Rabu, 20 April 2016

Aku Tahu Kita Tidak Berjodoh Tapi Aku Mencintaimu



Aku Tahu Kita Tidak Berjodoh Tapi Aku Mencintaimu
Aku Tahu Kita Tidak Berjodoh Tapi Aku Mencintaimu
Deny Muhammad
Alhamdulillah prosesi ijab kabulnya sudah selesai. Kakakku mengenkan kebaya hijau dengan bawahan sarung batik khas Jawa. Rambutnya disanggul dengan beberapa menyisakan bebeapa helai rambut yang dibiarkan tergerai. Dia terlihat cantik dengan balutan bedak yang pas dan olesan lipstik yang minimalis.
Tulisan Pesan singkat itu terbaca agak samar karena mataku baru terbuka setelah bangun dari mimpi yang tak samar juga—padahal aku berharap bisa bermimpi dengan dia tapi Tuhan tidak mengizinkan.
Dengan agak enggan aku balas pesan singkat yang dikirimkan oleh adik sepupunya Sekar.
Sampaikan kepadanya Semoga dia bahagia. Terima kasih ya Ifa atas informasinya.
Sekuat pikiranku aku coba membayangkan wajahmu duduk di altar penikahan dengan lelaki yang sudah sah menjadi suamimu, yang sudah kamu pacari semenjak duduk di bangku kuliah semester tiga. Lelaki yang sudah legal memeluk tubuhmu, menciumi bibirmu kapan saja. Sayangnya pikiranku berkelabat ke tiga tahun lalu. Saat pertama kali dirimu mengenalkan namanya yang panjang didepanku dan teman-temanku: Alia Rihanna Sekar Tresna Abadi.
“Panggil saja Sekar,” ujarmu dengan mengumbar senyum.
Bertemu dan berkenalan pertama kali denganmu merupakan peristiwa yang luar biasa yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku seolah merasakan sentuhan dan kelembutan Lola Amaria. Artis dan produser yang kukagumi itu sekalipun aku sendiri tidak pernah menonton film dan sinetronnya secara utuh. Sekalipun aku tidak pernah bertemu langsung dengannya.
Tetapi senyumanmu itulah yang membuat hatiku terpagut. Sebab pertemuan yang memesona itu, Kamu selalu muncul di setiap malam-malamku. Apalagi ketika malam makin larut wajahmu semakin mengisi ruangan kamar tidurku. Malam itu juga kamu telah membuatku jatuh cinta. Semenjak malam itu pula aku telah mengikrarkan bahwa kaulah gadis yang harus menemani hari-hariku kelak. Kaulah gadis yang harus kudapatkan dalam pengembaraan cintaku.
Entah kenapa kendati baru kenalan beberapa hari saja, aku melihat ada ketertarikan dirimu terhadap aku—mungkin aku terdengar begitu narsis. Sinyal itu terasa dari tatapan matamu padaku dan respon kamu soal obrolan yang sudah kita lalui berbeda dari perempuan lainnya yang tak memiliki hati untukku.
“Kamu belum punya pacar?” tanyaku sore itu.
“Hhm…”
“Kok ehm?”
“Kelihatannya?” kamu sengaja membikinku penasaran.
“Sejarah dunia mencatat mustahil wanita cantik tidak punya pacar. Itu juga berlaku bagimu.” Akuku yang sedikit menganut paham gombalisme khas anak muda dewasa ini.
‘”Aduh serius banget dech kamu pake bawa sejarah segala.” Matamu kau angkat ke atas sehingga alis melengkungmu ikut tertarik sehingga membentur dahimu yang lembut.
“Abisnya?”
“Kalo belum?” ujarmu menggoda dengan melentikan senyum.
“Alhamdulillah.”
“Kalo sudah?”
“Celaka dech.hehehe”
Sekar pun tertawa mengikutiku.
Sebenarnya aku tahu Sekar sudah punya pacar setelah aku dengan mencuri-curi pandang melihat foto dia bersama seorang lelaki yang seusia sama dia dalam ponselnya yang keluaran terbaru. Aku yakin itu pacarnya meski Sekar malu mengakuinya. Kenapa dia meski malu untuk jujur padaku. Padahal tinggal bilang saja bahwa itu pacarnya. Barangkali itu sifat dasar perempuan yang kalau sudah mulai menyukai lawan jenis, rata-rata mereka akan cenderung sedikit berbohong soal masalah pribadinya, termasuk lelakinya yang sudah lama dipacarinya pun dilupakan sementara. Bahkan, selama-lamanya. Aku rasa Sekar pun tidak jauh beda.
Seandainya benar Sekar mempunya rasa yang berlebih padaku, mungkin aku akan menjadi pria baru pengganti pacarnya. Artinya, aku sudah merebut pacar orang kalau begitu. Sebuah pencapaian luar biasa yang sudah kulakukan. Tapi pastinya aku akan membuat sakit parah pacarnya Sekar. Tapi, Aku juga pria yang tidak mau disakiti karena cinta.
“Saat pertama melihatmu, aku merasakan sesuatu yang lain.”
Kuungkap kejujuran ihwal perasaanku di malam itu ketika aku mengajaknya makan.
“Sesuatu?”
“Ya!”
“Sesuatu kan sebuah judul lagu milik Syahrini?” Sekar tersenyum.
Ah, aku tahu kau hanya ingin membuatku penasaran.
“Aku mulai menyukaimu Sekar.”
“Sekadar suka?”
“Lebih. Perasaan yang lebih. Aku yakin kau tahu maksudku”
“Kau belum tahu benar tentangku”
“Aku tahu hatimu sudah diisi oleh lelaki lain”
“Nah, itu tahu”
“Tapi, kan baru cuma pacaran. Belum serius. Belum tentu juga dia pilihan terakhirmu.”
“Tapi?”
“Tapi apa?”
“Dia bukan pacarku”
“Bagus itu. Jadi aku bisa leluasa macarin kamu”
“Dia calon suamiku, Didi. Namanya Andre. Kami sudah pacaran sejak semester tiga. Sudah empat tahun kurang aku jalan dengannya. Dan, sebentar lagi dia serius menikahiku.”
“Aku tidak kaget kok.”
“Ya, tapi lupakan saja perasaanmu itu. Percuma. Buang-buang waktu.”
Pembicaraan serius itu pun tak berlanjut. Sengaja Sekar mengalihkan pembicaraannya pada topik lain. Tapi, sekeras apa pun Sekar menolak, aku tak mundur untuk mendapatkan hatinya. Aku jadi semakin ingin mendapatkan hatinya. Sebab, bagiku Sekar perempuan yang memiliki kepribadia menarik setidaknya untukku.
Sekar memang perempuan berbeda dari kebanyakan yang pernah aku dekati. Penampilannya agak tomboy, tapi modis. Orangnya terbuka, tapi memegang prinsip. Wawasannya luas, tapi tidak pernah meremehkan pendapat orang lain yang tak sejalan dengannya. Dan, terpenting ia sangat menghargai pria seperti aku yang tanpa malu ingin lebih dekat dengannya kendati dia sudah ada pria yang serius ingin menikahinya. Mungkin, aku pria yang malu-maluin menurut dia.
Meskipun sudah tahu aku menyukainya, Sekar tak merasa canggung untuk aku dekati. Malahan, ia semakin intens bercakap-cakap denganku mengenai segala hal yang menarik minatnya. Segala apa pun yang menarik bagi dirinya, ia ceritakan dengan terus terang kepadaku. Ia, bahkan meminta pendapatku mengenai soal rumit yang menurutnya ambigu. Aku tak ingin mengecewakannya meski aku juga tak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Di situ aku menjadi pendengar setianya.
Setiap kali dekat dengan aku, memang Sekar tak pernah membicarakan masalah lelaki, cinta, dan perasaan. Aku juga tak tahu kenapa. Apa baginya hal demikian merupakan sesuatu yang remeh-temeh atau terlalu prinsipil sehingga tabu untuk diumbar ke orang lain. mungkin pula hal demikian adalah tidak penting dan buang waktu saja. Padahal, aku sangat ingin mendengar cerita cintanya dengan pria yang serius ingin menikahinya, Andre. Aku ingin tahu seberapa besar perasaannya kepada Andre. Aku penasaran bagaimana Andre memperlakukan perempuan seistimewa Sekar. Aku penasaran apa saja yang dibicarakannya dengan Andre. Apa Sekar membicarakan hal yang sama kepada Andre seperti ketika ia dekat dengan aku.
