Minggu, 15 Mei 2016

proyek buku Three bchelors

Gadis Mangga Inderamayu Sekalipun Nurkho merasakan Lupi sedang ingin mendapatkan hatinya, gadis bermata gelap dengan kulit lembut itu masih menganggap Lupi sebagai partner bercakap-cakap saja. Namun Lupi tidak mau menyerah sebelum keringat kering. Dia akan tetap bertekad mendapatkan hati si mahasiswi psikologi itu. Di sela-sela perjuangan cinta Lupi, ada kejadian menarik yang terhampar di kostan tiga jejaka muda itu. Kejadian ini tentu tidak terlalu menggemparkan karena yang mengalami hanya Ipul yang diketahui oleh kedua sahabatnya. Adalah seorang gadis yang juga mahasiswi yang memiliki rambut lurus, bentuk hidung yang standar, wajah tak cantik-cantik amat tapi sangat manis, dan bodinya yang kontemporer. Ratih, nama si gadis manis itu. Ipul sering melihat gadis itu di sekitar kostan karena memang gadis itu merupakan anak dari Pak Dirman, sang pemilik kostan asli Betawi. Saat kali pertama melihat gadis Betawi itu Ipul tidak sama sekali merasakan getaran di dada meskipun berkali-kali ia memeriksa dadanya untuk memastikan apakah hatinya menaruh minat pada Ratih. Kejadian itu bermula ketika Didi dan Lupi sedang melakukan aksi pencurian buku yang kedua di perpustakaan kampus. Ya, mereka masih berniat mencuri buku kampus karena mereka merasa itu adalah hak mereka. Kalau sudah bicara hak pasti kewajiban dilupakan. Pasti apapun sekalipun itu moral akan ditabrak tanpa tedeng aling-aling. Ipul tidak menemani mereka bukan karena alasan moral tapi merasakan ketakutan jika aksi gila dan biadab ini tertangkap basah oleh penjaga perpustakaan. Jejaka Inderamayu ini lebih memilih membaca buku dan belajar menulis. “Permisi,” suara perempuan terdengar mengetuk pintu. Ipul bersegera membuka pintu. “Maaf mengganggu,” kata Ratih. Ipul mengangguk sopan. “Mas Ipul, ada waktu enggak?” “Buat?” “Bisakah Mas Ipul membantu mengetik makalah saya. Saya sudah ngetik tapi belum selesai-selesai. Tugasnya banyak sekali. Mau dikerjain ke rental tapi sekarang jasa pengetikan terlalu mahal,” kata Ratih agak malu. Ipul harus bersikap profesional dengan bisa saja dia menolak karena harus menyelesaikan bacaannya. Tapi yang meminta adalah anak sang pemilik kostan. Ipul mengalah lebih karena menghormati sang ayah dan hitung-hitung menolong sesama. Apalagi si gadis itu sungguh manis. Menarik! “Siap! Mana tugasnya.” Ratih mengulur senyum. Ipul memandang sekejap senyum itu. Hmmm cukup manis juga gadis ini. Dan ternyata kalau dilihat dari dekat, kulitnya halus, wajahnya semakin manis bak mangga Inderamayu, bodi kontemporenya juga semakin menggoda. Ipul menjadi semakin berela hati apabila si gadis ini meminta pertolongan kapanpun. “Ini,” kata Ratih sambil menyodorkan tugasnya. Ipul segera menyalakan laptop jeleknya. Oh, ketikannya memang banyak sekali. Pantas saja Ratih menyerah. Tapi Ratih cukup pintar juga karena di kostannya ada penghuni yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kuliahnya. Jejaka Inderamayu ini mulai mengetik antusias. Ya dia antusias karena memikirkan penampilan Ratih yang bagaikan mangga Inderamayu. Aduhai! Dia harus tampil optimal dan mengundang pesona. Siapa tahu Ratih mempertimbangkannya sebagai pasangan. Ah, mimpi kali! Ratih anak juragan kostan sementara orang tuanya bukan juragan apa-apa. Beberapa menit Ipul sudah mengerjakan beberapa lembar. Pingganngnya pegal, matanya lumayan lelah harus berhadapan dengan sinar laptop tapi ia harus bersemangat untuk tampil mengesankan di depan si Gadis mangga Inderamayu itu. “Ini,” kata Ratih yang menyodorkan beberapa roti unyil dari Bogor dan Jus mangga kepada Ipul. Ipul menyambutnya dan mengucapkan terima kasih dengan sopan kepada Ratih. Dipikirnya Ratih akan pergi, membiarkan dirinya berkonsentrasi toh memang tugas mengetik tidak perlu pengawasan dari yang menyuruh. Tapi Ratih malah duduk lesehan beberapa langkah di sebelah Ipul. Ini kesempatan, kata Ipul. Tapi cukup membuat tubuhnya berkeringat karena sedikit gugup. Karena harus tampil sempurna Ipul menahan semua lelahnya. Menahan rasa pegal pinggangnya. Melawan kantuk yang mulai menyergap. Ini demi cinta, katanya dalam hati. Dada Ipul semakin kembang-kempis ketika Ratih mengawasi pekerjaannya. “Ada kesulitan enggak, Mas Ipul?” tanya Ratih dengan perhatian. “Masih bisa diatasi, Mbak.” Tapi perut Ipul tiba-tiba mulai terasa ada yang mengganjal. Sesuatu yang mengganjal itu turun ke pantatnya. Gawat. Pantat Ipul diserang kentut. Ipul mau ke kamar mandi sebentar untuk membuang kentut, tapi pinggangnya yang pegal tak kuat untuk berdiri. Mau tak mau ia harus menahan sekuat tenaga agar angin yang berpotensi menganggu penciuman itu sekuat mungkin ditahan. Wajah Ipul mulai memerah karena harus berjibaku menahan serangan angin bau itu. Matanya juga mulai ikut berjuang. Tapi serangan angin itu terlalu kuat. Pertahanan pantat Ipul sudah mulai bobol. Akhirnya angin bau itu mulai bersuara kecil. Tuuut, seperti suara tuts piano kecil. Ratih sedikit terkejut. “Apa itu?” kata Ratih sambil menutupi hidungnya dengan tangannya. “Tikus. Tikus,” kata Ipul pura-pura panik tapi kini sudah lega. “Ah, Mas Ipul,” kata Ratih yang masih menutup hidingnya. “Mas Ipul Jorok,”katanya lagi. Ipul menunduk malu meskipun bibirnya tak kuat menahan senyum. “Kadang kita sesekali harus merasakan apa yang belum kita rasakan, Mbak Ratih, “ Ipul sedikit membela. Ratih menyimak pembelaan Ipul. Sejurus kemudian ia mulai tertawa-tawa. “Ide yang bagus tuh, mas Ipul.” Hati Ipul mulai merasakan kelegaan karena si manis itu bisa diajak rumit sedikit menahan bau kentutnya. “Kentut aku ini jarang-jarang diciumi hidung orang-orang lho. Jadi Mbak Ratih salah satu orang yang khusus.” Ipul mencoba menarik diri Ratih. “Kentut sepesial ya, Mas.” Ratih tidak mau kalah berseloroh humor. Ipul tertawa. Ratih juga mengikuti tingkah Ipul, tertawa sampai ia sendiri tidak bisa menahan kentutnya. Beberapa menit kemudian mereka tertawa lagi. “Skor kita jadi 1-1 (satu-satu),” kata Ratih. Lagi-lagi mereka tertawa seolah sedang mendapatkan anugerah humor yang diturunkan oleh Tuhan yang Maha menyukai seseuatu yang lucu-lucu. “Mbak, maaf nih, harusnya kan yang mengetik tugas mbak itu pacar mbak.” Ipul mulai memancing-mancing. Memang jejaka-jejaka muda itu pintar mengalihkan pembicaraan. Tidak percuma mereka selama ini membaca buku dengan serius. Ratih membisu sebentar. “Oh, Mas Ipul enggak mau keberatan ya dipinta tolong?” ucap Ratih pura-pura kecewa dengan muka yang agak ditekuk tapi manisnya tetap terasa. Ipul menggelengkan kepala. “Tidak, kok.” “Aku masih menjomblo, mas.” Terang Ratih kalem, merespon. “Oh,” Ipul mengangguk-angguk. “Kenapa masih menjomblo?” “Aku termasuk tipe yang menunggu, Mas. Cewek reaktif.” Ipul masih merasa heran. Ya betul kaum perempuan memilih didekati ketimbang mendekati meskipun ini zamannya emansipasi. Tapi begitulah hukum perempuan berjalan di manapun itu. Hanya segelintir perempuan yang berani agresif kepada lelaki-lelaki. Itu pun dianggap perempuan yang melanggar dan menurunkan harkat-derajat kaum perempuan. Tapi? Tapi Ratih manis. Agak terdengar aneh jika tak ada kaum adam untuk berusaha mendekatinya. Apa yang sebenarnya terjadi? “Yang mendekati pasti banyak dong?” “Menjauh malah,” jawab Ratih santai. “Kenapa?” Ipul mulai penasaran. Ratih tidak menjawab. Justru ia meminta Ipul segera menyelesaikan ketikannya. Ipul tidak mau menginterogasi sekalipun dirinya ingin mengetahui alasan mengapa gadis mangga Inderamayu tidak didekati oleh para pemburu wanita. “Tapi ada dong yang mbak sukai di Fakultas Pendidikan—Tarbiyah?” Ipul mau memancing-mancing lagi. “Kelihatannya?” Ratih mengikuti ritme permainan. “Pasti ada.” Ipul menebak. “Begitulah,” kata Ratih singkat. Sialan! Ipul termakan dengan permainannya. Keterbukaan Ratih cukup membikin hatinya meredup. Bisa-bisa kesempatan untuk mendapatkan gadis manis ini tertutup. Tapi benarkah dirinya sudah jatuh hati beneran kepada Sang Puteri itu? “Kalau, Mas Ipul, sudah punya gebetan?” Ratih bertanya balik. Ipul tak menunda-nunda jawaban. Dia langsung tancap gas menjawab. “Tentu belum dong.” “Bohong,” timpal Ratih. “Sumpah,” balas Ipul yang jari-jari tangannya masih mengetik dan matanya fokus pada lembaran-lembaran yang hendak diketik dan monitor laptop. “Kenapa?” “Mustahil.” Ratih menyipitkan mata. “Maksudnya?” Ipul menyiapkan kata-kata yang pas. “Saya orangnya tidak istimewa, Mbak. Tidak pintar dan juga tidak punya materi,” jawaban Ipul seperti ingin mengundang simpati agar Ratih berkata, “ah, Mas Ipul suka merendah diri. Bisa aja mas Ipul ini.” Namun jawaban yang ditunggu tak kunjung diujarkan. Ratih seperti tidak bergeming. “Pengen tahu caranya supaya cewek klepek-klepek sama Mas Ipul?” Ratih menawarkan ide. Ipul terperanjat. Menawarkan gagasan? Wong Ratih juga katanya tidak ada lelaki yang mendekatinya. Hmmm dunia sudah terbalik, tidak berputar lagi. “Boleh,” Ipul berlagak penasaran. “Mas Ipul harus banyak belajar supaya pintar. Kemudian Mas Ipul harus cepet-cepet nyari duit supaya tajir. Nah, pasti cewek-cewek klepek sama Mas Ipul,” jawab Ratih lugas dengan senyum yang ditahan. Padahal sebenarnya ia tak enak hati mengucapkannya. Sialan! Ipul cukup keki juga dibuatnya. “Oh, begitu ya,”Ipul menimpali. “Hmm mbak Ratih suka cowok yang pintar dan bermateri?” kembali Ipul memancing. Ratih memain-mainkan ponselnya seolah cuek dengan pertanyaan Ipul. Ipul menghela nafas. Ratih menjawab kemudian. “Aku suka cowok yang apa adanya.” Bijak sekali cewek ini. Ini cewek yang gue cari. Kata Ipul dalam hati. Ratih memperhatikan Ipul detil. “Adanya si cowok itu ya berduit. Adanya si cowok itu keren. Adanya si cowok itu ganteng dan menarik. Adanya si cowok itu yang ok segala-galanya, Mas Ipul,” jelas Ratih yang dibaluti mimik serius. Ipul dibikin keki lagi. Sialan! Sialan! Kesempatan untuk mendekati Ratih tertutup sudah. Tapi Ratih tak kuat menahan tawa melihat wajah Ipul yang menggambar seperti anak kecil yang tak berhasil mendapatkan mainan yang diinginkannya. “Sudah selesai, Mbak,” sela Ipul dengan membuka Flashdisk Ratih yang menancap di Laptopnya beserta lembaran-lembaran tulisannya. Ratih tersenyum senang. Tugas yang akan dikumpulkan besok segera selesai. Ia tinggal mengirim soft copy-nya ke imel dosen mata kuliah filsafat pendidikan. “Terima kasih ya, Mas Ipul.” Ipul menjawab, “sama-sama. Itu urusan kecil bagi saya.” Ipul mulai menyombong. “OK. Kalau aku repot tinggal panggil mas Ipul saja ya. Entar aku tinggal bilang, ‘Mas Ipul tolongin ketikin tugas saya dong’, “ kata Ratih enteng. Nafas Ipul memberat. Tapi tidak apa-apalah demi gadis mangga Inderamayu ini. “Eh, Mas Ipul,” kata Ratih pelan. Ipul merespon. “Ada apa, Mbak?” “Aku belum punya imel,” ucap Ratih agak malu-malu. Ipul bersikap biasa mendengarnya. “Bukannya belum punya sih, tapi terus terang aku tidak bisa berumit-rumit berusan dengan kecanggihan media sosial. Dengan kecanggihan teknologi modern,” lanjut Ratih jujur. Ipul mengambil nafas, lalu mengeluarkannya lagi. “Oh,” kata Ipul agar terdengar tidak kaget. “Aku mau minta tolong sampeyan bikinin aku imel. Aku pun tidak punya fesbuk. Kuno banget ya aku?” “Ah santai saja, Mbak,” Ipul mencoba bersikap akomodatif “Mau tidak, mas Ipul?” “Hamba laksanakan, Tuan Puteri.” Ipul menggoda dan Ratih menyungging senyum. Ratih segera meningglakan kostan sambil pamit mengucap salam kepada Ipul yang menjawab salam si gadis gagap kemajuan teknologi itu. Ipul malah memandangi gadis itu dari belakang sambil memikir apakah karena kekunoannya ia tidak didekati oleh para kaum adam kendati dirinya begitu manis untuk dicintai. Begitu indah untuk dipandang. Begitu ranum untuk dibelai. Begitu pintar, ah begitu pintar? Bukankah ia tidak punya akun media sosial di tengah modernitas zaman untuk dikatakan pintar? Ah pokoknya begitu manisnya ia sampai-sampai tidak bisa didekati oleh Ipul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar