Kamis, 28 April 2016

proyek buku "Three bachelors"



Taruhan
Didi tidak marah atas kejahilan Lupi. Jejaka yang mengaku mirip Baim Wong ini memang pernah berseloroh kepada Lupi dan Ipul. Katanya, hidup butuh gurauan dan kelakar kendati membikin sakit hati.
‘Tapi seumur-umur gue enggak bakalan lupa keisengan elu, Lip,” Didi terdengar seperti mengancam.
“Gue mulai paham siapa elu, Di!” timpal Lupi dengan enteng.
Didi menangkat bahunya yang gempal.
“Wah elu berdua mulai ketularan tabiat politikus ya? Diplomatis tapi menyindir. Nyinyir,” Ipul menganalisa.
Kemudian, suasana yang agak menegang, mereda. Pukul tujuh malam itu mereka bersiap menonton acara kesukaan mereka. Ipul menyalakan televisi 14 inc merk Polytron yang dibeli dari tukang elektronik bekas secara patungan.
Saat-saat seperti ini memang waktu yang pas untuk menikmati berita tentang seputar situasi yang terjadi di seluruh penjuru negeri, khususnya lagi berita aktual seputar politik praktis. layar hitam langsung berubah menjadi gambar-gambar manusia yang berkerumun. Mereka, para kuli tinta itu, merubungi seorang tokoh yang berpengaruh di negeri ini. Si tokoh nasional itu tidak bisa bergerak sedikitpun karena memang para wartawan sibuk menanyai paksa si tokoh yang mulai kelihatan tidak nyaman dengan suasana yang ditonton seluruh publik negeri. 
“KPK menanyakan hubungan saya dengan pak Konde. Saya bilang kalau saya pernah bertemu sekali dengan beliau di acara silaturrahim kebangsaan beberapa waktu lalu. Itu saja kok, enggak ada yang lebih,” jawab si tokoh itu dengan tenang.
“Apakah KPK menanyakan kemungkinan keterlibatan bapak dalam kasus ini?” tanya seorang wartawan dengan berani dan tentu ini agak menyindir si tokoh. Tapi si tokoh tidak menjawabnya. Dia langsung menuju mobil mewahnya dengan dikawal bodyguard yang gagah dan menyeramkan. Para wartawan yang meliput agak kecewa atas respon si tokoh. Tapi setidaknya mereka sudah mendapat bahan laporan untuk disampaikan ke publik.
Pak Konde yang terhormat, yang juga politikus tersohor karena ucapan-ucapannya yang kontroversial ini sekarang sedang menjadi tersangka. Ia terkena kasus mega korupsi yang merugikan negara hampi milyaran rupiah. Diduga ia tidak sendiri melakukan praktik korup. Masih ada beberapa pejabat yang disinyalir terlibat.
“Gue yakin dia terlibat,” Lupi berseloroh.
“Analisa elu?” Didi menagih alasan Lupi.
“Dari ekspresi wajah,” Tangkas Lupi menjawab.
Didi terkekeh. Lupi merasa tersinggung.
“Jadi selama ini elu belajar apa di kampus?” ejek Didi.
Lupi agak terpojok. Ingin menyela tapi merasa seolah sudah kalah. Ia memang menyadari ilmu berangkat dari perangkat ilmiah yang harus bisa dipertanggungjawabkan. Sementara mengamati kasus mega korupsi dari pendekatan ekspresi wajah sulit untuk dibuktikan meskipun di era sekarang pendekatan itu sudah mulai dikenal luas di publik. “Ya tapi setidaknya gue bukan dukun,” Lupi membela diri. Didi mengangkat alisnya. Memaklumi kekeliruan Lupi. Sejenak kemudian ia menoleh ke Ipul yang masih asyik menikmati tayangan berita.
“Kalau elu, Pul?”
“Wani piro?”
Lupi ngakak mendengar tukasan Ipul yang tidak disangka-sangka.
“Taruhan ni?” tanya Didi
Ipul membenarkan.
“Siap!” Didi mengiyakan.
“Dia pasti terlibat,” kata Ipul sambil menunjuk si tokoh yang masih ditayangkan televisi.
“Dan gue yakin dia tidak terlibat. Hanya lewat saja. Kebetulan. Supaya bikin geger dunia politik dan pemerintahan kita,” begitu kata Didi.
“Analisa elu?” Lupi merasa penasaran.
“Tidak perlu pake analisa segala. Kita sedang taruhan. Yang jelas gue tidak membacanya dari analisa ekspresi wajah, “ Didi tertawa ngakak. Ipul menahan sekuat mungkin untuk tidak ikut tertawa.
“Ok, gue ikutan,” Lupi mulai emosional.
“Gue yakin dia terlibat.”
Ipul memberi jempol untuk Lupi.
“Apa yang ditaruhkan?” nada Lupi seolah menantang dan seakan-akan akan mendapatkan kemenangan melawan Didi kendati pembuktian kasus korupsi tersebut  akan memakan waktu tidak sedikit.
“Selama tiga bulan uang kostan dan makan elu berdua gue yang nanggung, “ Didi menyombongkan diri. Padahal ia sendiri agak tidak yakin dengan prediksinya. Tapi ia tak mau kalah. Ia harus menang.
“Siapa takut?” jawab Lupi dan Ipul kompak.
***
Ketiga jejaka muda yang mulai beranjak menuju usia dua puluh ini mulanya tak pernah terpikir untuk tinggal satu kostan. Kebersamaan mereka dimulai dengan beberapa kali ganti teman kostan diikuti dengan beberapa kali ganti kepindahan kostan. Sampai di semester ke empat ini mereka dipersatukan. Keterdamparan mereka di kampus yang mulai bergengsi ini memiliki akar historis yang berdiferensiasi. Memiliki liku-liku dan lekukan yang mungkin dirasakan oleh setiap calon mahasiswa yang hendak mengadu nasib di kampus Jakarta.
Cerita ini dimulai dari Lupi. Semasih sekolah Lupi bermimpi menjadi bankir yang sukses seperti bibinya dari pihak ayah.. Karena itu ia mendaftarkan diri di sekolah kejuruan. Ia merasa kaget karena di sekolah ini ia harus berteman dengan perempuan. Dari tiga puluh siswa, ia lelaki sendirian. Tapi justru kondisi itu dipolanya menjadi sebuah peluang. Ia berpikir bergaul dengan perempuan akan mengasah ketelitian dan ketekunan yang memang melekat erat dengan karakter perempuan. Karakter yang melekat ini dimanfaatkan untuk menuju pintu menjadi bankir yang sukses.
Dan pada kenyataannya lingkungan kejuruan yang membuatnya menjadi lelaki emosional. Lebih dari itu, di antara bertiga Lupi menjadi pribadi yang lihai menarik perhatian cewek-cewek.
Sebagaimana anak SMA yang cerah menatap masa depan, Lupi memulai rencana untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Ya ia ingin menjadi bankir. Untuk itu ia bersiap mengikuti test di beberapa perguruan tinggi Jakarta yangb terkenal di bidang ekonomi dan perbankan. Universitas Indonesia, Trisakti, dan STIE Perbanas adalah incarannya untuk menorehkan masa depan. Tetapi ia ingin memulai test di kampus negeri terlebih dahulu, yakni UI lewat jalur mandiri, bukan tes nasional. Tingkat percaya diri yang tinggi membuatnya yakin namanya akan tertera di jurusan manajmen UI.
“Masa depan gue dimulai dari sini,” katanya pelan.
Di hari pengumuman, waktu itu, Lupi bangun subuh-subuh. Sarapan nasi uduk bikinan ibunya diselesaikan, ia berpamit kepada kedua orang tuanya. “Do’ain Lupi ya, ma, pak, semoga Lupi menjadi mahasiswa UI,” katanya seperti memelas. Kedua orang tua yang memang sangat menyayangi Lupi merestui. Bergegas Lupi menyalakan Honda Astreanya dari grogol menuju UI. Cukup satu jam sampai di UI, Lupi memasuki gerbang, dan langsung berhadapan dengan halaman kampus biru yang luas dan lapang. Ia meletakan motornya di halaman parkir bersamaan dengan para bakal calon mahasiswa UI.
Papan pengumuman sudah digerubungi para penerus masa depan negeri ini. Ada yang bergembira karena namanya tertera dalam papan itu. Ada yang masih mencari-cari nama masing-masing. Ada juga yang merasa kecewa dengan wajah bermuram durja karena nama mereka tidak tercantum dalam lembaran pengumuman. Bagi yang mengalami kegagalan seolah masa depan mereka tak bernyawa lagi. Lupi memilih mengamati mereka. Ia akan mendekati papan itu setelah mereka bubar. Ia melakukan ini karena seandainya namanya tidak tercantum tak ada yang melihat seraut wajah kecewa seperti mereka yang gagal. Namun jika berhasil, kebahagiaannya bisa ia nikmati sendiri.
Beberapa menit kemudian, di sekitar papan itu sudah sepi. Lupi memantapkan diri. Ia sudah menyiapkan mental jika harapannya tak sesuai. Ia melangkahkan kaki dengan yakin.  Melihat dari nama-nama yang tertera, kemudian matanya bergerak pelan merendah. Dari urutan 1 sampai 100 ia belum menemukan namanya.
Mata nyang lelah ia pejamkan sambil memanjat do’a. Ia meniliti lagi dengan saksama. Tetapi tetap ia tak menemukan namanya dari urutan 101-200. Ia mulai pasrah meskipun masih menyimpan harapan. Menarik nafas sejenak, kemudian meneliti lagi. Jika dari urutan 201-300 namanya tak ada berarti UI bukan tempat untuk menuliskan masa depannya. Ia mulai dilebati keraguan. Ia sendiri bahkan tak menyangka keyakinannya yang tinggi diakhiri dengan keraguan yang mencengangkan.
Ia mulai melirik rencana B jika rencana A gagal total. Tri sakti dan Perbanas adalah destinasi berikutnya. Terus dengan hati-hati ia meneliti. Namun nama Lupi Samarupi Bin Khalidi tak tercantum. UI dengan pasti bukan tempatnya menjadi orang beneran.
“Aku gagal,” kata Lupi kepada orang tuanya. Orang tuanya bersikap bijaksana tapi berterus terang bahwa mereka tak bisa melanjutkan studi Lupi ke Tri Sakti dan Perbanas. Alasannya terdengar klasik memang, biaya kuliah swasta lebih mahal ketimbang kampus negeri. Mau ke mana Lupi? Tapi orang tua Lupi tetap menginginkan anaknya melanjutkan sekolah.
Lupi berkeras pikiran. Siang dan malam ia memeras otak memikirkan ke mana kampus yang sesuai dengan mimpinya dan tentu saja biayanya terjangkau. Ia mulai mencari informasi. Singkat sekali ia sidah mendapatkan kampus yang sesuai dengannya. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untungnya pendaftaran masih dibuka. Menyisakan satu hari lagi. Nasib memang tampak berpihak kepadanya. Masa depan seolah sedang terbuka lebar di hadapan Lupi. Dalam formulir yang disediakan kampus, Lupi mengisi tiga opsi jurusan. Tiga opsi ini wajib diisi. Mungkin sebagai kompensasi jika opsi ke 1 gagal, masih bisa diterima di opsi ke 2 atau ke 3. Ia dengan tangkas menulis Perbankan Syariah sebagai opsi ke 1, manajemen Keuangan sebagai opsi ke 2, dan ilmu politik sebagai opsi ke 3.
Lupi mulai menimbang peluang untuk lulus tes Perbankan Syariah. Logikanya sederhana, jika di UI gagal di UIN pasti berhasil. Sebab UI lebih mentereng menurutnya. Ia mulai berani bertaruh dirinya akan mulus menjadi mahasiswa Perbankan.
Diikutilah dengan senang hati test yang berlangsung tiga hari itu. Hasil test akan diumumkan seminggu berikutnya. Kesabaran Lupi sudah bertepi. Ia ingin segera pengumuman disegerakan. Hari terasa cepat bagi orang yang menjalaninya dengan keyakinan dan harapan. Pengumuman hasil test masuk tiba. Seperti di UI pada hari pengumuman papan hasil test dikerubungi bakal calon mahasiswa UIN. Lupi merangsek ke dalam kerumunan. Oh, darah Lupi merangsek naik, namanya tercantum di urutan ke tiga. “Yes,” teriaknya. “Akhirnya gue akan menjadi bankir yang kaya raya.”
Seakan ingin meyakinkan dirinya yang girang-gemirang, Lupi meneliti lagi namanya. Ya, benar itu namanya: Lupi Samarupi Bin Khalidi!. Nomor urutan tesnya pun sesuai. Tapi beberapa saat kemudian tubuhnya melunglai setelah ia melirik ke kolom berikutnya, setelah tulisan namanya. Nama : Lupi Samarupi Bin Khalidi, jurusan ilmu politik. Ah, tidak! Lupi menggelengkan kepalanya. Opsi 1 dan 2 gagal. Bagusnya, Lupi menerima dengan ikhlas jikalau harus mendarat di Ilmu Politik. Daripada tidak kuliah sama sekali!
“Ya sudahlah,” katanya pasrah dengan membayangkan dirinya menjadi politisi di suatu saat. Ia tersenyum geli. Orang-orang yang melihat tingkah Lupi merinding.
Pertaruhan masa depan terjadi di belahan timur Jakarta. Seorang pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai kuli buruh di industri rumahan yang memproduksi tahu tempe. Pasca merampungkan SMA, pemuda ini harus menyerah kepada keadaan. Ia mengubur dalam-dalam impiannya untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.
“Tidak mungkin aku kuliah. Ekonomi keluarga sedang tidak stabil, sementaa adik-adikku masih butuh biaya sekolah,” katanya waktu itu saat menerima ijazah SMA.
Setelah satu tahun menjadi kuli, ia membaca artikel di sebuah harian terkenal nasionaldengan judul, “Bagaimanapun Pendidikan Tetap Penting!”. Pemuda yang memiliki kulit putih dan rambut bergelombang dengan wajah mirip presenter Ramzi ini tergoda untuk sekolah lagi. Ia mulai memikir, menimbang, dan membahasnya dengan kedua orang tua.
“Terima kasih, ma, pak, sudah memberi izin aku untuk kuliah,” katanya dengan mencium kedua tangan kedua orang tuanya. Tapi mau kuliah di mana? Ngambil jurusan apa? Ipul mulai mencari-cari informasi kepada teman-temannya yang sudah terlebuh dahulu menginjakan kaki di perguruan tinggi.
“Ente harus kuliah di Jakarta,” kata temannya yang sudah menjadi mahasiswa di kampus Cirebon. “Jakarta aksesnya gampang kalau sampean cari sampingan penghasilan. Tapi ente harus milih kampus yang terjangkau dan jurusan dengan peluang diterimanya mudah. Ya tidak terlalu sulit gitu,” katanya dengan pengucapan huruf R yang kurang sempurna.
“Di mana?” tanya Ipul.
“UIN Jakarta. Jurusan Ilmu Politik.”
“Tapi aku pengen masuk jurusan ekonomi.”
“Terserah , “ jawab temannya.
Ipul resign kerja dari pabrik tahu-tempe dengan tabungan yang lumayan. Dengan tekad kuat berangkat ia ke Jakarta. Di sana ia menginap di rumah saudaranya.  Setelah beres menyelesaikan pendaftaran ia mengisi formulir seperti yang didapat oleh Lupi. Dari tiga opsi ia menuliskan ilmu ekonomi di opsi pertama. Ia cukup menuliskan opsi pertama karena ia yakin akan diterima di jurusan itu. Tapi pihak kampus mewajibkan ketiga opsim itu untu diisi. Maka ia memilih Manajeman di opsi kedua dan seperti kata temannya ia menuliskan ilmu politik pada opsi ketiga. Toh seperti senasib dengan Lupi, ia diterima di Ilmu Politik. “Di jurusan mana saja yang masuk tidak jadi masalah. Yang penting kuliahh,” katanya seolah pasrah.
Sementara di sebuah pusat kota Bandung, Didi yang sudah duduk di semester pertama Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) jurusan manajemen bisnis dirasuki kegelisahan. Ia tak yakinkampus yang ditempatinya ini sebagai masa depannya. . Gejolak hatinya mengatakan ia harus hijrah ke Jakarta. Kerabat dan keluarganya kaget mendengarnya, dan lebih kaget lagi ia memutuskan untuk tidak memilih manajemen bisnis sebagai pilihannya lagi. Ia sudah muak dengan mata kuliah yang berbau angka-angka ekonomi. Ini artinya ia harus memulai kuliah dari awal lagi. Menjadi mahasiswa baru. Sia-sia ia habiskan dua semester di Bandung.
Banyak kampus yang bergengsi di Jakartan tapi ia memilih UIN sebagai pilihan masa depannya.  Dari tiga opsi jurusan yang harus diisi dalam formulir. Ia seperti Ipul hanya menulis satu opsi saja yang pada akhirnya harus mengisi ketiga-tiganya sesuai mandat dari kampus. Ilmu Politik ia tempatkan di pilihan pertama, diikuti Sejarah Peradaban Islam di pilihan kedua, dan sosiologi dipiliha ketiga. Lancar sekali ia mengerjakan tes soalnya ia mengisi dengan santai dan tidak terburu-buru karena yakin akan diterima di jurusan pilihan pertamanya.
Ketiga jejaka yang masih berapi-api ini akan mempertaruhkan masa depannya di ibu kota yang multi berat dan keras. Mereka sudah siap menerima segala apapun yang terjadi yang menghadang langkah-langkah mereka dengan sigap dan tangkas.
Filsuf Dramatik
Kini mereka mempunyai mimpi yang berubah. Mimpi menjadi bankir, pakar keuangan, dan ekonomi pupus sudah. Mimpi baru sudah berdiri di depan mata. Ketiganya bersemangat menjadi diplomat sesuai yang diimpikan Lupi, menjadi pemimpin yang dimaui Ipul, dan menjadi ahli politik yang dicita-citakan oleh Didi. Di sisi lain yang membikin semangat mereka mengejar mimpi adalah para alumni UIN Jakarta yang sudah dikenal oleh publik karena kapasitas dan intelektualitas mereka. Lebih-lebih mereka sering tampil di televisi nasional. Para alumni itu dikenal sebagai jurnalis, aktivis, politisi, dan cendikiawan atau pemikir. Karena itu, Didi, Lupi, dan Ipul semakin giat belajar sekuat mungkin, mereka memanfaatkan waktu dengan membaca. Tetapi jujur hingga semester empat ini mereka merasa belum mendapat apa-apa.
“Apa mungkin ada yang salah?” kata Lupi.
Didi dan Ipul tampak menyerap prediksi Lupi.
“Cara belajar kita yang salah. Kondisi kita juga salah,” tegas Lupi lagi.
“Maksudmu?” tanya Didi.
“Cara berpikir kita yang salah,” Ipul mencoba memahami. Kemudian dia melanjutkan lagi, “Selama ini kita belajar hanya di kampus dan kostan. Kita tidak pernah mencoba belajar di luar.”
“Kita harus belajar di forum-forum studi githu?” sambut Didi.
“Betul,” serempak jawab Ipul dan Lupi.
Menjadi mahasiswa memang menajdi impian setiap orang. Karena di kampus kita bisa mengenal segalanya dan setidaknya mengetahui dunia. Kampuslah yang bisa mencerahkan pikiran seseorang sekalipun kesimpulan ini bisa diperdebatkan karena toh masih banyak juga mahasiswa yang pikirannya kurang berkembang. Situasi ini mungkin tergantung pada setiap mahasiswa apakah mereka bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada di kampus. Di kampus di manapun berada selalu berdiri forum-forum studi yang mengkaji pelbagai disiplin keilmuan, tergantung minat mahasiswa. Forum studi ini sebenarnya yang menjadi pendobrak kebekuan keilmuan mahasiswa. Sudah banyak para tokoh nasional yang lahir dan berkembang dari forum studi sekalipun sebenarnya forum studi ini tidak termasuk dalam sistem kampus. Forum-forum ini biasanya terletak di luar bangunan kampus. Uniknya forum ini mendiami sebuah rumah yang disewa dengan biaya patungan dari para penggiat forum. Bahkan menariknya, forum-forum ini terus menerus melahirkan regenerasi yang tak putus-putus sekalipun tersendat-sendat karena karena biaya sewa rumah yang tahun ke tahun merangkak naik tanpa ampun.
Didi, Lupi, dan Ipul memilih bergiat di forum studi yang terletak kira-kira berjarak dua ratus meter dari kampus utama. Forum studi ini menempati sebuah rumah sederhana bertingkat dua yang memiliki ruang tamu yang lumayan luas. Ruangan tamu ini dijadikan sebagai tempat diskusi. Di sebelah ruang tamu terdapat kamar yang difungsikan menjadi ruang perpustakaan. Melangkah dua meter dari ruang perpustakaan berdiri kamar mandi. Di sebelah kamar mandi terdapat tangga untuk menuju ke lantai dua. Di lantai dua terdapat dua kamar tidur dan ruang santai. Biasanya di lantai dua ini para penggiat forum asyik membaca dan menulis sebelum dilahap oleh kantuk malam.
Forum studi tua ini serius menggeluti teks studi keislaman, filsafat, sosiologi, politik, sastra dan sesekali mencoba memahami ekonomi-politik. Selain itu yang menjadi keuntungan mahasiswa Jakarta adalah menjamurnya lembaga nirlaba yang fokus mengkaji masalah sosial dan kebangsaan. Lembaga-lembaga studi ini mengklaim independen, tidak berpihak pada kekuasaan tertentu meskipun  mengaku mendapat funding dari lembaga luar negeri yang memiliki satu visi. Didi, Lupi, dan Ipul sangat jeli memanfaatkan keberadan lembaga-lembaga tersebut untuk menambah wawasan mereka, dan tentunya menambah relasi.
Ketiga jejaka ini terkaget-kaget melihat geliat aktivitas forum studi yang mereka sambangi. Tampang para penggiat forum itu serius-serius dengan mata yang agak gelap karena sering bergaul dengan buku teks. Tidak tanggung-tanggung teks itu berbahasa Inggris dan Arab. Sesekali sih ada yang berbahasa Perancis.
“Mereka sangat mengakrabi buku,” ucap Didi dengan ketakjuban yang di luar nalar.
“Membosankan,” sela Lupi seenak udel.
“Membosankan tapi mau gimana lagi. Kalau mau pinter ya kudu baca buku,” jelas Ipul.
Didi, Lupi, dan Ipul bahu membahu memahami teks buku yang mengundang kening berkerut. Apa isi keseluruhan buku itu? Gagasan apa yang dibicarakan? Kesimpulan apa yang bisa ditarik dari buku itu? Mereka mulai serius menjadi pembaca yang teliti dan tekun dengan menandai gagasan teks baik dengan sebuah pertanyaan dan komentar. Karena memang buku  tidak sebatas teks, ia adalah hasil dari pemikiran para pemikir. Kegiatan ini memang cukup melelahkan pikiran mereka tapi mau bagaimana lagi karena ini adalah salah satu jalan untuk keluar dari lembah kebodohan.
Jika minggu kemarin mereka menggeluti pemikiran sosial, pada minggu ini mereka harus berjibaku dengan teks filsafat Yunani dimulai dari Plato.  Ketiga jejaka muda ini baru merasakan nikmatnya pemikiran filsafat padahal pada semester pertama mereka pernah bertemu dengan studi yang diklaim sebagai ibu ilmu pengetahuan ini. Sekalipun rumit, filsafat menuntun mereka pada penyelaman makna terdalam dari sebuah kehidupan. Karena saking mendalami teks filsafat itu, mereka jadi sering meragukan segala sesuatu. Mereka menjadi perenung seolah filsuf.
Biang keladinya adalah Didi ketika membaca kesimpulan pemikiran filsafat Thales, “kenalilah dirimu sendiri”. Pemikiran itu seakan mengguncang bangunan mapan seluruh pemikirannya. Siapakah diri gue? Kata Didi. Namun di balik kesangsiannya ia mencecap bahagia dan seperti mendapat pencerahan spiritual. Ini harus disampaikan kepada Ipul dan Lupi!
“Wow, menakjubkan,” Ipul tercengang. Lupi menggelengkan kepala.
Didi merebahkan tubuh pada kasur andalannya. Ia memejamkan mata sebentar, kemudian melek lagi. Dan akhirnya menatap langit-langit kostan. Lupi dan Ipul mengikuti tingkah Didi.
“Elu berdua pernah berpikir enggak?” Didi memulaim percakapan yang sepertinya akan berlangsung khidmat. Lupi dan Ipul menoleh kepada Didi.
“Ya maksud gue siapa sih diri kita? Apa tujuan kita di sini? Apa keinginan kita?” lanjut Didi dengan kedua tangannya yang dijadikan bantal.
Ipul menarif napas dalam-dalam sambil pula menatap langit-langit. Lupi mengubah posisinya. Ia kini selonjoran. Tubuhnya bersandar pada tembok yang dicat biru penuh coretan nakal dan gambar aktris Holywood, Cameron Diaz, yang hanya memakai bikini.
“Apa ya?”Lupi berlagak seperti orang dongok. “Jangan-jangan kita salah melangkah?” Lupi nyerocos lagi.
“Ya bisa saja tapi bukan itu,”Ipul menyahut.
“Persoalannya adalah kita mungkin abaia pada diri kita sendiri. Kita terlalu jauh ngomongin hal-hal yang tak terjangkau...”
“Padahal bisa saja yang kita inginkan begitu dekat,” Lupi menyela penjelasan Didi. Lalu, Didi dan Ipul mengangkat bahu atas respon terhadap pernyataan Lupi.
“Mungkin,” Ipul menambahkan.
Dramatik. Para jejaka yang limbung itu tersirap oleh kata-kata filsuf yang menakjubkan itu. Mereka benar-benar meragukan setiap apa yang sudah mereka lakukan dan rencanakan. Buat apa menjadi diplomat? Haruskah menjadi pemimpin politk? Apa untungnya menjadi ahli politik? Apa yang sebenarnya yang kami inginkan? Dan lebih berbahaya lagi untuk apa kami kuliah? Agar menjadi orang besar? Memperbaiki nasib? Atau memperbaiki negara yang masih saja bobrok?
Waktu ke waktu berjalan Didi, Lupi, dan Ipul kian parah saja. Kuliah mereka sedikit terabai. Masuk kelas sakarep dewek. Ketiganya tidak lagi mempelajari teks politik dengan sungguh-sungguh. Di sisi lain untungnya mereka tetap membaca buku-buku lain. Tapi sekali lagi bukan politik. Para peragu itu semakin giat mengikuti diskusi di forum studi. Pun mereka mencoba menjelajah teks lain. Dari filsafat yang berat sampai sastra yang menegangkan. Sekali-kali ya sih baca teks politik tapi lebih mendalam ketimbang teks yang diwajibkan di kampus.
Selagi mereka kacau balau soal absensi kelas sesungguhnya mereka bersenmangat mencari makna hidup. Menemukan jati diri yang masih terberai. Ruang kostan mereka kini tampak sepi tapi dijejali buku-buku dan perenungan yang filsafati. Bisa jadi filsuf masa depan lahir dari kostan milik pak haji Darman asli betawi ini?

Pencurian Terencana
Hidup ketiga pemuda tanggung yang tak memiliki kekasih itu berjalan di sekitar kostan, forum studi, dan sesekali ke kampus. Di ruang kostan pun mereka asyik dengan aktivitas masing-masing. Sesekali mereka diskusi. Sesekali nonton televisi.  Sabtu dan minggu mereka memilih tidur ketimbang olah raga, aktivitas rutin yang kerap mereka lakukan sebelum menjadi filsuf dramatik. Di saat menjadi perenung sejati, ketiga jejaka runyam ini tampil khas dan berkarakter.
Entah membaca buku apa Lupi mengganti celana bahan andalannya dengan jins yang ia beli murah dari Blok M. Kemeja panjangnya ia mutasi, berganti menjadi kaos santai dengan tidak menggunakan tas gendong lagi sebagaimana ia kenakan ketika ke manapun melancong. Parahnya, ia mulai gandrung rokok saban lagi suntuk. Namun rambutnya tetap di sisir ke sisi kanan dengan balutan minyak tancho yang klasik itu. Gaya bicaranya pun mulai meniru-niru teman sekelasnya. Aku ia ubah menjadi gue, dan kamu ia ganti menjadi elu. Padahal itu bahasa betawi yang merupakan leluhurnya dari pihak ibu.
Ipul yang mungkin tergila-gila dengan puisi-puisi romantik Kirdomulyo diam-diam sering mencoreti kertas HVS dengan sebuah kata-kata yang diusahakan mirip puisi para penyair. Lagaknya pun dimirip-miripkan para penyair. Sok nyentrik dengan memakai baju yang agak kelihatan lusuh. Celana jins yang sengaja dibelelin memakai silet. Rambutnya ia susun dengan tidak teratur. Sengaja tampil acak-acakan. Setiap kata yang ia ucapkan dipaksakan puitik dan dramatik. Bahkan dengan percaya diri yang tinggi ia memakai sandal jepit ke kampus seperti ingin mengatakan ke seluruh civitas akademika bahwa dirinya sudah menjadi manusia yang bebas. Tidak takut pada aturan kampus.
Nah, ini makhluk penyebab semua kekacauan yang tampil sok kontroversial dan nyeleneh. Didi sebagai pelopor filsuf dramatik mengklaim dirinya adalah titisan Socrates, filsuf pendek tapi mengguncang peradaban dunia karena konsistensinya dalam mencari  kebenaran hakiki tanpa lelah. Pemuda yang sebenarnya melankolis ini sering menghantam Lupi dan Ipul lewat sebuah pertanyaan demi pertanyaan yang seperti diada-adakan tapi menurutnya itu jalan mencari kebenaran. Katanya, seperti mengikuti metode sokrates yang tiada pernah berhenti bertanya pada sesuatu yang meskipun masih dipertanyakan kebenarannya.
Di antara ketiga jejaka runyam ini Didi paling mendalami seluruh bacaan dari buku-buku yang ia baca. Teks yang ia baca merasuki pikiran dan jiwanya. Hebatnya ia mengingat dan mampu menjelaskan gagasan besar dari sebuah pemikiran yang tersaji dalam buku. Sungguh ia kini bagaikan palu godam yang menghancurkan pendirian Lupi dan Ipul. Dari penampilan tidak ada yang berubah dari Didi. Ia tetap tampil kasual dengan balutan kaos rileks dan bawahan jins biru yang digemarinya. Hanya saja ia memakai kalung rantai berwarna emas imitasi bak anjing penjaga rumah mewah.
Namun Didi tetaplah pribadi melankolis. Ia masih suka mengurai air mata tatkala menonton  drama  Korea dan film India. Dirinya seolah yang menjadi subjek dalam drama itu. Kadangkala karena saking menghayati sebuah film, ia suka menyendiri di sebuah taman di komplek milik para orang kaya yang tidak jauh dari kostan mereka. Kacaunya dia sering mengkhayal sedang memacari aktris Korea dan India yang cantik-cantik itu. Di hadapan Lupi dan Ipul ia pernah berujar akan menikahi aktris pujaannya itu. Keterlaluan memang!
Semua tampak berubah cepat tanpa kompromitas meskipun sebenarnya perubahan mereka berangkat dari kegelisahan masing-masing khas mahasiswa yang mencoba menceracah belantara dunia yang baru. Perubahan-perubahan yang mendesir tanpa kontrol diri tak dimungkiri akan bermuara pada kegilaan. Orang biasa yang melihat dari sisi luar mungkin akan mencap mereka sebagai pemuda murtad yang sudah keluar dari rel-rel prinsip kepemudaan. Tapi bagi ketiga jejaka itu perubahan yang mereka alami sebagai anugerah alam yang tidak tertandingi oleh kelimpahan materi sekalipun.
Kuliah siang sampai sore ini mereka selesaikan dengan asal-asalan. Tidur di saat dosen menerangkan materi seperti yang dilakukan Lupi dan Ipul di balik buku tebal yang ia letakan dengan berdiri, sehingga dosen berhasil dikibuli mereka. Sementara Didi keluar pura-pura hendak ke toilet tapi tidak masuk kelas lagi. Ia tidur di mushola fakultas dengan seenaknya. Perubahan tingkah mereka ini mendapat perhatian dari teman-teman sekelas yang padahal menaruh minat kepada ketiganya karena ketekunan dan kesungguhan mereka mengikuti perkuliahan. Nuranggraini, yang biasa disapa Nur sangat khawatir pada mereka, terutama kepada Ipul. Mahasiswi asli Inderamayu yang memiliki lesung di pipinya ini dari semester pertama dikenal dekat dengan Ipul. Nur pernah mencoba mengingatkan Ipul agar tidak membolos kuliah lagi tapi dengan santai Ipul menjawab, “mendingan belajar di kostan daripada di kelas yang hanya pura-pura serius padahal main-main.” Nyelekit dan bikin telinga merah mendengarnya tapi Nur menyabari nonsens Ipul.
“Kawan-kawan tercinta ke perpustakaan yuk,” ajak Didi yang sudah bangun dari tidur panjangnya. “Siap,” kata Lupi dan Ipul yang sudah mencuci muka dari kekusutan karena tidur di kelas saat belajar.
Ketiganya memperlihatkan kartu identitas perpustakaan kepada petugas. Petugas mempersilakan. Lupi langsung menyambar deretan buku-buku sejarah. Konon ia lagi penasaran pada sejarah peradaban Islam, khusunya soal perang salib sebagai peristiwa paling menyeramkan dalam sejarah Islam dan Kristen yang menyumbangkan ribuan nyawa dan melautkan darah. Lupi memilih-milih dan mencari-cari buku yang ditujunya dari rak pangkal sampai ujung rak. Praaaak. Pelan, buku jatuh di hadapannya tapi ia merasa tidak menjatuhkan. Lalu segera terlihat sebuah jemari yang halus dan ramping sedang mengambil buku itu dan sebuah kepala yang terlindungi oleh kerudung krem. Warna kesukaan Lupi.
“Maaf,” kata mahasiswi itu.
Lupi melongok.
Ah, indah sekali perempuan ini. Pipinya merah. Alis matanya lentik. Matanya gelap tapi menusuk. Bentuk wajahnya pas. Tidak bulat juga tidak terlalu tirus. Hidungnya juga tidak jelek-jelek amat.
“Iya,”  jawab Lupi berdesir.
“Aku Lupi, anak Politik. Semester empat. Kamu?” Ah, begitu cara Lupi memulai perkenalan meskipun si mahasiswi yang indah itu tidak terlalu antusias untuk berbincang-bincang.
“Maaf,” mahasiswi itu mengulang dan berbalik badan. Hendak pergi.
“Nama kamu?” Lupi agak mengencangkan suara.
Si mahasiswi yang indah itu cuek. Pura-pura tidak mendengar. Tapi Ipul menandai wajahnya.
“Awas , ya,” gumamnya dalam hati.
“Pi, Didi lagi menunggu di lantai dua,” Ipul mendekati Lupi.
Mereka berdua lekas menemui Didi di lantai dua.  Didi sedang sibuk memilah buku-buku yang tebal. Di lantai dua ini memang disimpannya buku-buku tebal. Kebanyakan ensklopedia. Bahkan, sulit didapatkan meskipun dicari di toko terbesarpun.
“Sudah dapat?” tanya Lupi.
Didi mengerlingkan mata kanannya. “Sesuai rencana, bung.”
Sedang Ipul mengawasi situasi sekitar lantai dua.
“Ok, gue duluan ya!” sahut Didi.
Perut Didi yang diselimuti oleh sweater agak terlihat gendut. Tapi seorang petugas perpustakaan yang merasa kecolongan menyuruh Didi membuka sweaternya. Didi mendadak tegang. Ipul dan Lupi tampil ngeri. Gawat! Tapi Didi mencoba tenang dan bersahaja. Ia tidak ingin kelihatan dicurigai oleh petugas itu. “Gimana ini, pul? Tamat riwayat Didi. Bisa-bisa ia dikeluarkan dari kampus ini.” Ipul saking tegangnya tak menyadari kekhawatiran Lupi. “Bisa-bisa kita tidak lagi melihatnya makan mie rebus dicampur nasi,” Lupi semakin khawatir. Ipul tetap tegang.
 Didi dengan ikhlas membuka sweater itu. Lupi dan Ipul menutup mata dengan jarinya. Ah tidak!
“Terima kasih pengertiannya,” kata petugas itu.
Lupi dan Ipul melepaskan jarinya. Membuka mata lagi.
“Bagaimana bisa?” tanya Lupi kepada Didi.
“Ini,” kata Didi.
Buku yang hendak dicurinya ia masukan ke balik kaos, bukan sweater. Makanya dia aman. Tetapi sebelum buku itu disembunyikannya. Chips yang menempel pada sampul buku itu dicabutnya agar tidak mengeluarkan bunyi ketika hendak melwati garis batas keluar dan masuk ruang perpustakaan. Kalau tidak dilepas, bisa-bisa perpustakaan geger karena ada mahasiswa yang mencuri buku. Ini pasti akan menjadi berita heboh di seluruh kampus UIN Jakarta. Barangkali ketiganya akan diadili oleh pihak rektorat. Mungkin untuk pertama kalinya akan tersiar berita bahwa ketiga filsuf dramatik tertangkap ketika hendak mencuri buku perpustakaan.
Didi keluar mulus sambil membawa tiga buku langka dibalik kaosnya. Ia kemudian melangkah ke luar halaman perpustakaan. Tepat satu posisi dengan lantai dua di mana Lupi dan Ipul sedang menunjukan aksi konyol mereka. Dari lantai atas melalui jendela Lupi menjatuhkan beberapa buku tebal langka. Ipul mengawasi keadaan sekitar perpustakaan. Didi mengamankan buku yang dilempar oleh Lupi. Kali ini ia tegang tidak seperti di lantai dua tadi. Ia takut ada warga kampus yang melihat aksinya ini. Tapi hah situasi aman dan terkendali.
Pencurian yang direncanakan tadi malam berjalan sukses! Mereka tinggal melahap buku-buku itu nanti malam. Lalu tidur dengan tenang sambil mendengkur. Asyiiiiik!
Moral Sokrates
“Ide bagus tuh.”
Lupi menjentikannya jari gempalnya.
“Elu takut, Pul?” Didi menginterogasi.
“Sejak kapan gue menjadi penakut?” Ipul membela diri.
“Kalau begitu nunggu apa lagi?” Lupi menggambar wajah sumringah.
“Elu mikirin resiko, Pul?”kilah Didi.
Ipul tak menjawab, seolah memikirkan sesuatu. Entah apa.
“Ok, kalau begitu bungkus.”
Didi dan Ipul melongok.
“Maksud gue eksekusi,” jelas Lupi sambil cengengesan. Dia mengira Didi dan Ipul  mengikuti perkembangan bahasa zaman anak sekarang.
Malam ini setelah berita yang itu-itu saja. Berita Jakasa Agung yang ditangkap tangan oleh KPK sewaktu menerima suap, oknum polisi yang disuap oleh tahanan narkoba, anggota dewan yang melakukan tindak kekerasan terhadap pembantu, persidangan terpidana korupsi oleh politisi yang masih belum menunjukan perkembangan, cas cis cus anggota dewan yang menuntut fasilitas mewah, dan seabreg kasus ang membakar telinga masyarakat. Tontonan membosankan tapi bisa menjadikan lahan penghasilan bagi teman-teman yang bekerja sebagai penggali kebenaran. Gerrrr!
Para jejaka muda yang tambah kacau dan kian berkarakter itu sudah pening dengan taik kucing semua itu. Mereka lebih memilih menyusun rencana untuk mengambil absensi dosen yang disimpan di ruang dosen. Tapi mereka belum tahu letak persis data kehadiran mahasiswa itu. Mereka hendak mengambil buku itu dan mengubah data-datanya. Ya soalnya untuk tiga mata kuliah, yakni gerakan politik modern, sosiologi II, dan bahasa Arab kehadiran mereka sudah di ambang batas. Karena itu jika mereka tidak mengikuti kuliah satu kali saja untuk masing-masing mata kuliah tersebut, dengan hormat mereka harus mengulang tahun depan. Dosennya “pembunuh” semua lagi. Gila memang! Mereka gengsi harus satu kursi dengan juniornya nanti. Malu bin canggung. Mengapa sih absensi kehadiran begitu menentukan kontinuitas belajar di kampus. Toh, bukankah yang penting mahasiswa memahami dan menguasai setiap ilmu yang diajarkan di kampus? Huh, tapi aturan itu dibikin oleh kampus yang harus ditaati. Lebih-lebih seluruh civitas akademika sudah menyepakati aturan kampus tersebut. Ya, mau tidak mau mereka harus mengambil absensi kehadiran itu untuk menyelamatkan muka mereka dari para junior yang kadung menganggap ketiga jejaka itu sebagai mahasiswa yang dikenal sok kutu buku—pintar dan cerdas. Tapi disimpan di mana?
Pasca mengikuti kelas dengan asal-asalan seperti yang sudah-sudah, ketiganya terburu-buru menuju ruang dosen yang terletak di lantai tiga. Mereka menggunakan lift dari lantai tujuh menuju lantai tiga. Semenjak menjadai UIN—awalnya IAIN—kampus pembaharu ini dibangun dengan arsitektur megah dan mewah. Bentuk arsitekturnya adalah perpaduan tigs budaya: Islam, Barat, dan Indonesia. Jurusan-jurusan yang dianggap sekuler mulai berdiri. Tidak seperti masih IAIN yang terdapat studi keislaman sich. Tentu ini menjadikan UIN lebih lengkap dan berwarna. Sang rektor universitas—sebagai pejuang yang mengkonversi IAIN ke UIN—menyebut konversi sebagai upaya pengintegrasian keisalaman dan ilmu sekuler-modern guna menjawab tantangan zaman yang kompleks dan menggeliat. Sangat visioner!.
Alhasil, memang patut diakui perubahan ini menjadikan UIN Jakarta lebih greget dari sisi keilmuan, jumlah peminat calon mahasiswa yang setiap tahun membanjiri tes masuk, dan konversi UIN Jakarta diikuti oleh IAIN di hampir seluruh negeri. Namun, yang lebih menjanjikan adalah para alumni UIN yang mampu bersaing dengan alumni kampus-kampus yang dianggap bergengsi di Indonesia tercinta. Nah, mungkin pertaruhan ketiga jejaka ini tidak sia-sia memang, terkhusus untuk Didi yang sekuat tekad meninggalkan kampus lamanya. Ah, yang paling penting kepribadiannya mahasiswa yang menjadi penentu keberhasilan. Mungkin nama besar kampus hanya menyumbang sekian persen saja soal keberhasilan mahasiswanya.
Seperti aksi yang sudah-sudah, ketiganya membagi tugas. Ipul diamanahi sebagai pengawas area, Didi dan Lupi menjadi partner dalam ekskusi. Sore yang hampi menjelma, situasi kampus mulai sepi. Ruang dosen juga tampak lengang. Mungkin hanya terdapat sepuluh orang termasuk pesuruh dosen yang kerjanya menyediakan dan minuman serta tetek bengek lainnya. Jongosnya dosen. Mulanya mereka ingin beraksi di malam hari tapi resikonya tidak kecil. Seandainya aksi malam hari dilakukan, mereka harus mengendap-endap supaya tidak ketahuan satpam kampus. Lebih jauh, mereka kudu mendobrak pintu ruang dosen yang dikunci. Itu sangat beresiko besar. Jejak-jejak mereka pasti tercium.
Ipul berdiri di depan pintu sambil celingak-celinguk meneliti keadaan dengan seksama. Didi dan Lupi merangsek masuk ruangan. Ruangan itu memiliki luas sepuluh meter dan lebar sepuluh meter pula. Dengan luas dan lebar tersebut, ruangan itu bisa menampung tiga puluh dosen lebih. Pertama masuk Didi dan Lupi bertemu dengan meja pak Satria yang bertugas sebagai pesuruh dosen. Tugas pak Satria banyak. Ya kebanyakan mengkopi lembaran dan data kertas lainnya. Mereka melihat ke depan lagi. Di sana terdapat delapan orang. Dua orang baru saja keluar. Didi dan Lupi meneliti di mana kira-kira absensi itu diletakan.
“Nyari siapa, dek?”
Didi dan Lupi terkaget sebentar. Seorang dosen muda dan cantik yang tidak jauh dari mereka bertanya. Kedua sobat itu berusaha mencari jawaban yang pas. Si dosen cantik yang memakai jilbab biru itu memandang mereka dengan agak heran.
“Mengambil makalah kami yang masih salah.”
Si dosen masih belum mengerti.
“Tadi bu Farah menuruh kami mengambil makalah kami yang masih salah,” jawab Didi tenang.
Si dosen yang tampak terganggu itu manggut sedikit. “Silakan,” katanya.
Lupi mengelus dada. Ipul masih asyik mengawasi.
Didi dan Ipul pura-pura mencari meja bu Farah, dosen Filsafat. Mereka melangkah sedikit dari meja pak Satria. Beberpa langkah dari meja pak Satria, yakni di sebelah kanannya terdapat empat meja yang berisi berkas-berkas. Didi dan Ipul lupa sesuatu. Mereka tidak berpikir kalau absensi setiap dosen tidak disatukan dalam satu berkas. Masing-masing dosen punya data kehadiran.  Ah, mereka harus mengambil tiga absensi, donk. Satu untuk absensi mata kuliah gerakan politik modern, satu untuk mata kuliah Sosiologi II, dan satu lagi untuk mata kuliah bahasa Arab. Eah, pekerjaan yang tidak gampang. Di mana meja ketiga dosen itu?
Lupi bergerak semakin ke kanan mendekati jendela. Didi masih mencari-cari meja yang diburu. 
Bahu Didi bergidik. “Ini dosen bu Farah, dek.” Huh, seorang dosen yang agak tua menunjuk meja kerja bu Farah dengan menepak bahu Didi. Tapi dosen itu menuju keluar. Beberapa menit kemudian satu persatu dosen itu keluar. Menyisakan tiga orang dosen saja di dilam. Mantap. Jadinya mereka tidak terlalu deg-degan lagi. Didi langsung pura-pura mencari berkas di meja kerja bu Farah sambil mencari-cari ketiga meja yang diburu. Sementara Lupi masih meneliti. Ipul masih mengawasi di luar.
“Sob, ini,” Lupi memanggil pelan ke Didi. Didi mendekat.
“Ini,” kata Lupi menunjuk ketiga meja yang diburu. Kebetulan Tuhan menolong. Ketiga meja yang diburu bersebelahan. Kini Didi yang mengawasi, Lupi yang mencari. Aha. Beberapa menit kemudian data yang diburu sudah didapat.
“Mudah sekali, Di.” Kata Lupi pelan.
“Mereka menyimpanna tidak begit rapat,” Didi menimpali. “Mereka pikir mahasiswa di sini lugu-lugu mungkin,” kata Didi lagi.
“Ayo eksekusi,” Lupi meminta.
Misi berhasil. Mereka berpamitan kepada si dosen cantik yang baru saja keluar. Terima kasih, kata mereka. Tetapi tidak beranjak keluar. Dia masih ingin di dalam. Didi agak kesal. “Ayo, “ kata Didi.
“Sebentar,” jawab Lupi.
Lupi tidak ingin melewatkan pemandangan yang cantik. Dia kesengsem dengan si dosen muda cantik itu. Sayang si cantik itu mengajar mata kuliah di kelasnya. Didi menarik tangan Lupi. Lupi kesal. Tapi mereka harus keluar. Mereka menuju pintu dengan tenang tapi beberapa detik kemudian jantung mereka berdebar-debar. Pasalnya , dosen Bahasa Arab yang absensinya dicuri masuk berhadap-hadapan dengan mereka. Mana roman dosen itu seram sekali. Apalagi kumisnya yang tebal menakutkan. Didi dan Lupi merasa heran bukankah dosen itu hari ini tidak mengajar ke kampus. Juga kedua dosen yang abnsensinya mereka ambil juga tidak mengajar di kampus hari ini. Hari ini ketiga dosen itu biasanya mengajar di kampus lain. Si dosen seram itu tidak acuh tak acuh pada mereka. Didi dan Lupi langsung cabut.
Absensi sudah di tangan. Ketiga jejaka itu cepat-cepat keluar fakultas FISIP. Ngibrit tanpa menoleh lagi ke belakang. Takut si dosen itu curiga kalau-kalau dia tahu absensi hilang. Kalau ketahuan urusan bisa panjang. Bakal menjadi kasus heboh di kampus ini. 
“Waduh gimana ini?” Didi bingung.
Mereka tidak memikirkan bagaimana menghapus tanda X sebagai tanda ketidakhadiran mereka di kelas. Tanda itu ditulis dengan boldpoint. Satu alternatif hanya bisa dihapus dengan tipe x tapi nanti ketahuan bekasnya.
“Tipe X saja. Siapa tahu ketiga dosen ‘hantu’ itu abai pada bekasnya tipe x. Urusan mereka itu banyak. Mereka pasti luput,” Lupi menyarankan sambil menganalisa.
Didi menggeleng. Ipul memilih diam.
“Apa dong?” Lupi meminta solusi.
“Bakar saja!” saran Didi.
“Saran radikal,” Ipul mengomentari. 
Lupi menimbang tapi manggut-manggut seolah menyetujui saran Didi. Didi nampak yakin dengan idenya. Mau bagaimana lagi. Cara terbaik, menurutnya, absensi itu dibakar. Sekalian berjaga-jaga seandainya mereka dicurigai, absensi sebagai barang bukti bisa hilang. Artinya mereka bisa aman dari kecurigaan atau tuduhan. Ipul tidak bergeming. Seolah-olah dia tidak yakin dan mungkin tidak menyetujui ide konyol Didi. Didi menggemeratakan giginya, menunjukan kekesalan pada Ipul. Lupi melihat situasi itu. Didi mengamnil korek api dari lemari Lupi.
“Mau ngpain elu?” tanya Lupi.
“Ngerokok,” tukas Didi. “Ya mau bakarin ini lah,” jawab Didi sambil menunjuk absensi itu.
“Pikiran elu pendek,” Ipul menimpali. Lupi mulai khawatir kalau-kalau mereka adu mulut. Lupi memilih dia. Didi menyeringai. “Maksud elu?” kata Didi emosional. Korek apai itu tidak jadi ia nyalakan. Tapi sebentar kemudian ia nyalakan lagi.
“Elu enggak mikir kalau di absensi itu bukan hanya ada nama saja,” sergah Ipul.
Didi menatap Ipul dengan malas.
“Biarin daripada harus mengulang tahun depan. Toh kita pasti besok-besok tidak akan masuk lagi kelas dosen-dosen sialan itu kan?” Didi sedikit emosi.
“Udah biarin aja absensi itu. Enggak usah diapa-apain. Kita sportif aja. Kan, ini memang resiko kita membolos terus. Kalau dibakar berarti elu menghianati teman-teman yang sudah berusaha mengikuti kelas,” jelas Ipul dengan tenang.
Lupi diam. Tidak mau ikut terlibat.
“Masa bodoh,” Didi berkeras kepala.
Ipul tidak sanggup menahan emosi. “Mana moral Sokrates elu. Elu ngaku sebagai titisan Sokrates yang kukuh menjaga moral dan mendengar suara hati. Suara kebenaran yang elu sering katakan.”
“Terus apa maksudnya pencurian buku kemarin. Perencanaan kita malam lalu yang sepakat untuk mengubah data absensi ini,” Didi semakin tak tahan. “Elu tidak konsisten. Elu limbung, Pul. Taik lah.”
Ipul menunduk. Skak mat.
“Bersikap lah dewasa,” Lupi menengahi meskipun sebenarnya dia tidak ingin terlibat dengan perbedaan pendapat ini. “Gue rela kok harus mengulang tahun depan. Gue enggak malu sekalipun harus duduk bareng dengan adik-adik kelas nanti.”
Mata Didi membelalak. Terkejut. Kemudian, dia melempar absensi itu dengan emosional. Lupi memungut absensi itu dengan berat hati. Didi keluar , menutup pintu dengan keras. Lupi kaget. Lalu mengelus dada. Sementara Ipul hanya bisa mengepalkan tangannya yang mulai berkeringat.
Persekongkolan macam apa ini, kata Didi yang kecewa pada Lupi dan Ipul.
Minus Tambah Minus jadi Plus
Paska bersitegang dengan Ipul di malam yang buruk, Didi dan Ipul tampil dengan sikap dingin seseuai kekhasan masing-masing. Dalam situasi tersebut Didi mendadak ingat petuah kiai di pesantren dulu bahwa pencurian meskipun untuk kebaikan tetaplah tidak dibenarkan. Segalanya harus dilakukan dengan sportif. Bahwa bersikap semau gue tidak patut dituruti. Bahwa kita musti memperhatikan usaha orang lain adalah penghargaan terhadap kemanusiaan. Bahwa benar membakar buku absensi hanya untuk kepentingan sendiri adalah perilaku pecundang. Benar bahwa yang disarankan Ipul itu tepat untuk diterima tapi Didi tetap masih tidak mau berdamai dengan Ipul. Ipul pun masih tidak menerima dengan sikap Didi yang semau gue. Membanting pintu dan sekonyong-konyong ngatain taik segala. Sungguh lidah yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Bedebah!
Lupi yang tidak mau terlibat perang dingin berusaha berdiri di tengah-tengah. Dia ingin kedua sahabat gilanya itu kembali rukun. Mau rujuk. Zaman sudah modern kok masih bersitergang saja. Tapi Lupi kudu melakukan sesuatu. Tindakan kongkrit. Tapi apa dong? Tuhan please, help!
Kini Didi tak mengajak Ipul lagi kalau hendak jalan-jalan. Mulanya ia mau menurutsertakan Lupi tapi merasa tidak enak. Takut menyindir Ipul. Toh, Didi masih memiliki ketidakenakan perasaan. Ipul pun bersikap sama seperti Didi. Dia ogah mengajak Didi dan Lupi lagi manakala mau ada acara di luar. Jadinya ya ketiga jejaka itu jalan sendiri-sendiri. Kehangatan yang pernahmereka rangkai sudah berantakan. Semua kegilaan yang mereka lakukan telah luluh lantak. Segala kekonyolan yang mereka tampilkan sudah tak terlihat lagi. Segalanya menjadi dingin. Semuanya menjadi hambar. Hidup memang tidak pernah ajeg!
Sekali lagi Lupi harus berbuat untuk persahabatan mereka!
Pada malam ke tujuh paska perang dingin mereka duduk dalam satu ruangan di kostan. Menonton berita yang tidak pernah berubah-ubah. Ipul duduk bersila di tengah-tengah. Lupi duduk di sebelah Ipul. Didi bersila di samping kiri Ipul tapi agak menjauh. Suasana di kostan itu hening, tak ada yang bicara. Hanya suara reporter di televisi yang terdengar. Ketiganya tak lagi mengomentari sebuah kasus yang diberitakan seperti malam-malam yang lalu. Kaku dan canggung berlangsung. Lupi tak tahan menjalani semua ini. Selama setahu lebih sembilan bulan, dua tahun kurang tiga bulan kebersamaan mereka baru kali ini ketiganya dalam situasi perang dingin ini.
“Tidak seru,” kata Lupi yang sebenarnya menyinggung keadaan mereka. Tapi Didi dan Ipul tidak bergeming.
Lupi melanjutkan perkataannya, “tak ada kopi, tak ada gula, tak ada garam, tak ada semut. Hambar sekali ruangan ini.”
Didi dan Ipul tidak peduli.
Lupi berdeham, mengharapkan kedua sahabat egoisnya itu merespon. Didi dan Ipul tidak menangkap. Kesabaran Lupi memang terukur. Dia merasa sebal. “kalian sudah pada gede. Pada dewasa. Sudah mahasiswa. Baca buku tebal. Tapi tingkah kalian seperti anak kecil,” ucap Lupi dengan kesal. Tapi Didi dan Ipul tetap cuek.
Tokek. Lupi bak tokek, ngoceh sendiri.
Lupi mencari strategi, memikir cara untuk mengembalikan keutuhan persahabatan mereka tapi belum dapat-dapat. Tuhan belum berkehendak membantu.
“Ok, kalian maunya apa sih?” celetus Lupi dengan kesal. “Apa yang kalian ingin lakukan bakal gue jabanin. Didi elu mau absensi itu dibakar. Ya entar gue bakar,” terusnya. “Ya tapi absensi itu sudah ada di ruang dosen, lagi,” Lupi menundukan kepalanya. Pura-pura kecewa. Tapi sebentar kemudian Lupi mengumpat lagi, “Pul elu mau apa? Toh absensi sudah dikembalikan sesuai keinginan elu!”  Tapi Didi dan Ipul tetap tidak bereaksi. Lupi semakin tersinggung. Lupi bangun, melangkah keluar. Sama seperti tingkah Didi, dia membanting pintu. Tapi bantingannya lebih keras daripada Didi. Oh, Lupi jadi semakin terlibat dengan perang dingin ini. Culun sekali! Namun bagusnya dia masih mencari cara menyelamatkan persahabatan mereka yang karam. Oh Tuhan sekali lagi tolonglah!
Di dalam kostan yang masih ada Didi dan Ipul tetap canggung. Sejenak kemudian Didi memilih keluar juga. Sementara Ipul tetap bersetia mengikuti berita televisi. Didi sudah berada di kostan lagi beberapa menit kemudian, larut membaca buku di ruang pertama kostan. Tiba-tiba ponselnya yang masih itu-itu saja—nokia jadul—berdering. Panggilan masuk. Suara yang tergopoh-gopoh terdengar.
“Di, tolongin gue. Buruan,” itu suara Lupi, jejaka muda yang memiliki bentuk hidung seperti Akbar Tanjung itu seperti dalam keadaan bahaya. Didi tidak sempat bertanya. Panggilan dari Lupi sudah tertutup. Didi panik tapi ia masih egois untuk memberitahukan kepada Ipul. Jadinya dia memutuskan pergi sendiri.
Didi berlari kencang sambil menengok samping kanan-kiri, siapa tahu di sekitar yang dilihatnya nampak sosok Lupi. Mana Lupi? Ah, mengapa Lupi tak menyebutkan tempatnya. Didi berlari dengan panik. Dari jarak tiga meter di perempatan bakso langganan ketiga jejaka muda itu tampak sosok Lupi yang sedang diapit dua orang bertubuh kekar. Nampaknya Lupi sedang dianiaya. Sepertinya Lupi sudah tidak bisa bergerak. Dia butuh pertolongan pertama. Ini situasi yang gawat.
“Hei, bangsat,” teriak Didi. Kedua preman yang menganiaya Lupi mewajah murka. Kemudian melepaskan Lupi dengan cuma-cuma tapi wajah Lupi lebam. Rambut gaya sisi kanannya acak-acakan. Didi menantang kedua bajingan itu sekalipun jantungnya kikuk. Kepalan tangan Didi hendak meninju si preman satunya tapi ditahan oleh si preman yang satunya lagi. Serentak Didi sudah disekap. Otomatis Didi tidak bisa bergerak. Kedua bajingan itu tidak sepadan dengannya. Didi menyerah.
“Taik, lu. Bajingan elu pada,” suara Ipul muncul dengan gaya betawi. Meniru-niru supaya dianggap asli Jakarta. Kedua makhluk mengerikan itu tertawa-tawa.
“Anak ingusan,” seru si Preman.
“Jahanam. Enyah kalian ke neraka!”
Kedua preman semakin menggambar wajah murka.
“Sialan tengik,” kata mereka kencang.
Ah, tapi Ipul ngeper. Dia takut juga rupanya. Ancamannya sekadar gertak sambal.
Lupi yang masih tidak berdaya memang sengaja menelepon Ipul seperti yang dia lakukan kepada Didi. Sedang Didi tetap terkunci.
“Kita negoisasi,” kata Ipul menawarkan. Dia tidak mau berspekulasi dengan berkelahi. Dia pasti juntai. Kedua preman sangar itu terbahak-bahak tapi mulai serius.
“Bisnis?”kata si preman. Ipul mengiyakan. Wajah kedua preman mendadak sumringah. Mereka tidak perlu repot-repot lagi mengeluarkan energi intimidasi.
Ipul merelakan jam tangan yang dibeli dari uang tabungannya semasih menjadi buruh di pabrik tahu-tempe. Jam tangan itu memang berharga dan harganya tidak main-main. Kedua preman merasa ok tapi ingin meminta lebih. Pemerasan. Ipul tak menampik, dari pada babak belur mendingan menurut bebek saja. Kedua bajingan tengik tertawa. Lalu mereka melirik Didi yang sudah tak berniat melakukan perlawanan lagi. Dia takut, kemudian mengeluarkan uang lima puluh ribuan seadanya. Para preman itu tersenyum karena malam ini mereka sudah menguras kocek ketiga jejaka muda itu.
“Silakan kalian pergi,” kata preman itu.
Lebam di wajah Lupi dikompres dengan air dingin oleh Didi dan Ipul.
“Kenapa elu senyum-senyum, badut?” kata Ipul.
Lupi merengut sepersis bocah tapi senyum lagi. Kemudian ia melirik ke arah Didi dan Ipul berkali-kali. “Oh rupanya kalian sudah berdamai? Lupi menyindir.
“Elu mau gue tonjok, Pi?” kata Didi sembari mengepalkan tangan. Lupi ngikik. Ipul pun tak kuat menahan tawa. Mereka nampaknya menyudahi perang dingin yang berlangsung beberapa minggu itu.
Usai islah, Didi dan Ipul kembali akrab seperti semula. Keegoisan mereka seperti partikel yang memiliki energi minus. Energi minus ini tidak mau menyatu karena mempertahankan kekuatan masing-masing. Karenanya kekuatan energi ini tidak berpadu. Jauh dari keutuhan dan kesempurnaan. Akibatnya partikel itu akan remuk jika mendapat gangguan dari kekuatan dari luar. Tapi sekarang sesama energi minus itu sudah saling mengisi. Kekuatan mereka menyatu menjadi energi plus-plus. Karena itu sesuatu yang plus-plus akan terlihat berbeda di mata orang alias mungkin saja mengundang penafsiran.
Hari ini Didi dan Ipul berjalan berdua saja setelah nongkrong dengan kawan-kawan satu jurusan. Lupi mengaku sedang tidak memiliki mood untuk bertemu dengan orang-orang karena sebenarnya malu juga harus menunjukan wajah yang lebam. Mereka berjalan kaki dengan santai sambil sesekali menyanyi lagu yang lagi ngehits. Sembari menyanyi mereka menendang-nendang sampah kaleng minuman sehingga menimbulkan suara berisik. Ipul menghentikan aksinya itu karena akan mengganggu orang lain. Tapi Didi yang sengak tidak peduli dengan kekhawatiran itu. Begitulah Didi yang kadang jumud memahami makna kebebasan diri.
Keduanya sudah mendekati perempatan bakso, arah masuk komplek kostan mereka. Didi melirik ke kanan tepat ke arah kedai bakso. Di mengucek-ucek matanya memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.
“Pul, lihat itu!” kata Didi sambil menunjuk kedai bakso.
“Itu si Lupi. Itu siapa satpam yang lagi makan bakso dengannya?” Ipul heran. Kemudian keduanya mendekati Lupi.
Didi dan Lupi menggelengkan kepalanya sebagai tanda tidak percaya.
“Apa-apaan ini?” kata Didi emosi.
“Kampret, elu, Pi.” Ipul tak kalah emosi.
Lupi mengangah. Kepalanya terangkat. Bakso yang ditelannya hampi keluar lagi. Kedua satpam dengan bodi besar juga terkaget-kaget.
Tapi Lupi mencoba tenang. Berusaha menjelaskan semuanya.
“Maafin gue. Gue lakuin ini untuk persahabatan kita. Beneran. Tidak ada maksud apa-apa. Cuma buat persahabatn kita kok.”
Didi dan Ipul masih tidak percaya. Si satpam mencoba menguatkan penjelasan Lupi, “ya kalian harusnya berterima kasih kepada Lupi. Dia bikin kepura-puraan ini untuk persahabatan elu pada.”
“Betul,” kata si satpam yang satu lagi sembari menenggak es tehnya.
Didi dan Ipul mencoba memahami. Menerima semua usaha Lupi yang menyewa kedua satpam itu untuk berpura-pura menjadi preman bengis di malam yang lalu demi persahabatan mereka. Lupi tidak mau hanya karena perbedaan pendapat semuanya menjadi hancur lebur begitu saja.
Tapi Didi dan Ipul masih penasaran. “Terus uang kita yang sudah dikompas mana?” tanya Didi dan Ipul kompak.
“Udah gue pake buat bayar bakso ini plus yang lain-lain,” jawab Lupi dengan tampang serius.
“Sialan lu,” sentak Didi.
“Kampret sampeyan,” bentak Ipul.
Lupi dan kedua satpam itu terbahak-bahak. Lalu, memesan beberapa mangkok bakso lagi dan beberapa es buah yang paling dingin untuk mendinginkan suasana yang sedang panas membara itu. Didi dan Ipul menarik nafas. Huuuuuuuuh