“Bagaimana kabar Andre?”
“Baik.”
“Baik? Katanya kabarnya baik, tapi wajahmu sendu begitu. Tidak seperti biasanya. Lagi ada masalah?” tanyaku singkat.
Sekar sedikit menganggukan kepalanya.
“Dia tidak pernah menghubungimu sampai bikin wajahmu begitu?”
“Bukan kok.”
“Lalu?”
Sekar tak bergeming.
“Oh tidak mau cerita ya. Apa karena kita belum terlalu kenal lama sampai kamu tidak mau cerita?”
Sekali lagi tak ada tanda-tanda Sekar ingin menjawab pertanyaanku. Kami pun berdua diam seolah asyik dengan masalah masing-masing.
“Di,” suara Sekar muncul memecah keheningan suasana. Aku menoleh menatap wajahnya yang lembut. Asri. Teduh.
“Kamu tahu kan sebentar lagi aku akan dilamar Andre?”
“Ya. Lalu?”
“Sebenarnya aku tak tahu apakah aku mencintainya. Aku merasa kasihan saja padanya. Sebab, dia baik padaku.”
“Kenapa kamu tidak berterus terang saja. Masalah loh kalo tidak terus terang.”
“Masalahnya aku tidak berani. Aku tidak berani mengecewakan lelaki yang baik padaku. Dia bukan baik saja, tapi sudah menyelamatkan masa depanku”
“Maksudnya?”
“Dulunya aku lahir dari keluarga kaya. Ayahku pengusaha sukses. Tapi, tiba-tiba ayahku ditipu rekan bisnisnya. Ayahku bangkrut. Bahkan punya hutang dimana-mana. Kemudian datanglah Andre”
Wajah Sekar tampak gelisah tanpa bisa aku tenangkan.
“Andre, meski masih muda adalah pengusaha juga. Ia berbisnis dengan ayahnya dan teman-temannya. Tanpa bermaksud apa-apa. Hanya ingin berbuat baik saja, ia meminjami ayahku uang untuk melunasi utang-utangnya tanpa ada ketentuan waktu untuk membayarnya. Tanpa ada kesepakatan di atas hitam dan putih. Dia baik sekali. Dari situ kami kemudian dekat.”
“Lalu dia minta kamu jadi pacarnya?”
“Ya, tapi aku menolaknya. Andre menghargai perasaanku. Tapi terus saja ia berusaha mendapatkan hatiku.”
“Loh kok bisa kalian pacaran sampai mau menikah lagi”
“Aku putus asa soalnya setiap lelaki yang datang padaku bajingan semua terkecuali Andre. Aku tak mau bertaruh. Aku sudah cape dengan cinta. Makanya, ketika Andre datang dan serius denganku. Aku tak bisa menolak juga akhirnya. Toh lama-lama cinta datang sendiri”
Sekar oh Sekar, perempuan secerdas kamu luluh juga dengan keadaan. Kamu terlahir sebagai wanita cantik, berwawasan luas, tapi untuk soal perasaan, kamu jauh dari kemerdekaan. Mungkin ini disebut dengan ketidakadilan.
“Seandainya kamu meutuskan Andre, bisa saja ia menagih hutang ayahmu?”
“Andre tidak begitu. Dia tak memperemasalahkan hutang ayahku. Tidak dilunasi juga tidak apa-apa”
“Mungkin saja itu trik dapatin kamu?”
“Kamu bilang begitu karena kamu tidak tahu Andre”
“Kalo begitu ya gampang. Kamu tidak perlu menangis. Tidak usah khawatir. Tinggal nikah saja. Masalah beres”
“Tapi tidak sesimpel itu. Soalnya…” Sekar tiba-tiba terdiam tanpa melanjutkan kata-katanya
“Soalnya apa?”
“soalny aku merasakan sesuatu yang lain denganmu. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan saat bersama Andre.”
Aku tidak terkejut dengan kejujuran perasaan Sekar. Dari pertama dekat denganku, aku sudah bisa menebak perasaan Sekar. Untuk soal kecerdasan Sekar jauh diatas aku, tapi tidak untuk soal perasaan. Untuk hal ini, mungkin akulah pakarnya. Sebab, pengalamanku jauh. Referensiku banyak. Terlebih, aku suka dengan soal-soal yang berkaitan dengan perempuan. Aku suka menulis tentang perempuan. Aku suka membaca artikel-artikel tentang perempuan dengan sejuta permasalahannya. Tumpukan rak bukuku penuh dengan majalah dan tabloid yang concern pada perempuan. Untuk masalah Sekar sangat gampang dibaca.
“Aku jatuh cinta padamu, Di. Jatuh cinta yang sebenar-benarnya. Kamu tipe pria menyenangkan, blak-blakan, tapi puitis,” wajah Sekar kembali merekah. Sementara aku seolah berada di atas angin. Aku seolah sudah menaklukan wanita luar biasa ini. Tapi, aku tidak terpancing. Bagaimanapun aku adalah pria. Tidak boleh cengengesan. Harus bisa mengontrol.
“Kalo jatuh cinta denganku, kamu mau apa?” aku sekadar memancingnya
“Tidak tahu.” Mulutnya merengut tapi aku menyukai aksinya ini.
“Loh kok tidak tahu?”
“Oh, kamu ingin aku memutuskan hubungan dengan Andre?”
“Begitulah,hehe”
Sekar sama sekali tidak marah dengan jawabanku. Mungkin memang itu jalan terbaik meski menyakitkan. Seiring waktu berdetak dengan cepat, hubunganku dengan Sekar kian mengalami perkembangan. Pembicaraan kami sudah jauh. Dari soal remeh temeh, serius sampai hal yang sifatnya pribadi kerap menjadi topik pembicaraan aku dengan Sekar. Mungkin kedekatanku sejenak bisa melupakan beragam masalah peliknya.
Lebih dari itu, meskipun tanpa komitmen dan pernyataan yang lugas seperti muda-mudi lainnya, hubungan kami sepersis sepasang kekasih yang saling mengisi. Saling memahami kekurangan beserta kelebihan masing-masing. Saling mengerti terhadap perbedaan cara pandang. Tapi itu cukup membuat kami menyatu.
Kami semakin dekat. Perasaanku padanya semakin dalam. Akut. Aku semakin ingin memilikinya. Aku semakin ingin Sekar menjadi perempuan terakhir dalam petualangan cintaku. Sekar pun demikian. Ia sudah tidak canggung lagi mengucapkan kata-kata cinta mati, rindu berat, cinta gila, dan kata-kata gombal lainnya. Itu wajar sebab bagaimanapun ia adalah wanita yang memiliki kepekaan perasaan meski menurut pengakuannya soal perasaan ia tidak seekspresif kecuali denganku. Hanya denganku memang Sekar mampu menumpahkan segala apa yang tengah dirasakannya. Tanpa malu-malu. Tanpa jaga imej.
Karena denganku juga Sekar jadi rajin bikin puisi. Bahkan untuk menajamkan kata-katanya, dibelinya buku Dear You karangan Moammar Emka, penulis yang populer karena buku Jakarta Undercover yang kontroversial karena mengungkap kehidupan glamor dan sex di Kota Jakarta serta kota metropolitan lainnya. Memang dalam buku itu banyak kata-kata romantis sekaligus gombal. Cocok untuk muda-muda yang digila cinta.
“Aku bahagia bila dekat denganmu, Di”
Aku diam. Toh, Sekar sudah tahu itu meski kenyataannya memang wanitu perlu diyakinkan juga.
“Kita sudah sejauh ini. Aku sudah mengenalmu. Begitu pun kamu”
“Andre gimana?”
“Meski sering menghubungiku, Andre makin asing. Sementara kamu semakin mengisi kekosongan hati ini, Di”
Aku diam.
“Ini bukan mimpi kan? Kita sedang di dunia nyata kan?”
“Bukan Sekar. Kita ada dalam dunia ril,” jemariku meremas jemarinya sebagai tanda bahwa apa yang kami alami adalah kenyataan yang semestinya dihadapi dengan berani.
“Terus mau dibawa ke mana hubungan kita, Di? Sementara sebentar lagi Andre melamarku.”
Dijejali pertanyaan itu, aku goyah. Aku hanya bisa mengusulkan agar Sekar memutuskan Andre meski Sekar enggan. Tapi, itu bukan solusi tepat bagi Sekar. Terlebih, Sekar ingin segera menikah mengingat usianya sudah dia atas 26 tahun, tepatnya dia angka 27. Usia ideal wanita untuk segera mengakhiri masa lajangnya. Usia Sekar beda 3 tahun di atas dengan usiaku yang baru menginjak angka 24. Sebuah usia yang bagi laki-laki penuh dengan ambisius terhadap sesuatu, bebas tidak mau terikat, dan usia yang tepat untuk mewujudkan mimpi.
“Aku akan menikahimu, Sekar.”
Secara spontan kata-kata yang selama ini meluncur dari mulutku. kata-kata yang sangat bertolak dengan keyakinanku akan kesiapan menuju hidup yang lebih serius. Sekar kaget. Tapi, ia tidak percaya. Ia sudah mengenaliku. Ia mafhum itu hanya leluconku saja. Tapi, ia penasaran. Perempuan memang selalu dihantui rasa penasaran, teruatama bila menyangkut hal-hal yang berhubung dengan kepastian. Perempuan ingin diyakinkan. Ingin dipastikan.
“Kamu masih muda. Masih panjang perjalananmu. Bila menikahiku, mimpi-mimpi kamu akan tersendat,” TegasSekar seolah mengujiku kekuatan cintaku.
“Justru bersamamulah mimpi-mimpiku akan terwujud. Aku akan bekerja keras bersamamu. Kita akan melewati pahit getirnya hidup.” Kata-kata ini muncul tiba-tiba tanpa kupersiapkan sama sekali.
Aku sendiri serentak digumuli dengan kebingungan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Apa benar aku sudah yakin akan menikahi Sekar. Apa aku sudah yakin akan mewujudkan mimpi-mimpiku dengan Sekar mengingat bangunan prinsipku hidupku adalah aku tak akan menikah sebelum obsesiku tercapai. Sementara, sekarang obsesiku belum ada yang tercapai secara paripurna. Secara sempurna.
***
Aku mencium keningnya untuk terkahir kali. Di malam itu, tempat kami biasa meluangkan waktu bersama, tempat kami terbiasa mempercakapkan hal-hal yang remeh temeh, serius, berat, sampai hal yang sifatnya pribadi, kami sepakat untuk melanjutkan hidup masing-masing. Sekar tetap akan menikah dengan Andre. Aku akan mengejar mimpiku yang belum terwujud. Kami tersenyum dengan pipi yang dibasahi air mata. Kami ingin menjerit pada dunia, tapi tunduk pada keadaan. Meski masih menyisakan studi beberapa minggu lagi, kami bersepakat untuk tidak membahas masalah perasaan kami bila sedang bersama.
***
Setelah beberapa tahun pernikahan Sekar dengan Andre, praktis antara aku dan Sekar tidak menjalin komunikasi untuk sekadar menanyakan kabar. Kami benar-benar sudah menjalani hidup masing-masing. Sebelum menikah, di tempat studi yang telah mempertemukan kami berdua, Sekar memang meminta aku agar tidak menjalin komunikasi guna menjaga hubungannya dengan Andre. Sebab Sekar akan merasa mengkhianati Andre bila saja aku masih menghubunginya meskipun itu lewat sms, email ataupun FB. Aku rasa itu sebuah keputusan cerdas meskipun berat. Tapi, itu pelajaran yang patut dipegang. Pelajaran bagaimana kita menghormati pasangan, terlebih suami meskipun kita tidak mencintainya. Meskipun hanya didasarkan pada rasa sayang semata tanpa cinta yang melibatkan kesungguhan hati.
Sudah lama memang aku tidak membuka emailku sebab juga tidak ada aplikasi Yahoo di ponsel jadulku. Beberapa pesan memenuhi inbox emailku. Isinya berupa konfirmasi dari akun-akun dari komunitas maya yang aku ikuti, juga beberapa konfirmasi beberapa redaksi media atas tulisanku yang dimuat, juga dari beberapa temanku yang gemar mempublish tulisannya ke emailku.
Tapi, Jantungku terasa berdetak kencang setelah ku cek semua inbox emailku ada nama Sekar Perempuan Mirip Lola Amaria. Ya itu betul Sekar. Sebab, akulah yang menamai akun emailnya sewaktu kami masih bersama.
“apa kabar Di. Semoga dalam keadaan baik-baik saja. Wah, pasti sekarang kamu sudah menjadi dirimu. Jadi lelaki yang bisa mewujudkan impiannya. Pasti kamu sekarang sudah jadi lelaki hebat. Mapan. Kemarin aku baru membaca tulisanmu tentang wanita di majalah ternama. Sungguh menakjubkan meskipun aku kurang setuju mengenai pendapatmu tentang perempuan. Pendapatmu terlalu menyederhanakan. Diksinya menyentuh tapi lugas seperti karaktermu..hehhe. tapi aku tidak terlalu suka tulisanmu tentang politik. Aku tidak minat politik. Kamu tahu kan? Tapi, kamu hebat, Di. kamu sudah menikah belum? Pasti belum?hehehe.”
“Aku juga baik, Di alhamdulillah. Mas Andre, Andre maksudku, juga baik. Di, maaf sebelumnya aku sudah meninggalkanmu. Tapi itu takdir Di. tidak bisa diubah meskipun kamu ngotot untuk mengubahnya. Maaf di, hendaknya kamu tidak usah memikirku lagi walau aku senang kamu tidak lupa denganku. Memang aku dengar dari sahabatmu yang juga sepupuku kamu belum bisa melupakanku. Tapi, ini kehidupan nyata Di. Ikhlaskan saja sesuatu yang tidak bisa kita raih.”
“Oh ya Di, sekarang aku sudah punya anak 2 loh. Itu tandanya kamu sudah jadi om. Tapi bukan om-om yang itu yah hehehe. Cowok dan cewek lucu-lucu lagi. Yang cewek namanya Lola Amaria. Artis idolamu itu loh. Mudah-mudahan secantik dan secerdas Lola Amaria kelak kalo sudah besar. Yang cowok namanya Renaldi Muhammad. Maaf ya aku namai anakku dengan namamu. Sebab, aku ingin anakku menjadi lelaki kuat, lugas, tegas, pintar. Terlebih meghargai orang yang berbeda ya seperti kamu loh. Kamu jangan gede rasa loh hehe, tentunya juga kelak kalo sudah besar dia bisa jadi pria yang membanggakan seperti ayahnya, mas Andre.”
“Renaldi sekarang memasuki usia 4 tahun. Renaldi tumbuh jadi anak aktif. Kamu tahu gak kalo ternyata Renaldi suka menulis loh. Menulis cerita dan lain-lain. Yang bikin aku kaget, ternyata Renaldi terobsesi menulis segala sesuatu yang berhubungan dengan perempuan. Itu aku tahu setelah aku baca di diary-nya. Ada-ada saja. Jadi bikin aku inget kamu..heheh. kamu jangan gede rasa ya..hehe. Sudah dulu ya Di. Semoga kamu selalu beruntung. Dan cepat dapat perempuan terbaik. Amin. Oh ya di, bulan depan aku akan studi 6 bulan di Perancis, tempat kita kenalan dulu. See you my friend. Good luck”
Membaca tulisan emailnya terus terang aku dibikin cemburu dengan keadaan Sekar dengan Andre, tapi juga bercampur bahagia. Sebab, meski dulu Sekar tidak pernah mencintai Andre, rumah tangga Sekar dengan Andre berjalan mulus. Bahagia dengan dua anak mereka. Ya, aku lega. Tapi aku lebih bahagia lagi sebab enam bulan lagi juga aku akan ke Perancis, tempat aku dan Sekar pertama kali bertemu, untuk melanjutkan studiku yang tertunda. Semoga aku dapat bertemu lagi denganmu Sekar meski dalam keadaan berbeda. Tidak seperti beberapa tahun yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar