Minggu, 15 Mei 2016

proyek buku "Three bachelors"

Cinta Sebelah Belakangan ini ada pemandangan yang lebih tak biasa di antara mereka bertiga. Yang membuat perbedaan itu adalah Lupi. Lupi yang memiliki gagasan segar untuk mendinginkan ketegangan Didi dan Ipul lebih suka menyendiri, senyum-senyum sendiri, melamun sendiri, dan segalanya serba sendirian. Tapi mengapa penampilannya juka ikut berbeda. Rambutnya yang disisir ke sisi kanan digubah menjadi agak mohawk dan lebih trendi mengikuti remaja yang baru menginjak sekolah menengah atas. Pakaiannya selalu wangi dan ke mana-mana selalu membawa sapu tangan untuk menghindari keringat. Gaya bicaranya yang tidak menarik ia ganti agar tampak memiliki wibawa. Lupi tengah menyukai lawan jenis. Itu kemajuan. Bagus. Setidaknya menghindari cibiran kalau ketiga jejaka muda itu tak laku. Jomblo sekarat. Malah-malah menghindari fitnah kalau mereka penyuka sesama jenis. Tapi kepada siapa ia melabuhkan perasaaannya? Ah, si gadis yang ditaksir itu memiliki nama Nurkholifah. Lupi kali pertama melihat Nurkho— begitu ia memanggil gadis pujaannya itu lebih karena kalau memanggil nama penuh akan terasa kaku dan kalau memanggil singkat dengan nur saja itu sudah pasaran—di perpustakaan saat Nurkho menjatuhkan buku seperti di film-film saja. Tapi Lupi saat itu tidak hendak mencari buku tapi akan mencuri buku bersama Didi dan Ipul yang sama-sama berantakan. Rupanya setelah pandangan pertama itu Lupi terus-menerus mencari Informasi tentang Nurkho. Lupi seperti pengintai, menguntit Nurkho dari belakang. Dia ingin tahu dimanakah gadis yang bibirnya senantiasa basah ini menuju fakultas. Dia tidak berani menanyakan langsung kepada Nurkho karena debaran demi debaran yang melingkupi jantungnya. Debaran itu akan menghancurkan jantungnya kalau dibiarkan. Fakultas si gadis itu sudah terlacak, Lupi tinggal mencari tahu siapa teman dekat Nurkho. Berkat pengalaman dan keluwesan bergaul Lupi berhasil mengakrabi teman dekat Nurkho dan berhasil mendapatkan informasi plus seluk beluk Nurkho. Jejaka yang wajahnya berminyak ini memang cerdas. Dia sudah berhasil mengelabui kita semua. Pendekatan yang tidak langsung kepada target—Nurkho—ini memang sengaja ia lakukan. Bukan karena dia kikuk, canggung, atau cemen kepada kaum hawa. Itu semata-mata karena strategi jitu. Agaknya kita harus ingat betul bahwa ia terlalu biasa menghadapi perempuan semasih ia duduk di sekolah kejuruan yang didominasi murid-muris perempuan. Kalau sudah Lupi mengetahui tentang Nurkho, kesempatan untuk lebih akrab dan dekat lagi semain besar. Dan itu akan menimbulkan kesan bahwa Lupi memang cowok menyenagkan di mata Nurkho. Nurkho mengunjungi perpustakaan setelah kelas paginya rampung. Lupi mengikuti. “Mencari buku ini ya?” kata Lupi membelakangi Nurkho yang sedang memburu buku di rak. Nurkho sedikit terperanjat, menoleh ke belakang. Nurkho meneliti buku yang tengah dipegang Lupi. Tapi sebentar kemudia ia memandang Lupi sebentar. “Ya, betul,” katanya sambil senyum. “Untuk kamu,” Lupi mengulurkan buku itu kepada Nurkho. Nurkho tampak senang tak tertahan sebab sudah berhari-hari ia mencari buku itu di deretan rak perpustakaan yang bertuliskan SASTRA. “Kok kamu bisa tahu aku nyari buku ini?” tanya Nurkho antusias sembari memegang buku novel “Ganti Rugi” yang ditulis oleh John Grisham itu. “Aku memperhatikanmu!” jawab Lupi dengan senyum yang gagah. Nurkho tampak terkesima tapi mencoba terlihat elegan. “Berlebihan,” Nurkho berusaha tidak terpengaruh. “Kamu melupakan sesuatu, mahasiswi!” Wow! Nurkho nyaris terkekeh dengan gaya pengucapan Lupi. Tapi beberapa detik kemudia ia menyeringai. “Kita pernah bertemu di sini. Di deretan buku ini. Bertabrakan. Menjatuhkan buku. Hmmm seperti di film-film romantis itu.” Nurkho melebarkan senyumnya yang mirip Rani Mukherjee, aktris cantik Bolywood itu. Nurkho sejenak mengingat-ingat kejadian itu. “Oh ya aku ingat,” jawabnya singkat. “Mari kita duduk.” Nurkho mengjaka Lupi duduk di bangku yang di sediakan di perpustakaan. “Ngomong-ngomong,” kata Nurkho yang hendak bertanya, “ waktu itu kamu mau nyari buku apa?” Ditanya seperti itu Lupi mengernyitkan dahi. Bukan untuk mengingat sesuatu tapi mencari jawaban yang pas sebab waktu itu ia berencana mencuri buku yang menurut ketiga jejaka muda itu adalah perbuatan legal karena ada hak setiap mahasiswa. “Memburu,” kata Lupi. Nurkho tersenyum geli. “Memburu kamu,” Lupi mulai merayu. Nurkho yang berusaha serius kembali tampak tidak bergeming dengan gombalan Lupi. “Ini cowok baru kenal sudah sok dekat,” ketus Nurkho dalam hati. Tapi meskipun demikian Nurkho cukup terhibur dengan jejaka gendeng ini. Nurkho yang mahasiswi psikologi tapi penyuka novel hukum John Grisham ini bukanlah mahasiswi culun yang baru mengenal cowok. Jadi ia tidak sedikit kaget dengan style Lupi yang sok ingin dekat itu. Tapi lagi-lagi ia harus mengakui Lupi memang terlihat menyenangkan. Lupi mulai menangkap aroma yang harusnya tidak basa-basi dan gombalan ini. “Aku waktu itu nyari novel juga sih.” “Anak sastra ya?” tanya Nurkho. Lupi menggeleng. “Anak politik.” “Pennggemar sastra? Hmmm penggemar novel maksudku?” Lupi mengangguk. Wajah Nurkho menjadi sumringah. Senang bukan main karena setidaknya ia bisa memiliki teman yang memiliki kegemaran yang sama. Lupi yang mengklaim lihai dalam memikat perempuan mampu membaca gestur Nurkho. “Waktu itu aku juga lagi nyari novel-novel John Grisham,” kata Lupi. Nurkho mulai takjub. Kemudian, ia mengulas senyum Rani Mukherjee-nya itu. Giginya yang putih rapi terlihat. Matanya yang gelap semakin menarik hati Lupi. Manis tenan cewek ini. Cantik gila cewek ini. Ini tidak boleh disia-siakan. “John Grisham memang luar biasa ya. Gaya nulisnya sederhana tapi idenya menarik sangat. Lebih menarik lagi buku-bukunya selalu bikin pembaca di kita tahu tentang praktek hukum di Amerika. Khususnya dunia pengacara.” Nurkho terlihat seperti anak kecil. Lupi mengiyakan. “Dia memang bekas pengacara.” Selagi hanyut oleh John Grisham, Nurkho membolak-balik lembaran novel itu. “Kamu suka buku-bukunya yang mana?” tanya Nurkho. Mendengar pertanyaan itu tenggorokan Lupi sedikit tersedak. Tapi toh ia sudah merasa tahu karya-karya John Grisham. “Ya disertasi kuliahnya lah,” jawab Lupi tenang. Nurkho melongok. Aneh. Beberapa detik kemudian ia ngakak. Tidak memedulikan bahwa di sekitarnya banyak mahasiswa yang tengah asyik membaca dan memburu buku. Lebih-lebih ia tidak memedulikan kalau di hadapannya ada Lupi. “Kamu konyol,” kata Nurkho. “Tapi aku mau kamu jawab betulan,” katanya lagi. “Bukunya yang judulnya The Street lawyer—Pengacara jalanan.” Nurkho menandaskan senyumnya. “Aku takjub dengan keputusan Michael yang memutuskan kerja di biro hukum besar berpindah ke biro hukum kecil yang konsen membela tunawisma. Padahal bayarannya kan lebih kecil ketimbang di biro hukum terdahulunya. Sampai-sampai ia mempertaruhkan rumah tangganya demi bekerja di biro hukum tak berduit itu,” jelas Nurkho berusaha mengulang kembali isi buku Pengacara Jalanan yang sudah selesai dibacanya beberapa minggu lalu itu di sela-sela jadwal kuliah psikologinya. Nurkho terlihat asyik dengan penjelasannya itu. “Seandainya kamu menjadi dia—Michael? Nurkho nyerocos lagi. “Aku tidak tertarik pada hukum, sayangnya,” Lupi mengangkat bahu. Tapi serentak dia menyadari bahwa dirinya dan Nurkho baru saja kenalan. Setidaknya, Lupi memberikan jawaban yang terbaik. “Maksudku, aku tidak pernah mengikuti ilmu hukum dan berita aktualnya,” Lupi tampak membela diri. Nurkho mengembalikan senyumnya yang dikecewakan. Nurkho memang tipe perempuan yang pertanyaan-pertanyaannya kudu dijawab sekalipun jawaban itu penuh gimik. “Jadi?” Nurkho menagih. “Secara moral aku pasti membela para tunawisma. Tapi untuk kekayaan aku akan memilih biro hukum yang berduit. Tergantung di mana kita meleihatnya. Perspektif,” Lupi unjuk gigi. “Aku mau yang pasti.” Lupi diam sejenak. “Aku mau menaruh harapan kepada cowok yang jujur.” Kata Nurkho lagi. “Ok aku memilih biro hukum besar.” “Teganya kamu kepada orang-orang jalanan,” Nurkho tiba-tiba emosi tapi ia segera menyadari bahwa mereka baru mengenal. “Maaf,” katanya singkat. Lupi memakluminya sekaligus senang. Ini pertanda Nurkho memang tipe perempuan yang terbuka dan menyukai dialog. “Jangan berisik.” Suara itu muncul dari muda-mudi ini, mengagetkan mereka, tentunya. “Kalau mau ngobrol di luar saja. Ini perpustakaan.” Si petugas perpustakaan berkata kembali. Lupi dan Nurkho senyum-senyum saja. Mereka merasa malu dengan pengunjung perpustakaan lain. Tapi dalam hati sebenarnya mereka tertawa. Semenjak peristiwa manis di perpustakaan itu, Lupi senyum-senyum sendiri sambil rebahan di kasurnya. Imajinasi yang tergambar dalam pikirannya hanya Nurkho. Senyuman Rani Mukherjee-nya, mata gelapnya, kulit lembutnya, kata-kata si gadis itu sudah menusuk-nusuk jantung Lupi. Untungnya Nurkho bukan tipe gadis yang jaga imej, tertutup, dan susah diajak bicara. Ia adalah kebalikan semua itu. Tapi Lupi tahu gadis yang memiliki selera asyik semacam Nurkho tidak mudah jatuh hati sekalipun beberapa kali ia bertemu dan bercakap-cakap dengan seorang lelaki. Lupi harus menemui gadis itu. “Elu mau ke mana, Lup?” tanya Ipul. Didi menambahkan, “wah elu nyaris ganteng!” Ipul ngikik mendengar pujian setengah hati Didi. “Mau menemui Filsuf perempuan.” “Anak mana?” “Psikologi tapi suka novel hukumnya John Grisham.” “Mengerikan!” kata Didi. “Filsuf perempuan yang tidak romantik,” Ipul menambahkan. “Tapi menyenangkan,” Lupi membela. “lanjutkan!” Didi menimpali. Ipul memberi semangat, “perempuan makhluk penyuntik. Dapatkan dia!” “Kalian mau masuk kelas?” tanya Lupi pada Didi dan Ipul. “Mau numpang tidur,” timpal Didi enteng. “Jadilah mahasiswa yang baik demi kepentingan bangsa,” balas Lupi sedikit meledek. Lupi semakin percaya diri oleh dorongan kedua sahabatnya yang masih menjomblo itu. Ah, bukankah Lupi juga masih menjomblo. Sementara ini dia sedang berusaha untuk menghapuskan status jomblonya. Berhasil atau tidak itu tergantung ikhtiarnya. Nurkho sedang membaca buku di depan kelasnya dengan duduk di kursi panjang yang terbuat dari besi. “Menarik?” Nurkho menghentikan bacaannya. Kemudian senyum mautnya mengembang. “Mengecewakan.” Lupi memeriksa novel yang dibaca Nurkho. Judul novel itu adalah The Book Of Shalahudin karangan Thariq Ali. “Dari minggu kemarin aku berusaha menyelesaikan novel ini tapi baru dapat beberapa halaman saja sudah ngantuk. Sungguh membosankan alurnya.” “Tak pernah membaca novel percintaan?” tanya Lupi. “Kamu tidak masuk kelas?”Nurkho balik bertanya. “Aku tak akan menjawab sebelum kamu menjawab pertanyaanku tadi.” “Ok,” kata Nurkho menyepakati. “Aku tidak suka yang cengeng-cengeng. Aku tak suka drama. Aku tak suka romantik. Mereka semua tidak maju. Monoton. Aku suka cerita yang lebih realistis. Suka cerita yang sehari-hari tapi dibalut dengan gaya bahasa yang lugas.” Lupi menyimak seolah dirinya akan mempersiapkan menjadi lelaki yang heroik. “Kamu tidak masuk kelas?” Lupi sesungguhnya sangat menghindari pertanyaan yang tidak menarik itu tapi ia harus jujur karena bukankah Nurkho menaruh perhatian kepada pria yang jujur. “Tidak,” jawabnya ringkas. “Bukankah ada kelas?” “Ada. Tapi sudah lama aku mengabaikan kelas.” Nurkho mengangkat alisnya sejenak. Kemudian menurunkannya lagi. “Mau menemaniku?” “Ke mana?” tanya Lupi dengan antusias. “Kwitang. Nyari buku mata psikologi dan novel.” Lupi mengiyakan segera. “Kamu...” “Aku tidak punya pacar,” sela Nurkho yang sudah tahu arah pertanyaan Lupi. Maklum, karena ia mahasiswa psikologi yang sudah bisa menebak maksud seseorang. “Kenapa?” “Bukan belum ingin sih, tapi belum menemukan yang menarik.” “Kalau begitu aku tidak menarik donk,” Lupi memulai dengan senyum yang percaya diri. Nurkho tertawa terbahak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu terlalu percaya diri. Aku suka cowok yang percaya dirinya tinggi,” jelas Nurkho, hidung Lupi mengembang. “Tapi aku belum tertarik sama kamu, Lupi!” Hidung Lupi kembali mengempis. Nurkho tertawa melihatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar