Senin, 30 Mei 2016

Proyek Buku Three Bachelors

Wayang Uang Perlahan-lahan strategi mereka menunjukan hasil. Waktu ke waktu yang berjalan pelanggan baru berdatangan. Kini dalam sehari saja tiga ratus porsi terjual habis. Sedangkan masih banyak para calon pelanggan yang mengantri. Melihat antusiasme tersebut mereka menambah tiga gerobak lagi di kedai dan memperkerjakan tiga pegawai. Jam kerja ditambah pula sampai larut malam, yang dimulai dari pagi. Kesuksesan yang mereka raih mengantarkan mereka memiliki kendaraan beroda dua yang mereka mimpikan. Tidak perlu memakan waktu lama, kesuksesan mereka terus berlanjut. Setahun berselang sudah berdiri tujuh cabang ketoprak Doraemon mereka di wilayah Jakarta. Hampir seluruh penduduk Jakarta menggemari ketoprak mereka. Dari mulai anak-anak sekolah, ibu-ibu rumah tangga, eksekutif muda sampai pejabat tidak pernah melweati hari mereka dengan menikmati ketoprak Doraemon ini. Berkat kesuksesan yang sempurna ini mereka meraup keuntungan bersih hampir ratusan juta per bulan. Ketiga jejaka muda itu menjadi pendatang baru yang diperhitungkan di belantika bisnis sebagai pebisnis muda paling berprospek. Beberapa penghargaan baik dari pihak pemerintah atau swasta menganugerahkan penghargaan karena prestasi ketiga jejaka muda itu. Seluruh media memburu mereka untuk dijadikan headline. Wajah-wajah mereka terpampang di mana-mana. Televisi juga tidak mau ketinggalan meminta mereka untuk menjadi untuk tampil dalam wawancara ekslusif tentang kemandirian pemuda dalam wirausaha. Perusahaan produk terkenal tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dengan mengontrak mereka menjadi brand ambassador produk mereka. Tiap tujuh puluh detik sekali wajah mereka wara-wiri di iklan televisi. Ketiganya kini menjadi menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Masyarakat di negeri ini sudah menahbiskan mereka sebagai idola baru. Menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia sudah digenggam tangan. “Sudah saatnya kita meninggalkan gaya kehiupan lama kita,”kata Didi. Lupi dan Ipul yang masih bermalas-malasan di kasur kostan mereka yang belum diganti merem-melek sedikit mengacuhkan Didi. Hari minggu itu mereka tidak sudah tidak turun lagi ke kedai karena semua urusan kedai sudah diserahkan ke pegawai. Mereka tinggal mengontrol arus-kas dan mengambil keputusan penting lainnya yang berkaitan dengan bisnis. Aktivitas mereka sekarang adalah memenuhi undangan dari pemerintah dan swasta menjadi pembicara dalam seminar di dalam dan luar kota. Sesekali mereka diminta untuk pemotretan di majalah terkenal. “Kita harus pindah dari kostan ini,” suara Didi sedikit dikeraskan. “Membeli rumah baru dan fasilitas-fasilitas lainnya,” balas Ipul yang sudah bangun dari setengah sadarnya. “Duit kita masih belum cukup untuk itu!” timpal Lupi, bangun dari tingkah malasnya. “Duit, duit, duit. Betul fokus kita sekarang adalah mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya,” tangan Didi mengeras, matanya menatap tajam ke Lupi dan Ipul. Minggu pagi yang cerah menyegarkannya untuk bicara masalah uang dan uang. “Enggak ada soal lain selain duit,” Lupi menebalkan semangat Didi. “Mari kita membuktikan kepada dunia bahwa kita pemuda paling giat nyari duit,” Kata Ipul berapi-api. Semangat angkatan empat puluh lima menjalari jiwa dan raga mereka. Perbedaannya, jika semangat tahun itu adalah untuk meraih kemerdekaan dari kolonialisme, semangat ketiga jejaka muda itu dipakai untuk meraih uang dan uang. Cita-cita mereka untuk merubuhkan kebodohan dengan pendidikan, membaca buku, dan ihtiar lainnya sudah diselewengkan dengan cepat sekali. Sekarang bagi mereka tidak tersisa lagi ruang untuk segalanya kecuali bagaimana mendapatkan uang sebanyak mungkin. Mengerikan memang padahal Lupi dan Ipul kemarin masih sempat terlintas ingin mewujudkan cita-cita mereka melalui pendidikan. Keduanya sepintas memikirkan ingin meneruskan pendidikan mereka yang terlunta-lunta. Kecuali Didi, hmmm jejaka konyol yang sama sekali belum menentukan pilihan hidupnya. Hidupnya kini adalah menjalani apa yang sedang berdiri di hadapan mata. “Aku hidup untuk hari ini. Tidak risau memikirkan cita-cita. Cita-cita apa? Aku sendiri masih enggan untuk serius!” katanya. “Aku ingin uang banyak,” katanya lagi. Tapi untuk apa uang banyak kalau dirinya belum tahu makna hidup? Ah biarlah. Ah biarin toh dirinya hidup untuk hari ini, tidak pernah serius memikirkan masa depan. Target mereka mematok penghasilan bersih ratusan juta rupiah tercapai sudah meskipun perlahan. Itu didapat dari bisnis ketoprak, menjadi pembicara di beberapa seminar, iklan telvisi, brand ambassador merk, dan lainnya. Dari penghasilan tersebut mereka mulai mengkredit rumah di sebuah komplek yang tak jauh dari kostan mereka. Rumah itu memiliki ukuran yang besar untuk mereka dengan bertingkat dua, fasilitas lengkap , halaman luas yang ditumbuhi pepohonan rindang-hijau, dan garasi mobil yang cukup luas juga. Kini kemana-mana mereka tidak perlu berpanas-panas lagi sebab ketiganya sudah membeli kendaraan beroda empat. Praktis gaya hidup mereka berubah dengan pesat. Soal makanan mereka sudah tidak sudi menikmati sajian kuliner kelas bawah-menengah. Perut mereka sudah cocok diisi dengan makanan restoran mewah. Setiap seminggu sekali mereka berlibur ke luar kota yang dianggap memiliki destinasi wisata yang memikat. Bahkan sesekali dalam dua bulan mereka berlibur ke luar negeri. Kalau week end tidak kemana-mana, ketiganya menghabiskan malam di kafe berkelas dan mewah. “Semua bisa dibeli dengan uang,” kata mereka sambil meneguk wishkey yang baru mereka rasakan selama hidup sampai sekarang dengan terkekeh lepas sekali. Berbotol-botol miniman beralkohol tingkat tinggi mereka habiskan dengan tubuh dan pikiran yang linglung. Didi, sang provokator, mengoceh tidak karuan, sehingga menimbulkan kepekakan telinga para pengunjung kafe. “Gue sudah menaklukan Jakarta. Gue sudah membuat tunduk manusia-manusia Jakarta.” Matanya semakin memerah ketika menatap cahaya lampu kafe yang berkedip-kedip. Tapi pikiran sadarnya setengah waras. “Linda di mana kamu sekarang?” katanya dengan mulut yang tambah bau alkohol. Sedang wajah Ipul sudah terkulai di meja. Lupi malah muntah-muntah di toilet. Cairan alkohol yang dia minum menghambur kembali ke luar. Diam-diam dia menyebut Tuhan dalam kelimpungan pikiran dan tubuhnya. “Persetan dengan setan. Tuhan di mana Engkau? Tolong jangan marahin hamba-Mu ini,” katanya. Kemudian tubuhnya terkulai ke lantai toilet. Dia tertawa-tawa, “Tuhan tolong sampaikan salamku ke dia. Ke dia, Tuhan. Nurkho.” Tapi ketiga jejaka muda itu cukup bisa menahan nafsu untuk tidak menjadi pemabuk sejati. Sebab dalam tubuh mereka tidak terdapat darah yang senang dialiri oleh minuman beralkohol. Tubuh mereka masih menyukai air mineral. Minuman beralkohol tidak baik untuk kesehatan. Mereka menyadari itu. Syukurlah. Apalagi sekarang mereka harus bisa mengontrol diri agar sifat-sifat negatif mereka tidak tercium oleh para pengejar berita. Seandainya sifat-sifat negatif itu tertangkap oleh media, habislah karir yang sudah ditahbis dengan cucuran keringat. “Kita sekarang sudah jadi publik figure,” kata mereka. Ideolog Muda “Apa yang harus kita lakukan lagi?” kata Didi yang terlihat jengah dengan kemewahan segala ini. Dia memang seorang pribadi yang progresif di samping seorang yang cepat merasa bosan dengan status quo. “Bukankah yang kita cari ini? Uang dan kesuksesan,” jawab Lupi dengan menikmati jus alpukat yang menyegarkan. Minuman itu terasa pas dengan suasana kolam renang rumah mereka yang sejuk. Kemudian ia menyandarkan tubuhnya pada kursi rotan yang berbentuk memanjang. Kaki Didi masih asyik memainkan kakinya di air kolam. Batang hidung Ipul belum nampak di pagi yang selalu memanjakan mereka dengan keindahan. Play station yang ia mainkan sendiri semalam sudah membuat matanya enggan melihat matahari. Tapi beberapa menit kemudian dia muncul dengan mata dan rambut yang tidak menarik. “Gue di sini,” katanya setelah Didi menanyakan jejaka Inderamayu itu kepada Lupi. “Sebaiknya kita kembangkan bisnis kita. Kita investasi di bursa efek,” jawabnya setelah mendapat pertanyaan dari Didi soal apa yang harus mereka lakukan setelah mimpi menjadi pemuda paling tajir sudah melekati mereka. “Itu sudah pasti,” kata Didi. “Lalu apa?” tanya Lupi sambil menghabiskan jus alpukatnya. “Kita pengaruhi generasi muda,” kata Didi singkat. Didi dan Ipul masih belum mengerti maksud Didi. “Bukankah selama ini kita berbohong?” Lupi dan Ipul memandang Didi dalam-dalam. Keduanya masih belum mengerti juga. Didi meneruskan, “selama ini kita mengaku masih menjalani kuliah kepada publik tapi untungnya publik tidak pernah bertanya-tanya tentang konsep pendidikan menurut kita dan tentang kuliah kita atau sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan. Mereka hanya terkesiap dengan capaian kita yang gemilang....” “Intinya saja,” Ipul menyetop. Dia selalu tidak memiliki kesabaran yang penuh. “Betul,” Lupi menyepakati. “Mereka yang terkesiap adalah pemuda. Kalian tahu kan pemuda itu?” “Generasi yang siap menjadi pengganti,” jawab Ipul singkat. “Jiwa-jiwa yang resah. Jiwa-jiwa yang gelisah. Jiwa-jiwa yang memberontak,” kata Lupi seperti berpuisi. Didi membetulkan pendapat kedua sahabatnya. “Tapi,” katanya dengan darah bergejolak, “mereka adalah pribadi-pribadi yang mudah dipengaruhi,” Didi menyungging senyum. “Jangan bertele-tele,” Lupi mengikuti ketidaksabaran Ipul. “Kita pengaruhi mereka dengan cara berpikir kita selama ini. Kita katakan kepada mereka bahwa uang itu penting daripada pendidikan. Uang adalah segalanya. Segalanya pake uang. Logika uang,” jelas Didi. “Elu sudah gila, Di.” “Ya, elu sudah gila,” Lupi membetulkan Ipul. “Resikonya tidak kecil, Di. Apa elu mau kita dihujat?” Ipul menggeleng-gelengkan kepala. Didi membetulkan senyumnya. “Kita pakai ini,” katanya dengan menunjuk dahi, sebagai tempat otak untuk berpikir. “Kita enggak usah macam-macam lah dengan ide konyol elu, Di. Segini aja gue udah bahagia sekali,” timpal Lupi yang sudah merasa puas dengan pencapaian ini. Ipul menyocori Didi. “Kita kan sudah membangun semangat kewirausahaan mereka lewat seminar-seminar dan talk show lainnya. Apa mereka tidak tergugah? Gue pikir mereka sudah terpengaruh oleh cerita kita!” “Tapi itu tidak persuasif. Seperti gombalan cowok kepada cewek saja. Tidak berdampak apa-apa bagi gue. Ingat, “ Didi menghela nafas, “ masih banyak pemuda-pemuda atau mahasiswa yang masih tidur sekalipun kita sudah membangunkannya.” “Tujuan elu apa sebenarnya?” tanya Lupi, sedikit emosi. “Gue hanya ingin membantu mereka yang putus asa. Yang ingin meraih kesuksesan di masa muda. Kesuksesan itu uang, kawan-kawan. Bukan yang lainnya,” jelas Didi. “Gue sepakat itu. Tapi misi elu terlalu kasar. Berisiko,” terang Ipul yang masih belum mengerti keinginan sahabatnya itu. Didi menceritakan latar belakang gagasannya dengan jujur kali ini. “Kalian adalah pelaku utama kesuksesan kita bertiga. Kita, beberapa tahun lalu adalah mahasiswa polos dengan bayangan bahwa pendidikan adalah kunci keberhasilan. Kita sungguh-sungguh belajar demi cita-cita. Elu, pul pengen jadi pemimpin yang berikapasitas, intelek, dan dekat dengan rakyat. Elu, Lup pengen jadi diplomat yang paling disegani. Gue pengen jadi ahli politik. Tapi lama-kelamaan kita berpikir praktis. Logis. Bahwa kita hanya ingin menaklukan Jakarta dengan pencapaian kekayaan, “ tutur Didi yang pelan dan tertata menyentuh emosi Lupi dan Ipul. Cuih! Memang jejaka penggemar mie rebus dicampur nasi itu pintar mengoyak-ngoyak hati orang. Didi melanjutkan tuturnya, “bahwa yang sebenarnya kita inginkan dari semua ini, dari pendidikan adalah kesuksesan finansial. Elu berdua pasti berpikir bahwa mereka, pemuda, khususnya anak-anak kampus itu kuliah demi meraih kesuksean materi. Pendapatan yang berlimpah.” Lupi dan Ipul menyesap penjelasan Didi sampai relung jiwa. “Gue cuma kasihan kepada mereka yang kuliah capek-capek. Capek belajar. Capek biaya tapi ujung-ujung mereka duit. Ujung-ujungnya kekayaan. Mendingan kita selamatkan mereka dengan ideologi kita. Ideologi uang. Jangan lupa bahwa segalanya diukur dengan uang.’ “Tapi..” Ipul mau meyela, Didi menyetopnya. “Kita tidah perlu lugas bilang bahwa uang adalah itu maha penting dan ukuran dalam kehidupan. Mau tahu caranya?” Didi menggoda Lupi dan Ipul. Lupi dan Ipul mulai bersimpati dengan gagasannya. “Kita bikin buku tentang motivasi. Tentang penyadaran logika berpikir. Kita ajak pembaca untuk mengenali diri mereka sendiri seperti yang sudah kita lakukan dulu. Dipertengahan buku kita acak-acak logika pembaca yang masih kaku. Kita bangunkan emosi mereka dengan kisah-kisah para pengusaha sukses mendapatkan kekayaan. Dari situ kita sudah mulai mempengaruhi cara berpikir dan emosi mereka. Coba pikir apakah kita jelas menyebarkan semangat agar generasi-generas ini akan tangguh secara finansial.” Didi menatap kedua sahabatnya dengan mengulas senyum. “Gue yakin setidaknya kalau turun ke pedalaman lagi terutama sewaktu gue turun penelitian lapangan di pedalaman Banten, beberapa tahun mendatang gue tidak melihat orang-orang yang risau lagi soal sandang, pangan, dan papan,” Didi agak berurai air mata mengingat-ingat kondisi yang membikin jiwanya yang gundah gulana itu. Mata Lupi dan Ipul agak berkaca-kaca. Keduanya mulai memahami pendasaran gagasan Didi. Sempat mereka berpikir—sebelum Didi menguraikan pendasarannya—adalah virus yang mengerikan yang akan membuat generasi bangsa tunggang langgang. Inilah saatnya mereka menyumbangkan pemikirannya kepada bangsa. Wow! Sungguh ikhtiar yang patut dipuji setinggi langit. Membanggakan. *** Para peserta launching buku tiga jejaka muda bertepuk tangan. Suasana riuh setelah masing-masing dari ketiga jejaka itu menceritakan isi karya mereka. Puluhan eksemplar buku karya tiga jejaka itu langsung diserbu peserta setelah acara selesai. “Kita untung besar,” bisik Didi kepada Lupi dan Ipul. Lupi dan Ipul memberi jempol kepada Didi. “Bukan uang saja yang didapat, tapi kita akan berhasil mempengaruhi pembaca,”kata Didi lagi. “Elu memang jenius,” bisik Lupi sambil menghiraukan para peserta yang hadir yang sedang melakukan pembayaran buku. Luar biasa! Dalam beberapa minggu saja buku tiga jejaka itu langsung dinobatkan sebagai buku paling best seller. Baru diedarkan beberapa minggu lalu penjualannya mencapai tiga puluh ribu eksemplar mengalahkan beberapa buku yang sudah dulu dianggap best seller. Meskipun demikian para pembaca buku masih memburu buku tiga jejaka itu. Penerbit mencetak kembali dengan edisi khusus yang lebih mewah dan wah dari edisi pertama. Pula penerbit mencantumkan komentar-komentar penting dari tokoh penting dan terkenal di negeri ini. Edisi kedua buku ini yang dicetak sebanyak sepuluh ribu eksemplar laris manis dalam beberapa minggu juga. Para pembaca yang kehabisan buku, memprotes penerbit yang tidak segera mencetak kembali buku tiga jejaka itu. Penerbit kembali mencetak buku itu, dan seperti yang dapat diprediksi oleh pengamat buku, buku tiga jejaka muda itu kembali terjual habis. Sampai berbulan-bulan kemudian cetakan buku itu sudah dicetak lebih dari seratus kali. Menakjubkan! Mengagumkan! Karena seperti diketahui industri buku sedang mengalami kelesuan tapi buku ketiga jejaka itu seperti menjadi pemecah kebuntuan. Sungguh buku baru dengan penulis pemula itu mencetak rekor sejarah penjualan dalam industri buku Indonesia. Karena itu ketiganya digelari sebagai penulis pencetak rekor sejarah. Kekayaan Didi, Lupi, dan Ipul semakin bertambah. Para penggemar mereka pun semakin tersebar di mana-mana. Tidak hanya menggemari, mereka bahkan menjadi pengikut ketiga jejaka muda itu dengan menamai Jejakers. Lebih jauh lagi Jejakers ini membentuk kepengurusan dari pusat hingga daerah dengan diketuai secara nasional oleh Jejaker yang berasal di Jakarta. Hebatnya anggota Jejakers tidak hanya diikuti oleh mahasiswa tapi pemuda dari beberapa profesi bahkan para pemuda jalanan sampai pengangguran. Belum lama berdiri, anggota Jejakers sudah mencapai ratusan ribuan di seluruh negeri. Jejakers menjadi komunitas pertama di Indonesia yang struktur kepengurusannya rapi dan sistematis. Beberapa kalangan media pun mendaulat mereka sebagai komunitas visioner pertama di Indonesia dengan anggota terbanyak. Sebagai dedengkot Jejakers Didi, Lupi, dan Ipul mengatur jadwal-jadwal pertemuan atau kegiatan untuk komunitas. Setiap seminggu sekali secara bergantian mereka mengadakan diskusi kepemudaan dan bisnis dengan ketiga jejaka muda itu sebagai pembicara utama sesuai kepengurusan daerah masing-masing secara bergantian. Minggu sekarang tiga jejaka muda itu mengisi diskusi di Jakarta, minggu depan mereka akan berpindah tempat lagi. Namun secara nasional setiap dua bulan sekali komunitas mengadakan seminar dan pelatihan bisnis gratis yang digelar di Stadion Gelora Bung karno Jakarta dengan trainer ternama. Biaya acara itu meskipun gratis tapi tidak dikeluarkan oleh Didi, Lupi, dan Ipul tapi dari sponsor yang bersedia menanggungnya dengan timbal balik yang menguntungkan. Pihak sponsor akan mendapat nama dan prestise, juga mereka akan merekrut anggota komunitas untuk menjadi pekerja di perusahaan mereka. Great! Komunitas ini sungguh memiliki manfaat yang berharga bagi pembangunan bagsa. Karena itu lagi-lagi komunitas ini didapuk sebagai komunitas paling menjanjikan di Indonesia. Dan sebagai teladan, Didi, Lupi, dan Ipul mendapat penghargaan sebagai Great Young Award dari pemerintah. Nama mereka semakin melambung di langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar