Senin, 30 Mei 2016

Proyek Buku Three Bachelors

#Tigabiangkerok “Jejakers harus diluruskan. Mereka sangat berbahaya bagi mental negeri ini!” teriak seorang kordinator aksi di depan gedung parlemen berapi-api dengan keringat yang bercucur membasahi tubuhnya, menembus pakaiannya. Mereka berasal dari aktivis mahasiswa yang kritis soal pembangunan mental pemuda Indonesia. Para aktivis yang menamai diri sebagai Peduli Mental Pemuda Indonesia yang disingkat PMPI melihat gelagat yang menyimpang dari corak pemikiran Jejakers. Betapa tidak dalam sebuah pertemuan rutin komunitas itu selalu menggaungkan diktum : uang bukan segalanya, tapi segalanya memakai uang! Namun sesungguhnya menurut aktivis itu semua bermula dari buku ketiga jejaka yang laku keras itu. Karena secara keseluruhan isi buku itu menguraikan pemikiran yang selalu bertumpu soal urgensi materi tapi para pembaca mudah terbius sehingga pemikiran mereka mudah dipengaruhi. Aksi demonstrasi itu tidak terlalu mengundang perhatian karena sifatnya yang spontan dan berjumlah sedikit. Didi, Lupi, dan Ipul tidak menanggapi aksi itu dengan serius. Terlebih pemerintah yang sedang sibuk mengurusi negeri ini. Katanya begitu sih!” Namun beberapa minggu kemudian di Jakarta terjadi aksi besar-besaran menentang Jejakers agar dibubarkan karena berbahaya. Mereka meneriaki Didi, Lupi, dan Ipul sebagai biang keladi semua ini. Aksi ini disusul oleh aktivis mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi di berbagai daerah. Setiap aksi itu bersuara sama: menuntut agar Jejakers diluruskan kalau perlu dibubarkan. Selain pemikiran menyimpang sebagai aksi mereka, beberapa dampak dari pemikiran Jejakaers lah yang mendapat perhatian palin serius. Dampak pertama adalah para pemuda sudah mementingkan materi ketimbang ilmu dan pengetahuan. Kedua, para pemuda sudah tidak peduli lagi dengan dunia pendidikan. Mereka lebih tertarik mencari uang. Ketiga, para mahasiswa sudah menyatakan diri keluar dari kampus hanya untuk mencari kekayaan. Kampus bagi mereka membosankan karena terlalu mengajarkan argumentasi dan referensi keilmuan tanpa mementingkan pencarian kekayaan. Parahnya hampir 30 % mahasiswa aktif meyatakan keluar dari kampus dan memutuskan menjadi pencari kekayaan sejati. Dan dampak terakhir, Jejakers sudah mematikan pikiran dan hati para pemuda karena menjejali mereka dengan doktrin materialistis. Seluruh pendemo meminta agar pemerintah segera menindaklanjuti Jejaker. “Jejakers sudah menghianati para pendiri bangsa ini!” “Mereka harus dikembalikan kepada ajaran yang benar. Mereka telah melupakan agama!” “Jejakers sama bahayanya dengan narkoba!” “Negara, khususnya pemuda harus diselamatkan dari mereka!” “Mereka lebih berbahaya dari terorisme!’ “Mereka adalah virus!” “Mereka adalah Isme!” “Indonesia Darurat Jejakers?” Begitulah komentar dari para tokoh penting negeri ini yang dulu memang kritis terhadap buku karya ketiga jejaka muda itu. Apalagi mereka merasa resah ketika para pengikut ketiga jejaka muda itu membentuk Jejakers. Kekhawatiran yang diresahkan terjadi sudah. Para pemuda kadung gandrung dengan pemikiran yang disebarkan oleh Didi, Lupi, dan Ipul. Tapi pada waktu itu para tokoh kritis ini tidak bisa berbuat apa-apa setelah pemerintah tetap mengapresiasi ketiga jejaka ini terlebih karena mereka sudah membantu dalam mengurangi jumlah pengangguran negara berkat karya-karya mereka. Tapi apa yang akan dilakukan pemerintah kini? Apalagi kini televisi dan surat kabar sudah memojokan mereka. “Walaupun berbahaya, terlalu berlebihan menstigma Jejakers sebagai aliran paling berbahaya di negeri kita. Bagaimanapun komunitas itu sudah memberi masukan bagi pembangunan bangsa.” “Kita harus arif dan bijaksana memaknai kasus ini.” “Mungkin mereka salah, tapi tidak dibenarkan menghakimi mereka sesat.” “Pemerintah harus bertindak tapi harus dengan pertimbangan yang matang.” “Biarkan saja. Ini bagian dari kegelisahan pemuda yang terhimpun dalam Jejakers. Biarkan mereka menentukan masa depannya. Kita sebagai orang tua hanya bisa mengawasi dan menasehati. Yang penting biarkan pemuda maju!” Begitu pula para tokoh yang masih menghargai kontribusi dan karya dari Jejakers berikut ketiga jejaka muda itu sebagai panutan. Sehingga ada nada sumbang dari pengkritik Jejakers. “Kalian para tokoh negeri ini dibayar berapa sama Jejakers?” umpat mereka. Di hari berikutnya aksi demonstrasi semakin memuncak. Serempak di seluruh daerah terjadi aksi yang lebih besar lagi. Aksi ini diinisiasi oleh civitas akademika, para pendidik, para orang tua, dan lainnya. “Kalau pemerintah tidak segera bertindak, kami rakyat akan membubarkan mereka,” kata salah seorang kordinator aksi denga tangan yang menunjuk-nunjuk poster Jejakers. “Bakar saja mereka. Bakar hidup-hidup!” umpat salah seorang demonstran. “Hajar mereka,” teriak seorang demonstran. “Ganyang mereka!” “Setrika Mereka!” Beberapa menit kemudian poster Jejakers dan foto Didi, Lupi, dan Ipul diinjak-injak dan dirobek-robek. Televisi nasional hingga mancanegara heboh menyangkan berita menarik ini. Malahan Jejakers menjadi berita utama di mana-mana. Indonesia darurat Jejakers. Hebat memang! Ini karena ketiga jejaka muda ambisius itu. Mirisnya wajah ketiga jejaka itu yang sering ditayangkan. Lebih parah media membuat tagline: Siapakah sebenarnya ketiga jejaka muda itu? Lebih cepat dari kilat, di media sosial nama mereka menjadi trending topics dengan hastag: #Tigabiangkerok Sedang di lain pemandangan, yakni di rumah para biang keladi kerunyaman ini, ketiganya asyik melihat berita utama yang terjadi. Mata mereka lurus ke monitor televisi hampir tanpa berkedip. Keringat mulai muncul pelan-pelan di dahi mereka. “Kita menjadi semakin terkenal,” kata Lupi, lesu. Ipul mengusap rambutnya yang kusut. “Seluruh Indonesia sudah mencap kita sebagai orang paling berbahaya di dunia. Dan...” “Dan apa?” Didi memotong. “Sekampung gue bakal tahu kalau gue ini jahat. Bayangkan wajah kita tampil di televisi bukan lagi sebagai pahlawan tapi biang kerok,” kata Ipul dengan terbata-bata. Wajahnya merona lusuh. “Gue enggak nyangka kemarin kita dielu-elukan, sekarang malah jadi musuh publik,” tambah Lupi menggeleng-gelengkan kepala. “Kalian takut?” Didi sedikit menghardik. Lupi dan Ipul langsung menatap Didi. Mulanya pandangan mereka datar, tapi beberapa menit kemudian... Didi sudah merasakan kejanggalan dengan tatapan berarti mereka.”Jadi kalian?” Rasa serba salah mengundak jejaka Betawi dan Inderamayu itu. Tatapan mereka penuh kemarahan kepada Didi. “Semua karena, elu, Di,” mungkin kata hati mereka begitu jika diverbalkan. Didi menurunkan emosinya. “Ya biar gue yang menghadapi semua ini,” katanya dengan tulus. Tanpa ada kehendak menyindir kedua sahabatnya. Televisi masih memberitakan kebusukan mereka tanpa henti-henti ditambah beberapa tayangan yang menampilakna beberapa kampus yang hampir ditinggalkan mahasiswanya karena pengaruh Jejakers. Tapi ketiga biang kerok masih mendingin. Dalam hati mereka berkecamuk menyalahkan masing-masing. Didi yang bersiap bertanggung jawab atas semua kekacauan ini tetap merasa kecewa dengan kedua sahabatnya itu yang memojokan dirinya. Di lain sisi Lupi dan Ipul merasakan kegeraman dengan ide Didi yang berisiko. Mengapa mereka dulu tidak mencegahnya sekuat mungkin? Sudah terlambat. Tapi keduanya sadar bahwa mereka memulai semuanya dengan bersama. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. “Gue yang akan maju menghadapi ini, “kata Didi, lagi. Dia mulai berdiri. Lupi dan Ipul menekukan kepala mereka. Ponsel Didi berdering. “Salam, dengan Mas Didi?” “Benar.” “Kami dari kementrian pemuda dan olahraga. Pak Menteri meminta Anda dan kedua sahabat Anda mengundang Anda datang ke kantor.” “Soal?” tanya Didi berlagak tidak tahu. “Soal Jejakers,” kata staf kemendikbud itu singkat. Didi hendak menuju garasi mobil tanpa memedulikan Lupi dan Ipul lagi. Dia melangkah gontai. “Gue ikut, kawan,” kata Lupi. Didi mempersilakan, tapi senyumnya belum mengulur. “Ok. Gue juga ikut,” kata Ipul. “Ya,” jawab Didi pelan. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Didi menyetir tanpa menoleh ke arah kedua temannya. Sekalipun mereka ikut, Didi masih merasa mangkel dengan Lupi dan Ipul. Dia menyadari kesalahannya tapi mereka harus terbuka juga. Ini urusan bersama. “Maafin gue, Di,” kata Ipul. “Kita hadapi masalah ini bersama-sama,” Lupi meneruskan. Didi menjawab, “kita harus menyiapkan jawaban sesungguhnya. Gue yang akan menjelaskannya.” Lupi dan Ipul berpasrah. Sesampainya di kantor kementrian, ketiga jejaka itu disambut biasa-biasa saja. Mungkin tidak disambut tapi dibiarkan seperti orang biasa pada umumnya. Suasana ini berbeda dengan beberapa waktu lalu di mana mereka begitu diperlakukan khusus oleh pihak kementrian. Mereka menghadap pak menteri dengan posisi berlawanan. Seperti duduk seorang interogator yang bertanya kepada tersangka. “Jadi itu benar?” tanya Pak Menteri. “Ya, benar pak. Semua ini saya yang mengonsep. Saya yang memiliki gagasan untuk mempengaruhi kaum muda tentang pentingnya materi ketimbang pendidikan. Sayalah yang menjerumuskan. Lupi dan Ipul hanya mengikuti saya. Mereka sebenarnya tidak setuju dengan saya. Tapi karena mereka sahabat yang baik, maka tidak ada pilihan. Lupi dan Ipul sebenarnya sudah cukup puas dengan kesuksesan yang sudah kami raih. Tapi saya pengen lebih dari itu. Saya ingin mengubah dunia. Mungkin saya terlalu bombastis,” papar Didi. Pak menteri manggut-manggut. “Benar kalian sudah meninggalkan kuliah?” Pak menteri bertanya lagi. “Benar,” kata Didi. “Kami sudah berikrar untuk meninggalkan kuliah untuk fokus menjadi pemuda kaya. Tapi salahnya saya yang menyebarkan soal tidak pentingnya pendidikan ketimbang mencari kekayaan. Saya yang bertanggung jawab atas semua itu.” Pak Menteri menyimak dengan penuh perhatian sambil menopang dagunya dengan tangannya yang masih terlihat segar meskipun dirinya baru saja menghadiri acara di luar negeri. Pak Menteri ini memang dikenal sebagai pribadi bijak, progresif, terbuka, dan peduli kepada masa depan pemuda. Sebelum kasus ini, beliau tidak henti-hentinya menyemangati ketiga jejaka muda itu untuk terus meneruskan studi meskipun sudah berhasil secara finansial. Dia sangat kecewa dengan kejadian seperti ini. Tapi Pak Menteri mencoba bersikap tenang. Atas perintah Presiden, Pak Menteri diminta untuk mengadakan konferensi pers terkait kasus Jejakers. Ketiga jejaka muda itu juga harus mengeluarkan pernyataan. Mereka dihadirkan bersama. Ratusan wartawan baik dari dalam dan luar negeri hadir. Polisi dan TNI disiagakan untuk menjaga keamanan karena ratusan aktivis juga diundang untuk menyimak dan meminta penjelasan Jejakers melalui ketiga jejaka itu. Jumlah mereka yang hadir melampau luasnya gedung tersebut. Sehingga, beberapa dari mereka harus menghadiri konferensi ini dari luar gedung. Bahkan beberapa stasiun televisi menyiarkan khusus konferensi ini dengan mengundang komentator dari pakar pendidikan, pakar bisnis, dan pemerhati kepemudaan. Syukur! Acara yang mulanya menegangkan berjalan lancar. Ini karena upaya Pak menteri yang lihai mencairkan suasana. Pak Menteri memberi penjelasan bahwa apa yang dilakukan Jejakers khususnya melalui ketiga jejaka itu harus diapresiasi tapi tidak tepat dalam metode dan strategi. Tersebab selera humor Pak Menteri yang khas dengan mengatakan bahwa ketiga jejaka muda itu seperti suami yang memiliki dua isteri cantik. Suami itu dimisalkan sebagai Didi dan kedua isteri itu diibaratkan sebagai Lupi dan Ipul. Para peserta konferensi tertawa. Bahkan ada wartawan secara berkelakar bertanya mengapa Pak Menteri mentamsilkam mereka sebagai suami isteri. Lucunya pertanyaan seperti itu kembali mengundang tawa hadirin tidak terkecuali ketiga jejaka muda itu. Tapi suasana mulai hening kembali ketika ketiga jejaka itu memberikan penjelasan. Raut wajah Didi, Lupi, dan Ipul sedikit menegang. Sebenarnya Didi yang paling merasakan ketegangan ini karena dia yang akan menjadi perwakilan sebagai pembicara. Didi menghela nafas tenang. Ini dia sadari bukanlah forum seminar sebagaimana dia sering menjadi pembicara. Dalam seminar itu suasana hangat, tenang, dan cair jelas terasa sampai nadinya. Ini bukanlah ceramah umum sebagaimana sering dia sampaikan di acara-acara kepemudaan. Ini seperti penghakiman publik. Sidang pengadilan untuk dirinya, Lupu, dan Ipul. “Salam kepada semua. Semoga kita selalu menjadi pribadi-pribadi yang senantiasa menjunjung tinggi toleransi dan saling menghargai, “ Didi membuka dengan tenang. “Terkait peristiwa yang ramai mengundang riuh masyarakat sampai kepada hujatan ini memang kamilah sebagai biang keladi. Khususnya saya yang terlampau semangat. Niatnya ingin sekali memberi perubahan untuk bangsa ini, utamanya bagi kaum muda tapi harus kami akui seperti kata Pak Menteri metode dan strategi yang kami gunakan salah. Kalau diibaratkan Jalan menuju Surga adalah ibadah di masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya sesuai yang ditetapkan agama masing-masing tapi kami malah ibadah sesuka hati.” Para hadirin termasuk wartawan khidmat mendengarkan penjelasan Didi yang retoris tapi bernuansa ketulusan yang menyesap dalam ruangan di kementrian pemuda dan olahraga itu. Sesekali mereka manggut-manggut. “Sesungguhnya tak ada niat dari kami merusak mental para generasi bangsa. Keinginan terbesar kami adalah menularkan semangat kepemudaan dan kewirausahaan agar mereka mandiri secara ekonomi. Kami tidak ingin melihat pemuda hidup di jalanan tanpa tujuan. Kami ingin melihat mereka maju. Kami tidak ingin melihat mahasiswa gusar dengan masalah finansial karena biaya pendidikan yang terlalu jauh untuk dijangkau. Kami ingin melihat mereka bisa membayar kostan tepat waktu, sehari makan tiga kali, seminggu sekali mereka bisa membeli buku-buku akademik atau buku kesukaan mereka tanpa harus meminta uang kepada orang tua. Kami ingin melihat pemuda-pemuda Indonesia sejahtera secara ekonomi.” Penjelasan Didi yang sistematis dan nyaris lembut tapi mengharukan sedikit menyentuh hati hadirin. Beberapa aktifis yang menghujat ketiga jejaka itu dalam aksi demonstrasi bungkam. Mungkin dalam hatinya berbicara, “rupanya penyebar virus ini hatinya baik juga!” Didi mengakhiri, “dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas pengertiannya. Dan kami ingin mohon maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat Indonesia atas insiden yang tak diduga ini. Semoga kita mendapat petunjuk-Nya. Amien.” Konfersensi pers selesai setelah Pak Menteri dan Ketiga jejaka muda itu menjawab semua pertanyaan wartawan. Namun terdapat pertanyaan yang memungkinkan ketiga jejaka muda itu diseret ke jalur hukum karena dampak kerugian yang sulit diperbaiki : Mental. “Tak ada jalur hukum. Karena mereka—ketiga jejaka muda itu akan menerima konsekuensi,” jelas Pak Mentri itu. Apa konsekuensinya? Entahlah tapi yang jelas ketiga jejaka muda itu sudah meresahkan ketenangan publik. Bertiga kembali ke rumah mereka dengan tenang. Kali ini mereka melewati kampus yang sudah lama ditinggalkan. Gedung Fakultas Ilmu Politik yang berdampingan dengan Fakultas Psikologi terlihat gagah. Kegagahan gedung yang sudah tak mereka langkahi menegaskan kemapanan sebuah ilmu yang mengendapkan kebodohan yang melintasi pikiran para generasi bangsa. Ipul, melihat gedung itu, masih ingat ketika dia pernah bertanya kepada dosen tentang politik yang dianggap bidang paling jahat. Ketika itu dirinya masih menjadi mahasiswa baru. Lupi mengenang bagaimana dirinya sekali pertama kali membaca buku pengantar ilmu politik di taman fakultas yang adem. Didi, hmmm, sang propogandis, mengenang ketika dosen filsafat politik menyarankan dirinya untuk lebih seius mendalamai teori-teori pilitik klasik sebelum mendalami teori politik kontemporer. Ah gila memang! Mengapa ingatan-ingatan di kampus dulu berserakan memenuhi pikiran mereka. Mungkin terbersit dalam benak mereka untuk menjadi mahasiswa. Mahasiswa senior. Ah bukan senior tapi tua mengingat teman-teman sekelasnya sedang mengerjakan tugas akhir. Uh! Ini artinya mereka sudah meninggalkan kampus hampir tiga tahun. Harusnya mereka kini memasuki tingkat akhir. Kalau masuk ke kelas kembali, mau tak mau mereka harus duduk satu kelas dengan adik-adik kelas mereka. Atau mahasiswa baru. Lalu, mereka akan dipanggil oleh kakak atau abang oleh teman-teman kelas yang baru itu. Entahlah! Mereka boleh jadi hanya bernostalgia. Atau bernostalgila. Yang menjadi pikiran mereka kini adalah bagaimana memulihkan nama baik mereka. Menenangkan diri selama mungkin sampai semuanya berjalan baik. *** Pemerintah memutuskan Jejakers untuk sementara dibekukan sampai waktu yang belum ditentukan. Mental para anggotanya dipulihkan atau direhabilitasi oleh beberapa pakar yang konsen dalam bidang psikologi, pendidikan, dan sebagainya. Sedang sangsi bagi ketiga jejaka muda adalah bahwa mereka untuk sementara waktu yang belum ditentukan juga tidak boleh tampil di publik semacam televisi, surat kabar, talk show, dan kontrak brand ambassador pula telah lepas dari kontrak mereka. Hukuman moral ini mendapat reaksi dari para pemerhati hukum yang menurutnya pemerintah terlalu berlebihan menindaklanjuti konsekuensi bagi Didi, Lupi dan Ipul. Keputusan ini merugikan aset pribadi—finansial dan perkembangan kepribadian—dari ketiga jejaka itu. Tapi pemerintah menginginkan masyarakat berjalan normal. Publik yang menghujat ketiga jejaka merasa puas karena suara mereka didengar pemerintah. Ketiga jejaka muda juga akan merasa diselamatkan oleh pemerintah dari amarah publik yang sudah tidak dibendung lagi. Inilah bagi pemerintah yang diklaim sebagai keadilan. Hmmm! Namun Didi, Lupi, dan Ipul menjalani hukuman ini dengan kepala tegak. Keputusan pemerintah berdampak pada penghasilan ketiga jejaka galau itu. Mereka harus merelakan pemasukan yang menggiurkan dari televisi, talk show, kontrak iklan dari perusahaan, dan semacamnya. Praktis mereka mengandalkan pemasukan dari bisnis ketoprak, deposito, dan investasi di bursa efek. Tapi kesialan agaknya sedang merangkul mereka sebab karena juga efek dari peristiwa ini pendapatan bisnis ketoprak mereka lumayan melesu. Setelah dikalkulasi pemasukan mereka dari bisnis ketoprak, perbulan menurun sampai tiga puluh persen dari angka biasanya. Untungnya mereka telah menyimpan uang mereka di rekening tabungan. Tabungan ini mereka pergunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dan tentu yang membuat mereka lebih frustasi lagi adalah bahwa mereka harus memikirkan kredit rumah, kredit kendaraan baru mereka yang wah, dan kredit-kredit lainnya. *** Keputusan pemerintah telah menjadikan mereka menjadi orang biasa kembali. Didi, Ipul, dan Lupi sekarang kembali membangun bisnisnya agar bangkit kembali dan fokus membayar semua tagihan kredit yang dianggit. Tidak ada lagi nongkrong di kafe berkelas. Tidak ada lagi makan di restoran mewah. Tidak ada lagi hang out ke luar negeri. Mereka harus berhemat dan pintar-pintar menggunakan uang. Semua kejadian ini justru membuat mereka merenungkan peristiwa demi peristiwa yang telah mereka lewati. Lebih jauh mereka, khususnya Lupi dan Ipul memaknai peristiwa yang sudah dilaluinya sebagai kebangkitan kembali mimpi-mimpi yang sudah ditulis dilangit Jakarta. Lupi semakin ingin mewujudkan mimpinya menjadi diplomat. Ipul tambah meyakini garis hidupnya adalah mewakafkan dalam sebuah organisasi besar yang berkaitan politik kebangsaan. Tapi semua itu harus diraih melalui jalan pendidikan. Kampus adalah pintu mereka untuk melangkah mengapit mimpi-mimpi mereka. Lalu bagaimana dengan Didi? Ah! Dia masih tidak mengerti dengan cita-cita dirinya. Menjadi ahli politik tidak lagi menjadi obsesi dalam hidupnya. Malahan dia berpikir ingin menjadi segalanya. Ingin menjadi praktisi hukum. Ingin menjadi ekonom diperhitungkan. Ingin menjadi sosiolog berpengaruh. ingin menjadi penulis terkenal. Ingin ini ingin itu. Tapi di dalam hati kecilnya, dia merasa dirinya ingin menjadi pembela kaum terpinggirkan. Bagaimana jalan untuk meraih semua itu? Didi sama sekali tidak memiliki jawaban. Apalah arti jawaban kalau dirinya sendiri selalu bertanya. “Gue mau masuk kampus lagi,” kata Ipul kepada Lupi yang tengah menikmati secangkir kopi hitam pekat dengan sedikit gula. Lupi tersenyum mendengar kejujuran hati sahabatnya itu. Dia meletakan cangkir itu di meja. “Apa yang elu pikirkan sama dengan yang gue pikirkan, Pul,” jawab Lupi. “Kita sudah terlalu lama turun ke lapangan tapi sudah lama sekali kita meninggalkan tempat kita berasal. Tempat kita mengalami pengalaman-pengalaman yang menggairahkan. Tempat itu yang mempertemukan kita. Kita harus kembali ke kampus.” Ipul memandang langit malam yang dihiasi bintang-bintang yang terang. Hidungnya menyesap aroma malam yang lebih dahulu menusuk-nusuk ke kolam rumah mereka. “Apa elu menganggap Didi sebagai penyebab semua ini?” tanya Ipul. Lupi mengangguk. “Tapi sebab dia juga kita mendapatkan pengalaman mahal ini. Kita tidak sepenuhnya menyalahkan dia. Toh ini adalah keputusan kita. Gue juga sudah membuat keputusan untuk meninggalkan kuliah demi mendapatkan kekayaan di masa muda. Ini murni keputusan gue. Didi hanya membangkitkan gairah gue,” terang Lupi yang kini sudah duduk di tepi kolam sambil kakinya memainkan air kolam. “Elu masih menyalahkan Didi sebagai biang keladi semua ini?” Ipul mendekati Lupi. Duduk di sampingnya. “Betul. Tapi setelah gue pikir-pikir dia tidak salah. Seperti kata elu, meninggalkan kuliah untuk jadi pemuda kaya adalah pilihan gue. Terus terang gue sangat marah sama dia. Gue sangat emosi sama dia. Tapi sekarang tidak lagi. Seperti kata elu juga karena kita bertemu dan terus terang hidup gue jadi lebih memiliki warna. Bayangkan dalam usia yang masih muda kita sanggup menyanggupi apa yang kita inginkan. Belum tentu pemuda sepantaran kita dapat memenuhinya. Apalagi kita pernah satu kursi bersebelahan dengan orang-orang penting. Berdiri di hadapan forum yang jumlahnya mungkin ribuan. Dan itu menambah kekayaan jiwa gue.” “Tapi kita harus ke tempat asal kita. Kampus. Karena bagaimanapun tujuan kita ada di sini adalah untuk belajar. Ini tanggung jawab kita. Apalagi orang tua gue kepingin anaknya segera menjadi sarjana,” Lupi menyambung. “Betul. Bagaimanapun pendidikan itu penting,” kata Ipul seraya mengingat bagaimana dirinya bersemangat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah membaca artikel di surat kabar yang menulis bagaimana pentingnya pendidikan. Tiba-tiba bibirnya mengulur senyum ketika dirinya meminta izin kepada orang tuanya agar diberi restu untuk menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah. Cahaya bintang di malam ini menembus ke dalam kalbunya, membuatnya bersemangat untuk kembali ke kampus. Di sela-sela Ipul yang mengingat momen-momen yang membuat hatinya terenyuh, Lupi juga mengingat-ingat ketika dirinya gagal tes masuk ke UI dan harus menghapus mimpinya melanjutkan ke STIE Perbanas. Kegagalan demi kegagalan tidak mengendurkan semangatnya untuk menjadi pakar keuangan sekalipun pada akhirnya ilmu politik menjadi masa depan cita-citanya. Dan sekalipun dirinya sudah tertinggal oleh teman-teman satua angkatannya. Tapi di mana sekarang Didi? Mengapa dia tidak ikut bergabung dengan kedua sahabatnya untuk mempercakapkan mimpi-mimpi mereka ke depan? Didi belakangan ini memang banyak merenung. Dia sengaja tidak terlalu sering bergabung degan Lupi dan Ipul karena masih merasa bersalah meskipun serumah. Meskipun Lupi dan Ipul tidak secara langsung mengatakannya sebagai penyebab semua ini. Lupi dan Ipul tidak harus mengatakannya langsung karena mereka juga menyadari ini pilihan mereka. Karena keduanya juga tidak ingin ada konflik dalam persahabatan mereka. Apalagi itu adalah konflik batin. Mereka sangat menghindari itu. Tapi mereka adalah tipe sahabat yang kadang tidak perlu mengucapkan kata maaf secara verbal. Sikap saja sudah cukup untuk memperlihatkan keharmonisan persahabatan mereka. Dan, tapi sekarang Didi sedang mendengarkan percakapan Lupi dan Ipul di balik pintu kaca ruang serba guna yang berhubungan langsung menuju kolam renang. Dadanya terasa semakin sesak. Pikirannya mengacau. Bukan karena kejujuran kedua sahabatnya yang tidak dikatakan langsung kepadanya, tapi karena dia merasa menjadi penjahat dalam persahabatan mereka. Dia merasa menjadi duri yang merugi bagi mimpi-mimpi Lupi dan Ipul. Dia juga merasa telah mematikan ketajaman hati kedua sahabanya untuk merasakan cinta kepada cewek-cewek yang mereka sukai. Benar-benar kejahatan besar yang sudah dilakukannya kepada kedua sahabatnya itu, katanya dalam hati. Tapi dia tidak perlu minta maaf. Gengsi? Tidak. Dia tidak ingin membahas kejadian yang sudah-sudah. Kini, yang harus dilakukannya adalah membiarkan masing-masing mengenali diri dan mewujudkan mimpi-mimpi yang tertunda. Didi melangkah keluar membiarkan kedua sahabatnya menikmati percakapan. Dia ingin bergabung tapi merasa akan mengganggu. Malam ini dia ingin sendirian menikmati malam dengan jalan-jalan ke sekitar komplek rumahnya. Dibiarkannya kakinya telanjang karena ingin merasakan aspal yang terkena angin malam. Tingkahnya ini seperti orang kampung saja. Memang dia orang kampung! Kaos santainya semakin terasa adem ketika angin menembus, jins gaulnya juga lebih terasa hangat karena terpaan angin. Dalam langkahnya yang santai dirinya juga mengingat perjalanan hidupnya dari kecil, ketika masih sekolah dasar, sampai terdampar di belantara Jakarta yang memang penuh dengan dinamika. Dia pun mengingat kembali bagaimana mula pertemuan dengan Lupi dan Ipul hingga sekarang menjadi sahabat kental. Hidungnya sengaja menghirup udara malam. Mendadak dia mengenang Bandung. Mengenang bagiamana dia memutuskan pindah dari kampusnya terdahulu untuk masuk UIN Jakarta. Itu memang keputusan yang sulit karena kepindahannya ini sempat ditentang oleh keluarga. Keluarga menyayangkan keputusannya karena Didi harus mengulangi studinya dari awal lagi. Dan parahnya kuliah yang barunya ini dengan enteng dia tinggalkan lebih karena hanya ingin meraih sukses finansial di masa muda. Aku telah mengecewakan semuanya, katanya dalam hati. Apakah gue harus kembali ke kampus? Tanyanya dalam hati. Ah! Mengapa mendadak dia mengingat dirinya terlambat masuk kelas karena ulah Lupi. Dia harus berhadapan dengan Bu Johan, dosen mata kuliah Pemikiran Politik Barat yang tidak menolerir keterlambatan sekalipun beberapa menit saja. Tapi itu tidak menjadi soal karena ulah Lupi dirinya dapat merasakan kehangatan sikap Linda yang menyiapkan sarapan nasi uduk. Senyum Didi mengembang bersama helaan udara malam yang menusuk-nusuk. Mungkin bila ada orang yang melihatnya senyum sendiri Didi akan dibilang sebagai pemuda yang sinting dan eror. Ah biarlah. Ah biarin. Karena dirinya mengingat kuat bagaimana Linda dengan motor otomatic-nya menawarkan tumpangan Didi yang berlari kencang untuk segera sampai ke kampus. Ketika itu Didi memohon kepada Linda agar dirinya yang menyetir tapi Linda tidak mau. Dengan berat hati dan malu Didi dibonceng Linda. Orang-orang yang melihatnya tersenyum-senyum. Didi juga membalas mereka dengan senyum tapi malu sedikit. Ah kini di mana perempuan cantik itu? Tapi pasti dia sudah melihat berita di televisi soal Didi dan kedua sahabatnya itu. Tapi pasti dia belum tahu tempat tinggal Didi sekarang. Linda aku memerlukanmu sekarang, kata Didi dalam hati kecilnya. Malam semakin pekat, Didi tetap berjalan kecil menikmati keheningan dan kesuyian yang menyeruak tapi terasa sangat nikmat. Sementara masih di kolam renang rumah mereka, Lupi dan Ipul masih asyik bercakap-cakap. Epilog “Bang, bu Johan killer ya?” “Tidak juga.” Didi menjawab pertanyaan juniornya dengan dingin. Dia sedikit risih sebab sekarang dirinya harus satu kelas dengan adik kelas yang beberapa tingkat di bawahnya. Dia harus memperbaiki nilai C untuk mata kuliah Bu Johan. “Abang?” ledek Lupi dan Ipul kompak setelah melihat pemandangan itu di lift fakultas. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Didi menahan marahnya karena dia malu dengan adik kelas yang sekarang harus satu kelasnya. “Hai abang Lupi, Abang Ipul.” Lupi dan Ipul menoleh ke arah suara itu setelah keluar dari lift. “Abang Lupi, abang Ipul kenalin aku Shinta. Semester tiga. Abang Lupi dan Abang Ipul sekarang satu kelas dengan aku di mata kuliah Politik Internasional. Entar ajarin aku yah,” kata Shinta adik kelas Lupi dan Ipul, angkatan di bawah mereka. Didi untuk mata kuliah ini memang mendapat nilai B. Sedang kedua sahabatnya itu mendapat nilai D. “Abang?” Didi balas meledek. Terkekeh. Skor menjadi 1-1, katanya kepada Lupi dan Ipul yang kikuk. “Halo Abang Tiga Jejaka muda,” pekik adik-adik mahasiswa yang melihat ketiga jejaka muda itu ketika mau masuk kelas masing-masing. Ketiga jejaka itu membalas mereka dengan berat hati tapi sangat membuat mereka malu bertubi-tubi. Sialan! Bisik mereka. Dunia masih normal karena Didi, Lupi, dan Ipul mempunyai “kemaluan” yang besar. Baguslah! Ketiganya menyaksikan berita di televisi yang seperti yang sudah-sudah dilakukan dulu ketika menjelang malam. “Wah berita bagus ni,” kata Ipul. “Mantap, “ seru Lupi. Tapi Didi malah menggelengkan kepalanya sebagai rasa tak percaya. “Sebagaimana janji elu dulu, elu harus traktir kita makan selama tiga hari dan bayar kostan tiga bulan. Karena sekarang kita ngredit rumah. Elu harus bayar kreditan rumah selama tiga bulan juga. Itu kan janji elu,” Lupi menagih janji Didi. Televisi menyiarkan berita menghebohkan karena seorang tokoh nasional yang terlibat mega korupsi. Si tokoh nasional tersebut menyusul rekannya Pak Konde yang lebih dulu menikmati hotel prodeo KPK. Semasih pertaruhan beberapa tahun lalu Didi meyakini si tokoh nasional sama sekali tidak terlibat dalam kasus mega korupsi itu. Sementara Lupi dan Ipul seratus persen meyakini tokoh nasional tersebut akan mengikuti jejak Pak Konde. Huh! Didi kalah dalam bertaruh. “Sialan!” umpat Didi. Dia marah kepada tokoh itu dan sebal harus menaggung kekalahan. Lupi dan Ipul menahan cekikikan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar