut. Wah! Tapi promosi gila ini memang jitu karena hampir tiga ratus orang mendatangi ketoprka mereka. “Ide elu memang mantap, Lup,” Didi memuji. Lupi meninggikan kerah bajunya. Dirinya seperti sedang berada di atas angin. “Permulaan yang meyakinkan,” sambung Lupi. “Pembuktian yang sesungguhnya itu besok hari,” Ipul mengingatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar