Senin, 30 Mei 2016

Proyek Buku Three Bachelors

Rekayasa Bodi Tidak saja belajar mencoba menerapkan tipikal ala pebisnis profesional dengan membuat arus kas keluar-masuk, disiplin waktu, rencana jangka pendek dan panjang, ketiga jejaka muda progresif itu pun berusaha menampilkan pribadi yang baik di hadapan para calon pelanggan. Setiap bertemu dengan seseorang apalagi itu potensial menjadi pelanggan, senyum harus mengulur dan keramahan harus senantiasa membungkus sikap mereka. Tampilan fisik yang apik ditambah pewangi tidak boleh luput dari tubuh mereka. Mereka pokoknya harus bijak menampilkan sikap-sikap tipikal pebisnis profesional pada waktu-waktu tertentu tanpa perlu mempraktekannya setiap saat karena sejujurnya mereka sudah muak dan mual dengan pranata-pranata tersebut. Tapi pakem-pakem seperti itu kudu mereka lakukan sesuai anjuran motivator bisnis yang mereka ikuti seminarnya, sesuai buku pengembangan bisnis yang mereka baca, dan sesuai petunjuk-petunjuk dari googling di internet. Profesioanalitas dan responsibilitas adalah fondasi dasar mutlak yang harus mereka miliki sekarang. Kebiasaan-kebiasaan tersebut sangat jauh dari kehidupan mereka. Tapi sekali lagi mereka mesti menjalani dengan ikhlas kehidupan baru ini. Ingat! Mereka sudah berani meninggalkan kuliah mereka. Proses-proses seperti itu harus mereka lewati demi sebuah mimpi yang terwujud. Melelahkan memang. Menyebalkan memang. Memuakan memang. Tapi memang harus dilakukan. Toh berbisnis merupakan bagian dari pembelajaran yang akan mereka dapati setelah pembelajaran formal mereka tinggalkan beberapa bulan yang lalu. Ipul merasakan rekayasa bodi ini sebagai gambaran dirinya menjadi pemimpin kelak. Karena sejatinya para pemimpin harus bisa mencitrakan diri dengan baik. Gestur tubuh dan sikap kudu ditata dengan baik demi mendapatkan penilaian yang baik di hadapan masyarakat. Lupi memaknai rekayasa bodi ini sebagai persiapan dirinya menjadi diplomat. Menjadi diplomat tidak hanya diiringi oleh wawasan dan jaringan luas, citra yang baik juga menjadi pertimbangan utama. Tapi bagi Didi apa arti rekayasa bodi ini? Berbeda dengan Lupi dan Ipul yang masih memendam dengan baik cita-cita mereka, dirinya sudah mengubur mimpinya menjadi ahli politik. Segala mimpi-mimpi yang ia tuliskan tebal-tebal di langit sudah memuai terhempas oleh panasnya matahari. Dirinya kini menjadi manusia yang ingin melebihi cita-cita manusia lain. Tapi apa cita-cita terbesar itu? Dia sendiri belum menemukannya. Namun dalan hati kecilnya selintas perasaan bersalah muncul. Dia menyadari kekekacauan studi Lupi dan Ipul adalah karena provokasi dirinya. Ah sudahlah. Persetan semua itu. Dia tidak ingin menjadi pesakitan karena telah menjerumuskan kedua sahabatnya itu toh keduanya menjalaninya dengan bahagia. Tapi Didi mengulur senyum melihat Lupi dan Ipul begitu bersemangat menyiapkan bisnis ketoprak ini. Bahkan dia berharap semoga kedua sahabatnya itu menemukan kehidupan mereka sesungguhnya melalui bisnis ketoprak ini. Tuhan tunjukanlah jalan mereka. Tuntunlah mereka mengenali dirinya sendiri. Semua rekayasa-rekayasa ini mungkin aku yang membuat dan Kau yang mengikuti. Tapi jika semua rekayasa ini berjalan seperti yang tidak diharapkan benahilah semua ini. Demikian doa Didi dalam malam yang begitu sepi. Sebuah doa kepada Tuhan yang sudah lama dia lupakan. Dan mengapa dirinya di malam menyengat kerinduan yang hebat menyesap jiwanya. Siapa yang dia rindukan? Lindakah atau tiba-tiba dia mengingat sebuah kematian. Kematian tubuh. Kematian jiwa. Kematian pikiran. Dan kematian-kematian lainnya. Air mata bergulir pelan-pelan. Dadanya bergetar dahsyat. Tubuhnya gemetar. Tangannya kaku. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan esok yang masih teka-teki. Bisnis Kehidupan Hari ke hari. Minggu ke minggu. Bulan ke bulan, bisnis ketiga jejaka itu mulai dikenali orang-orang. Penghasilan pun tak dapat ditolak. Namun dalam waktu yang bergulir itu tidak ada perkembangan yang memuaskan dalam bisnis mereka. Kesimpulan ini bisa dilihat dari indikasi penghasilan yang tidak pernah bertambah. Padahal mereka menjalani bisnis ini dengan giat dan kerja yang keras. Laba yang mereka hasilkan hanya bisa membayar kostan, membiayai kehidupan sehari-hari mereka, menggenapi pakaian mereka, dan atribut-atribut lainnya yang tidak terlihat bergengsi. Mereka ingin membeli kendaraan baru karena selama ini mereka menggunakan motor butut. Itu pun didapat dari rental. Mereka juga ingin memiliki rumah dari bisnis ini. Ingin membeli tanah. Ingin berinvestasi di bursa efek. Hmmm, banyak sekali keinginan mereka ini. Tidakkah mereka bersyukur dengan apa yang sudah didapatnya selama ini? Mereka telah tumbuh menjadi pemuda ambisius. Kehidupan yang serba pas-pasan bukanlah tempat mereka sekarang. Cita-cita meeka tetap tidak berubah : menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia. Logika berpikir sudah mendekati logika pebisnis profesional. “Hampir setahun kita berbisnis tapi belum ada perkembangan,” umpat Didi ketika ketiganya bersantai ria di kostan yang itu-itu saja. Lupi mengigit bibir. Kebiasaan itulah yang sering ia lakukan kalau sedang dihimpit masalah. “Gue belum mendapatkan ide,” kata Ipul yang nerasa dimintai pendapat oleh Didi. “Kita harus buka dari pagi sampai malam, “ Lupi menjentikan jarinya karena mendapatkan ide baru. Tapi kedua sahabatnya itu belum menyetujui. Ide Ludi dirasa belum memecahkan masalah. Mereka malam itu terus menggali ide untuk kemajuan bisnis mereka di saat orang-orang sedang menikmati istirahat. Menguras pikiran sampai berkeringat hingga gagasan cemerlang mendekati mereka. Didi mulai berusaha menghubungkan antara kaitan bisnis dengan buku-buku yang sudah dibacanya. Lupi mengingat-ingat detil strategi berbisnis yang dipelajarinya di sekolah kejuruan. Ipul berusaha mengingat pelajaran berbisnis dari bosnya sewaktu menjadi kuli pabrik industri tahu-tempe. Ketiganya secara tidak disadari sedang memahami kehidupan dari sisi yang berbeda. Benar memang apa yang mereka lakukan itu adalah kehidupan yang nyata. Bukan sekumpulan teori rumit yang digumuli di kampus. Tanpa disadari juga bahwa mereka sekarang sedang merawat sebuah lokus bagian dari kehidupan yang harus dijaga. Lokus itu yang menghubungkan mereka dengan orang-orang baru yang tak mereka kenali. Berkat lokus itu mereka menjadi saling mengenal dengan orang-orang baru itu meskipun terikat dalam relasi antara penjual dan pembeli. Tapi kadang relasi yang berdasarkan kepentingan ikatan tersebut bermuara pada hubungan yang mendalam, saling memahami, bahkan menjadi saudara kental. Hubungan kental tersebutlah yang membuat hidup menjadi lebih berwarna. Dalam bisnis apapun kesadaran menjaga hubungan baik dengan pelanggan sangat krusial agar mereka tetap setia dan percaya pada produk kita. Layaknya jalinan hubungan persaudaraan yang harus dirawat melalui sikap saling menasehati, dan bertukar pendapat tanpa nirkehendak superioritas. Bisnis mereka pun akan eksis jika terjalin hubungan yang ajeg antara mereka dengan pelanggan. Didi mulai memikirkan bisnisnya ke arah itu berdasarkan bacaannya melalui buku refleksif-filosofis. Dia mulai menemukan pola hubungan baru antara pemilik usaha dengan pelanggan. Menurutnya pemilik usaha harus selalu meminta saran, masukan, dan kritik terhadap barang yang dijualnya kepada pelanggan. Lupi sudah ingat bagaimana produsen harus jeli mengenai hal-hal apa saja yang disukai oleh konsumen. Karena itu konsumen harus diberi ruang untuk menyampaikan keluhan terhadap barang yang dibelinya. Ipul dengan cepat menyadari bahawa bosnya selalu mengutamakan kepuasan konsumen. “Konsumen puas, kita senang. Untung pun datang!” begitu kata bosnya. Ketiga jejaka pejuang itu seolah mendapatkan hakikat bisnis. Bisnis kehidupan. Untuk meminta saran, masukan, dan kritik, mereka menyediakan kotak suara yang terbuat dari mika. Para pelanggan tinggal menuliskan keluhan mereka, kemudian memasukannya ke dalam kotak suara itu. Jika enggan menyampaikan keluhan lewat kotak itu, para pelanggan dapat mengutarakan keluhannya via sms. Sesudah cara itu dilakukan benar saja banyak saran dan kritik terhadap bisnis mereka. Ada yang menyarankan agar ketoprak mereka tidak berlebih dalam racikan bumbu. Ada yang meminta agar porsi ketopraknya lebih besar. ada yang memberi saran agar potongan ketupatnya diperkecil supaya terlihat mungul. Tidak melulu ihwal cita rasa yang dikeluhkan, kondisi kedai pun mendapat masukan yang cukup berharga. Dan saran dan kritik lainnya yang konstruktif. Berbagai saran dan kritik yang masuk, mereka tampung sebagai bahan pertimbangan. Cita rasa tingkat kepedasan menu tetap mereka pertahankan. Hanya saja mereka menyajikan cita rasa bumbu yang beraneka ragam. Disajikan racikan bumbu yang berlebih, juga disajikan racikan bumbu yang pas. Para pelanggan tinggal memilih sesuai selera. Suasana kedai juga mereka ubah sesuai masukan. Cat berwarna cerah mendominasi tembok kedai yang mulanya berwarna agak gelap. Selain cat yang cerah beberapa lukisan pemandangan pedesaan dipajang supaya terlihat lebih sejuk. Warna gerobak yang kusam kini disapu oleh cat keperakan. Agak mengkilat. Beberapa pelanggan pun menyarankan agar ketiga jejaka visioner itu mengenakan seragam yang bergambar Doraemon beserta kantong ajaibnya. “Huh,” Didi menarik nafas. Tarikan nafasnya seperti memburu karena lelah yang mendera tubuhnya. Lupi mengelap keringat yang bercucuran dari dahinya yang beberapa senti lagi menuju hidung. “Cape juga,” imbuh Ipul. “Dipikir-pikir enakan jadi pegawai ketimbang bos,” katanya lagi. “Bisnis itu seperti kehidupan,” Lupi menyeletuk. Didi dan Ipul melirik Lupi, lalu memandangnya serius. Lupi merespon pandangan kedua sahabatnya. “Ada yang salah ya?” tanya Lupi. Senyum yang rapi dan pas terurai dari Didi dan Ipul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar