Minggu, 24 April 2016

proyek buku "Three bachelors"

Three Bachelors Prolog “Kalian tidak becus ngurus negeri ini!” Matahari mulai meninggi, kawan-kawan mahasiswa pendemo masih semangat mengepalkan tangan dengan nyanyian khas aktivis jalanan. Ipul sang orator yang berdiri paling tinggi di depan makin beringas meneriakan pernyataan-pernyataan sikapnya meskipun terdengar seperti makian-makian. Ia berdiri di atas pengeras suara yang ditopang oleh badan mobil pick up. Mobil ini yang setia menemani para aktivis pendemo belakangan ini demi mengusut kasus anggota DPR yang korupsi anggaran infrastruktur. “Di, sebenarnya apa sih tujuan kita ngedemoin mereka?” Lupi mendekatiku yang sedang duduk di belakang teman-teman yang masih asyik berteriak-teriak dan ngatain anggota dewan yang korup dengan wajah yang mendongakan ke arah gedung DPR/MPR. Kendati nafasnya hampir habis karena ikut orasi beberapa menit sebelum ipul tampil ke muka. Aku mengajak Lupi duduk di balik gerobak tukang es cendol di sekitar gedung yang katanya tempat wakil rakyat itu. “Elu sendiri emang ngapain ikut demo gini? Udah hampir seminggu lagi kita ke gedung ini nyampe bolos kuliah segala.” Lupi menenggak habis es cendol yang dipesannya dengan nada kesal menjawab, “ah elu malah nanya balik lagi!” “Lup,” Didi meneruskan, “sebenarnya gue sendiri enggak tahu apa tujuan gue ikut demonstrasi ini. Soalnya gue sendiri kadang merasa apa yang kita lakukan di gedung ini sama sekali tidak didengar kok. Malah kita dapet capek.” ‘Tapi dapat nasi bungkus kan,” Lupi terkekeh sedikit. “Di, sama seperti elu tapi agak beda sedikit,” Lupi berkata lagi, “kalo gue demo gini ya karena gak enak aja sama Ipul dan elu. Apalagi Ipul ngajakin gue ikut. Supaya nambah personil demo katanya. Biar terlihat banyak gitu.” “Gue juga bosen gini-gini terus. Mendingan kita belajar yang bener. Tapi jangan lupa, tujuan kita dan temen-temen yang semangat demo mungkin berbeda. Mereka memang benar-benar berdemo dalam arti yang sesungguhnya, sedang kita Cuma seru-seruan aja.” Lupi mengangguk sambil memesan satu gelas es cendol lagi. Matahari semakin tegak berdiri di atas kepala kami, kawan-kawan pendemo semakin bersemangat dengan menyanyikan himne perjuangan sekalipun keringat senakin bergulir megaromai tubuh yang tegak pula. Tangan kanan mereka mengepal, bergerak ritmis mengikuti irama lagu itu. aku dan Lupi pun bergabung kembali dengan mereka. Kak Linda dan Kamar Mandi “Hei semua bangun,” teriak Ipul sambil tangannya memukul-mukul tembok kostan yang memiliki petakan tiga ruang. “Bu Johan pasti sebentar lagi sudah ada di depan kelas,” Ipul dengan nada yang sedikit direndahkan. Didi dan Lupi langsung terperanjat. Kaget. Tangan mereka yang masih enggan menggesek-gesek kedua mata mereka yang masih terpejam. “jam berapa ini, pul?” tanya Didi. “Lihat saja, tuh,” jemari Ipul yang tangkas menunjuk ke jam dinding yang hampir menyentuh atap. Didi dan Lupi kembali terperanjat. “Tidaaaak,” mereka berteriak, mengagetkan Ipul. Kedua mahasiswa muda yang memiliki selera humor yang lumayan ini bergegas menuju kamar mandi. Mata Didi dan Lupi beradu pandang ditambah kernyitan dahi mereka. “Gue duluan,” kata Didi, langsung bangun dari kasur tipis yang dibeli murah dari teman kelasnya. Lupi menarik tangan Didi hingga tubuh. Didi hampir jatuh. “Gue duluan dong. Lagian gue udah kebelet buang hajat ni,” sergah Lupi dengan nada yang berpotensi membuat tetangga kostan berteriak. “Enggak bisa. Gue yang duluan, heh anak betawi keturunan Cirebon,” balas Didi berusaha melepaskan genggaman kuat tangan Lupi. “Gue yang duluan,” Lupi kembnali menarik cepat-cepat tangan Didi. “Gue,” balas Didi “Gue, heh anak Sunda yang doyan mie rebus dicampur nasi.” Ipul menggelengkan kepala. Aneh melihat dua mahasiswa yang bertingkah laku layaknya anak kecil ini. “Udah gue berangkat duluan yah. Selamat mandi kawan-kawan yang baik hati.” Didi dan Lupi melongo. “Kalian udah gede,” tegas Ipul tapi matanya sedikit diangkat, terlihat seperti sedang bercanda. Ketiga mahasiswa ambisius itu memang sering berangkat ke kampus bareng-bareng karena memang mereka berada dalam satu kelas jurusan ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Atau banyak orang yang menyebut kampus ini dengan UI Negeri. Atau dengan lebih serius lagi dijuluki sebagai kampus pembaharu. Sebutan ini tidak berlebihan karena memang UIN jakarta telah melahirkan beberapa pemikir Islam yang progresif dan revolusioner. Munculnya kelompok pemikir pembaharu ini menyebabkan UIN Jakarta disebut sebagai mazhab Ciputat sesuai letak kampusnya yang berlokasi di Ciputat. Mazhab Ciputat ini seolah mengacu kepada empat mazhab dalam yurisprudensi hukum Islam. Jadi, jika salah satu dari mereka tidak terlihat bareng berangkat ke kampus seolah terjadi sesuatu di antara mereka . teman-teman satu kelas mereka sudah menganggap Didi, Ipul, dan Lupi sebagai trio kembar yang diciptakan Tuhan dengan sengaja. “Gue menang,” kata Lupi tersenyum nyinyir saat memenangkat suitan sebagai cara yang tepat untuk menentukan siapa yang lebih dulu berhak menggunakan kamar mandi. Didi sekadar bisa mengangkat bahu. Tanda pasrah. Sementara itu di lain pemandangan Ipul sudah bergegas menuju kampus. “Apa yang harus gue perbuat?” gumam Didi ketika melihat jarum jam hampir mendarat di angka delapan. Itu artinya beberapa menit lagi ia akan terlambat. Bukan akan, tapi pasti terlambat. Konsekuensinya, bu Johan dosen pemikiran politik barat, yang terkenal tidak mengenal kompromi soal ketelatan, akan mengusir dirinya sejkalipun telat beberapa menit saja. Lupi malah asyik bernyanyi sebagai peneman mandi. Didi tambah mangkel dibikinnya. Lagu yang dinyanyikan Lupi adalah Don’t stop me now miliknya Queen, band legendaris dengan vokalis Fredy mercury yang kumisnya juga legendaris. Didi semakin mual mendengar suara Lupi yang sumbang dan cara menyanyinya yang salah. Ditambah lagi cara pengucapan inggrisnya yang acak-acakan, yang bahkan menurut Didi cara pengucapan Inggris Lupi terkesan dilebih-lebihkan—lebay. Tapi Lupi tidak peduli dengan semua atribut kejelekan yang disematkannya itu. Yang penting, katanya, musik lahir sebagai alat pembebasan. Entah dari mana Lupi menemukan kesimpulan itu. “Lup, cepetan dong!” ‘Waduh, gue kayaknya mau buang hajat ni. I am so sorry my brother,” jawab Lupi seenaknya. Sebenarnya ia cekikikan di kamar mandi. Lupi merasa pasti Didi diserang penyakit gelisah. Takut terlambat masuk kelas. “Elu mau ngehancurin masa depan gue ya, Lup?” “Elu hancur, gue juga hancur.” Timpal Lupi sambil menikmati kelegaan setelah kotoran di perutnya keluar dengan lancar. Ponsel nokia jadul Didi berdering. “ Ibu Johan masih di perjalanan. Mungkin ia terjebak macet.” Pesan dari Ipul dengan ponselnya yang memang jadul juga. “Ok, thank you brother atas infonya.” “Kasih tahu Lupi,” lagi Ipul membalas. Ibu Johan salah satu dosen yang tidak mentolerir mahasiswa yang telat meskipun beberapa menit ini senantiasa memberi tahu posisi dirinya sebelum masuk ke kelas agar mahasiswa masuk kelas tepat waktu. Ia dengan senang hati mengirim pesan kepada ketua kelas yang kebetulan dijabat oleh Ipul jika dirinya telat atau tidak masuk kelas. Sebagai penanggung jawab berlangsungnya kondusifitas belajar mau tak mau Ipul mengirim pesan ke seluruh teman kelas untuk menyebarkan informasi tentang dosennya. Karena itu Ipul harus selalu memiliki pulsa yang full. Bahkan ipul memiliki card number lebih dari tiga. Ini dilakukannya untuk teman-teman yang memiliki card number yang berbeda darinya. Tapi Lupi masih asyik di kamar mandi sekalipun Didi menyuruhnya bergegas keluar. Lupi memang tipe sahabat yang kadang menyebalkan kendati kadang-kadang juga ia mentraktir Didi dan Ipul ngebakso di perempatan arah masuk ke kostan mereka. Belakangan ini, di antara bertiga Lupi memiliki kantong yang tebal karena baru saja orang tuanya mendapat warisan dari kakek dan neneknya di Cirebon. Melihat gelagat Lupi yang nampaknya tidak segera akan keluar, Didi menguras pikiran mencari jalan keluar. Dahinya berkerut-keringat. “Aha,” katanya seolah ilmuwan yang girang setelah mendapat gagasan cemerlang. Didi melepaskan sarung tidurnya. Mengganti dengan celana bahannya yang mudah kusut. Dia mengetuk pintu tetangga kostan. “Boleh,” kata Linda setelah mendengar cerita Didi yang dikecewakan oleh Lupi hanya karena berebut kamar mandi. “Terima kasih, bu!” “Kok ibu?” “Ya tante.” “Jangan tante.” Didi menyeringai tapi matanya tak sanggup menatap pandangan Linda yang menusuk. “Ya, kak Linda,” tegas Didi dengan mulut yang gugup. Linda, wanita berusia sekitar empat pulahan tahun itu tersenyum sambil mengerdip genit ke Didi. Tubuh Didi menjadi bergidik tiba-tiba. Ia, entah kenapa, mengingat wanita berkepala empat yang suka pada anak muda semacam dirinya yang terjadi di film tengah malam. Dan kelanjutan dari film itu adalah si tante mengajak bercinta dengan gaya yang aneh-aneh. Bagaimana nasib Didi yang berniat mencari ilmu harus jatuh di pelukan tante Linda? “Ah tidaaak,” kata Didi dalam hati. “Aku masih mau jadi perjaka tulen,” katanya lagi dalam hati. “Ayo masuk,” perintah wanita itu dengan nada mendesah. Ah sebenarnya tidak mendesah amat, hanya saja Didi yang terlalu paranoid. “Aku belum siap, kakak,” kata Didi kaget. “Kamu mau mandi enggak?” Didi menjadi tampak kikuk. Ia terlalu jauh berimajinasi. “Mau, kak.” Ia membalas dengan terlebih dahulu menghela nafas demi mendapat kelegaan. Tapi ia tetap was-was. “Mas Didi,” panggil Linda dengan lembut. “Mati aku,” resah Didi yang baru saja menanggalkan celana dalamnya. “Di situ kan enggak ada sabun. Ini sabunnya,” sambung Linda. Terpaksa Didi memakai celananya lagi dengan terburu-buru. Hati-hati ia membuka pintu. “Terima kasih, kak,” katanya tetap was-was. “Ok, ganteng,” lagi-lagi Linda mengedipkan mata genitnya di antara sela pintu kamar mandi yang dibukakan Didi dari dalam. Tak lama kemudian Linda menyambung kata lagi, “Sabunnya jangan dipake untuk hal yang enggak-enggak ya!” Didi mengangguk. Tapi jujur ia terlalu polos untuk memahami candaan Linda sekalipun dirinya tidak pernah absen menonton film tengah malam yang memang agak hot. Seketika setelah kembali berkonsentrasi dengan mandinya, mata Didi terbelalak ketika pandangannya mendongak sedikit ke atas. Beberapa buah bra yang entah berukuran berapa menggantung di hanger. Ia mencoba menormalkan posisi kepalanya. “Ampuni aku, Tuhan yang menyukai keindahan,” kilahnya seakan-akan menjadi pemuda paling bersih dan suci. Karena terlalu memiliki imajinasi yang berlebihan, Didi sekan Lupa untuk tidak telat masuk kelas. “Mana Didi?” Lupi mencari-cari sahabatnya yang memang cenderung emosional manakala menonton drama korea “Love Story In Harvard” itu. Jejaka muda yang memiliki niat kuat untuk menjadi diplomat ini menyangka Didi sudah berangkat duluan tanpa tubuhnya menikmati mandi pagi. Tapi Lupi merasa aneh ihwal perlengkapan kuliah Didi yang masih tergeletak. Mungkinkah jejaka itu sudah berangkat ke kampus, meninggalkan dirinya yang ketakutan setengah mati kalau diusir oleh bu Johan tersebab telat sedikit saja. “Hmm rupanya cah sunda yang ke Ahmad Dhanian itu ingin bermain-main dengan gue!” Cabuuut. Lupi bergegas menuju kampus. Didi akhirnya merampungkan mandi paginya di kamar mandi milik seorang wanita yang memiliki hidung sedang, bentuk wajah yaris menyerupai Tamara Bleszinky, bertubuh sintal tapi kenceng, dan bertinggi sekitar 170-an itu. Harus diakuinya mandi paginya ini tidak senikmat mandi pagi yang sudah-sudah karena was-was dengan gerak-gerik Linda dan tentunya ia takut telat masuk kelas. Tapi mandi pagi ini memang menjadi pengalaman yang mencengangkan seumur-umur ia hidup di dunia selama lebih dari sembilan belas tahun. Linda yang keluar sebentar untuk membeli nasi uduk tampak kebingungan. Sang cowok yang digenitinya tidak lagi berada di kostannya. Aku harus menyenangkan paginya, katanya dalam hati yang riang-girang. Jarum jam beberapa menit lagi mendarat tepat di angka delapan. Semua perlengkapan kuliah sudah tersedia dengan rapi padahal didi tidak menyiapkannya sama sekali. Didi paham ini adalah gaweannya Lupi. Sahabat yang mengaku tidak pernah berpacaran serius ini terkenal perhatian kepada teman-teman. Tapi saat ini Lupi sudah meninggalkan dirinya. “Ah Lupi ngerjain gue nih,” kata Didi pelan. Pintu kostan diketuk. Darah muda Didi kembali berdesir. Linda berseru lembut. Lembut sekali mengalahkan kelembutan sekumpulan awan di kala senja tiba. “Masuk aja, kak Linda. Linda membuka pintu dengan pelan. Dengan penampilan yang membuat jantung Didi berdegup kencang tak karuan. Wanita itu memakai leging ketat dengan t-shirt yang ketat pula. Semuanya serba pink. Jadinya Linda tampil bak gadis muda ditambah kulitnya yang kuning langsat khas Indonesia asli. Tangannya yang ramping memgang nasi uduk yang dibelinya. “Sarapan dulu ya, mas Didi,” Linda memulai. “Nasi uduknya mantap loh. Sambalnya nendang. Bisa bikin lidah bergoyang-goyang. Semur jengkolnya empuk. Gorengannya gurih. enggak tertarik nih, mas Didi? Ini nasi uduk terlezat di komplek ini loh!” Didi menelan mentah-mentah air liurnya. Perutnya menjadi kerongkongan seketika. Dari tidak lapar, kini perutnya semakin lapar saja. Dia mulai tergoda. Hmmm apalagi yang menyajikan itu Linda, tetangga kostan paling aduhai dan bohai. “Spesial untuk mas Didi,” goda Linda yang bisa membaca isi pikiran Didi. “Tapi sebentar lagi aku masuk kelas ni.” “Perut kosong itu susah masukin ilmu ke sini,” Linda menunjuk dahi kirinya. Didi tidak bisa mengelak. Ia kalah. Baiklah, katanya dalam hati. Linda sepersis isteri yang taat pada suami menyiapkan nasi uduk plus teh hangat. Mulanya Didi malu-malu. Menyantap nasi itu dengan hati-hati dan pelan. “Enggak enak ya?” tanya Linda. “Mantap,” kata Didi yang beberapa detik kemudian rasa canggungnya sudah melebur bersama keramah-tamahan Linda meskipun tetap membuat jantung Didi dag dig dug. Linda sangat menikmati pemandangan ini. Terus-menerus matanya fokus pada Didi yang lahap. Hatinya berselimut bahagia. Pagi ini niatnya untuk menyenangkan orang lain tercapai. Apalagi kepada Didi yang menurutnya manis tapi gagah bak aktor Antonio Banderas meskipun masih terlalu jauh untuk disamakan dengan aktor kelahiran Chile itu. Selesai sarapan dengan nikmat nan hikmat, Didi bersiap ke kampus tapi Linda belum beranjak juga. Didi jadi serba salah. “Kok kelihatan bingung, mas Didi? Nanti telat loh ke kampusnya!” Linda menjadi tampak anggun di mata Didi karena sikap pengertiannya. “Ya sebentar lagi bu dosen pasti sudah masuk kelas.” Pasca itu Didi dan Linda keluar. “Aku berangkat duluan ya, kak Linda. Terima kasih sudah pagi ini sudah berbuat baik sama saya.” Linda tersenyum. Wajahnya semakin pinky seiring pujian Didi. “Hati-hati ya. Belajar yang semangat,” kata Linda singkat tapi menghunjam jantung. Didi berpamitan kepada Linda. Wanita seksi itu mengiyakan. Tapi ia terus mengawasi langkah Didi hingga sosok tubuh Didi berlalu dari hadapannya. Tingkah kedua manusia yang berbeda umur jauh itu seperti pengantin baru yang sedang menggebu-gebu. Bu Johan sudah di depan kelas. Didi baru tiba di gerbang kampus. Didi mempercepat langkah, kemudian setengah mati berlari. Hampir seluruh mahasiswa FISIP yang berpotensi telat berlari ngos-ngosan menuju kelas. “Lupa pada kesepakatan?” sindir bu Johan ketika Didi masuk, mengucap salam. “Ingat,” jawab Didi terengah-engah tapi terdengar enteng. “Kalau begitu sebutkan!” “Tidak boleh masuk jika telat enam menit lebih,” sebut Didi yang masih berdiri tegak di depan pintu. Didi memang melanggar kesepakatan antara mahasiswa dan dosen. Seyogianya tidak boleh masuk, ia akan tetap menerobos masuk. Namun bu Johan nampak terganggu dengan ulah Didi. Ia sangat mangkel dengan mahasiswanya yang sering telat. “Lalu?” bu Johan mencoba tegas. Didi paham seratus persen dengan maksud pertanyaan itu. Ini artinya ia harus mencabut dirinya dari kelas. “Mau ke mana?” tanya bu Johan saat Didi membalikan tubuhnya menuju pintu keluar. “Hari ini kamu mendapat pengampunan. Sepertinya takdir kamu hari ini baik. Juga sepertinya kamu memiliki niat kuat untuk belajar.” Didi mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada dosen itu. “Makalahnya?” bu Johan menadahkan telapak tangannya. Jantung Didi seperti dihantam senjata tajam mematikan. “Kacau,” katanya dalam hati. Ia kikuk. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi ia pura-pura membuka tas gendongnya yang mungil. Tas itu didapatkannya dari Mariana, kawan SMA-nya beberapa tahun yang lalu. “Kamu tidak bikin ya?” tebak bu Johan. “Bikin, bu. Tapi sepertinya ketinggalan di kostan.” “Lalu?” tingkah bu Johan terlihat ketus. Didi sekali lagi memohon kebaikan bu Johan agar mengizinkannya mengambil makalah di kostan. Untungnya dosen keturunan batak ini sedang berbaik hati. Usut punya usut bu Johan yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun ini baru dilamar oleh perjaka yang dipacarinya lebih dari enam tahun. Didi yang menggilai kemanisan Lola Amaria ini kembali ke kostan dengan tergesa. Beberapa menit kemudian Lupi masuk kelas. Ia baru saja diminta bu Johan untuk mengambil buku teks Pemikiran Politik Barat di ruang kerjanya. Lupi sedikit menarik nafas. Duduk di sebelah Ipul yang bersiap menerima mata kuliah yang disukainya ini. “Mana Didi?” tanya Lupi kepada Ipul. “Apa?’ Lupi terkaget ketika Ipul menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Ipul terheran-heran. “Makalahnya ada di gue, Pul. Gue sengaja bawa makalahnya!” “Ngapain elu bawa segala?” “Ya tadinya buat ngerjain dia supaya kaget. Eh ternyata keadaannya jadi begini.” Wajah Lupi menggambarkan ketidakenakan. Dia menjadi merasa bersalah. Lari Didi semakin cepat seperti motor tancap gas sekalipun keringat mulai mencucuri tubuhnya. Ponsel disaku celana jinsnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. “Makalahnya ada di gue, bro. Gue yang bawain. Cepat elu balik lagi. Urusan bu Johan, gue yang beresin.” “Lupi sialan, huh,” geram Didi dengan nafas yang sudah payah dan balik kanan menuju kampus. Dia kembali berlari sekuat tenaga. “Ngapain lari segala?” suara yang terdengar seperti berteriak plus deruman motor matic itu muncul dari belakang Didi. “Eh kakak. Iya nih habis dikerjain sama Lupi. Jahil banget dia.” Terang Didi. “Ayo kakak boncengin. Daripada lari. Entar tambah capek loh.” Didi merasa canggung. Tapi Linda terus memaksanya. Kecanggungan Didi berubah jadi dag dig dug ketika Linda menolak tawaran Didi yang bersedia mengemudikan motor. Apa boleh buat, Didi mengalah. Malu bercampur desiran jantung mengental ketika motor matic itu melaju dengan disaksikan orang-orang sekitar yang lalu-lalang. Tapi hati Linda tersenyum ranum. Ia tidak canggung apalagi malu. Ia rileks dengan menampilkan wajah yang dewasa sesuai usianya ketimbang Didi yang kikuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar