Kamis, 02 Juni 2016

Three Bachelors Prolog “Kalian tidak becus ngurus negeri ini!” Matahari mulai meninggi, kawan-kawan mahasiswa pendemo masih bersemangat mengepalkan tangan dengan nyanyian khas aktivis jalanan. Ipul sang orator yang berdiri paling tinggi di depan makin beringas meneriakan pernyataan-pernyataan sikapnya meskipun terdengar seperti makian-makian. Ia berdiri di atas pengeras suara yang ditopang oleh badan mobil pick up. Mobil ini yang setia menemani para aktivis pendemo belakangan ini demi mengusut kasus anggota DPR yang korupsi anggaran infrastruktur. “Di, sebenarnya apa sih tujuan kita ngedemoin mereka?” Lupi mendekati Didi yang sedang duduk di belakang teman-teman yang masih asyik berteriak-teriak dan ngatain anggota dewan yang korup dengan wajah yang mendongakan ke arah gedung DPR/MPR. Kendati nafasnya hampir habis karena ikut orasi beberapa menit sebelum ipul tampil ke muka. Didi mengajak Lupi duduk di balik gerobak tukang es cendol di sekitar gedung yang katanya tempat wakil rakyat itu. “Elu sendiri emang ngapain ikut demo gini? Udah hampir seminggu lagi kita ke gedung ini nyampe bolos kuliah segala.” Lupi menenggak habis es cendol yang dipesannya dengan nada kesal menjawab, “ah elu malah nanya balik lagi!” “Lup,” Didi meneruskan, “sebenarnya gue sendiri enggak tahu apa tujuan gue ikut demonstrasi ini. Soalnya gue sendiri kadang merasa apa yang kita lakukan di gedung ini sama sekali tidak didengar kok. Malah kita dapet capek.” ‘Tapi dapat nasi bungkus kan,” Lupi terkekeh sedikit. “Di, sama seperti elu tapi agak beda sedikit,” Lupi berkata lagi, “kalo gue demo gini ya karena gak enak aja sama Ipul dan elu. Apalagi Ipul ngajakin gue ikut. Supaya nambah personil demo katanya. Biar terlihat banyak gitu.” “Gue juga bosen gini-gini terus. Mendingan kita belajar yang bener. Tapi jangan lupa, tujuan kita dan temen-temen yang semangat demo mungkin berbeda. Mereka memang benar-benar berdemo dalam arti yang sesungguhnya, sedang kita cuma seru-seruan aja.” Lupi mengangguk sambil memesan satu gelas es cendol lagi. Matahari semakin tegak berdiri di atas kepala kami, kawan-kawan pendemo semakin bersemangat dengan menyanyikan himne perjuangan sekalipun keringat semakin bergulir mengaromai tubuh yang tegak pula. Tangan kanan mereka mengepal, bergerak ritmis mengikuti irama lagu itu. Didi dan Lupi pun bergabung kembali dengan mereka. Linda Bleszinky dan Kamar Mandi “Hei semua bangun,” teriak Ipul sambil tangannya memukul-mukul tembok kostan yang memiliki petakan tiga ruang. “Bu Johan pasti sebentar lagi sudah ada di depan kelas,” Ipul dengan nada yang sedikit direndahkan. Didi dan Lupi langsung terperanjat. Kaget. Tangan mereka yang masih enggan menggesek-gesek kedua mata mereka yang masih terpejam. “jam berapa ini, pul?” tanya Didi. “Lihat saja, tuh,” jemari Ipul yang tangkas menunjuk ke jam dinding yang hampir menyentuh atap. Didi dan Lupi kembali terperanjat. “Tidaaaak,” mereka berteriak, mengagetkan Ipul. Kedua mahasiswa muda yang memiliki selera humor yang lumayan ini bergegas menuju kamar mandi. Mata Didi dan Lupi beradu pandang ditambah kernyitan dahi mereka. “Gue duluan,” kata Didi, langsung bangun dari kasur tipis yang dibeli murah dari teman kelasnya. Lupi menarik tangan Didi hingga tubuh. Didi hampir jatuh. “Gue duluan dong. Lagian gue udah kebelet buang hajat ni,” sergah Lupi dengan nada yang berpotensi membuat tetangga kostan berteriak. “Enggak bisa. Gue yang duluan, heh anak betawi keturunan Cirebon,” balas Didi berusaha melepaskan genggaman kuat tangan Lupi. “Gue yang duluan,” Lupi kembnali menarik cepat-cepat tangan Didi. “Gue,” balas Didi “Gue, heh anak Sunda yang doyan mie rebus dicampur nasi.” Ipul menggelengkan kepala. Aneh melihat dua mahasiswa yang bertingkah laku layaknya anak kecil ini. “Udah gue berangkat duluan yah. Selamat mandi kawan-kawan yang baik hati.” Didi dan Lupi melongo. “Kalian udah gede,” tegas Ipul tapi matanya sedikit diangkat, terlihat seperti sedang bercanda. Ketiga mahasiswa ambisius itu memang sering berangkat ke kampus bareng-bareng karena memang mereka berada dalam satu kelas jurusan ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Atau banyak orang yang menyebut kampus ini dengan UI Negeri. Atau dengan lebih serius lagi dijuluki sebagai kampus pembaharu. Sebutan ini tidak berlebihan karena memang UIN jakarta telah melahirkan beberapa pemikir Islam yang progresif dan revolusioner. Munculnya kelompok pemikir pembaharu ini menyebabkan UIN Jakarta disebut sebagai mazhab Ciputat sesuai letak kampusnya yang berlokasi di Ciputat. Mazhab Ciputat ini seolah mengacu kepada empat mazhab dalam yurisprudensi hukum Islam. Jadi, jika salah satu dari mereka tidak terlihat bareng berangkat ke kampus seolah terjadi sesuatu di antara mereka . teman-teman satu kelas mereka sudah menganggap Didi, Ipul, dan Lupi sebagai trio kembar yang diciptakan Tuhan dengan sengaja. “Gue menang,” kata Lupi tersenyum nyinyir saat memenangkan suitan sebagai cara yang tepat untuk menentukan siapa yang lebih dulu berhak menggunakan kamar mandi. Didi sekadar bisa mengangkat bahu. Tanda pasrah. Sementara itu di lain pemandangan Ipul sudah bergegas menuju kampus. “Apa yang harus gue perbuat?” gumam Didi ketika melihat jarum jam hampir mendarat di angka delapan. Itu artinya beberapa menit lagi ia akan terlambat. Bukan akan, tapi pasti terlambat. Konsekuensinya, bu Johan dosen pemikiran politik barat, yang terkenal tidak mengenal kompromi soal ketelatan, akan mengusir dirinya sejkalipun telat beberapa menit saja. Lupi malah asyik bernyanyi sebagai peneman mandi. Didi tambah mangkel dibikinnya. Lagu yang dinyanyikan Lupi adalah Don’t stop me now miliknya Queen, band legendaris dengan vokalis Fredy mercury yang kumisnya juga legendaris. Didi semakin mual mendengar suara Lupi yang sumbang dan cara menyanyinya yang salah. Ditambah lagi cara pengucapan inggrisnya yang acak-acakan, yang bahkan menurut Didi cara pengucapan Inggris Lupi terkesan dilebih-lebihkan—lebay. Tapi Lupi tidak peduli dengan semua atribut kejelekan yang disematkannya itu. Yang penting, katanya, musik lahir sebagai alat pembebasan. Entah dari mana Lupi menemukan kesimpulan itu. “Lup, cepetan dong!” ‘Waduh, gue kayaknya mau buang hajat ni. I am so sorry my brother,” jawab Lupi seenaknya. Sebenarnya ia cekikikan di kamar mandi. Lupi merasa pasti Didi diserang penyakit gelisah. Takut terlambat masuk kelas. “Elu mau ngehancurin masa depan gue ya, Lup?” “Elu hancur, gue juga hancur.” Timpal Lupi sambil menikmati kelegaan setelah kotoran di perutnya keluar dengan lancar. Ponsel nokia jadul Didi berdering. “ Ibu Johan masih di perjalanan. Mungkin ia terjebak macet.” Pesan dari Ipul dengan ponselnya yang memang jadul juga. “Ok, thank you brother atas infonya.” “Kasih tahu Lupi,” lagi Ipul membalas. Ibu Johan salah satu dosen yang tidak mentolerir mahasiswa yang telat meskipun beberapa menit ini senantiasa memberi tahu posisi dirinya sebelum masuk ke kelas agar mahasiswa masuk kelas tepat waktu. Ia dengan senang hati mengirim pesan kepada ketua kelas yang kebetulan dijabat oleh Ipul jika dirinya telat atau tidak masuk kelas. Sebagai penanggung jawab berlangsungnya kondusifitas belajar mau tak mau Ipul mengirim pesan ke seluruh teman kelas untuk menyebarkan informasi tentang dosennya. Karena itu Ipul harus selalu memiliki pulsa yang full. Bahkan ipul memiliki card number lebih dari tiga. Ini dilakukannya untuk teman-teman yang memiliki card number yang berbeda darinya. Tapi Lupi masih asyik di kamar mandi sekalipun Didi menyuruhnya bergegas keluar. Lupi memang tipe sahabat yang kadang menyebalkan kendati kadang-kadang juga ia mentraktir Didi dan Ipul ngebakso di perempatan arah masuk ke kostan mereka. Belakangan ini, di antara bertiga Lupi memiliki kantong yang tebal karena baru saja orang tuanya mendapat warisan dari kakek dan neneknya di Cirebon. Melihat gelagat Lupi yang nampaknya tidak segera akan keluar, Didi menguras pikiran mencari jalan keluar. Dahinya berkerut-keringat. “Aha,” katanya seolah ilmuwan yang girang setelah mendapat gagasan cemerlang. Didi melepaskan sarung tidurnya. Mengganti dengan celana bahannya yang mudah kusut. Dia mengetuk pintu tetangga kostan. “Boleh,” kata Linda setelah mendengar cerita Didi yang dikecewakan oleh Lupi hanya karena berebut kamar mandi. “Terima kasih, bu!” “Kok ibu?” “Ya tante.” “Jangan tante.” Didi menyeringai tapi matanya tak sanggup menatap pandangan Linda yang menusuk. “Ya, kak Linda,” tegas Didi dengan mulut yang gugup. Linda, wanita berusia sekitar empat pulahan tahun itu tersenyum sambil mengerdip genit ke Didi. Tubuh Didi menjadi bergidik tiba-tiba. Ia, entah kenapa, mengingat wanita berkepala empat yang suka pada anak muda semacam dirinya yang terjadi di film tengah malam. Dan kelanjutan dari film itu adalah si tante mengajak bercinta dengan gaya yang aneh-aneh. Bagaimana nasib Didi yang berniat mencari ilmu harus jatuh di pelukan tante Linda? “Ah tidaaak,” kata Didi dalam hati. “Aku masih mau jadi perjaka tulen,” katanya lagi dalam hati. “Ayo masuk,” perintah wanita itu dengan nada mendesah. Ah sebenarnya tidak mendesah amat, hanya saja Didi yang terlalu paranoid. “Aku belum siap, kakak,” kata Didi kaget. “Kamu mau mandi enggak?” Didi menjadi tampak kikuk. Ia terlalu jauh berimajinasi. “Mau, kak.” Ia membalas dengan terlebih dahulu menghela nafas demi mendapat kelegaan. Tapi ia tetap was-was. “Mas Didi,” panggil Linda dengan lembut. “Mati aku,” resah Didi yang baru saja menanggalkan celana dalamnya. “Di situ kan enggak ada sabun. Ini sabunnya,” sambung Linda. Terpaksa Didi memakai celananya lagi dengan terburu-buru. Hati-hati ia membuka pintu. “Terima kasih, kak,” katanya tetap was-was. “Ok, ganteng,” lagi-lagi Linda mengedipkan mata genitnya di antara sela pintu kamar mandi yang dibukakan Didi dari dalam. Tak lama kemudian Linda menyambung kata lagi, “Sabunnya jangan dipake untuk hal yang enggak-enggak ya!” Didi mengangguk. Tapi jujur ia terlalu polos untuk memahami candaan Linda sekalipun dirinya tidak pernah absen menonton film tengah malam yang memang agak hot. Seketika setelah kembali berkonsentrasi dengan mandinya, mata Didi terbelalak ketika pandangannya mendongak sedikit ke atas. Beberapa buah bra yang entah berukuran berapa menggantung di hanger. Ia mencoba menormalkan posisi kepalanya. “Ampuni aku, Tuhan yang menyukai keindahan,” kilahnya seakan-akan menjadi pemuda paling bersih dan suci. Karena terlalu memiliki imajinasi yang berlebihan, Didi sekan Lupa untuk tidak telat masuk kelas. “Mana Didi?” Lupi mencari-cari sahabatnya yang memang cenderung emosional manakala menonton drama korea “Love Story In Harvard” itu. Jejaka muda yang memiliki niat kuat untuk menjadi diplomat ini menyangka Didi sudah berangkat duluan tanpa tubuhnya menikmati mandi pagi. Tapi Lupi merasa aneh ihwal perlengkapan kuliah Didi yang masih tergeletak. Mungkinkah jejaka itu sudah berangkat ke kampus, meninggalkan dirinya yang ketakutan setengah mati kalau diusir oleh bu Johan tersebab telat sedikit saja. “Hmm rupanya cah sunda yang ke Ahmad Dhanian itu ingin bermain-main dengan gue!” Cabuuut. Lupi bergegas menuju kampus. Didi akhirnya merampungkan mandi paginya di kamar mandi milik seorang wanita yang memiliki hidung sedang, bentuk wajah yaris menyerupai Tamara Bleszinky, bertubuh sintal tapi kenceng, dan bertinggi sekitar 170-an itu. Harus diakuinya mandi paginya ini tidak senikmat mandi pagi yang sudah-sudah karena was-was dengan gerak-gerik Linda dan tentunya ia takut telat masuk kelas. Tapi mandi pagi ini memang menjadi pengalaman yang mencengangkan seumur-umur ia hidup di dunia selama lebih dari sembilan belas tahun. Linda yang keluar sebentar untuk membeli nasi uduk tampak kebingungan. Sang cowok yang digenitinya tidak lagi berada di kostannya. Aku harus menyenangkan paginya, katanya dalam hati yang riang-girang. Jarum jam beberapa menit lagi mendarat tepat di angka delapan. Semua perlengkapan kuliah sudah tersedia dengan rapi padahal didi tidak menyiapkannya sama sekali. Didi paham ini adalah gaweannya Lupi. Sahabat yang mengaku tidak pernah berpacaran serius ini terkenal perhatian kepada teman-teman. Tapi saat ini Lupi sudah meninggalkan dirinya. “Ah Lupi ngerjain gue nih,” kata Didi pelan. Pintu kostan diketuk. Darah muda Didi kembali berdesir. Linda berseru lembut. Lembut sekali mengalahkan kelembutan sekumpulan awan di kala senja tiba. “Masuk aja, kak Linda. Linda membuka pintu dengan pelan. Dengan penampilan yang membuat jantung Didi berdegup kencang tak karuan. Wanita itu memakai leging ketat dengan t-shirt yang ketat pula. Semuanya serba pink. Jadinya Linda tampil bak gadis muda ditambah kulitnya yang kuning langsat khas Indonesia asli. Tangannya yang ramping memgang nasi uduk yang dibelinya. “Sarapan dulu ya, mas Didi,” Linda memulai. “Nasi uduknya mantap loh. Sambalnya nendang. Bisa bikin lidah bergoyang-goyang. Semur jengkolnya empuk. Gorengannya gurih. enggak tertarik nih, mas Didi? Ini nasi uduk terlezat di komplek ini loh!” Didi menelan mentah-mentah air liurnya. Perutnya menjadi kerongkongan seketika. Dari tidak lapar, kini perutnya semakin lapar saja. Dia mulai tergoda. Hmmm apalagi yang menyajikan itu Linda, tetangga kostan paling aduhai dan bohai. “Spesial untuk mas Didi,” goda Linda yang bisa membaca isi pikiran Didi. “Tapi sebentar lagi aku masuk kelas ni.” “Perut kosong itu susah masukin ilmu ke sini,” Linda menunjuk dahi kirinya. Didi tidak bisa mengelak. Ia kalah. Baiklah, katanya dalam hati. Linda sepersis isteri yang taat pada suami menyiapkan nasi uduk plus teh hangat. Mulanya Didi malu-malu. Menyantap nasi itu dengan hati-hati dan pelan. “Enggak enak ya?” tanya Linda. “Mantap,” kata Didi yang beberapa detik kemudian rasa canggungnya sudah melebur bersama keramah-tamahan Linda meskipun tetap membuat jantung Didi dag dig dug. Linda sangat menikmati pemandangan ini. Terus-menerus matanya fokus pada Didi yang lahap. Hatinya berselimut bahagia. Pagi ini niatnya untuk menyenangkan orang lain tercapai. Apalagi kepada Didi yang menurutnya manis tapi gagah bak aktor Antonio Banderas meskipun masih terlalu jauh untuk disamakan dengan aktor kelahiran Chile itu. Selesai sarapan dengan nikmat nan hikmat, Didi bersiap ke kampus tapi Linda belum beranjak juga. Didi jadi serba salah. “Kok kelihatan bingung, mas Didi? Nanti telat loh ke kampusnya!” Linda menjadi tampak anggun di mata Didi karena sikap pengertiannya. “Ya sebentar lagi bu dosen pasti sudah masuk kelas.” Pasca itu Didi dan Linda keluar. “Aku berangkat duluan ya, kak Linda. Terima kasih sudah pagi ini sudah berbuat baik sama saya.” Linda tersenyum. Wajahnya semakin pinky seiring pujian Didi. “Hati-hati ya. Belajar yang semangat,” kata Linda singkat tapi menghunjam jantung. Didi berpamitan kepada Linda. Wanita seksi itu mengiyakan. Tapi ia terus mengawasi langkah Didi hingga sosok tubuh Didi berlalu dari hadapannya. Tingkah kedua manusia yang berbeda umur jauh itu seperti pengantin baru yang sedang menggebu-gebu. Bu Johan sudah di depan kelas. Didi baru tiba di gerbang kampus. Didi mempercepat langkah, kemudian setengah mati berlari. Hampir seluruh mahasiswa FISIP yang berpotensi telat berlari ngos-ngosan menuju kelas. “Lupa pada kesepakatan?” sindir bu Johan ketika Didi masuk, mengucap salam. “Ingat,” jawab Didi terengah-engah tapi terdengar enteng. “Kalau begitu sebutkan!” “Tidak boleh masuk jika telat enam menit lebih,” sebut Didi yang masih berdiri tegak di depan pintu. Didi memang melanggar kesepakatan antara mahasiswa dan dosen. Seyogianya tidak boleh masuk, ia akan tetap menerobos masuk. Namun bu Johan nampak terganggu dengan ulah Didi. Ia sangat mangkel dengan mahasiswanya yang sering telat. “Lalu?” bu Johan mencoba tegas. Didi paham seratus persen dengan maksud pertanyaan itu. Ini artinya ia harus mencabut dirinya dari kelas. “Mau ke mana?” tanya bu Johan saat Didi membalikan tubuhnya menuju pintu keluar. “Hari ini kamu mendapat pengampunan. Sepertinya takdir kamu hari ini baik. Juga sepertinya kamu memiliki niat kuat untuk belajar.” Didi mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada dosen itu. “Makalahnya?” bu Johan menadahkan telapak tangannya. Jantung Didi seperti dihantam senjata tajam mematikan. “Kacau,” katanya dalam hati. Ia kikuk. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi ia pura-pura membuka tas gendongnya yang mungil. Tas itu didapatkannya dari Mariana, kawan SMA-nya beberapa tahun yang lalu. “Kamu tidak bikin ya?” tebak bu Johan. “Bikin, bu. Tapi sepertinya ketinggalan di kostan.” “Lalu?” tingkah bu Johan terlihat ketus. Didi sekali lagi memohon kebaikan bu Johan agar mengizinkannya mengambil makalah di kostan. Untungnya dosen keturunan batak ini sedang berbaik hati. Usut punya usut bu Johan yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun ini baru dilamar oleh perjaka yang dipacarinya lebih dari enam tahun. Didi yang menggilai kemanisan Lola Amaria ini kembali ke kostan dengan tergesa. Beberapa menit kemudian Lupi masuk kelas. Ia baru saja diminta bu Johan untuk mengambil buku teks Pemikiran Politik Barat di ruang kerjanya. Lupi sedikit menarik nafas. Duduk di sebelah Ipul yang bersiap menerima mata kuliah yang disukainya ini. “Mana Didi?” tanya Lupi kepada Ipul. “Apa?’ Lupi terkaget ketika Ipul menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Ipul terheran-heran. “Makalahnya ada di gue, Pul. Gue sengaja bawa makalahnya!” “Ngapain elu bawa segala?” “Ya tadinya buat ngerjain dia supaya kaget. Eh ternyata keadaannya jadi begini.” Wajah Lupi menggambarkan ketidakenakan. Dia menjadi merasa bersalah. Lari Didi semakin cepat seperti motor tancap gas sekalipun keringat mulai mencucuri tubuhnya. Ponsel disaku celana jinsnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. “Makalahnya ada di gue, bro. Gue yang bawain. Cepat elu balik lagi. Urusan bu Johan, gue yang beresin.” “Lupi sialan, huh,” geram Didi dengan nafas yang sudah payah dan balik kanan menuju kampus. Dia kembali berlari sekuat tenaga. “Ngapain lari segala?” suara yang terdengar seperti berteriak plus deruman motor matic itu muncul dari belakang Didi. “Eh kakak. Iya nih habis dikerjain sama Lupi. Jahil banget dia.” Terang Didi. “Ayo kakak boncengin. Daripada lari. Entar tambah capek loh.” Didi merasa canggung. Tapi Linda terus memaksanya. Kecanggungan Didi berubah jadi dag dig dug ketika Linda menolak tawaran Didi yang bersedia mengemudikan motor. Apa boleh buat, Didi mengalah. Malu bercampur desiran jantung mengental ketika motor matic itu melaju dengan disaksikan orang-orang sekitar yang lalu-lalang. Tapi hati Linda tersenyum ranum. Ia tidak canggung apalagi malu. Ia rileks dengan menampilkan wajah yang dewasa sesuai usianya ketimbang Didi yang kikuk. Pertaruhan Didi tidak marah atas kejahilan Lupi. Jejaka yang mengaku mirip Baim Wong ini memang pernah berseloroh kepada Lupi dan Ipul. Katanya, hidup butuh gurauan dan kelakar kendati membikin sakit hati. ‘Tapi seumur-umur gue enggak bakalan lupa keisengan elu, Lup,” Didi terdengar seperti mengancam. “Gue mulai paham siapa elu, Di!” timpal Lupi dengan enteng. Didi menangkat bahunya yang gempal. “Wah elu berdua mulai ketularan tabiat politikus ya? Diplomatis tapi menyindir. Nyinyir,” Ipul menganalisa. Kemudian, suasana yang agak menegang, mereda. Pukul tujuh malam itu mereka bersiap menonton acara kesukaan mereka. Ipul menyalakan televisi 14 inc merk Polytron yang dibeli dari tukang elektronik bekas secara patungan. Saat-saat seperti ini memang waktu yang pas untuk menikmati berita tentang seputar situasi yang terjadi di seluruh penjuru negeri, khususnya lagi berita aktual seputar politik praktis. layar hitam langsung berubah menjadi gambar-gambar manusia yang berkerumun. Mereka, para kuli tinta itu, merubungi seorang tokoh yang berpengaruh di negeri ini. Si tokoh nasional itu tidak bisa bergerak sedikitpun karena memang para wartawan sibuk menanyai paksa si tokoh yang mulai kelihatan tidak nyaman dengan suasana yang ditonton seluruh publik negeri. “KPK menanyakan hubungan saya dengan pak Konde. Saya bilang kalau saya pernah bertemu sekali dengan beliau di acara silaturrahim kebangsaan beberapa waktu lalu. Itu saja kok, enggak ada yang lebih,” jawab si tokoh itu dengan tenang. “Apakah KPK menanyakan kemungkinan keterlibatan bapak dalam kasus ini?” tanya seorang wartawan dengan berani dan tentu ini agak menyindir si tokoh. Tapi si tokoh tidak menjawabnya. Dia langsung menuju mobil mewahnya dengan dikawal bodyguard yang gagah dan menyeramkan. Para wartawan yang meliput agak kecewa atas respon si tokoh. Tapi setidaknya mereka sudah mendapat bahan laporan untuk disampaikan ke publik. Pak Konde yang terhormat, yang juga politikus tersohor karena ucapan-ucapannya yang kontroversial ini sekarang sedang menjadi tersangka. Ia terkena kasus mega korupsi yang merugikan negara hampi milyaran rupiah. Diduga ia tidak sendiri melakukan praktik korup. Masih ada beberapa pejabat yang disinyalir terlibat. “Gue yakin dia terlibat,” Lupi berseloroh. “Analisa elu?” Didi menagih alasan Lupi. “Dari ekspresi wajah,” Tangkas Lupi menjawab. Didi terkekeh. Lupi merasa tersinggung. “Jadi selama ini elu belajar apa di kampus?” ejek Didi. Lupi agak terpojok. Ingin menyela tapi merasa seolah sudah kalah. Ia memang menyadari ilmu berangkat dari perangkat ilmiah yang harus bisa dipertanggungjawabkan. Sementara mengamati kasus mega korupsi dari pendekatan ekspresi wajah sulit untuk dibuktikan meskipun di era sekarang pendekatan itu sudah mulai dikenal luas di publik. “Ya tapi setidaknya gue bukan dukun,” Lupi membela diri. Didi mengangkat alisnya. Memaklumi kekeliruan Lupi. Sejenak kemudian ia menoleh ke Ipul yang masih asyik menikmati tayangan berita. “Kalau elu, Pul?” “Wani piro?” Lupi ngakak mendengar tukasan Ipul yang tidak disangka-sangka. “Taruhan ni?” tanya Didi Ipul membenarkan. “Siap!” Didi mengiyakan. “Dia pasti terlibat,” kata Ipul sambil menunjuk si tokoh yang masih ditayangkan televisi. “Dan gue yakin dia tidak terlibat. Hanya lewat saja. Kebetulan. Supaya bikin geger dunia politik dan pemerintahan kita,” begitu kata Didi. “Analisa elu?” Lupi merasa penasaran. “Tidak perlu pake analisa segala. Kita sedang taruhan. Yang jelas gue tidak membacanya dari analisa ekspresi wajah, “ Didi tertawa ngakak. Ipul menahan sekuat mungkin untuk tidak ikut tertawa. “Ok, gue ikutan,” Lupi mulai emosional. “Gue yakin dia terlibat.” Ipul memberi jempol untuk Lupi. “Apa yang ditaruhkan?” nada Lupi seolah menantang dan seakan-akan akan mendapatkan kemenangan melawan Didi kendati pembuktian kasus korupsi tersebut akan memakan waktu tidak sedikit. “Selama tiga bulan uang kostan dan makan elu berdua gue yang nanggung, “ Didi menyombongkan diri. Padahal ia sendiri agak tidak yakin dengan prediksinya. Tapi ia tak mau kalah. Ia harus menang. “Siapa takut?” jawab Lupi dan Ipul kompak. *** Ketiga jejaka muda yang mulai beranjak menuju usia dua puluh ini mulanya tak pernah terpikir untuk tinggal satu kostan. Kebersamaan mereka dimulai dengan beberapa kali ganti teman kostan diikuti dengan beberapa kali ganti kepindahan kostan. Sampai di semester ke empat ini mereka dipersatukan. Keterdamparan mereka di kampus yang mulai bergengsi ini memiliki akar historis yang berdiferensiasi. Memiliki liku-liku dan lekukan yang mungkin dirasakan oleh setiap calon mahasiswa yang hendak mengadu nasib di kampus Jakarta. Cerita ini dimulai dari Lupi. Semasih sekolah Lupi bermimpi menjadi bankir yang sukses seperti bibinya dari pihak ayah.. Karena itu ia mendaftarkan diri di sekolah kejuruan. Ia merasa kaget karena di sekolah ini ia harus berteman dengan perempuan. Dari tiga puluh siswa, ia lelaki sendirian. Tapi justru kondisi itu dipolanya menjadi sebuah peluang. Ia berpikir bergaul dengan perempuan akan mengasah ketelitian dan ketekunan yang memang melekat erat dengan karakter perempuan. Karakter yang melekat ini dimanfaatkan untuk menuju pintu menjadi bankir yang sukses. Dan pada kenyataannya lingkungan kejuruan yang membuatnya menjadi lelaki emosional. Lebih dari itu, di antara bertiga Lupi menjadi pribadi yang lihai menarik perhatian cewek-cewek. Sebagaimana anak SMA yang cerah menatap masa depan, Lupi memulai rencana untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Ya ia ingin menjadi bankir. Untuk itu ia bersiap mengikuti test di beberapa perguruan tinggi Jakarta yangb terkenal di bidang ekonomi dan perbankan. Universitas Indonesia, Trisakti, dan STIE Perbanas adalah incarannya untuk menorehkan masa depan. Tetapi ia ingin memulai test di kampus negeri terlebih dahulu, yakni UI lewat jalur mandiri, bukan tes nasional. Tingkat percaya diri yang tinggi membuatnya yakin namanya akan tertera di jurusan manajmen UI. “Masa depan gue dimulai dari sini,” katanya pelan. Di hari pengumuman, waktu itu, Lupi bangun subuh-subuh. Sarapan nasi uduk bikinan ibunya diselesaikan, ia berpamit kepada kedua orang tuanya. “Do’ain Lupi ya, ma, pak, semoga Lupi menjadi mahasiswa UI,” katanya seperti memelas. Kedua orang tua yang memang sangat menyayangi Lupi merestui. Bergegas Lupi menyalakan Honda Astreanya dari grogol menuju UI. Cukup satu jam sampai di UI, Lupi memasuki gerbang, dan langsung berhadapan dengan halaman kampus biru yang luas dan lapang. Ia meletakan motornya di halaman parkir bersamaan dengan para bakal calon mahasiswa UI. Papan pengumuman sudah digerubungi para penerus masa depan negeri ini. Ada yang bergembira karena namanya tertera dalam papan itu. Ada yang masih mencari-cari nama masing-masing. Ada juga yang merasa kecewa dengan wajah bermuram durja karena nama mereka tidak tercantum dalam lembaran pengumuman. Bagi yang mengalami kegagalan seolah masa depan mereka tak bernyawa lagi. Lupi memilih mengamati mereka. Ia akan mendekati papan itu setelah mereka bubar. Ia melakukan ini karena seandainya namanya tidak tercantum tak ada yang melihat seraut wajah kecewa seperti mereka yang gagal. Namun jika berhasil, kebahagiaannya bisa ia nikmati sendiri. Beberapa menit kemudian, di sekitar papan itu sudah sepi. Lupi memantapkan diri. Ia sudah menyiapkan mental jika harapannya tak sesuai. Ia melangkahkan kaki dengan yakin. Melihat dari nama-nama yang tertera, kemudian matanya bergerak pelan merendah. Dari urutan 1 sampai 100 ia belum menemukan namanya. Mata nyang lelah ia pejamkan sambil memanjat do’a. Ia meniliti lagi dengan saksama. Tetapi tetap ia tak menemukan namanya dari urutan 101-200. Ia mulai pasrah meskipun masih menyimpan harapan. Menarik nafas sejenak, kemudian meneliti lagi. Jika dari urutan 201-300 namanya tak ada berarti UI bukan tempat untuk menuliskan masa depannya. Ia mulai dilebati keraguan. Ia sendiri bahkan tak menyangka keyakinannya yang tinggi diakhiri dengan keraguan yang mencengangkan. Ia mulai melirik rencana B jika rencana A gagal total. Tri sakti dan Perbanas adalah destinasi berikutnya. Terus dengan hati-hati ia meneliti. Namun nama Lupi Samarupi Bin Khalidi tak tercantum. UI dengan pasti bukan tempatnya menjadi orang beneran. “Aku gagal,” kata Lupi kepada orang tuanya. Orang tuanya bersikap bijaksana tapi berterus terang bahwa mereka tak bisa melanjutkan studi Lupi ke Tri Sakti dan Perbanas. Alasannya terdengar klasik memang, biaya kuliah swasta lebih mahal ketimbang kampus negeri. Mau ke mana Lupi? Tapi orang tua Lupi tetap menginginkan anaknya melanjutkan sekolah. Lupi berkeras pikiran. Siang dan malam ia memeras otak memikirkan ke mana kampus yang sesuai dengan mimpinya dan tentu saja biayanya terjangkau. Ia mulai mencari informasi. Singkat sekali ia sidah mendapatkan kampus yang sesuai dengannya. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untungnya pendaftaran masih dibuka. Menyisakan satu hari lagi. Nasib memang tampak berpihak kepadanya. Masa depan seolah sedang terbuka lebar di hadapan Lupi. Dalam formulir yang disediakan kampus, Lupi mengisi tiga opsi jurusan. Tiga opsi ini wajib diisi. Mungkin sebagai kompensasi jika opsi ke 1 gagal, masih bisa diterima di opsi ke 2 atau ke 3. Ia dengan tangkas menulis Perbankan Syariah sebagai opsi ke 1, manajemen Keuangan sebagai opsi ke 2, dan ilmu politik sebagai opsi ke 3. Lupi mulai menimbang peluang untuk lulus tes Perbankan Syariah. Logikanya sederhana, jika di UI gagal di UIN pasti berhasil. Sebab UI lebih mentereng menurutnya. Ia mulai berani bertaruh dirinya akan mulus menjadi mahasiswa Perbankan. Diikutilah dengan senang hati test yang berlangsung tiga hari itu. Hasil test akan diumumkan seminggu berikutnya. Kesabaran Lupi sudah bertepi. Ia ingin segera pengumuman disegerakan. Hari terasa cepat bagi orang yang menjalaninya dengan keyakinan dan harapan. Pengumuman hasil test masuk tiba. Seperti di UI pada hari pengumuman papan hasil test dikerubungi bakal calon mahasiswa UIN. Lupi merangsek ke dalam kerumunan. Oh, darah Lupi merangsek naik, namanya tercantum di urutan ke tiga. “Yes,” teriaknya. “Akhirnya gue akan menjadi bankir yang kaya raya.” Seakan ingin meyakinkan dirinya yang girang-gemirang, Lupi meneliti lagi namanya. Ya, benar itu namanya: Lupi Samarupi Bin Khalidi!. Nomor urutan tesnya pun sesuai. Tapi beberapa saat kemudian tubuhnya melunglai setelah ia melirik ke kolom berikutnya, setelah tulisan namanya. Nama : Lupi Samarupi Bin Khalidi, jurusan ilmu politik. Ah, tidak! Lupi menggelengkan kepalanya. Opsi 1 dan 2 gagal. Bagusnya, Lupi menerima dengan ikhlas jikalau harus mendarat di Ilmu Politik. Daripada tidak kuliah sama sekali! “Ya sudahlah,” katanya pasrah dengan membayangkan dirinya menjadi politisi di suatu saat. Ia tersenyum geli. Orang-orang yang melihat tingkah Lupi merinding. Pertaruhan masa depan terjadi di belahan timur Jakarta. Seorang pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai kuli buruh di industri rumahan yang memproduksi tahu tempe. Pasca merampungkan SMA, pemuda ini harus menyerah kepada keadaan. Ia mengubur dalam-dalam impiannya untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. “Tidak mungkin aku kuliah. Ekonomi keluarga sedang tidak stabil, sementara adik-adikku masih butuh biaya sekolah,” katanya waktu itu saat menerima ijazah SMA. Setelah satu tahun menjadi kuli, ia membaca artikel di sebuah harian terkenal nasional dengan judul, “Bagaimanapun Pendidikan Tetap Penting!”. Pemuda yang memiliki kulit putih dan rambut bergelombang dengan wajah mirip presenter Ramzi ini tergoda untuk sekolah lagi. Ia mulai memikir, menimbang, dan membahasnya dengan kedua orang tua. “Terima kasih, ma, pak, sudah memberi izin aku untuk kuliah,” katanya dengan mencium kedua tangan kedua orang tuanya. Tapi mau kuliah di mana? Ngambil jurusan apa? Ipul mulai mencari-cari informasi kepada teman-temannya yang sudah terlebuh dahulu menginjakan kaki di perguruan tinggi. “Ente harus kuliah di Jakarta,” kata temannya yang sudah menjadi mahasiswa di kampus Cirebon. “Jakarta aksesnya gampang kalau sampean cari sampingan penghasilan. Tapi ente harus milih kampus yang terjangkau dan jurusan dengan peluang diterimanya mudah. Ya tidak terlalu sulit gitu,” katanya dengan pengucapan huruf R yang kurang sempurna. “Di mana?” tanya Ipul. “UIN Jakarta. Jurusan Ilmu Politik.” “Tapi aku pengen masuk jurusan ekonomi.” “Terserah , “ jawab temannya. Ipul resign kerja dari pabrik tahu-tempe dengan tabungan yang lumayan. Dengan tekad kuat berangkat ia ke Jakarta. Di sana ia menginap di rumah saudaranya. Setelah beres menyelesaikan pendaftaran ia mengisi formulir seperti yang didapat oleh Lupi. Dari tiga opsi ia menuliskan ilmu ekonomi di opsi pertama. Ia cukup menuliskan opsi pertama karena ia yakin akan diterima di jurusan itu. Tapi pihak kampus mewajibkan ketiga opsim itu untu diisi. Maka ia memilih Manajeman di opsi kedua dan seperti kata temannya ia menuliskan ilmu politik pada opsi ketiga. Toh seperti senasib dengan Lupi, ia diterima di Ilmu Politik. “Di jurusan mana saja yang masuk tidak jadi masalah. Yang penting kuliahh,” katanya seolah pasrah. Sementara di sebuah pusat kota Bandung, Didi yang sudah duduk di semester pertama Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) jurusan manajemen bisnis dirasuki kegelisahan. Ia tak yakin kampus yang ditempatinya ini sebagai masa depannya. Gejolak hatinya mengatakan ia harus hijrah ke Jakarta. Kerabat dan keluarganya kaget mendengarnya, dan lebih kaget lagi ia memutuskan untuk tidak memilih manajemen bisnis sebagai pilihannya lagi. Ia sudah muak dengan mata kuliah yang berbau angka-angka ekonomi. Ini artinya ia harus memulai kuliah dari awal lagi. Menjadi mahasiswa baru. Sia-sia ia habiskan dua semester di Bandung. Banyak kampus yang bergengsi di Jakartan tapi ia memilih UIN sebagai pilihan masa depannya. Dari tiga opsi jurusan yang harus diisi dalam formulir. Ia seperti Ipul hanya menulis satu opsi saja yang pada akhirnya harus mengisi ketiga-tiganya sesuai mandat dari kampus. Ilmu Politik ia tempatkan di pilihan pertama, diikuti Sejarah Peradaban Islam di pilihan kedua, dan sosiologi dipiliha ketiga. Lancar sekali ia mengerjakan tes soalnya ia mengisi dengan santai dan tidak terburu-buru karena yakin akan diterima di jurusan pilihan pertamanya. Ketiga jejaka yang masih berapi-api ini akan mempertaruhkan masa depannya di ibu kota yang multi berat dan keras. Mereka sudah siap menerima segala apapun yang terjadi yang menghadang langkah-langkah mereka dengan sigap dan tangkas. Filsuf Dramatik Kini mereka mempunyai mimpi yang berubah. Mimpi menjadi bankir, pakar keuangan, dan ekonomi pupus sudah. Mimpi baru sudah berdiri di depan mata. Ketiganya bersemangat menjadi diplomat sesuai yang diimpikan Lupi, menjadi pemimpin yang dimaui Ipul, dan menjadi ahli politik yang dicita-citakan oleh Didi. Di sisi lain yang membikin semangat mereka mengejar mimpi adalah para alumni UIN Jakarta yang sudah dikenal oleh publik karena kapasitas dan intelektualitas mereka. Lebih-lebih mereka sering tampil di televisi nasional. Para alumni itu dikenal sebagai jurnalis, aktivis, politisi, dan cendikiawan atau pemikir. Karena itu, Didi, Lupi, dan Ipul semakin giat belajar sekuat mungkin, mereka memanfaatkan waktu dengan membaca. Tetapi jujur hingga semester empat ini mereka merasa belum mendapat apa-apa. “Apa mungkin ada yang salah?” kata Lupi. Didi dan Ipul tampak menyerap prediksi Lupi. “Cara belajar kita yang salah. Kondisi kita juga salah,” tegas Lupi lagi. “Maksudmu?” tanya Didi. “Cara berpikir kita yang salah,” Ipul mencoba memahami. Kemudian dia melanjutkan lagi, “Selama ini kita belajar hanya di kampus dan kostan. Kita tidak pernah mencoba belajar di luar.” “Kita harus belajar di forum-forum studi githu?” sambut Didi. “Betul,” serempak jawab Ipul dan Lupi. Menjadi mahasiswa memang menajdi impian setiap orang. Karena di kampus kita bisa mengenal segalanya dan setidaknya mengetahui dunia. Kampuslah yang bisa mencerahkan pikiran seseorang sekalipun kesimpulan ini bisa diperdebatkan karena toh masih banyak juga mahasiswa yang pikirannya kurang berkembang. Situasi ini mungkin tergantung pada setiap mahasiswa apakah mereka bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada di kampus. Di kampus di manapun berada selalu berdiri forum-forum studi yang mengkaji pelbagai disiplin keilmuan, tergantung minat mahasiswa. Forum studi ini sebenarnya yang menjadi pendobrak kebekuan keilmuan mahasiswa. Sudah banyak para tokoh nasional yang lahir dan berkembang dari forum studi sekalipun sebenarnya forum studi ini tidak termasuk dalam sistem kampus. Forum-forum ini biasanya terletak di luar bangunan kampus. Uniknya forum ini mendiami sebuah rumah yang disewa dengan biaya patungan dari para penggiat forum. Bahkan menariknya, forum-forum ini terus menerus melahirkan regenerasi yang tak putus-putus sekalipun tersendat-sendat karena karena biaya sewa rumah yang tahun ke tahun merangkak naik tanpa ampun. Didi, Lupi, dan Ipul memilih bergiat di forum studi yang terletak kira-kira berjarak dua ratus meter dari kampus utama. Forum studi ini menempati sebuah rumah sederhana bertingkat dua yang memiliki ruang tamu yang lumayan luas. Ruangan tamu ini dijadikan sebagai tempat diskusi. Di sebelah ruang tamu terdapat kamar yang difungsikan menjadi ruang perpustakaan. Melangkah dua meter dari ruang perpustakaan berdiri kamar mandi. Di sebelah kamar mandi terdapat tangga untuk menuju ke lantai dua. Di lantai dua terdapat dua kamar tidur dan ruang santai. Biasanya di lantai dua ini para penggiat forum asyik membaca dan menulis sebelum dilahap oleh kantuk malam. Forum studi tua ini serius menggeluti teks studi keislaman, filsafat, sosiologi, politik, sastra dan sesekali mencoba memahami ekonomi-politik. Selain itu yang menjadi keuntungan mahasiswa Jakarta adalah menjamurnya lembaga nirlaba yang fokus mengkaji masalah sosial dan kebangsaan. Lembaga-lembaga studi ini mengklaim independen, tidak berpihak pada kekuasaan tertentu meskipun mengaku mendapat funding dari lembaga luar negeri yang memiliki satu visi. Didi, Lupi, dan Ipul sangat jeli memanfaatkan keberadan lembaga-lembaga tersebut untuk menambah wawasan mereka, dan tentunya menambah relasi. Ketiga jejaka ini terkaget-kaget melihat geliat aktivitas forum studi yang mereka sambangi. Tampang para penggiat forum itu serius-serius dengan mata yang agak gelap karena sering bergaul dengan buku teks. Tidak tanggung-tanggung teks itu berbahasa Inggris dan Arab. Sesekali sih ada yang berbahasa Perancis. “Mereka sangat mengakrabi buku,” ucap Didi dengan ketakjuban yang di luar nalar. “Membosankan,” sela Lupi seenak udel. “Membosankan tapi mau gimana lagi. Kalau mau pinter ya kudu baca buku,” jelas Ipul. Didi, Lupi, dan Ipul bahu membahu memahami teks buku yang mengundang kening berkerut. Apa isi keseluruhan buku itu? Gagasan apa yang dibicarakan? Kesimpulan apa yang bisa ditarik dari buku itu? Mereka mulai serius menjadi pembaca yang teliti dan tekun dengan menandai gagasan teks baik dengan sebuah pertanyaan dan komentar. Karena memang buku tidak sebatas teks, ia adalah hasil dari pemikiran para pemikir. Kegiatan ini memang cukup melelahkan pikiran mereka tapi mau bagaimana lagi karena ini adalah salah satu jalan untuk keluar dari lembah kebodohan. Jika minggu kemarin mereka menggeluti pemikiran sosial, pada minggu ini mereka harus berjibaku dengan teks filsafat Yunani dimulai dari Plato. Ketiga jejaka muda ini baru merasakan nikmatnya pemikiran filsafat padahal pada semester pertama mereka pernah bertemu dengan studi yang diklaim sebagai ibu ilmu pengetahuan ini. Sekalipun rumit, filsafat menuntun mereka pada penyelaman makna terdalam dari sebuah kehidupan. Karena saking mendalami teks filsafat itu, mereka jadi sering meragukan segala sesuatu. Mereka menjadi perenung seolah filsuf. Biang keladinya adalah Didi ketika membaca kesimpulan pemikiran filsafat Thales, “kenalilah dirimu sendiri”. Pemikiran itu seakan mengguncang bangunan mapan seluruh pemikirannya. Siapakah diri gue? Kata Didi. Namun di balik kesangsiannya ia mencecap bahagia dan seperti mendapat pencerahan spiritual. Ini harus disampaikan kepada Ipul dan Lupi! “Wow, menakjubkan,” Ipul tercengang. Lupi menggelengkan kepala. Didi merebahkan tubuh pada kasur andalannya. Ia memejamkan mata sebentar, kemudian melek lagi. Dan akhirnya menatap langit-langit kostan. Lupi dan Ipul mengikuti tingkah Didi. “Elu berdua pernah berpikir enggak?” Didi memulaim percakapan yang sepertinya akan berlangsung khidmat. Lupi dan Ipul menoleh kepada Didi. “Ya maksud gue siapa sih diri kita? Apa tujuan kita di sini? Apa keinginan kita?” lanjut Didi dengan kedua tangannya yang dijadikan bantal. Ipul menarif napas dalam-dalam sambil pula menatap langit-langit. Lupi mengubah posisinya. Ia kini selonjoran. Tubuhnya bersandar pada tembok yang dicat biru penuh coretan nakal dan gambar aktris Holywood, Cameron Diaz, yang hanya memakai bikini. “Apa ya?”Lupi berlagak seperti orang dongok. “Jangan-jangan kita salah melangkah?” Lupi nyerocos lagi. “Ya bisa saja tapi bukan itu,”Ipul menyahut. “Persoalannya adalah kita mungkin abaia pada diri kita sendiri. Kita terlalu jauh ngomongin hal-hal yang tak terjangkau...” “Padahal bisa saja yang kita inginkan begitu dekat,” Lupi menyela penjelasan Didi. Lalu, Didi dan Ipul mengangkat bahu atas respon terhadap pernyataan Lupi. “Mungkin,” Ipul menambahkan. Dramatik. Para jejaka yang limbung itu tersirap oleh kata-kata filsuf yang menakjubkan itu. Mereka benar-benar meragukan setiap apa yang sudah mereka lakukan dan rencanakan. Buat apa menjadi diplomat? Haruskah menjadi pemimpin politk? Apa untungnya menjadi ahli politik? Apa yang sebenarnya yang kami inginkan? Dan lebih berbahaya lagi untuk apa kami kuliah? Agar menjadi orang besar? Memperbaiki nasib? Atau memperbaiki negara yang masih saja bobrok? Waktu ke waktu berjalan Didi, Lupi, dan Ipul kian parah saja. Kuliah mereka sedikit terabai. Masuk kelas sakarep dewek. Ketiganya tidak lagi mempelajari teks politik dengan sungguh-sungguh. Di sisi lain untungnya mereka tetap membaca buku-buku lain. Tapi sekali lagi bukan politik. Para peragu itu semakin giat mengikuti diskusi di forum studi. Pun mereka mencoba menjelajah teks lain. Dari filsafat yang berat sampai sastra yang menegangkan. Sekali-kali ya sih baca teks politik tapi lebih mendalam ketimbang teks yang diwajibkan di kampus. Selagi mereka kacau balau soal absensi kelas sesungguhnya mereka bersenmangat mencari makna hidup. Menemukan jati diri yang masih terberai. Ruang kostan mereka kini tampak sepi tapi dijejali buku-buku dan perenungan yang filsafati. Bisa jadi filsuf masa depan lahir dari kostan milik pak haji Darman asli betawi ini? Pencurian Terencana Hidup ketiga pemuda tanggung yang tak memiliki kekasih itu berjalan di sekitar kostan, forum studi, dan sesekali ke kampus. Di ruang kostan pun mereka asyik dengan aktivitas masing-masing. Sesekali mereka diskusi. Sesekali nonton televisi. Sabtu dan minggu mereka memilih tidur ketimbang olah raga, aktivitas rutin yang kerap mereka lakukan sebelum menjadi filsuf dramatik. Di saat menjadi perenung sejati, ketiga jejaka runyam ini tampil khas dan berkarakter. Entah membaca buku apa Lupi mengganti celana bahan andalannya dengan jins yang ia beli murah dari Blok M. Kemeja panjangnya ia mutasi, berganti menjadi kaos santai dengan tidak menggunakan tas gendong lagi sebagaimana ia kenakan ketika ke manapun melancong. Parahnya, ia mulai gandrung rokok saban lagi suntuk. Namun rambutnya tetap di sisir ke sisi kanan dengan balutan minyak tancho yang klasik itu. Gaya bicaranya pun mulai meniru-niru teman sekelasnya. Aku ia ubah menjadi gue, dan kamu ia ganti menjadi elu. Padahal itu bahasa betawi yang merupakan leluhurnya dari pihak ibu. Ipul yang mungkin tergila-gila dengan puisi-puisi romantik Kirdomulyo diam-diam sering mencoreti kertas HVS dengan sebuah kata-kata yang diusahakan mirip puisi para penyair. Lagaknya pun dimirip-miripkan para penyair. Sok nyentrik dengan memakai baju yang agak kelihatan lusuh. Celana jins yang sengaja dibelelin memakai silet. Rambutnya ia susun dengan tidak teratur. Sengaja tampil acak-acakan. Setiap kata yang ia ucapkan dipaksakan puitik dan dramatik. Bahkan dengan percaya diri yang tinggi ia memakai sandal jepit ke kampus seperti ingin mengatakan ke seluruh civitas akademika bahwa dirinya sudah menjadi manusia yang bebas. Tidak takut pada aturan kampus. Nah, ini makhluk penyebab semua kekacauan yang tampil sok kontroversial dan nyeleneh. Didi sebagai pelopor filsuf dramatik mengklaim dirinya adalah titisan Socrates, filsuf pendek tapi mengguncang peradaban dunia karena konsistensinya dalam mencari kebenaran hakiki tanpa lelah. Pemuda yang sebenarnya melankolis ini sering menghantam Lupi dan Ipul lewat sebuah pertanyaan demi pertanyaan yang seperti diada-adakan tapi menurutnya itu jalan mencari kebenaran. Katanya, seperti mengikuti metode sokrates yang tiada pernah berhenti bertanya pada sesuatu yang meskipun masih dipertanyakan kebenarannya. Di antara ketiga jejaka runyam ini Didi paling mendalami seluruh bacaan dari buku-buku yang ia baca. Teks yang ia baca merasuki pikiran dan jiwanya. Hebatnya ia mengingat dan mampu menjelaskan gagasan besar dari sebuah pemikiran yang tersaji dalam buku. Sungguh ia kini bagaikan palu godam yang menghancurkan pendirian Lupi dan Ipul. Dari penampilan tidak ada yang berubah dari Didi. Ia tetap tampil kasual dengan balutan kaos rileks dan bawahan jins biru yang digemarinya. Hanya saja ia memakai kalung rantai berwarna emas imitasi bak anjing penjaga rumah mewah. Namun Didi tetaplah pribadi melankolis. Ia masih suka mengurai air mata tatkala menonton drama Korea dan film India. Dirinya seolah yang menjadi subjek dalam drama itu. Kadangkala karena saking menghayati sebuah film, ia suka menyendiri di sebuah taman di komplek milik para orang kaya yang tidak jauh dari kostan mereka. Kacaunya dia sering mengkhayal sedang memacari aktris Korea dan India yang cantik-cantik itu. Di hadapan Lupi dan Ipul ia pernah berujar akan menikahi aktris pujaannya itu. Keterlaluan memang! Semua tampak berubah cepat tanpa kompromitas meskipun sebenarnya perubahan mereka berangkat dari kegelisahan masing-masing khas mahasiswa yang mencoba menceracah belantara dunia yang baru. Perubahan-perubahan yang mendesir tanpa kontrol diri tak dimungkiri akan bermuara pada kegilaan. Orang biasa yang melihat dari sisi luar mungkin akan mencap mereka sebagai pemuda murtad yang sudah keluar dari rel-rel prinsip kepemudaan. Tapi bagi ketiga jejaka itu perubahan yang mereka alami sebagai anugerah alam yang tidak tertandingi oleh kelimpahan materi sekalipun. Kuliah siang sampai sore ini mereka selesaikan dengan asal-asalan. Tidur di saat dosen menerangkan materi seperti yang dilakukan Lupi dan Ipul di balik buku tebal yang ia letakan dengan berdiri, sehingga dosen berhasil dikibuli mereka. Sementara Didi keluar pura-pura hendak ke toilet tapi tidak masuk kelas lagi. Ia tidur di mushola fakultas dengan seenaknya. Perubahan tingkah mereka ini mendapat perhatian dari teman-teman sekelas yang padahal menaruh minat kepada ketiganya karena ketekunan dan kesungguhan mereka mengikuti perkuliahan. Nuranggraini, yang biasa disapa Nur sangat khawatir pada mereka, terutama kepada Ipul. Mahasiswi asli Inderamayu yang memiliki lesung di pipinya ini dari semester pertama dikenal dekat dengan Ipul. Nur pernah mencoba mengingatkan Ipul agar tidak membolos kuliah lagi tapi dengan santai Ipul menjawab, “mendingan belajar di kostan daripada di kelas yang hanya pura-pura serius padahal main-main.” Nyelekit dan bikin telinga merah mendengarnya tapi Nur menyabari nonsens Ipul. “Kawan-kawan tercinta ke perpustakaan yuk,” ajak Didi yang sudah bangun dari tidur panjangnya. “Siap,” kata Lupi dan Ipul yang sudah mencuci muka dari kekusutan karena tidur di kelas saat belajar. Ketiganya memperlihatkan kartu identitas perpustakaan kepada petugas. Petugas mempersilakan. Lupi langsung menyambar deretan buku-buku sejarah. Konon ia lagi penasaran pada sejarah peradaban Islam, khusunya soal perang salib sebagai peristiwa paling menyeramkan dalam sejarah Islam dan Kristen yang menyumbangkan ribuan nyawa dan melautkan darah. Lupi memilih-milih dan mencari-cari buku yang ditujunya dari rak pangkal sampai ujung rak. Praaaak. Pelan, buku jatuh di hadapannya tapi ia merasa tidak menjatuhkan. Lalu segera terlihat sebuah jemari yang halus dan ramping sedang mengambil buku itu dan sebuah kepala yang terlindungi oleh kerudung krem. Warna kesukaan Lupi. “Maaf,” kata mahasiswi itu. Lupi melongok. Ah, indah sekali perempuan ini. Pipinya merah. Alis matanya lentik. Matanya gelap tapi menusuk. Bentuk wajahnya pas. Tidak bulat juga tidak terlalu tirus. Hidungnya juga tidak jelek-jelek amat. “Iya,” jawab Lupi berdesir. “Aku Lupi, anak Politik. Semester empat. Kamu?” Ah, begitu cara Lupi memulai perkenalan meskipun si mahasiswi yang indah itu tidak terlalu antusias untuk berbincang-bincang. “Maaf,” mahasiswi itu mengulang dan berbalik badan. Hendak pergi. “Nama kamu?” Lupi agak mengencangkan suara. Si mahasiswi yang indah itu cuek. Pura-pura tidak mendengar. Tapi Ipul menandai wajahnya. “Awas , ya,” gumamnya dalam hati. “Pi, Didi lagi menunggu di lantai dua,” Ipul mendekati Lupi. Mereka berdua lekas menemui Didi di lantai dua. Didi sedang sibuk memilah buku-buku yang tebal. Di lantai dua ini memang disimpannya buku-buku tebal. Kebanyakan ensklopedia. Bahkan, sulit didapatkan meskipun dicari di toko terbesarpun. “Sudah dapat?” tanya Lupi. Didi mengerlingkan mata kanannya. “Sesuai rencana, bung.” Sedang Ipul mengawasi situasi sekitar lantai dua. “Ok, gue duluan ya!” sahut Didi. Perut Didi yang diselimuti oleh sweater agak terlihat gendut. Tapi seorang petugas perpustakaan yang merasa kecolongan menyuruh Didi membuka sweaternya. Didi mendadak tegang. Ipul dan Lupi tampil ngeri. Gawat! Tapi Didi mencoba tenang dan bersahaja. Ia tidak ingin kelihatan dicurigai oleh petugas itu. “Gimana ini, pul? Tamat riwayat Didi. Bisa-bisa ia dikeluarkan dari kampus ini.” Ipul saking tegangnya tak menyadari kekhawatiran Lupi. “Bisa-bisa kita tidak lagi melihatnya makan mie rebus dicampur nasi,” Lupi semakin khawatir. Ipul tetap tegang. Didi dengan ikhlas membuka sweater itu. Lupi dan Ipul menutup mata dengan jarinya. Ah tidak! “Terima kasih pengertiannya,” kata petugas itu. Lupi dan Ipul melepaskan jarinya. Membuka mata lagi. “Bagaimana bisa?” tanya Lupi kepada Didi. “Ini,” kata Didi. Buku yang hendak dicurinya ia masukan ke balik kaos, bukan sweater. Makanya dia aman. Tetapi sebelum buku itu disembunyikannya. Chips yang menempel pada sampul buku itu dicabutnya agar tidak mengeluarkan bunyi ketika hendak melwati garis batas keluar dan masuk ruang perpustakaan. Kalau tidak dilepas, bisa-bisa perpustakaan geger karena ada mahasiswa yang mencuri buku. Ini pasti akan menjadi berita heboh di seluruh kampus UIN Jakarta. Barangkali ketiganya akan diadili oleh pihak rektorat. Mungkin untuk pertama kalinya akan tersiar berita bahwa ketiga filsuf dramatik tertangkap ketika hendak mencuri buku perpustakaan. Didi keluar mulus sambil membawa tiga buku langka dibalik kaosnya. Ia kemudian melangkah ke luar halaman perpustakaan. Tepat satu posisi dengan lantai dua di mana Lupi dan Ipul sedang menunjukan aksi konyol mereka. Dari lantai atas melalui jendela Lupi menjatuhkan beberapa buku tebal langka. Ipul mengawasi keadaan sekitar perpustakaan. Didi mengamankan buku yang dilempar oleh Lupi. Kali ini ia tegang tidak seperti di lantai dua tadi. Ia takut ada warga kampus yang melihat aksinya ini. Tapi hah situasi aman dan terkendali. Pencurian yang direncanakan tadi malam berjalan sukses! Mereka tinggal melahap buku-buku itu nanti malam. Lalu tidur dengan tenang sambil mendengkur. Asyiiiiik! Moral Sokrates “Ide bagus tuh.” Lupi menjentikannya jari gempalnya. “Elu takut, Pul?” Didi menginterogasi. “Sejak kapan gue menjadi penakut?” Ipul membela diri. “Kalau begitu nunggu apa lagi?” Lupi menggambar wajah sumringah. “Elu mikirin resiko, Pul?”kilah Didi. Ipul tak menjawab, seolah memikirkan sesuatu. Entah apa. “Ok, kalau begitu bungkus.” Didi dan Ipul melongok. “Maksud gue eksekusi,” jelas Lupi sambil cengengesan. Dia mengira Didi dan Ipul mengikuti perkembangan bahasa zaman anak sekarang. Malam ini setelah berita yang itu-itu saja. Berita Jakasa Agung yang ditangkap tangan oleh KPK sewaktu menerima suap, oknum polisi yang disuap oleh tahanan narkoba, anggota dewan yang melakukan tindak kekerasan terhadap pembantu, persidangan terpidana korupsi oleh politisi yang masih belum menunjukan perkembangan, cas cis cus anggota dewan yang menuntut fasilitas mewah, dan seabreg kasus ang membakar telinga masyarakat. Tontonan membosankan tapi bisa menjadikan lahan penghasilan bagi teman-teman yang bekerja sebagai penggali kebenaran. Gerrrr! Para jejaka muda yang tambah kacau dan kian berkarakter itu sudah pening dengan taik kucing semua itu. Mereka lebih memilih menyusun rencana untuk mengambil absensi dosen yang disimpan di ruang dosen. Tapi mereka belum tahu letak persis data kehadiran mahasiswa itu. Mereka hendak mengambil buku itu dan mengubah data-datanya. Ya soalnya untuk tiga mata kuliah, yakni gerakan politik modern, sosiologi II, dan bahasa Arab kehadiran mereka sudah di ambang batas. Karena itu jika mereka tidak mengikuti kuliah satu kali saja untuk masing-masing mata kuliah tersebut, dengan hormat mereka harus mengulang tahun depan. Dosennya “pembunuh” semua lagi. Gila memang! Mereka gengsi harus satu kursi dengan juniornya nanti. Malu bin canggung. Mengapa sih absensi kehadiran begitu menentukan kontinuitas belajar di kampus. Toh, bukankah yang penting mahasiswa memahami dan menguasai setiap ilmu yang diajarkan di kampus? Huh, tapi aturan itu dibikin oleh kampus yang harus ditaati. Lebih-lebih seluruh civitas akademika sudah menyepakati aturan kampus tersebut. Ya, mau tidak mau mereka harus mengambil absensi kehadiran itu untuk menyelamatkan muka mereka dari para junior yang kadung menganggap ketiga jejaka itu sebagai mahasiswa yang dikenal sok kutu buku—pintar dan cerdas. Tapi disimpan di mana? Pasca mengikuti kelas dengan asal-asalan seperti yang sudah-sudah, ketiganya terburu-buru menuju ruang dosen yang terletak di lantai tiga. Mereka menggunakan lift dari lantai tujuh menuju lantai tiga. Semenjak menjadai UIN—awalnya IAIN—kampus pembaharu ini dibangun dengan arsitektur megah dan mewah. Bentuk arsitekturnya adalah perpaduan tigs budaya: Islam, Barat, dan Indonesia. Jurusan-jurusan yang dianggap sekuler mulai berdiri. Tidak seperti masih IAIN yang terdapat studi keislaman sich. Tentu ini menjadikan UIN lebih lengkap dan berwarna. Sang rektor universitas—sebagai pejuang yang mengkonversi IAIN ke UIN—menyebut konversi sebagai upaya pengintegrasian keisalaman dan ilmu sekuler-modern guna menjawab tantangan zaman yang kompleks dan menggeliat. Sangat visioner!. Alhasil, memang patut diakui perubahan ini menjadikan UIN Jakarta lebih greget dari sisi keilmuan, jumlah peminat calon mahasiswa yang setiap tahun membanjiri tes masuk, dan konversi UIN Jakarta diikuti oleh IAIN di hampir seluruh negeri. Namun, yang lebih menjanjikan adalah para alumni UIN yang mampu bersaing dengan alumni kampus-kampus yang dianggap bergengsi di Indonesia tercinta. Nah, mungkin pertaruhan ketiga jejaka ini tidak sia-sia memang, terkhusus untuk Didi yang sekuat tekad meninggalkan kampus lamanya. Ah, yang paling penting kepribadiannya mahasiswa yang menjadi penentu keberhasilan. Mungkin nama besar kampus hanya menyumbang sekian persen saja soal keberhasilan mahasiswanya. Seperti aksi yang sudah-sudah, ketiganya membagi tugas. Ipul diamanahi sebagai pengawas area, Didi dan Lupi menjadi partner dalam ekskusi. Sore yang hampi menjelma, situasi kampus mulai sepi. Ruang dosen juga tampak lengang. Mungkin hanya terdapat sepuluh orang termasuk pesuruh dosen yang kerjanya menyediakan dan minuman serta tetek bengek lainnya. Jongosnya dosen. Mulanya mereka ingin beraksi di malam hari tapi resikonya tidak kecil. Seandainya aksi malam hari dilakukan, mereka harus mengendap-endap supaya tidak ketahuan satpam kampus. Lebih jauh, mereka kudu mendobrak pintu ruang dosen yang dikunci. Itu sangat beresiko besar. Jejak-jejak mereka pasti tercium. Ipul berdiri di depan pintu sambil celingak-celinguk meneliti keadaan dengan seksama. Didi dan Lupi merangsek masuk ruangan. Ruangan itu memiliki luas sepuluh meter dan lebar sepuluh meter pula. Dengan luas dan lebar tersebut, ruangan itu bisa menampung tiga puluh dosen lebih. Pertama masuk Didi dan Lupi bertemu dengan meja pak Satria yang bertugas sebagai pesuruh dosen. Tugas pak Satria banyak. Ya kebanyakan mengkopi lembaran dan data kertas lainnya. Mereka melihat ke depan lagi. Di sana terdapat delapan orang. Dua orang baru saja keluar. Didi dan Lupi meneliti di mana kira-kira absensi itu diletakan. “Nyari siapa, dek?” Didi dan Lupi terkaget sebentar. Seorang dosen muda dan cantik yang tidak jauh dari mereka bertanya. Kedua sobat itu berusaha mencari jawaban yang pas. Si dosen cantik yang memakai jilbab biru itu memandang mereka dengan agak heran. “Mengambil makalah kami yang masih salah.” Si dosen masih belum mengerti. “Tadi bu Farah menuruh kami mengambil makalah kami yang masih salah,” jawab Didi tenang. Si dosen yang tampak terganggu itu manggut sedikit. “Silakan,” katanya. Lupi mengelus dada. Ipul masih asyik mengawasi. Didi dan Ipul pura-pura mencari meja bu Farah, dosen Filsafat. Mereka melangkah sedikit dari meja pak Satria. Beberpa langkah dari meja pak Satria, yakni di sebelah kanannya terdapat empat meja yang berisi berkas-berkas. Didi dan Ipul lupa sesuatu. Mereka tidak berpikir kalau absensi setiap dosen tidak disatukan dalam satu berkas. Masing-masing dosen punya data kehadiran. Ah, mereka harus mengambil tiga absensi, donk. Satu untuk absensi mata kuliah gerakan politik modern, satu untuk mata kuliah Sosiologi II, dan satu lagi untuk mata kuliah bahasa Arab. Eah, pekerjaan yang tidak gampang. Di mana meja ketiga dosen itu? Lupi bergerak semakin ke kanan mendekati jendela. Didi masih mencari-cari meja yang diburu. Bahu Didi bergidik. “Ini dosen bu Farah, dek.” Huh, seorang dosen yang agak tua menunjuk meja kerja bu Farah dengan menepak bahu Didi. Tapi dosen itu menuju keluar. Beberapa menit kemudian satu persatu dosen itu keluar. Menyisakan tiga orang dosen saja di dilam. Mantap. Jadinya mereka tidak terlalu deg-degan lagi. Didi langsung pura-pura mencari berkas di meja kerja bu Farah sambil mencari-cari ketiga meja yang diburu. Sementara Lupi masih meneliti. Ipul masih mengawasi di luar. “Sob, ini,” Lupi memanggil pelan ke Didi. Didi mendekat. “Ini,” kata Lupi menunjuk ketiga meja yang diburu. Kebetulan Tuhan menolong. Ketiga meja yang diburu bersebelahan. Kini Didi yang mengawasi, Lupi yang mencari. Aha. Beberapa menit kemudian data yang diburu sudah didapat. “Mudah sekali, Di.” Kata Lupi pelan. “Mereka menyimpanna tidak begit rapat,” Didi menimpali. “Mereka pikir mahasiswa di sini lugu-lugu mungkin,” kata Didi lagi. “Ayo eksekusi,” Lupi meminta. Misi berhasil. Mereka berpamitan kepada si dosen cantik yang baru saja keluar. Terima kasih, kata mereka. Tetapi tidak beranjak keluar. Dia masih ingin di dalam. Didi agak kesal. “Ayo, “ kata Didi. “Sebentar,” jawab Lupi. Lupi tidak ingin melewatkan pemandangan yang cantik. Dia kesengsem dengan si dosen muda cantik itu. Sayang si cantik itu mengajar mata kuliah di kelasnya. Didi menarik tangan Lupi. Lupi kesal. Tapi mereka harus keluar. Mereka menuju pintu dengan tenang tapi beberapa detik kemudian jantung mereka berdebar-debar. Pasalnya , dosen Bahasa Arab yang absensinya dicuri masuk berhadap-hadapan dengan mereka. Mana roman dosen itu seram sekali. Apalagi kumisnya yang tebal menakutkan. Didi dan Lupi merasa heran bukankah dosen itu hari ini tidak mengajar ke kampus. Juga kedua dosen yang abnsensinya mereka ambil juga tidak mengajar di kampus hari ini. Hari ini ketiga dosen itu biasanya mengajar di kampus lain. Si dosen seram itu tidak acuh tak acuh pada mereka. Didi dan Lupi langsung cabut. Absensi sudah di tangan. Ketiga jejaka itu cepat-cepat keluar fakultas FISIP. Ngibrit tanpa menoleh lagi ke belakang. Takut si dosen itu curiga kalau-kalau dia tahu absensi hilang. Kalau ketahuan urusan bisa panjang. Bakal menjadi kasus heboh di kampus ini. “Waduh gimana ini?” Didi bingung. Mereka tidak memikirkan bagaimana menghapus tanda X sebagai tanda ketidakhadiran mereka di kelas. Tanda itu ditulis dengan boldpoint. Satu alternatif hanya bisa dihapus dengan tipe x tapi nanti ketahuan bekasnya. “Tipe X saja. Siapa tahu ketiga dosen ‘hantu’ itu abai pada bekasnya tipe x. Urusan mereka itu banyak. Mereka pasti luput,” Lupi menyarankan sambil menganalisa. Didi menggeleng. Ipul memilih diam. “Apa dong?” Lupi meminta solusi. “Bakar saja!” saran Didi. “Saran radikal,” Ipul mengomentari. Lupi menimbang tapi manggut-manggut seolah menyetujui saran Didi. Didi nampak yakin dengan idenya. Mau bagaimana lagi. Cara terbaik, menurutnya, absensi itu dibakar. Sekalian berjaga-jaga seandainya mereka dicurigai, absensi sebagai barang bukti bisa hilang. Artinya mereka bisa aman dari kecurigaan atau tuduhan. Ipul tidak bergeming. Seolah-olah dia tidak yakin dan mungkin tidak menyetujui ide konyol Didi. Didi menggemeratakan giginya, menunjukan kekesalan pada Ipul. Lupi melihat situasi itu. Didi mengamnil korek api dari lemari Lupi. “Mau ngpain elu?” tanya Lupi. “Ngerokok,” tukas Didi. “Ya mau bakarin ini lah,” jawab Didi sambil menunjuk absensi itu. “Pikiran elu pendek,” Ipul menimpali. Lupi mulai khawatir kalau-kalau mereka adu mulut. Lupi memilih dia. Didi menyeringai. “Maksud elu?” kata Didi emosional. Korek apai itu tidak jadi ia nyalakan. Tapi sebentar kemudian ia nyalakan lagi. “Elu enggak mikir kalau di absensi itu bukan hanya ada nama saja,” sergah Ipul. Didi menatap Ipul dengan malas. “Biarin daripada harus mengulang tahun depan. Toh kita pasti besok-besok tidak akan masuk lagi kelas dosen-dosen sialan itu kan?” Didi sedikit emosi. “Udah biarin aja absensi itu. Enggak usah diapa-apain. Kita sportif aja. Kan, ini memang resiko kita membolos terus. Kalau dibakar berarti elu menghianati teman-teman yang sudah berusaha mengikuti kelas,” jelas Ipul dengan tenang. Lupi diam. Tidak mau ikut terlibat. “Masa bodoh,” Didi berkeras kepala. Ipul tidak sanggup menahan emosi. “Mana moral Sokrates elu. Elu ngaku sebagai titisan Sokrates yang kukuh menjaga moral dan mendengar suara hati. Suara kebenaran yang elu sering katakan.” “Terus apa maksudnya pencurian buku kemarin. Perencanaan kita malam lalu yang sepakat untuk mengubah data absensi ini,” Didi semakin tak tahan. “Elu tidak konsisten. Elu limbung, Pul. Taik lah.” Ipul menunduk. Skak mat. “Bersikap lah dewasa,” Lupi menengahi meskipun sebenarnya dia tidak ingin terlibat dengan perbedaan pendapat ini. “Gue rela kok harus mengulang tahun depan. Gue enggak malu sekalipun harus duduk bareng dengan adik-adik kelas nanti.” Mata Didi membelalak. Terkejut. Kemudian, dia melempar absensi itu dengan emosional. Lupi memungut absensi itu dengan berat hati. Didi keluar , menutup pintu dengan keras. Lupi kaget. Lalu mengelus dada. Sementara Ipul hanya bisa mengepalkan tangannya yang mulai berkeringat. Persekongkolan macam apa ini, kata Didi yang kecewa pada Lupi dan Ipul. Minus Tambah Minus jadi Plus Paska bersitegang dengan Ipul di malam yang buruk, Didi dan Ipul tampil dengan sikap dingin seseuai kekhasan masing-masing. Dalam situasi tersebut Didi mendadak ingat petuah kiai di pesantren dulu bahwa pencurian meskipun untuk kebaikan tetaplah tidak dibenarkan. Segalanya harus dilakukan dengan sportif. Bahwa bersikap semau gue tidak patut dituruti. Bahwa kita musti memperhatikan usaha orang lain adalah penghargaan terhadap kemanusiaan. Bahwa benar membakar buku absensi hanya untuk kepentingan sendiri adalah perilaku pecundang. Benar bahwa yang disarankan Ipul itu tepat untuk diterima tapi Didi tetap masih tidak mau berdamai dengan Ipul. Ipul pun masih tidak menerima dengan sikap Didi yang semau gue. Membanting pintu dan sekonyong-konyong ngatain taik segala. Sungguh lidah yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Bedebah! Lupi yang tidak mau terlibat perang dingin berusaha berdiri di tengah-tengah. Dia ingin kedua sahabat gilanya itu kembali rukun. Mau rujuk. Zaman sudah modern kok masih bersitergang saja. Tapi Lupi kudu melakukan sesuatu. Tindakan kongkrit. Tapi apa dong? Tuhan please, help! Kini Didi tak mengajak Ipul lagi kalau hendak jalan-jalan. Mulanya ia mau menurutsertakan Lupi tapi merasa tidak enak. Takut menyindir Ipul. Toh, Didi masih memiliki ketidakenakan perasaan. Ipul pun bersikap sama seperti Didi. Dia ogah mengajak Didi dan Lupi lagi manakala mau ada acara di luar. Jadinya ya ketiga jejaka itu jalan sendiri-sendiri. Kehangatan yang pernahmereka rangkai sudah berantakan. Semua kegilaan yang mereka lakukan telah luluh lantak. Segala kekonyolan yang mereka tampilkan sudah tak terlihat lagi. Segalanya menjadi dingin. Semuanya menjadi hambar. Hidup memang tidak pernah ajeg! Sekali lagi Lupi harus berbuat untuk persahabatan mereka! Pada malam ke tujuh paska perang dingin mereka duduk dalam satu ruangan di kostan. Menonton berita yang tidak pernah berubah-ubah. Ipul duduk bersila di tengah-tengah. Lupi duduk di sebelah Ipul. Didi bersila di samping kiri Ipul tapi agak menjauh. Suasana di kostan itu hening, tak ada yang bicara. Hanya suara reporter di televisi yang terdengar. Ketiganya tak lagi mengomentari sebuah kasus yang diberitakan seperti malam-malam yang lalu. Kaku dan canggung berlangsung. Lupi tak tahan menjalani semua ini. Selama setahu lebih sembilan bulan, dua tahun kurang tiga bulan kebersamaan mereka baru kali ini ketiganya dalam situasi perang dingin ini. “Tidak seru,” kata Lupi yang sebenarnya menyinggung keadaan mereka. Tapi Didi dan Ipul tidak bergeming. Lupi melanjutkan perkataannya, “tak ada kopi, tak ada gula, tak ada garam, tak ada semut. Hambar sekali ruangan ini.” Didi dan Ipul tidak peduli. Lupi berdeham, mengharapkan kedua sahabat egoisnya itu merespon. Didi dan Ipul tidak menangkap. Kesabaran Lupi memang terukur. Dia merasa sebal. “kalian sudah pada gede. Pada dewasa. Sudah mahasiswa. Baca buku tebal. Tapi tingkah kalian seperti anak kecil,” ucap Lupi dengan kesal. Tapi Didi dan Ipul tetap cuek. Tokek. Lupi bak tokek, ngoceh sendiri. Lupi mencari strategi, memikir cara untuk mengembalikan keutuhan persahabatan mereka tapi belum dapat-dapat. Tuhan belum berkehendak membantu. “Ok, kalian maunya apa sih?” celetus Lupi dengan kesal. “Apa yang kalian ingin lakukan bakal gue jabanin. Didi elu mau absensi itu dibakar. Ya entar gue bakar,” terusnya. “Ya tapi absensi itu sudah ada di ruang dosen, lagi,” Lupi menundukan kepalanya. Pura-pura kecewa. Tapi sebentar kemudian Lupi mengumpat lagi, “Pul elu mau apa? Toh absensi sudah dikembalikan sesuai keinginan elu!” Tapi Didi dan Ipul tetap tidak bereaksi. Lupi semakin tersinggung. Lupi bangun, melangkah keluar. Sama seperti tingkah Didi, dia membanting pintu. Tapi bantingannya lebih keras daripada Didi. Oh, Lupi jadi semakin terlibat dengan perang dingin ini. Culun sekali! Namun bagusnya dia masih mencari cara menyelamatkan persahabatan mereka yang karam. Oh Tuhan sekali lagi tolonglah! Di dalam kostan yang masih ada Didi dan Ipul tetap canggung. Sejenak kemudian Didi memilih keluar juga. Sementara Ipul tetap bersetia mengikuti berita televisi. Didi sudah berada di kostan lagi beberapa menit kemudian, larut membaca buku di ruang pertama kostan. Tiba-tiba ponselnya yang masih itu-itu saja—nokia jadul—berdering. Panggilan masuk. Suara yang tergopoh-gopoh terdengar. “Di, tolongin gue. Buruan,” itu suara Lupi, jejaka muda yang memiliki bentuk hidung seperti Akbar Tanjung itu seperti dalam keadaan bahaya. Didi tidak sempat bertanya. Panggilan dari Lupi sudah tertutup. Didi panik tapi ia masih egois untuk memberitahukan kepada Ipul. Jadinya dia memutuskan pergi sendiri. Didi berlari kencang sambil menengok samping kanan-kiri, siapa tahu di sekitar yang dilihatnya nampak sosok Lupi. Mana Lupi? Ah, mengapa Lupi tak menyebutkan tempatnya. Didi berlari dengan panik. Dari jarak tiga meter di perempatan bakso langganan ketiga jejaka muda itu tampak sosok Lupi yang sedang diapit dua orang bertubuh kekar. Nampaknya Lupi sedang dianiaya. Sepertinya Lupi sudah tidak bisa bergerak. Dia butuh pertolongan pertama. Ini situasi yang gawat. “Hei, bangsat,” teriak Didi. Kedua preman yang menganiaya Lupi mewajah murka. Kemudian melepaskan Lupi dengan cuma-cuma tapi wajah Lupi lebam. Rambut gaya sisi kanannya acak-acakan. Didi menantang kedua bajingan itu sekalipun jantungnya kikuk. Kepalan tangan Didi hendak meninju si preman satunya tapi ditahan oleh si preman yang satunya lagi. Serentak Didi sudah disekap. Otomatis Didi tidak bisa bergerak. Kedua bajingan itu tidak sepadan dengannya. Didi menyerah. “Taik, lu. Bajingan elu pada,” suara Ipul muncul dengan gaya betawi. Meniru-niru supaya dianggap asli Jakarta. Kedua makhluk mengerikan itu tertawa-tawa. “Anak ingusan,” seru si Preman. “Jahanam. Enyah kalian ke neraka!” Kedua preman semakin menggambar wajah murka. “Sialan tengik,” kata mereka kencang. Ah, tapi Ipul ngeper. Dia takut juga rupanya. Ancamannya sekadar gertak sambal. Lupi yang masih tidak berdaya memang sengaja menelepon Ipul seperti yang dia lakukan kepada Didi. Sedang Didi tetap terkunci. “Kita negoisasi,” kata Ipul menawarkan. Dia tidak mau berspekulasi dengan berkelahi. Dia pasti juntai. Kedua preman sangar itu terbahak-bahak tapi mulai serius. “Bisnis?”kata si preman. Ipul mengiyakan. Wajah kedua preman mendadak sumringah. Mereka tidak perlu repot-repot lagi mengeluarkan energi intimidasi. Ipul merelakan jam tangan yang dibeli dari uang tabungannya semasih menjadi buruh di pabrik tahu-tempe. Jam tangan itu memang berharga dan harganya tidak main-main. Kedua preman merasa ok tapi ingin meminta lebih. Pemerasan. Ipul tak menampik, dari pada babak belur mendingan menurut bebek saja. Kedua bajingan tengik tertawa. Lalu mereka melirik Didi yang sudah tak berniat melakukan perlawanan lagi. Dia takut, kemudian mengeluarkan uang lima puluh ribuan seadanya. Para preman itu tersenyum karena malam ini mereka sudah menguras kocek ketiga jejaka muda itu. “Silakan kalian pergi,” kata preman itu. Lebam di wajah Lupi dikompres dengan air dingin oleh Didi dan Ipul. “Kenapa elu senyum-senyum, badut?” kata Ipul. Lupi merengut sepersis bocah tapi senyum lagi. Kemudian ia melirik ke arah Didi dan Ipul berkali-kali. “Oh rupanya kalian sudah berdamai? Lupi menyindir. “Elu mau gue tonjok, Pi?” kata Didi sembari mengepalkan tangan. Lupi ngikik. Ipul pun tak kuat menahan tawa. Mereka nampaknya menyudahi perang dingin yang berlangsung beberapa minggu itu. Usai islah, Didi dan Ipul kembali akrab seperti semula. Keegoisan mereka seperti partikel yang memiliki energi minus. Energi minus ini tidak mau menyatu karena mempertahankan kekuatan masing-masing. Karenanya kekuatan energi ini tidak berpadu. Jauh dari keutuhan dan kesempurnaan. Akibatnya partikel itu akan remuk jika mendapat gangguan dari kekuatan dari luar. Tapi sekarang sesama energi minus itu sudah saling mengisi. Kekuatan mereka menyatu menjadi energi plus-plus. Karena itu sesuatu yang plus-plus akan terlihat berbeda di mata orang alias mungkin saja mengundang penafsiran. Hari ini Didi dan Ipul berjalan berdua saja setelah nongkrong dengan kawan-kawan satu jurusan. Lupi mengaku sedang tidak memiliki mood untuk bertemu dengan orang-orang karena sebenarnya malu juga harus menunjukan wajah yang lebam. Mereka berjalan kaki dengan santai sambil sesekali menyanyi lagu yang lagi ngehits. Sembari menyanyi mereka menendang-nendang sampah kaleng minuman sehingga menimbulkan suara berisik. Ipul menghentikan aksinya itu karena akan mengganggu orang lain. Tapi Didi yang sengak tidak peduli dengan kekhawatiran itu. Begitulah Didi yang kadang jumud memahami makna kebebasan diri. Keduanya sudah mendekati perempatan bakso, arah masuk komplek kostan mereka. Didi melirik ke kanan tepat ke arah kedai bakso. Di mengucek-ucek matanya memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. “Pul, lihat itu!” kata Didi sambil menunjuk kedai bakso. “Itu si Lupi. Itu siapa satpam yang lagi makan bakso dengannya?” Ipul heran. Kemudian keduanya mendekati Lupi. Didi dan Lupi menggelengkan kepalanya sebagai tanda tidak percaya. “Apa-apaan ini?” kata Didi emosi. “Kampret, elu, Pi.” Ipul tak kalah emosi. Lupi mengangah. Kepalanya terangkat. Bakso yang ditelannya hampi keluar lagi. Kedua satpam dengan bodi besar juga terkaget-kaget. Tapi Lupi mencoba tenang. Berusaha menjelaskan semuanya. “Maafin gue. Gue lakuin ini untuk persahabatan kita. Beneran. Tidak ada maksud apa-apa. Cuma buat persahabatn kita kok.” Didi dan Ipul masih tidak percaya. Si satpam mencoba menguatkan penjelasan Lupi, “ya kalian harusnya berterima kasih kepada Lupi. Dia bikin kepura-puraan ini untuk persahabatan elu pada.” “Betul,” kata si satpam yang satu lagi sembari menenggak es tehnya. Didi dan Ipul mencoba memahami. Menerima semua usaha Lupi yang menyewa kedua satpam itu untuk berpura-pura menjadi preman bengis di malam yang lalu demi persahabatan mereka. Lupi tidak mau hanya karena perbedaan pendapat semuanya menjadi hancur lebur begitu saja. Tapi Didi dan Ipul masih penasaran. “Terus uang kita yang sudah dikompas mana?” tanya Didi dan Ipul kompak. “Udah gue pake buat bayar bakso ini plus yang lain-lain,” jawab Lupi dengan tampang serius. “Sialan lu,” sentak Didi. “Kampret sampeyan,” bentak Ipul. Lupi dan kedua satpam itu terbahak-bahak. Lalu, memesan beberapa mangkok bakso lagi dan beberapa es buah yang paling dingin untuk mendinginkan suasana yang sedang panas membara itu. Didi dan Ipul menarik nafas. Huuuuuuuuh! Cinta Sebelah Belakangan ini ada pemandangan yang lebih tak biasa di antara mereka bertiga. Yang membuat perbedaan itu adalah Lupi. Lupi yang memiliki gagasan segar untuk mendinginkan ketegangan Didi dan Ipul lebih suka menyendiri, senyum-senyum sendiri, melamun sendiri, dan segalanya serba sendirian. Tapi mengapa penampilannya juka ikut berbeda. Rambutnya yang disisir ke sisi kanan digubah menjadi agak mohawk dan lebih trendi mengikuti remaja yang baru menginjak sekolah menengah atas. Pakaiannya selalu wangi dan ke mana-mana selalu membawa sapu tangan untuk menghindari keringat. Gaya bicaranya yang tidak menarik ia ganti agar tampak memiliki wibawa. Lupi tengah menyukai lawan jenis. Itu kemajuan. Bagus. Setidaknya menghindari cibiran kalau ketiga jejaka muda itu tak laku. Jomblo sekarat. Malah-malah menghindari fitnah kalau mereka penyuka sesama jenis. Tapi kepada siapa ia melabuhkan perasaaannya? Ah, si gadis yang ditaksir itu memiliki nama Nurkholifah. Lupi kali pertama melihat Nurkho— begitu ia memanggil gadis pujaannya itu lebih karena kalau memanggil nama penuh akan terasa kaku dan kalau memanggil singkat dengan nur saja itu sudah pasaran—di perpustakaan saat Nurkho menjatuhkan buku seperti di film-film saja. Tapi Lupi saat itu tidak hendak mencari buku tapi akan mencuri buku bersama Didi dan Ipul yang sama-sama berantakan. Rupanya setelah pandangan pertama itu Lupi terus-menerus mencari Informasi tentang Nurkho. Lupi seperti pengintai, menguntit Nurkho dari belakang. Dia ingin tahu dimanakah gadis yang bibirnya senantiasa basah ini menuju fakultas. Dia tidak berani menanyakan langsung kepada Nurkho karena debaran demi debaran yang melingkupi jantungnya. Debaran itu akan menghancurkan jantungnya kalau dibiarkan. Fakultas si gadis itu sudah terlacak, Lupi tinggal mencari tahu siapa teman dekat Nurkho. Berkat pengalaman dan keluwesan bergaul Lupi berhasil mengakrabi teman dekat Nurkho dan berhasil mendapatkan informasi plus seluk beluk Nurkho. Jejaka yang wajahnya berminyak ini memang cerdas. Dia sudah berhasil mengelabui kita semua. Pendekatan yang tidak langsung kepada target—Nurkho—ini memang sengaja ia lakukan. Bukan karena dia kikuk, canggung, atau cemen kepada kaum hawa. Itu semata-mata karena strategi jitu. Agaknya kita harus ingat betul bahwa ia terlalu biasa menghadapi perempuan semasih ia duduk di sekolah kejuruan yang didominasi murid-muris perempuan. Kalau sudah Lupi mengetahui tentang Nurkho, kesempatan untuk lebih akrab dan dekat lagi semain besar. Dan itu akan menimbulkan kesan bahwa Lupi memang cowok menyenagkan di mata Nurkho. Nurkho mengunjungi perpustakaan setelah kelas paginya rampung. Lupi mengikuti. “Mencari buku ini ya?” kata Lupi membelakangi Nurkho yang sedang memburu buku di rak. Nurkho sedikit terperanjat, menoleh ke belakang. Nurkho meneliti buku yang tengah dipegang Lupi. Tapi sebentar kemudia ia memandang Lupi sebentar. “Ya, betul,” katanya sambil senyum. “Untuk kamu,” Lupi mengulurkan buku itu kepada Nurkho. Nurkho tampak senang tak tertahan sebab sudah berhari-hari ia mencari buku itu di deretan rak perpustakaan yang bertuliskan SASTRA. “Kok kamu bisa tahu aku nyari buku ini?” tanya Nurkho antusias sembari memegang buku novel “Ganti Rugi” yang ditulis oleh John Grisham itu. “Aku memperhatikanmu!” jawab Lupi dengan senyum yang gagah. Nurkho tampak terkesima tapi mencoba terlihat elegan. “Berlebihan,” Nurkho berusaha tidak terpengaruh. “Kamu melupakan sesuatu, mahasiswi!” Wow! Nurkho nyaris terkekeh dengan gaya pengucapan Lupi. Tapi beberapa detik kemudia ia menyeringai. “Kita pernah bertemu di sini. Di deretan buku ini. Bertabrakan. Menjatuhkan buku. Hmmm seperti di film-film romantis itu.” Nurkho melebarkan senyumnya yang mirip Rani Mukherjee, aktris cantik Bolywood itu. Nurkho sejenak mengingat-ingat kejadian itu. “Oh ya aku ingat,” jawabnya singkat. “Mari kita duduk.” Nurkho mengjaka Lupi duduk di bangku yang di sediakan di perpustakaan. “Ngomong-ngomong,” kata Nurkho yang hendak bertanya, “ waktu itu kamu mau nyari buku apa?” Ditanya seperti itu Lupi mengernyitkan dahi. Bukan untuk mengingat sesuatu tapi mencari jawaban yang pas sebab waktu itu ia berencana mencuri buku yang menurut ketiga jejaka muda itu adalah perbuatan legal karena ada hak setiap mahasiswa. “Memburu,” kata Lupi. Nurkho tersenyum geli. “Memburu kamu,” Lupi mulai merayu. Nurkho yang berusaha serius kembali tampak tidak bergeming dengan gombalan Lupi. “Ini cowok baru kenal sudah sok dekat,” ketus Nurkho dalam hati. Tapi meskipun demikian Nurkho cukup terhibur dengan jejaka gendeng ini. Nurkho yang mahasiswi psikologi tapi penyuka novel hukum John Grisham ini bukanlah mahasiswi culun yang baru mengenal cowok. Jadi ia tidak sedikit kaget dengan style Lupi yang sok ingin dekat itu. Tapi lagi-lagi ia harus mengakui Lupi memang terlihat menyenangkan. Lupi mulai menangkap aroma yang harusnya tidak basa-basi dan gombalan ini. “Aku waktu itu nyari novel juga sih.” “Anak sastra ya?” tanya Nurkho. Lupi menggeleng. “Anak politik.” “Pennggemar sastra? Hmmm penggemar novel maksudku?” Lupi mengangguk. Wajah Nurkho menjadi sumringah. Senang bukan main karena setidaknya ia bisa memiliki teman yang memiliki kegemaran yang sama. Lupi yang mengklaim lihai dalam memikat perempuan mampu membaca gestur Nurkho. “Waktu itu aku juga lagi nyari novel-novel John Grisham,” kata Lupi. Nurkho mulai takjub. Kemudian, ia mengulas senyum Rani Mukherjee-nya itu. Giginya yang putih rapi terlihat. Matanya yang gelap semakin menarik hati Lupi. Manis tenan cewek ini. Cantik gila cewek ini. Ini tidak boleh disia-siakan. “John Grisham memang luar biasa ya. Gaya nulisnya sederhana tapi idenya menarik sangat. Lebih menarik lagi buku-bukunya selalu bikin pembaca di kita tahu tentang praktek hukum di Amerika. Khususnya dunia pengacara.” Nurkho terlihat seperti anak kecil. Lupi mengiyakan. “Dia memang bekas pengacara.” Selagi hanyut oleh John Grisham, Nurkho membolak-balik lembaran novel itu. “Kamu suka buku-bukunya yang mana?” tanya Nurkho. Mendengar pertanyaan itu tenggorokan Lupi sedikit tersedak. Tapi toh ia sudah merasa tahu karya-karya John Grisham. “Ya disertasi kuliahnya lah,” jawab Lupi tenang. Nurkho melongok. Aneh. Beberapa detik kemudian ia ngakak. Tidak memedulikan bahwa di sekitarnya banyak mahasiswa yang tengah asyik membaca dan memburu buku. Lebih-lebih ia tidak memedulikan kalau di hadapannya ada Lupi. “Kamu konyol,” kata Nurkho. “Tapi aku mau kamu jawab betulan,” katanya lagi. “Bukunya yang judulnya The Street lawyer—Pengacara jalanan.” Nurkho menandaskan senyumnya. “Aku takjub dengan keputusan Michael yang memutuskan kerja di biro hukum besar berpindah ke biro hukum kecil yang konsen membela tunawisma. Padahal bayarannya kan lebih kecil ketimbang di biro hukum terdahulunya. Sampai-sampai ia mempertaruhkan rumah tangganya demi bekerja di biro hukum tak berduit itu,” jelas Nurkho berusaha mengulang kembali isi buku Pengacara Jalanan yang sudah selesai dibacanya beberapa minggu lalu itu di sela-sela jadwal kuliah psikologinya. Nurkho terlihat asyik dengan penjelasannya itu. “Seandainya kamu menjadi dia—Michael? Nurkho nyerocos lagi. “Aku tidak tertarik pada hukum, sayangnya,” Lupi mengangkat bahu. Tapi serentak dia menyadari bahwa dirinya dan Nurkho baru saja kenalan. Setidaknya, Lupi memberikan jawaban yang terbaik. “Maksudku, aku tidak pernah mengikuti ilmu hukum dan berita aktualnya,” Lupi tampak membela diri. Nurkho mengembalikan senyumnya yang dikecewakan. Nurkho memang tipe perempuan yang pertanyaan-pertanyaannya kudu dijawab sekalipun jawaban itu penuh gimik. “Jadi?” Nurkho menagih. “Secara moral aku pasti membela para tunawisma. Tapi untuk kekayaan aku akan memilih biro hukum yang berduit. Tergantung di mana kita meleihatnya. Perspektif,” Lupi unjuk gigi. “Aku mau yang pasti.” Lupi diam sejenak. “Aku mau menaruh harapan kepada cowok yang jujur.” Kata Nurkho lagi. “Ok aku memilih biro hukum besar.” “Teganya kamu kepada orang-orang jalanan,” Nurkho tiba-tiba emosi tapi ia segera menyadari bahwa mereka baru mengenal. “Maaf,” katanya singkat. Lupi memakluminya sekaligus senang. Ini pertanda Nurkho memang tipe perempuan yang terbuka dan menyukai dialog. “Jangan berisik.” Suara itu muncul dari muda-mudi ini, mengagetkan mereka, tentunya. “Kalau mau ngobrol di luar saja. Ini perpustakaan.” Si petugas perpustakaan berkata kembali. Lupi dan Nurkho senyum-senyum saja. Mereka merasa malu dengan pengunjung perpustakaan lain. Tapi dalam hati sebenarnya mereka tertawa. Semenjak peristiwa manis di perpustakaan itu, Lupi senyum-senyum sendiri sambil rebahan di kasurnya. Imajinasi yang tergambar dalam pikirannya hanya Nurkho. Senyuman Rani Mukherjee-nya, mata gelapnya, kulit lembutnya, kata-kata si gadis itu sudah menusuk-nusuk jantung Lupi. Untungnya Nurkho bukan tipe gadis yang jaga imej, tertutup, dan susah diajak bicara. Ia adalah kebalikan semua itu. Tapi Lupi tahu gadis yang memiliki selera asyik semacam Nurkho tidak mudah jatuh hati sekalipun beberapa kali ia bertemu dan bercakap-cakap dengan seorang lelaki. Lupi harus menemui gadis itu. “Elu mau ke mana, Lup?” tanya Ipul. Didi menambahkan, “wah elu nyaris ganteng!” Ipul ngikik mendengar pujian setengah hati Didi. “Mau menemui Filsuf perempuan.” “Anak mana?” “Psikologi tapi suka novel hukumnya John Grisham.” “Mengerikan!” kata Didi. “Filsuf perempuan yang tidak romantik,” Ipul menambahkan. “Tapi menyenangkan,” Lupi membela. “lanjutkan!” Didi menimpali. Ipul memberi semangat, “perempuan makhluk penyuntik. Dapatkan dia!” “Kalian mau masuk kelas?” tanya Lupi pada Didi dan Ipul. “Mau numpang tidur,” timpal Didi enteng. “Jadilah mahasiswa yang baik demi kepentingan bangsa,” balas Lupi sedikit meledek. Lupi semakin percaya diri oleh dorongan kedua sahabatnya yang masih menjomblo itu. Ah, bukankah Lupi juga masih menjomblo. Sementara ini dia sedang berusaha untuk menghapuskan status jomblonya. Berhasil atau tidak itu tergantung ikhtiarnya. Nurkho sedang membaca buku di depan kelasnya dengan duduk di kursi panjang yang terbuat dari besi. “Menarik?” Nurkho menghentikan bacaannya. Kemudian senyum mautnya mengembang. “Mengecewakan.” Lupi memeriksa novel yang dibaca Nurkho. Judul novel itu adalah The Book Of Shalahudin karangan Thariq Ali. “Dari minggu kemarin aku berusaha menyelesaikan novel ini tapi baru dapat beberapa halaman saja sudah ngantuk. Sungguh membosankan alurnya.” “Tak pernah membaca novel percintaan?” tanya Lupi. “Kamu tidak masuk kelas?”Nurkho balik bertanya. “Aku tak akan menjawab sebelum kamu menjawab pertanyaanku tadi.” “Ok,” kata Nurkho menyepakati. “Aku tidak suka yang cengeng-cengeng. Aku tak suka drama. Aku tak suka romantik. Mereka semua tidak maju. Monoton. Aku suka cerita yang lebih realistis. Suka cerita yang sehari-hari tapi dibalut dengan gaya bahasa yang lugas.” Lupi menyimak seolah dirinya akan mempersiapkan menjadi lelaki yang heroik. “Kamu tidak masuk kelas?” Lupi sesungguhnya sangat menghindari pertanyaan yang tidak menarik itu tapi ia harus jujur karena bukankah Nurkho menaruh perhatian kepada pria yang jujur. “Tidak,” jawabnya ringkas. “Bukankah ada kelas?” “Ada. Tapi sudah lama aku mengabaikan kelas.” Nurkho mengangkat alisnya sejenak. Kemudian menurunkannya lagi. “Mau menemaniku?” “Ke mana?” tanya Lupi dengan antusias. “Kwitang. Nyari buku mata psikologi dan novel.” Lupi mengiyakan segera. “Kamu...” “Aku tidak punya pacar,” sela Nurkho yang sudah tahu arah pertanyaan Lupi. Maklum, karena ia mahasiswa psikologi yang sudah bisa menebak maksud seseorang. “Kenapa?” “Bukan belum ingin sih, tapi belum menemukan yang menarik.” “Kalau begitu aku tidak menarik donk,” Lupi memulai dengan senyum yang percaya diri. Nurkho tertawa terbahak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu terlalu percaya diri. Aku suka cowok yang percaya dirinya tinggi,” jelas Nurkho, hidung Lupi mengembang. “Tapi aku belum tertarik sama kamu, Lupi!” Hidung Lupi kembali mengempis. Nurkho tertawa melihatnya. Gadis Mangga Inderamayu Sekalipun Nurkho merasakan Lupi sedang ingin mendapatkan hatinya, gadis bermata gelap dengan kulit lembut itu masih menganggap Lupi sebagai partner bercakap-cakap saja. Namun Lupi tidak mau menyerah sebelum keringat kering. Dia akan tetap bertekad mendapatkan hati si mahasiswi psikologi itu. Di sela-sela perjuangan cinta Lupi, ada kejadian menarik yang terhampar di kostan tiga jejaka muda itu. Kejadian ini tentu tidak terlalu menggemparkan karena yang mengalami hanya Ipul yang diketahui oleh kedua sahabatnya. Adalah seorang gadis yang juga mahasiswi yang memiliki rambut lurus, bentuk hidung yang standar, wajah tak cantik-cantik amat tapi sangat manis, dan bodinya yang kontemporer. Ratih, nama si gadis manis itu. Ipul sering melihat gadis itu di sekitar kostan karena memang gadis itu merupakan anak dari Pak Dirman, sang pemilik kostan asli Betawi. Saat kali pertama melihat gadis Betawi itu Ipul tidak sama sekali merasakan getaran di dada meskipun berkali-kali ia memeriksa dadanya untuk memastikan apakah hatinya menaruh minat pada Ratih. Kejadian itu bermula ketika Didi dan Lupi sedang melakukan aksi pencurian buku yang kedua di perpustakaan kampus. Ya, mereka masih berniat mencuri buku kampus karena mereka merasa itu adalah hak mereka. Kalau sudah bicara hak pasti kewajiban dilupakan. Pasti apapun sekalipun itu moral akan ditabrak tanpa tedeng aling-aling. Ipul tidak menemani mereka bukan karena alasan moral tapi merasakan ketakutan jika aksi gila dan biadab ini tertangkap basah oleh penjaga perpustakaan. Jejaka Inderamayu ini lebih memilih membaca buku dan belajar menulis. “Permisi,” suara perempuan terdengar mengetuk pintu. Ipul bersegera membuka pintu. “Maaf mengganggu,” kata Ratih. Ipul mengangguk sopan. “Mas Ipul, ada waktu enggak?” “Buat?” “Bisakah Mas Ipul membantu mengetik makalah saya. Saya sudah ngetik tapi belum selesai-selesai. Tugasnya banyak sekali. Mau dikerjain ke rental tapi sekarang jasa pengetikan terlalu mahal,” kata Ratih agak malu. Ipul harus bersikap profesional dengan bisa saja dia menolak karena harus menyelesaikan bacaannya. Tapi yang meminta adalah anak sang pemilik kostan. Ipul mengalah lebih karena menghormati sang ayah dan hitung-hitung menolong sesama. Apalagi si gadis itu sungguh manis. Menarik! “Siap! Mana tugasnya.” Ratih mengulur senyum. Ipul memandang sekejap senyum itu. Hmmm cukup manis juga gadis ini. Dan ternyata kalau dilihat dari dekat, kulitnya halus, wajahnya semakin manis bak mangga Inderamayu, bodi kontemporenya juga semakin menggoda. Ipul menjadi semakin berela hati apabila si gadis ini meminta pertolongan kapanpun. “Ini,” kata Ratih sambil menyodorkan tugasnya. Ipul segera menyalakan laptop jeleknya. Oh, ketikannya memang banyak sekali. Pantas saja Ratih menyerah. Tapi Ratih cukup pintar juga karena di kostannya ada penghuni yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kuliahnya. Jejaka Inderamayu ini mulai mengetik antusias. Ya dia antusias karena memikirkan penampilan Ratih yang bagaikan mangga Inderamayu. Aduhai! Dia harus tampil optimal dan mengundang pesona. Siapa tahu Ratih mempertimbangkannya sebagai pasangan. Ah, mimpi kali! Ratih anak juragan kostan sementara orang tuanya bukan juragan apa-apa. Beberapa menit Ipul sudah mengerjakan beberapa lembar. Pingganngnya pegal, matanya lumayan lelah harus berhadapan dengan sinar laptop tapi ia harus bersemangat untuk tampil mengesankan di depan si Gadis mangga Inderamayu itu. “Ini,” kata Ratih yang menyodorkan beberapa roti unyil dari Bogor dan Jus mangga kepada Ipul. Ipul menyambutnya dan mengucapkan terima kasih dengan sopan kepada Ratih. Dipikirnya Ratih akan pergi, membiarkan dirinya berkonsentrasi toh memang tugas mengetik tidak perlu pengawasan dari yang menyuruh. Tapi Ratih malah duduk lesehan beberapa langkah di sebelah Ipul. Ini kesempatan, kata Ipul. Tapi cukup membuat tubuhnya berkeringat karena sedikit gugup. Karena harus tampil sempurna Ipul menahan semua lelahnya. Menahan rasa pegal pinggangnya. Melawan kantuk yang mulai menyergap. Ini demi cinta, katanya dalam hati. Dada Ipul semakin kembang-kempis ketika Ratih mengawasi pekerjaannya. “Ada kesulitan enggak, Mas Ipul?” tanya Ratih dengan perhatian. “Masih bisa diatasi, Mbak.” Tapi perut Ipul tiba-tiba mulai terasa ada yang mengganjal. Sesuatu yang mengganjal itu turun ke pantatnya. Gawat. Pantat Ipul diserang kentut. Ipul mau ke kamar mandi sebentar untuk membuang kentut, tapi pinggangnya yang pegal tak kuat untuk berdiri. Mau tak mau ia harus menahan sekuat tenaga agar angin yang berpotensi menganggu penciuman itu sekuat mungkin ditahan. Wajah Ipul mulai memerah karena harus berjibaku menahan serangan angin bau itu. Matanya juga mulai ikut berjuang. Tapi serangan angin itu terlalu kuat. Pertahanan pantat Ipul sudah mulai bobol. Akhirnya angin bau itu mulai bersuara kecil. Tuuut, seperti suara tuts piano kecil. Ratih sedikit terkejut. “Apa itu?” kata Ratih sambil menutupi hidungnya dengan tangannya. “Tikus. Tikus,” kata Ipul pura-pura panik tapi kini sudah lega. “Ah, Mas Ipul,” kata Ratih yang masih menutup hidingnya. “Mas Ipul Jorok,”katanya lagi. Ipul menunduk malu meskipun bibirnya tak kuat menahan senyum. “Kadang kita sesekali harus merasakan apa yang belum kita rasakan, Mbak Ratih, “ Ipul sedikit membela. Ratih menyimak pembelaan Ipul. Sejurus kemudian ia mulai tertawa-tawa. “Ide yang bagus tuh, mas Ipul.” Hati Ipul mulai merasakan kelegaan karena si manis itu bisa diajak rumit sedikit menahan bau kentutnya. “Kentut aku ini jarang-jarang diciumi hidung orang-orang lho. Jadi Mbak Ratih salah satu orang yang khusus.” Ipul mencoba menarik diri Ratih. “Kentut sepesial ya, Mas.” Ratih tidak mau kalah berseloroh humor. Ipul tertawa. Ratih juga mengikuti tingkah Ipul, tertawa sampai ia sendiri tidak bisa menahan kentutnya. Beberapa menit kemudian mereka tertawa lagi. “Skor kita jadi 1-1 (satu-satu),” kata Ratih. Lagi-lagi mereka tertawa seolah sedang mendapatkan anugerah humor yang diturunkan oleh Tuhan yang Maha menyukai seseuatu yang lucu-lucu. “Mbak, maaf nih, harusnya kan yang mengetik tugas mbak itu pacar mbak.” Ipul mulai memancing-mancing. Memang jejaka-jejaka muda itu pintar mengalihkan pembicaraan. Tidak percuma mereka selama ini membaca buku dengan serius. Ratih membisu sebentar. “Oh, Mas Ipul enggak mau keberatan ya dipinta tolong?” ucap Ratih pura-pura kecewa dengan muka yang agak ditekuk tapi manisnya tetap terasa. Ipul menggelengkan kepala. “Tidak, kok.” “Aku masih menjomblo, mas.” Terang Ratih kalem, merespon. “Oh,” Ipul mengangguk-angguk. “Kenapa masih menjomblo?” “Aku termasuk tipe yang menunggu, Mas. Cewek reaktif.” Ipul masih merasa heran. Ya betul kaum perempuan memilih didekati ketimbang mendekati meskipun ini zamannya emansipasi. Tapi begitulah hukum perempuan berjalan di manapun itu. Hanya segelintir perempuan yang berani agresif kepada lelaki-lelaki. Itu pun dianggap perempuan yang melanggar dan menurunkan harkat-derajat kaum perempuan. Tapi? Tapi Ratih manis. Agak terdengar aneh jika tak ada kaum adam untuk berusaha mendekatinya. Apa yang sebenarnya terjadi? “Yang mendekati pasti banyak dong?” “Menjauh malah,” jawab Ratih santai. “Kenapa?” Ipul mulai penasaran. Ratih tidak menjawab. Justru ia meminta Ipul segera menyelesaikan ketikannya. Ipul tidak mau menginterogasi sekalipun dirinya ingin mengetahui alasan mengapa gadis mangga Inderamayu tidak didekati oleh para pemburu wanita. “Tapi ada dong yang mbak sukai di Fakultas Pendidikan—Tarbiyah?” Ipul mau memancing-mancing lagi. “Kelihatannya?” Ratih mengikuti ritme permainan. “Pasti ada.” Ipul menebak. “Begitulah,” kata Ratih singkat. Sialan! Ipul termakan dengan permainannya. Keterbukaan Ratih cukup membikin hatinya meredup. Bisa-bisa kesempatan untuk mendapatkan gadis manis ini tertutup. Tapi benarkah dirinya sudah jatuh hati beneran kepada Sang Puteri itu? “Kalau, Mas Ipul, sudah punya gebetan?” Ratih bertanya balik. Ipul tak menunda-nunda jawaban. Dia langsung tancap gas menjawab. “Tentu belum dong.” “Bohong,” timpal Ratih. “Sumpah,” balas Ipul yang jari-jari tangannya masih mengetik dan matanya fokus pada lembaran-lembaran yang hendak diketik dan monitor laptop. “Kenapa?” “Mustahil.” Ratih menyipitkan mata. “Maksudnya?” Ipul menyiapkan kata-kata yang pas. “Saya orangnya tidak istimewa, Mbak. Tidak pintar dan juga tidak punya materi,” jawaban Ipul seperti ingin mengundang simpati agar Ratih berkata, “ah, Mas Ipul suka merendah diri. Bisa aja mas Ipul ini.” Namun jawaban yang ditunggu tak kunjung diujarkan. Ratih seperti tidak bergeming. “Pengen tahu caranya supaya cewek klepek-klepek sama Mas Ipul?” Ratih menawarkan ide. Ipul terperanjat. Menawarkan gagasan? Wong Ratih juga katanya tidak ada lelaki yang mendekatinya. Hmmm dunia sudah terbalik, tidak berputar lagi. “Boleh,” Ipul berlagak penasaran. “Mas Ipul harus banyak belajar supaya pintar. Kemudian Mas Ipul harus cepet-cepet nyari duit supaya tajir. Nah, pasti cewek-cewek klepek sama Mas Ipul,” jawab Ratih lugas dengan senyum yang ditahan. Padahal sebenarnya ia tak enak hati mengucapkannya. Sialan! Ipul cukup keki juga dibuatnya. “Oh, begitu ya,”Ipul menimpali. “Hmm mbak Ratih suka cowok yang pintar dan bermateri?” kembali Ipul memancing. Ratih memain-mainkan ponselnya seolah cuek dengan pertanyaan Ipul. Ipul menghela nafas. Ratih menjawab kemudian. “Aku suka cowok yang apa adanya.” Bijak sekali cewek ini. Ini cewek yang gue cari. Kata Ipul dalam hati. Ratih memperhatikan Ipul detil. “Adanya si cowok itu ya berduit. Adanya si cowok itu keren. Adanya si cowok itu ganteng dan menarik. Adanya si cowok itu yang ok segala-galanya, Mas Ipul,” jelas Ratih yang dibaluti mimik serius. Ipul dibikin keki lagi. Sialan! Sialan! Kesempatan untuk mendekati Ratih tertutup sudah. Tapi Ratih tak kuat menahan tawa melihat wajah Ipul yang menggambar seperti anak kecil yang tak berhasil mendapatkan mainan yang diinginkannya. “Sudah selesai, Mbak,” sela Ipul dengan membuka Flashdisk Ratih yang menancap di Laptopnya beserta lembaran-lembaran tulisannya. Ratih tersenyum senang. Tugas yang akan dikumpulkan besok segera selesai. Ia tinggal mengirim soft copy-nya ke imel dosen mata kuliah filsafat pendidikan. “Terima kasih ya, Mas Ipul.” Ipul menjawab, “sama-sama. Itu urusan kecil bagi saya.” Ipul mulai menyombong. “OK. Kalau aku repot tinggal panggil mas Ipul saja ya. Entar aku tinggal bilang, ‘Mas Ipul tolongin ketikin tugas saya dong’, “ kata Ratih enteng. Nafas Ipul memberat. Tapi tidak apa-apalah demi gadis mangga Inderamayu ini. “Eh, Mas Ipul,” kata Ratih pelan. Ipul merespon. “Ada apa, Mbak?” “Aku belum punya imel,” ucap Ratih agak malu-malu. Ipul bersikap biasa mendengarnya. “Bukannya belum punya sih, tapi terus terang aku tidak bisa berumit-rumit berusan dengan kecanggihan media sosial. Dengan kecanggihan teknologi modern,” lanjut Ratih jujur. Ipul mengambil nafas, lalu mengeluarkannya lagi. “Oh,” kata Ipul agar terdengar tidak kaget. “Aku mau minta tolong sampeyan bikinin aku imel. Aku pun tidak punya fesbuk. Kuno banget ya aku?” “Ah santai saja, Mbak,” Ipul mencoba bersikap akomodatif “Mau tidak, mas Ipul?” “Hamba laksanakan, Tuan Puteri.” Ipul menggoda dan Ratih menyungging senyum. Ratih segera meningglakan kostan sambil pamit mengucap salam kepada Ipul yang menjawab salam si gadis gagap kemajuan teknologi itu. Ipul malah memandangi gadis itu dari belakang sambil memikir apakah karena kekunoannya ia tidak didekati oleh para kaum adam kendati dirinya begitu manis untuk dicintai. Begitu indah untuk dipandang. Begitu ranum untuk dibelai. Begitu pintar, ah begitu pintar? Bukankah ia tidak punya akun media sosial di tengah modernitas zaman untuk dikatakan pintar? Ah pokoknya begitu manisnya ia sampai-sampai tidak bisa didekati oleh Ipul. Homo Ekonomikus Kini benar-benar kedua jejaka minus Didi itu sedang dimabuk oleh gadis yang begitu memikat diri. Lupi semakin sering mendengarkan lagu cinta yang dibawakan oleh musisi-musisi Barat dengan terkadang dia menikmati musik sekelas Tommy J. Pisa yang mengiris-iris hati itu. Ipul kian getol membuat puisi tentang penantian seoarang kekasih. Fakta yang tak bisa digugat memang bahwa sang filsuf dramatik pun tak kuasa menahan keindahan seorang wanita. Dunia ternyata masi berjalan normal. Syukur kalau begitu! Lalu apa yang terjadi dengan jejaka penggemar mie instan di campur nasi yang beberapa hari lalu dadanya dibikin deg-degan tak tentu oleh Linda? Didi masih menjadi filsuf dramatik yang semakin enggan masuk kelas, yang masih menikmati buku, yang masih menjadi pelopor agar kedua sahabatnya itu untuk mengenali diri mereka sendiri. Didi masih menjadi pemimpin untuk bidang ini. Tapi kini perasaannya mulai gundah menggelisah. Tersebab sang penggoda kaum Adamkah? Ah, bukan. Ternyata lamat-lamat ia mulai menyadari bahwa kehidupan ala Jakarta semakin melulu materil. Segalanya harus menggunakan uang. Makan pake uang. Mandi pake uang. Tidur pake uang. Untuk pintar pake uang. Mau menikmati hiburan dan liburan pun pake uang. Sampai kepingin kencing pun harus mengeluarkan dua ribuan. Didi mulai berpikir ekonomis. Dia semakin realistis. Bah, sialnya kedua karibnya sedang digilai asmara yang meracau-galau. “Kita tidak boleh begini terus, kawan-kawanku, yang mulia,” kata Didi paska maghrib sembari ketiganya menonton televisi yang kini memuat berita tentang para artis yang rame-rame mau menjadi pemimpin daerah dan anggota dewan. Lupi dan Didi menoleh ke Didi. “Kalian belum nyambung ya sinyalnya?” lagi, kata Didi serius. Lupi dan Ipul menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kawan-kawan yang terhormat, kita harus nyari duit. Semakin hari harga apapun semakin naik. Intinya apaun pake duit.” Lupi dan Ipul mendengarkan dengan khidmat. “Kamu Lupi,” wajah Didi menoleh ke Lupi, “katanya kamu kepingin banget beliin si Nurkho novel-novel John Grisham. Ya, itu harus make duit. Lupi membenarkan. “Dan elu saudaraku, Ipul. Kata kami si gadis mangga Inderamayu itu pengen dapat cowok yang pintar dan tajir. Ya kalau soal pintar kamu memang pintar di antara kita. Tapi untuk urusan duit kamu memble kan?” Lupi agak ngikik mendengar cibiran Didi tapi Ipul tetap mendengarkan. Kemudian Ipul menimpali,” gue juga bosan dengan kondisi ini. Gue juga pengen beli gadget keluaran terbaru kayak teman-teman. Pengen beli baju yang bermerek. Pengen beli celana jins yang lagi ngetrend kayak orang-orang. Gue pengen lebih pokoknya.” Lupi memperhatikan Ipul seolah dirinya merasa prihatin dengan cowok betawi-cirebon itu. Mungkin dirinya baru mendapati Ipul yang ternyata ingin menjadi teman-teman kelas dalam gaya sehari-hari. “Ya tabungan gue juga sudah mulai terkuras. Masa harus nodong ke ortu. Malu lah!” Akhirnya Lupi dan Ipul lagi-lagi terpengaruh oleh ajakan Didi yang terasa menyentuh. Emosional. Tapi toh mereka membenarkan apa yang dikatakan penggemar Lola Amaria itu. “Ok kalau begitu kita mulai dari mana” tanya Lupi. Didi dan Ipul mulai memikir-mikir jalan apa yang mungkin berpotensi akan menghasilkan uang. Didi menggagas ide bagaimana kalau mereka bekerja di mini mart atau menjadi pelayan di makanan cepat saji. Alasannya sederhana. Untuk menjadi pekerja yang disebutkan tadi hanya perlu ijazah SMA sesuai yang mereka punya. Lupi dan Ipul menyetujui. Rencananya sepagi mungkin mereka akan mencari lowongan kerja di tempat yang sudah mereka tentukan. Pagi sekali mereka sudah berada di tempat makanan cepat saji. Asyiknya di pintu itu dipajang pengumuman kerja. Antusias mereka membuncah membaca lowongan itu. Pada pengumuman tersebut ditulis kriteria pekerja : minimal usia 17 tahun, pendidikan terakhir SMA, pengalaman tidak diutamakan, tekun dan rajin. “Ini sesuai dengan kita banget,” kilah Lupi. Namun pada tulisan tersebut tertulis kriteria : tidak sedang mengikuti perkuliahan. Ah, bukan rezeki kita! Karena mereka mengharapkan bekerja paruh waktu. Tapi di bawah persyaratan terakhir tertulis : tidak menerima pekerja paruh waktu. Wajah ketiga jejaka muda itu tertunduk layu, duduk di serambi makanan cepat saji itu. Mereka menghela nafas. “Susah juga nyari kerjaan,” kata Lupi sambil membetulkan rambutnya. “Kita tinggalkan saja kuliah supaya dapat kerjaan ini,” Didi bersaran. Ipul menggelengkan kepala. “Tidak.” Didi menagih alasan. “Bagaimanapun niat kita ke Jakarta itu belajar, bukan nyari duit.” Terang Ipul yang masih memperhatikan kuliah meskipun terkatung-katung. “Betul juga,” Lupi membenarkan. Didi tidak bisa berdalih karena bagaimanapun setidaknya pada semester ini mereka harusnya bisa mendapatkan nilai untuk beberapa mata kuliah. “Ok kalau begitu kita nyari kerja paruh waktu,” Didi beride. “Siap. Tapi di mana?” tanya Lupi bersemangat. Ipul memberi usul. “Di koran-koran besar.” Ketiga jejaka muda itu mendadak bungah. Mereka bangkit berdiri. Menyetop kopaja yang sekarang sudah agak bagus ketimbang sebelumnya. Tapi tetap saja di dalam kopaja tersebut cuaca masih sangat gerah. Setiba di kostan setumpuk koran lokal dan nasional mereka kumpulkan setelah dibeli dari perempatan bakso arah ke kostan mereka. Mereka membagi tugas. Masing-masing memeriksa halaman lowongan kerja dari koran yang dibaca. Detil sekali mereka meneliti satu per satu kolom lowongan kerja. Dari mulai kolom lowongan kerja untuk bagian kepala staf, auditor, analis keuangan, sekretaris, sampai marketing. Tapi bisang-bidang itu diperuntukan kepada pelamar yang bergelar strata satu dan dua. Alhasil ketiga jejaka muda itu tidak masuk kualifikasi. Sampai tiba ketika Ipul meneliti lagi kolom koran yang dibacanya tertulis : lain-lain. “Nah ini!” kata Ipul sumringah. Didi dan Lupi terperanjat. Tanda-anda kemakmuran seolah berdiri di depan mata mereka. Mengapa mereka begitu terkejut diiringi rasa bahagia? Karena pada halaman ini tertulis lowongan yang tak perlu memiliki persyaratan sarjana dan kerja paruh waktu. Pada kolom ini disebutkan : dibutuhkan apply data entry part time, mahasiswa/ibu rumah tangga/pensiunan. Income 3-8 juta/minggu. Send cv ke deni.humaedi@yahoo.com. Lupi yang langsung tergiur mengucek-ucek matanya. “Serius ini?” “Ini kesempatan kita,” timpal Didi dengan menepuk-nepuk bahu Lupi yang berlemak. Ipul mengepalkan tangannya seraya berkata,”gue bayangin bagaimana kalau sudah bekerja berminggu-minggu. Gue bisa beli gadget terbaru. Tiap minggu kita bisa makan di restoran mewah. Dan yang paling penting gue bisa memperlihatkan semua ini ke si gadis mangga itu. Sekalian kita bisa nantangin bapaknya buat naikin harga kostan.” Ketiganya terkekeh. “Dan gue bisa beliin nurkho novel-novel John Grisham,” Lupi mulai bermimpi. “kalau elu mau ngapain, Di?” Ipul melirik Didi. Lupi sedikit tersenyum. Didi belum bisa membayangkan. Dia kali ini kalah telak. ‘Sesegera mungkin kita kirim cv ke alamat imel itu,” kata Didi mengalihkan pembicaraan. Lupi dan Ipul hanya bisa mengangkat mata. Setelah sehari mengirim cv ketiga jejaka itu berharap-harap cemas. Mimpi-mimpi yang mereka bayangkan juga belum pasti. Hmmm mereka sekarang lebih menjadi mahasiswa yang membawa misi untuk mencari kekayaan semata. Tujuan mereka semula untuk menuntut ilmu mulai berubah haluan. Dalam kemenungguan itu ponsel Didi berdering. Sang pemanggil bernomor 02178xxxx. Ini pasti telepon kantor jikalau dilihat dari kode angkanya. Besar kemungkinan cv mereka direspon. “Ya benar ini Didi.” Jawab Didi dari sang pemanggil yang rupanya resepsionis dari perusahaan yang ditunggu-tunggu. “Bisakah besok datang ke kantor kami untuk wawancara?” tanya si resepsionis. “Sangat bisa,” jawab Didi penuh percaya diri. Didi menyepakati setelah dia mencatat alamat kantor perusahaan sesuai yang dibacakan oleh sang pemanggil—resepsionis. Lupi dan Ipul antusias. “Mantap, di,” serentak mereka berseru. “Terus kapan dong giliran kita?” Lupi mulai tak sabar dengan melirik kepada Ipul. Beberapa menit kemudian ponsel Lupi dan Ipul berdering. Bukan main senangnya mereka karena ternyata yang menelepon adalah perusahaan yang sama, yang menelepon Didi. “Kita harus menyiapkan mental dari sekarang supaya besok tampil meyakinkan,” terang Lupi sambil mondar-mandir. Ipul membuka laptop bekasnya. Dipasangnya modem internet. Dia hendak mencari tips agar interview berjalan lancar di mesin pencari google. Lupi menelepon kakaknya untuk menanyakan tentang hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan untuk interview. Sedang Didi tak tahu apa yang harus diperbuat. Tak tahu siapakah yang harus dihubungi. Aha, bukankah Linda cukup berpengalaman untuk urusan ini. Lagi pula dirinya sudah lama tidak bertemu dengan wanita seksi itu. Rupa-rupanya diam-diam Didi mengangeni wanita yang usianya lima belas tahun lebih dari usianya. Rencananya Didi sore ini akan bertandang ke kostan Linda. Setiba sore Didi mengetuk pintu kostan Linda berkali-kali tapi tak ada suara yang merespon. “Mbak Linda sudah beberapa hari ini tidak di kostan,” kata bu Rosa, tetangga kostan Didi. Letak kostan bu Rosa berada di sebelah kostan Linda. “Ke mana?” tanya Didi penasaran. “Enggak tahu ya, mas,” timpal bu Rosa yang agaknya lebih tua dari Linda. Didi merasakan kejanggalan perasaan. Mendadak entah mengapa hatinya tidak terlalu senang mendapati kostan Linda yang kosong. Dia merasam ingin mencari wanita itu. Tapi ke mana? Entahlah. Yang jelas saat ini mengapa dia begitu menginginkan Linda bukan karena urusan interview. Dia tidak mendapatkan tips interview tapi Lupi dan Ipul mendapatkannya. Pagi-pagi sekali jejaka muda itu bersiap menyisir rambut, menyemprotkan wewangian ke tubuh, mengenakan kemeja dan celana bahan yang rapi, memakai sepatu yang mengkilat. “Kita akan menjadi orang nyang berbeda hari ini,” kata Lupi. “Sepakat,” kata Didi. “Bersiap menjadi mahasiswa yang lulusnya lama. Sesepuh kampus,” Ipul menambahkan. Kemudia ketiganya terbahak-bahak. Cepat sekali mereka tiba di gedung yang terletak di kawasan Sudirman ini. Gedung itu menjulang tinggi, mencakar langit. Memiliki lantai yang bertingkat-tingkat. Di lantai tujuh. Ya, mereka harus menuju lantai tujuh. “Mas Lupi,” seorang resepsionis memanggil Didi untuk masuk ruangan wawancara. Didi dan Ipul tetap duduk di ruang tunggu. Di ruangan itu terdapat lebih dari seorang pelamar kerja. Wajah-wajah mereka nampak antusias, penuh dengan harapan akan sebuah pekerjaan yang bisa mengubah kehidupan mereka. Termasuk ketiga jejaka muda itu. Lupi membuka pintu kaca. Seorang wanita berjas sedang duduk di kursi eksekutif. “Silakan duduk,” kata si pria yang rupanya pewawancara itu. Lupi duduk dengan sikap terjaga. Wajahnya menampilkan ketenangan yang dibuat setenang mungkin sesuai petunjuk kakaknya agar sesi wawancara berjalan sukses. “Mas Lupi Samarupi?” tanya si pewawancara. Sang pewawancara adalah seorang wanita yang kira-kira berusia mendekati angka empat puluh tahun. Kulitnya menyembul cerah. Matanya hampir gelap. Bulu matanya lentik tanpa rekayasa. Jari-jari tangannya lentik tanpa rekayasa dengan kutek merah di kukunya yang terawat rapi. Bodinya sedang, ngepas. Tidak ramping juga tidak berisi tapi cukup indah dipandang mata. “Ya,” jawab Lupi dengan penuh wibawa. “Sudah pernah mengentri data?” tanya si wanita. “Tidak, Bu.” Lupi menjawab denga jujur sesuai perintah kakaknya. Karena bagaimanapun jujur merupakan trik untuk menarik perhatian si pewawancara bukan karena alasan moral. “Sudah siap?” tanya si wanita itu kembali. Lupi sedikit bingung. “Maaf siap untuk apa?” Lupi menjadi tidak enak hati dan merasa tidak sopan. Harusnya ia menjawab, bukan kembali bertanya. “Bekerja!” “Apa gue diterima bekerja?” kata Lupi dalam hati seolah tak percaya. “Menakjubkan.” Kata Lupi lagi dalam hati. “Minggu depan kamu mulai mengikuti pelatihan,” demikian kata wanita yang berbodi ngepas ini. “Selamat,” katanya lagi dengan menjabat tangan Lupi yang sedikit berkeringat. Oh, Lupi semakin bahagia. Sementara di pemandangan lain juga terjadi peristiwa yang menyenangkan hati. “Bayangkan saja tiap minggunya kamu akan mendapatkan pemasukan tiga juta per mimggu. Sebulan kamu bisa mendapat berapa itu? Tinggal dihitung saja!” kata si pewawancara kepada Didi. Jantung Didi berdegup bahagia. Bukan main senagnya dia. “Kamu bersedia?” tanya si pewawancara. “Bersedia, komandan!’ jawab Didi yang tak bisa menahan emosinya. Si pewawancara itu tersenyum ramah. Didi dan Lupi sudah kembali duduk di ruang tunggu. Sedang Ipul baru keluar dari ruangan wawancara. Matanya berkaca-kaca bahagia sambil memeluk Didi dan Lupi. Suasana menjadi haru dan klimaks. “Kita akan menjadi pemuda tajir,” kata Ipul begitu emosional. “Lalu kuliah kita?” tanya Didi menguji. “Persetan dengan kuliah,” jawab Ipul. Didi dan Lupi tertawa-tawa. Pesona Elisabeth Hari yang ditunggu tiba sudah. Semalam mereka tidak tidur larut malam karena memang besoknya akan menjalani pelatihan yang pertama. Mereka bangun lebih awal dari orang-orang yang bersiap menjalankan shalat subuh. Semangat mereka mengalahkan kemalasan. Jam delapan tepat yang diharuskan mereka untuk sampai di kantor itu dibalas dengan ketepatan waktu yang luar biasa. Malah mereka tiba di kantor itu satu jam sebelum waktu yang ditentukan. Maklum mereka sedang bersiap menjadi jejaka paling tajir di Indonesia. Mereka berangan mengelilingi Indonesia dengan gaji yang akan didapat. Mereka akan menikmati kuliner nusantara dengan uang yang berlimpah. Mereka akan melakukan segalanya dengan uang. Lalu kapan mereka akan membeli buku untuk menumpas pikiran gendeng mereka? Uang sudah mengubah mereka seribu persen. Mereka memasuki ruangan. Ruangan itu dipenuhi orang-orang yang haus uang. Orang-orang itu yang dilihat ketiga jejaka muda itu selama wawancara. Kira-kira jumlah mereka sekitar enam puluh orang. Dari jumlah sebanyak itu dibagi menjadi sepuluh kelompok. Satu kelompok terdiri dari enam orang. Setiap kelompok dipandu oleh satu orang pelatih. Jadi keseluruhan ada enam pelatih yang dipimpin oleh pelatih utama. Pelatih utama ini berwujud wanita yang berwajah Indonesia tapi aksennya terasa lain. Aksennya sedikit cepat dengan kadang-kadang menggunakan bahasa Inggris. Wajah wanita itu licin karena sering memakai krim. Rambutnya dicat merah dengan menyisakan warna gelap. Seperti warna rambut jagung yang sudah matang. Kulitnya bersih. Roknya selutut. Pantatnya gempal. Tubuhnya sangat seksi aduhai. Wanita membuka pelatihan dengan percaya diri. Ia memulai dengan pelan. Tapi beberapa menit kemudian ia mulai menggebu-gebu. Suaranya penuh magis membangkitkan gairah kami. Pagi-pagi jiwa kami kebakaran. Wanita itu menutup pembukaan hari ini dengan sukses. Semua yang hadir seolah menjadi manusia baru. Kemudian ia berkeliling memeriksa tiap kelompok. Hingga tiba ia di kelompok ketiga jejaka muda itu. Didi, yang dari tadi merasakan debaran, malah memperhatikan wanita itu ketimbang pelatih mereka. Nampaknya Didi mengingat Linda yang sudah lama tak dilihatnya. Wow! Wanita itu sungguh menggoda gaira Didi. Ingin Didi berbincang dengan wanita yang ternyata asli kelahiran Malaysia yang memiliki nama Elisabeth. Didi memanggilnya Elis supaya terdengar lebih Sunda. “Kamu dipanggil,” ucap Bu Erma yang satu kelompok dengan Didi. “Ya, pelatih,” kata Didi yang kaget. “Kamu mau memilih bagian apa?” tanya si pelatih itu. “Bagian paha, Pak,” jawab Didi yang tak mengerti pertanyaan yang diajukan. Maklum dirinya berimajinasi terlalu tinggi tentang Elisabeth yang seperti mangga mengkal itu tapi bukan mangga Inderamayu anak pak kost itu loh. Satu kelompok itu tertawa mendengarnya. Pelatih pun ikut tertawa tak terkecuali Elisabeth yang mesem-mesem geli mendengar jawaban konyol itu. Didi menjadi keki. Dia menunduk sedikit malu. “Didi ini seorang seniman khayal, Pak. Daya imajinasi liar. Ke mana-mana tapi dia suka daun tua,” timpal Lupi dengan senang hati. “Tapi sayang si daun tua sedang pergi entah ke mana. Jadi pikirannya sedang galau,” Ipul menambahkan. “Kalau mau duit jangan mikirin ke mana-mana,” timpal Elisabeth yang membuat satu kelompok itu hening. Kemudian pelatih itu meneruskan materinya. Materi pertama adalah tentang komunikasi yang efektif dan efisien. Pelatih yang usianya baru menginjak tiga puluh itu memiliki kumis yang tidak terlalu pas. Sebaiknya kumit itu dicukur saja supaya lebih cocok dengan bentuk bibir dan wajahnya. Wajahnya juga tidak lelaki banget sehingga membuat Ipul ingin muntah saja. Tapi di perusahaan lelaki yang kemayu itu justru dipilih. Apa tidak ada lelaki lain? Perusahaan macam apa itu? Sebagai peserta mau tak mau Ipul menahan kegeramannya. “Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang bisa dimengerti oleh yang mendengarkan atau forum. Kita tidak perlu menggunakan bahasa yang canggih sementara forum tidak mengerti. Itu hanya buang-buang waktu,” kata si pelatih itu. Satu kelompok jejaka muda itu mendengarkan penuh perhatian kecuali Didi yang masih memperhatikan Elisabeth yang berkeliling memeriksa kondisi kelompok lain. Si pelatih kemayu itu melirik Didi. “Mas Didi?” “Ya,” kata Didi yang masih pula memperhatikan Elisabeth. “Bagaimana komunikasi yang baik itu?”tanya si pelatih. “Yang baik? Komunikasi yang baik itu ya langsung ke jantung perasaannya, Pak. Dijamin target akan klepek-klepek. Saya sudah membuktikannya semasih sekolah dulu,” jawab Didi santai tanpa memperhatikan peserta yang lain. “Apa yang sedang Anda pikirkan, Mas Didi?” tanya si Pelatih kemudian. Didi masih diam tak benar-benar menyadari suasana. “Apa yang sedang Anda pikirkan?” si Pelatih mengulang lagi dengan nada keras. “Wanita itu.” “Siapa?” “Wanita itu!” “Bisa diperjelas?” “Ya wanita itu, Pak.” “Siapa namanya?”tanya si Pelatih agak keras. Para peserta pelatihan mulai menikmati aksi ini. Lumayan! “Elisabeth Mariam,” jawab Didi. “Cuma satu?” si Pelatih memancing. “Tidak.” Didi mulai terpancing. “Siapa lagi?” “Linda Bleszinky.” “Apakah kamu tidak memikirkan aku?” si Pelatih keceplosan. Para peserta tertawa. Didi mulai sadar. Dia juga ikut tertawa. Si Pelatih yang kemayu jadi keki. Dia tidak berani menatap ke sekeliling. Tiba-tiba dia minta izin ke toilet untuk menahan rasa malunya. Elisabeth yang sedang memeriksa kelompok lain mendengar kericuhan kelompok jejaka itu. Apalagi dia mendengar jelas namanya disebut. Ia melangkah ke arah kelompok Didi dengan langkah yang tangkas tapi menggoda. “Anda memanggil saya?” tanyanya ke arah Didi. “Ya,” Didi mengangguk. “Ada keperluan apa?” Didi melihat bibir merah wanita itu. Bibirnya digincu warna pink yang sedikit kemerah-merahan. Tonjolan dadanya menyembul. Dada Didi mendadak tertikam. Ser-seran tak karuan. Sungguh indah makhluk Tuhan ini. “Ada keperluan apa?” wanita itu mengulang. Ipul, Lupi, dan ke empat orang lainnya merasa tak enak. “Kapan Anda memberi pelatihan kepada kami?” Didi menjawab. Dia sudah lihai mengalihkan suasana. Elisabeth Mariam tersenyum. “Mengapa memang?” Elisabeth meneliti Didi yang sudah tidak keki lagi. “Supaya kami semangat,” tukas Didi. Wanita itu tersipu. Senyum. Kemudian bersikap elegan. “Nanti ada gilirannya,” jawab Elisabeth dengan melangkah pergi. Pelatih kemayu yang melihat perbincangan Didi dan atasannya itu sedikit cemburu. Rupa-rupanya si kemayu itu menaruh hati kepada Didi sejak pertama kali melihatnya. Didi sedikit bergidik melihat si Pelatih kemayu yang kembali ke kelompoknya. Tapi pikirannya berkelabat, berimajinasi sedang menikmati pantai berdua. Berdua saja. Yang lain tidak boleh ikut termasuk Lupi dan Ipul. Tertipu “Pilih Elisabeth atau Linda?”Lupi menggoda Didi. Ipul menambahkan, “cinta memang tak mengenal usia.” “Kalian sudah gila. Sudahlah yang penting bagaimana caranya kita bisa mendapatkan uang segera,” Didi mengalihkan pembicaraan, seperti biasa. Tapi Didi benar-benar memikirkan wanita Malaysia 42 tahun itu. Dia tak habis pikir mengapa wajah dan bodi wanita itu menggumpali pikirannya. Jantungnya bergetar seperti pegas bila membayangkan wajahnya yang menggairahkan pandangannya. Di setiap pandangannya hanya ada Elisabeth Mariam. Pun setiap melihat wanita yang lebih dewasa seolah wanita itu Elisabeth. Didi mulai mati kutu. Inikah jatuh cinta pada pandangan pertama? Jangan-jangan dia akan mengungkapkan perasaannya kepada wanita Malaysia itu? Tapi sebentar Didi diam. Dia mendadak mengingat Linda Bleszinky. Apa Linda sudah pulang ke kostan? “Mau ke mana?” tanya Lupi. “Mau keluar sebentar,” kilah Didi. “Bukankah mau berangkat tidur supaya besok berangkat lebih pagi. Kan mau ketemu Elisabeth?” Ipul menimpali. “Ngaco, elu.” Didi mulai keluar. Dari pintu kostan ia melangkah ke kanan. Berjalan pelan seperti mengendap. Dia meneliti bangunan. Bangunan itu gelap. Hanya ada cahaya listrik dari dalam. Itu kostan Linda. Linda benar-benar tidak ada di dalam. Ke mana wanita cantik itu? Entahlah. Tapi Didi begitu ingin bertemu dengannya. Didi duduk di kursi santai di teras kostan Linda. Sebatang rokok berfilter ia hisap. Wajahnya muram. Rambutnya kusut. Sungguh pikirannya dijejali dua wanita yang usianya lebih tua darinya. Tapi sesekali senyumnya menyungging. Kemudia dia menoleh ke belakang seolah Linda sedang berada di dalam. “Kalau sudah cinta mengapa harus diam saja?” suara Ipul mengagetkann lamunannya. “Cinta itu haram hukumnya dipendam,” Lupi ikut berpartisipasi. “Seperti mual dimuntahkan pasti lega. Ditahan akan sakit.,” kata Ipul lagi. “Gue enggak tahu nih kenapa...” “Elu sebenarnya suka sama Linda kan?”Lupi memotong perkataan Didi. Didi mengangguk malu. “Gue memang gendeng ya! Jatuh cinta sama wanita yang lebih tua.” “Masih normal kok daripada tidak sama sekali,” Lupi membalas dengan suara yang terkekeh. “Gue serius nih,” Didi membela. “Tapi elu juga suka Elisabeth kan?” tanya Ipul. Didi diam membisu, kemudian menjawab, “Melihat Elisabeth seperti melihat Linda. Melihat Linda seperti melihat Elisabeth.” “Elu belum mantap. Masih ke sana kemari,” ungkap Ipul jujur. “Begitulah,” jawab Didi.”Sudahlah yang penting kita harus mewujudkan untuk menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia,” Didi berkilah. Ketiga jejaka itu lalu masuk ke kostan. Tapi Didi berharap akan bertemu Linda di alam mimpi sekalipun hanya beberapa detik. *** Ini adalah hari terakhir pelatihan. Sesi pertama diisi oleh sang Core Trainer—pelatih utama, Elisabeth Mariam. Wanita yang ternyata masih singgel itu menampilkan wajah yang bersemangat karena itu memang kewajibannyan untuk menggenjot gairah para peserta. Pembicaraannya dimulai dengan konsep menarik dan menggugah meskipun terdengar klise. Katanya, “untuk mendapatkan uang kita mesti bekerja keras, cerdas, dan tekun.” Tak ada yang salah dalam perkataannya itu. Ia melanjutkan lagi, “kita mesti menjadi manusia kaya raya jika ingin membantu sesama.” Sekali lagi tak ada yang salah dengan perkataannya itu. Ia kemudian menanyai kelompok tiga jejaka itu. Setiap peserta dari kelompok itu nampak bersedia dengan pertanyaan yang akan diajukan kecuali Didi yang setengah sadar karena pesona Elisabeth. “Apa mimpi Anda?” tanyanya kepada Heni, peserta asli Betawi yang sudah memiliki tiga orang anak. “Punya penghasilan lebih. Tidak bergantung kepada suami,”jawabnya tegas. Elisabeth mengangguk. “Anda?” tanyanya kepada Hesty, peserta asli Tangerang yang baru saja lulus kuliah. “Membeli rumah yang mewah untuk kedua orang tua!” tandasnya. Elisabet mengangguk. “Anda?” tanyanya kepada Erma, peserta dari Jakarta yang usianya lebih dari Elisabeth. “Memiliki penghasilan lima belas juta perbulan,” timpalnya seperti ibu-ibu yang baru menikmati kesombongan. Elisabeth mengacungkan jempol kepadanya. “Anda?” tanyanya kepada Lupi. Lupi menjawab, “menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia. Punya mobil mewah. Rumah megah di Pondok Indah. Punya kapal pesiar. Punya pulau, dan pengen punya pacar cantik,” jawab Lupi meyakinkan. Elisabeth tersenyu puas. “Anda?” tanyanya kepada Ipul. Ipul tak mau kalah dengan Lupi, “menjadi pemuda paling tajir sejagat. Punya istana megah. Punya berhektar-hektar kebun kelapa sawit, kebun jati, kendaraan canggih, punya klub sepak bola, dan punya pacar paling canti sedunia.” Elisabeth juga tersenyum puas. “Kalau Anda?” tanyanya kepada Didi yang masih berada di alam mimpi. “Aku menginginkan Anda, miss,” tandasnya dengan setengah sadar tapi gendeng. Elisabeth memahami bocah yang dianggapnya masih ingusan itu. Sementara yang lain terkekeh. “Mimpi kali ye?” Bu Erma menimpali. “Cemburu buta nieh,” timpal Ipul sambil melirik Bu Erma. “Sudah, sudah!” Elisabeth sedikit membentak sehingga terdengar oleh kelompok lainnya yang sedang mendengar materi dari pelatih. Semua peserta hening. “Kamu yakin dengan ucapan kamu tadi?” Elisabeth menguji. Didi kembali ke alam sadar. “Yakin,” jawabnya karena kadung jujur. “Ok. Kamu memang pemuda berani. Tapi sadarkah kamu mengucapkan itu?” Elisabeth terus menguji. “Sangat sadar.” “Kamu serius?” “Serius pun tak mampu mewakili keyakinan perasaan saya. Saya sangat menaruh hati kapada Anda, Miss.” “Apa keahlian kamu?” tanya Elisabeth. Didi tidak berkilah. Diam. Elisabeth menanya lagi, “Berapa penghasilan kamu?” Didi tak mau harga dirinya luntur. “Saya adalah pembaca buku yang baik. Dan sekarang sedang berusaha menjadi penulis besar. Soal penghasilan, terus terang belum ada tapi...” “Tapi apa?” kata Elisabeth. “Tapi perlu waktu,” kata Didi. “Dan dengan kerja di sini. Perusahaan ini penghasilan saya akan lebih besar dari Anda, Miss Elis,” Didi membela diri. Sedang yang lain tak percaya apa yang dikatakan Didi. Bulshit. Mana mungkin bocah kemarin bisa menghasilkan pendapatan Elisabeth yang berpuluh-puluh juta per bulan. Mustahil. Elisabeth memperhatikan keberanian Didi. Sebenarnya Didi pemuda yang berpotensi, menurutnya. Dari segi fisik Didi termasuk pemuda yang jantan dan gagah. Ah tapi apa yang dikatakan Didi itu lelucon yang datang dari dunia seberang. “Hebat. Kamu pemuda hebat.” Didi merasa jumawa. Merasa sedang di puncak paling tertinggi. “Tapi kamu harus realistis dengan kondisimu. Kamu harus mengenali dirimu yang sekarang,” Elisabeth memotivasi tapi lebih terasa menyindir di telinga Didi. Kemudian ia melanjutkan lagi, “lebih baik kamu lupakan mimpi-mimpi kamu itu. Jadilah pemuda paling tajir se-Indonesia seperti kata teman-teman kamu itu.” Didi mencerna dalam-dalam wanita penggoda itu. Baru pertama kali ini dia mendapat penolakan dari seorang Hawa. Zaman memang sudah berubah. Cinta perlahan-lahan digantikan oleh materi. Makan tuh cinta! Materi yang disampaikan oleh Elisabeth selesai. Kesimpulan dari materi yang disampaikan dengan mengugah itu hanya soal pencapaian kesuksesan yang diukur dengan materi berlimpah. Dan itu cukup membuat Didi mual dan tak enak badan bukan karena kesimpulan wanita itu yang keliru tapi lebih kepada penolakan yang memalukan. Kini tibalah pada materi terakhir yang disampaikan oleh sang pelatih kemayu itu. Pelatih kemayu itu menjelaskan deskripsi pekerjaan yang akan peserta lakukan. Pertama adalah skop HRD yang bertugas menerima dan memilih calon pelamar. Kedua, adalah bagian keuangan. Ketiga, bagian cek data. Dan terakhir bagian administrasi. Setiap peserta memilih skop-skop itu sesuai minat masing-masing. Dijelaskan oleh si kemayu itu bahwa masing-masing pekerjaan akan diganjar tiga juta rupiah per dokumen dan per minggu. Mendengar itu peserta tampak antusias dan bungah. Impian mereka selangkah lagi tercapai. Lupi dan Ipul akan menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia sebentar lagi. Didi akan membeli wanita Malaysia itu. “Tapi kalian harus membawa orang untuk investasi di perusahaan kita!” kata si kemayu. Peserta bengong, belum memahami. “Mengajak?” tanya Bu Erma. “Betul,” kata si pelatih. “Minimal berapa rupiah?” tanya Bu Erma lagi yang nampaknya paham dengan bisnis ini. “Minimal satu orang dua puluh juta.” Jawab si Pelatih. Semua terperanjat. Maukah orang berinvestasi dengan uang segede itu sementara jaringan—kenalan mereka bukan orang-orang tajir. “Komisi?” Bu Erma mulai mengerti. “Bawa satu prospek investor dapat satu juta. Bayangkan kalau kalian dapat sepuluh orang. Tinggal hitung saja,” si kemayu mulai mulai menjual mimpi-mimpi. “Gila,” kata Didi. “Gue enggak sanggup kalau begitu. Syukur-syukur orang itu dapat percaya sama kita.” “Enggak jelas ini perusahaan,” Hesty menimpali. “Sudah kuduga ini perusahaan ngibul,” cela Bu Erma. Si kemayu hanya bisa mengangkat bahu. Kemudian mereka bubar begitu saja. Sedang teman-teman yang lain hanya menggurem kecewa. Sialan! Waktu mereka habis untuk pelatihan yang tidak berguna ini. Lupi dan Ipul mangkel. Mimpi mereka untuk menjadi pemuda paling tajir pupuslah sudah. Keinginan membahagiakan Nurkho tak tercapailah sudah. Mimpi untuk mendapatkan si gadis mangga Inderamayu semakin mustahil. Tapi Alhamdulillah bagi Didi karena setidaknya dia bisa menikmati keindahan wanita Malaysia yang materialistis itu sekalipun sih hanya bisa memandang plus membayangkan jalan-jalan bersama wanita itu di pantai Bali dengan menyewa hotel yang serba wah. Serabuter No. 1 Jakarta oh Jakarta begitukah cara kerjamu? Haruskah mengiklankan lowongan kerja yang bagus-bagus hanya demi menjadi pencari nasabah untuk perusahaan investasi? Semua memang sudah gila. Apapun akan dilakukan untuk mencari mangsa. Tak peduli siapapun itu padahal yang dibohongi sangat berharap mengubah kehidupannya yang itu-itu saja. Ipul yang merasa tertipu merobek-robek habis koran itu. Karena tiap hari lowongan serupa masih saja diiklankan oleh koran nasional dengan alamat imel yang berbeda. Ini pembohongan publik namanya. Beberapa orang lagikah yang akan tertipu oleh iklan saru itu. Ipul yang kesal mencoba iseng mengirim cv ke imel itu. Beberapa menit kemudian ponselnya berdering. Si penelepon meminta Ipul untuk datang ke kantor itu di alamat yang sama, yakni jalan Sudirman. “Kami dari perusahaan Gayalama meminta Anda datang untuk wawancara besok,” begitu kata si penelepon. Ipul langsung menutup telepon. Sialan, bulsit, katanya dalam hati. Lupi yang merasa mimpi-mimpinya akan segera tercapai masih syok. Betapa ia menginginkan pekerjaan itu. Betapa ia sudah mencatat mimpi-mimpinya dalam buku hariannya tapi semua bohong belaka. Betapa dirinya sudah mempersiapkan segalanya dari mulai pakaian hingga sepatu. Dari mulai penampilan rambut sampai ujung kaki. Sementara Didi harus merelakan wanita Malaysia itu bukan karena hanya tidak berhasil mendapatkan pekerjaan yang diimpikan tapi lebih karena wanita itu mau menjadi penipu demi memancing investor. Sungguh cara yang dilakukan jauh dari kejujuran dan profesionalitas. Dunia Jakarta sudah penuh tipu daya. Wanita juga ikut-ikutan menjadi tukang ngibul. Mau jadi apakah bangsa ini ke depan. Jakarta benar-benar tidak dapat dipercaya. Jakarta sungguh telah mempermainkan ketiga jejaka muda itu. “Ada ide lagi?” kata Didi. Ipul masih malas berbicara. Lupi tetap belum bangkit dari kekecewaan. “Apa kalian mau menyalahkan gue gara-gara ini?” Didi mulai tak enak hati. “Ya ini memang salah gue. Seandainya gue enggak ngajakin elu nyari duit hasilnya tidak akan begini,” Didi melanjutkan. Ipul menggelengkan kepala, tidak membenarkan. “Ini resiko kita.” “Anggap saja itu pengalaman berharga,” Lupi mencoba bijak. “Lalu?” tanya Didi. “Aha,” Lupi girang karena mendapatkan ide paska melihat gitar bolongnya. “Itu,” dia menunjuk gitar disudut ruangan itu. “Ngamen?” Ipul menebak. “Yap.” “Ampun deh gue enggak bisa nyanyi,” Ipul mengeluh. “Elu bisa enggak, Di?” “Suara sama gitar suka enggak nyambung sih.” “Gampang,” Lupi menenangkan. “Gue yang main gitar. Gue juga yang nyanyi. Elu berdua tingal ikuti instruksi gue saja.” Ketiga jejaka gendeng itu benar-benar sudah fokus mencari duit. Malam tadi mereka sudah mengatur rencana untuk ngamen di kopaja Jakarta. Lupi yang mengagas ide ini. Dia pun yang mengendalikan vokal dan gitar bolongnya. Sementara Didi memainkan bekas botol mineral yang diisi dengan beras sehingga meniimbulkan bunyi kecrek kecrek. Dan Ipul mendapat tugas untuk mengumpulkan uang dari penumpang dengan plastik bekas makanan ringan. Inilah sementara hal yang bisa dilakukan oleh mereka untuk mengumpulkan uang. Mereka ngamen di Pasar Jumat tempat kopaja mangkal. Kopaja itu berangkat dari Lebak Bulus dan Ciputat dengan tujuan ada yang ke Pasar Senen, Blok M, Tanah Abang, dan wilayah Jakarta lainnya. Mereka memilih Pasar Jumat lebih karena dekat dengan kostan mereka dan pastinya lumayan strategis untuk mengamen. Ketangkasan mereka bersinergi dengan para orang-orang yang sudah bersiap bergumul dengan aktivitas Jakarta. Ketiganya sudah siap secara mental dan fisik. Lupi sudah menyiapkan beberapa lagu alakadarnya. Didi sudah berlatih mengoperasikan kecrekan berasnya itu. Ipul sudah bersimulasi bagaimana caranya menyodorkan dengan plastik bekas makanan ringan. “Ayo cepetan naik,” kata Lupi dengan menaiki kopaja yang mau ke Blok M. Didi dan Ipul mengikuti. “Selamat pagi para Insan pekerja keras Jakarta. Kami, perkenankanlah, sebagai pendatang baru musisi jalanan mengganggu sebentar kenyamanan Anda. Karena memang menyanyi lebih baik daripada mencuri. Menyanyi menjual suara dengan halal. Mencuri, menggunakan tangan untuk hal-hal haram. Sebelum menyanyikan lagu. Perkenalkan saya Lupi sebagai vokalis. Ini Didi sebagai penebuh kecrek, dan ini Ipul sebagai backing vokal sekaligus bendahara kami. Semoga lagu yang akan kami bawakan menyesap ke dada Anda sekalian yang terhormat.” Para penumpang—yang biasa disebut sewa—mulai menyadari kehadiran mereka. “Ok sebuah lagu dari Iwan Fals,” kata Lupi. “Judulnya kemesraan.” Lupi menyanyikan dengan penuh penghayatan dan sesekali dia melihat ke sekitar penumpang. Didi memainkan kecrekannya sesuai tempo lagu. Ipul sesekali membekingi suara Lupi. Para penumpang yang masih terlihat segar sedikit terbawa oleh lagu yang melegenda itu. Mungkin lagu yang dibawakan cocok dengan udara pagi Jakarta yang masih adem dan segar. Bahkan beberapa penumpang mengikuti lagu yang dibawakan Lupi. Hmmm Lupi serasa menjadi Iwan Fals. Dia terbang ke awan. Dua lagu selesai dibawakan dengan satu lagunya dari Slank. Ipul meenyodorkan plastik makanan ringan itu ke seluruh penumpang dari penumpang terdepan sampai ke belakang. Syukur para penumpang menyisihkan dua ribuan. “Terima kasih,” ucap Ipul bahagia karena penumpang berkepala pelontos itu memberikan sepuluh ribuan. “Semoga rezeki Anda lancar, Pak,” Ipul mendoakan si pelontos itu. “Tidak segitu. Aku minta kembalianannya sembilan ribu. Aku enggak ada recehan,” kilah si pelontos. Ipul menghela nafas. “Mana ada penumpang yang berela hati memberi uang sepuluh ribu,” gumamnya dalam hati. “Ini,” kata Ipul dengan berat hati. Si pelontos senyum-senyum. Didi dan Lupi yang menyaksikan ikut senyum pula. “Terima kasih atas kemurahan Anda. Semoga selamat sampai tujuan. God bless you all,” kata Lupi menutup aksinya. Ketiga jejaka muda itu meloncat dari kopaja yang mulai berjalan cepat. Kemudian ketiganya bersiap ke kopaja yang lainnya. Matahari Jakarta semakin terik. Sudah beberapa kopaja yang mereka sambangi. Mereka duduk di sisi-sisi jalan Pasar Jumat. Mata Ipul memicing karena tak tahan menahan terik. Didi menciptakan angin sendiri dan kibasan koran. Lupi menghitung uang hasil dari ngamen. “Wah lumayan. Baru setengah hari sudah dapat seratus dua puluh ribu.” “Mantap, Lup,” seru Ipul. “Kalikan saja seratus dua puluh ribu dikali tiga puluh hari. Lumayan buat jajan, buat bayar kostan, buat traktir bidadari-bidadari kalian,” Didi meneruskan. “Elu harus rajin-rajin menghapal banyak lagu, Lup.” “Siap,” kata Lupi. Mereka bersiap lagi beraksi. “Halo,” seorang pria berjaket kelabu, berjenggot kumal, berambut lusuh dengan rokok yang menyala menegur mereka. “Halo juga,” jawab Didi santai. “Anak mana kalian?” tanya si pria itu. “Anak sini, bang,” giliran Lupi menjawab. “Gue baru lihat muka kalian.” “Kita pendatang baru, bang.” Ipul menimpali. “Kalian pergi dari sini sekarang juga. Tidak usah ngamen lagi di kawasan ini,” katanya sambil bertolak pinggang. “Tapi,...” tukas Lupi. Sebelum meneruskan perkataan beberapa anak jalanan muncul dari belakang pria berjaket itu. Pakaian mereka layaknya pakaian preman. Wajah mereka sangar dengan memegang pentungan dan sabuk yang terbuat dari benda tajam. Tapi sebenarnya mereka pengamen yang biasa mangkal di Pasar Jumat. Artinya dengan kehadiran ketiga jejaka muda itu jatah mereka untuk mendapatkan uang sedikit tersendat. Salah mereka tidak ngamen pagi-pagi. Ketiga jejaka muda itu mulai mengerti dengan suasana ini. Ingin mereka menawarkan solusi di mana kalau pagi-pagi sekali itu jatah ketiga jejaka miris itu untuk ngamen. Dan selebihnya adalah hak para pengamen lama. Penawaran itu tidak disampaikan karena hal-hal yang sia-sia. Para pengamen lama tidak mau terusik. Lebih baik ketiga jejaka itu angkat kaki dari dunia musisi jalanan. Jakarta memang sialan. Sudah ditipu oleh lowongan iklan kerja ditambah pula dengan usiran secara halus oleh para pengamen merangkap preman Pasar Jumat. Langkah mereka lusuh. Tubuh mereka dialiri keringat yang apek dan bau ikan asin. Kemudian mereka mendarat di warung kopi. Para pelanggan yang sedang menikmati kopi merasa terganggu. Telapak tangan mereka menutupi hidungnya karena tak kuat menahan bau. Ketiga jejaka bau itu sedikit risih tapi mereka datang tidak untuk mengganggu tapi untuk membeli. “Kita seperti makhluk-makhluk yang terbuang di kota ini,” kata Didi sambil melirik para pelanggan yang jijik kepada dia, Lupi, dan Ipul. “Mereka sok bersih,” umpat Lupi pelan karena takut terdengar oleh pelanggan yang lain. “Ada solusi lagi?” Ipul menenggak es teh manis dengan garang. Dia tak menghiraukan sikap tak hormat para pelanggan lain. Didi melahap mie rebus dengan beberapa gorengan. Kemudian dia mengusulkan, “kita ngamen di komplek orang kaya saja. Bagaimana?” “Ide yang cemerlang,” suara Lupi yang keras mengagetkan para pelanggan yang lain. Dia melanjutkan, “tapi komplek perumahan kelas menengah juga harus kita bidik. Mereka biasa peduli sama orang-orang terbuang seperti kita.” “Mantap,” Kata Ipul. Mereka bersiap memulai aksi baru. Sebelum meninggalkan warung kopi Sunda itu Didi berkata, “mang semuanya berapa? Sekalian dengan yang dipesan para pelanggan yang cunihin—gelo ini?” Si mamang warung kopi tersenyum, sedang para pelanggan yang menyebalkan melirik Didi. Mungkin mereka tidak mengerti makna cunihin tapi muka mereka sedikit memerah. “Elu masih bocah kemarin. Jangan banyak tingkah elu. Elu pikir gue enggak ngerti maksud elu. Gue sudah lama di Pasar Jumat ini. Elu mau habis di sini. Elu punya apa berani ngomong gitu? Mau elu gue panggilin anak-anak sini. Duel jantan. Satu per satu,” umpat salah satu pelanggan yang rupanya kuncen Pasar Jumat ini. “Ngerti enggak elu?” dia membentak. Didi mulai panas dingin. “Enggak bang kita cuma mau bayarin doang, kok. Enggak ada maksud apa-apa,” Didi berkilah. “Pergi kalian bocah-bocah bau,” kata si pria itu. Didi, Lupi, dan Ipul langsung ngibrit. “Taik kucinglah orang itu,” umpat Didi. “Ngomong apa elu?” ucap salah seorang pria yang lagi nongkrong dengan teman-temannya yang main catur. Mereka merasa apa yang diumpatkan Didi itu tertuju kepada mereka. Pria itu mulai geram. Didi menghela nafas. “Enggak, bang. Maksud saya teman saya ini bau badannya kayak taik kucing,” Didi beralasan dengan menunjuk Lupi. “Iya, bang. Badan saya bau kayak taik kucing. Maklum tidak mandi beberapa hari,” kata Lupi terpaksa. “Lain kali elu mandi yang bener ya. Jadi pemuda harus klimis kayak gue supaya cewek suka sama elu,” si pria itu menasehati dengan berlagak sombong. Lupi manggut-manggut. Didi dan Ipul menahan tawa. “Sudah pulang elu. Cepetan mandi,” kata si pria itu lagi. Ah, hidup di jalanan memang selalu tak disangka-sangka. Mereka pikir jalanan itu datar-datar saja tapi kenyataannya penuh dengan gesekan, umpatan, sampai kekerasan. Sekali saja lengah, habislah kita. Sekali saja bertingkah babak belurlah wajah kita. Tapi bagi ketiga jejaka tanggung itu kehidupan jalanan yang baru mereka rasakan seolah kehidupan lain yang sangat kontras dari kehidupan di kampus. Di kampus mereka harus selalu tampil sempurna dan paripurna. Di jalanan mereka tidak perlu berepot-repot menampilkan fisik agar terlihat apik. Apakah mereka akan tetap memilih kampus atau memutuskan menjadi manusia jalanan? Siang yang terasa tidak bersahabat itu mereka lakoni dengan mengamen di komplek sesuai usulan Didi. Keringat dan baju lusuh sudah mereka akrabi. Jadi tak perlu repot-repot lagi pulang ke kostan untuk mandi. Stereotif manusia jalanan setidaknya sudah mereka akrabi. “Selamat siang ibu-ibu. Ibu-ibu saja ya. Kan bapak-bapaknya sedang pada kerja,” Lupi memulai aksinya. “Mohon maaf apabila suara ini mengganggu. Ini sebab karena kami hanya ingin mencari seperak dua perak dari rezeki yang Anda sisihkan. Daripada nyolong entar diboyong ke kantor polisi. Di akhirat nanti gosong. Lebih baik kami menyumbangkan suara alakadarnya. Kalau terganggu tinggal bilang saja. Kalau tidak terganggu kami ucapkan beribu-ribu terima kasih. Ini lagu persembahan dari kami.” “Maaf mas kami tidak menerima sumbangan,” kata wanita yang kira-kira berusia sekitar lima puluh ini. “Ibu yang punya rumah ini?” tanya Didi. “Bukan. Saya hanya pembantu rumah tangga.” “Nyonya dan tuannya ke mana?” “Semua kerja. Rumah ini kosong kalau wayah gini,” katanya dengan aksen jawa yang masih terasa. “Kesempatan dong,” kata Didi. Si pembantu itu tidak mengerti. “Begini ibu yang baik hati. Kita mau menyanyi di sini. Soal bayaran gampang. Tidak usah pake uang. Apa saja deh yang penting bisa dipake. Bermanfaat githu, Bu.” “Tapi aku enggak ngerti lagu-lagu zaman sekarang. Aku ngertinya lagu Jawa lho, mas.” Ketiga jejaka muda itu mikir-mikir. Si ibu nampak punya ide. “Begini saja, mas. Kebetulan ada makanan di dapur.” Ketiga jejaka muda itu mulai sumringah. “Tapi sisa tadi malam, mas. Masih segar kok. Entar aku panasin yah. Sayang kan soalnya tidak ada yang makan.” “Malahan kucing pun tidak mau memakannya,” kata si pembantu. Ketiga jejaka yang terbuang itu lesu tapi mata mereka membelalak. ‘Gimana mas?” tanya si pembantu ingin memastikan. “Enggak apa-apa, Bu. Terima kasih sudah mau berbaik hati,” kata Ipul setengah hati. Semakin siang beranjak, perut mereka mulai keroncongan. Mie rebus plus gorengan yang dilahap Didi belum benar-benar menghilangkan rasa laparnya. Lupi yang tadinya tak berselera makan mulai merasa lapar. Begitu pun dengan Ipul. Mau membeli nasi padang tapi tempatnya lumayan berjarak sementara perut mereka tak bisa kompromi. Terpaksa mereka memakan makanan pemberian si pembantu yang kucing pun enggan memakannya. Akhirnya mereka membuka makanan yang diwadahi kotak nasi. “Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada nasi padang, nasi sisa pun tak jadi soal. Bahkan kucing tak mau pun tak jadi masalah.” Kata Ipul. Didi sudah membuka duluan. Wow! Rezeki yang tak diduga-duga. Kotak nasi itu memiliki menu udang bakar yang kemerah-merahan. Sangat menggoda lidah. Ayam panggang yang masih terlihat segar. Sambal terasi yang menggugah selera. Dan beberapa lalapan yang segar, yang cocok bila dicocol ke sambal. Benar-benar makanan yang nikmat untuk disantap di siang hari. Mereka makan di taman komplek dengan lahap sekali. Sekonyong-konyong mereka teringat semasih tinggal di pondok pesantren. Karena bagaiamanapun gendengnya mereka adalah alumni pondok pesantren yang penuh kesederhanaan. Ipul mengingat bagaimana pondok pesantren mengajarkan kesetaraan di mana para santri makan bareng melalui nampan yang besar dengan lauk-pauk yang sederhana pula. Lupi mengenang ketika di bersama para santri lainnya masak bareng dengan peralatan yang seadanya dan bahan-bahan yang dimasak juga alakadarnya. Didi membuka kenangan bagaimana dirinya dan santri-santri lain senang bukan main ketika mendapatkan makanan dari warga yang menyumbang. Begitu nikmatnya saat itu. Kini suasana itu terulang kembali. Betapa kota Jakarta yang tak bersahabat tetap saja membuka kenangan mereka di masa-masa pesantren dulu. “Ayo kita nyari duit lagi,” kata Didi setelah mengakhiri lapar mereka. “Siap,” jawab Ipul. Mereka kembali beraksi. Ketiga jejaka itu mulai menyambangi rumah-rumah mewah dengan lagu-lagu gubahan Lupi. Jakarta yang masih terik tak menyurutkan langkah mereka. Karena mereka sudah berkeyakinan bahwa ini adalah pilihan mereka yang harus dipertanggung jawabkan. Sore sebentar lagi mengerubungi Jakarta. Mereka tetap menyambangi rumah satu per satu. Para penghuni rumah yang diwakili pembantunya sudah berbaik hati memberikan mereka uang seperak-dua perak. Beberapa menit kemudian mereka mengakhiri ikhtiarnya. “Dapat berapa pul?” tanya Lupi yang suaranya hampir habis. “Lebih sedikit ketimbang di Kopaja. Delapan puluh ribu, bro.” “Lumayanlah untuk hari ini. Tinggal lanjutkan besok.” “Betul,” kata Lupi. Esok memang terasa cepat datang bagi para pemburu pulus di Jakarta. Ketiga jejaka itu mulai bersiap dengan penampilan yang sederhana. Kalau mau turun ke jalan memang harus sederhana supaya mengundang simpati tapi baru seharian panas-panasan kulit mereka hampir gosong. Tidak peduli lah toh cewek mana yang mau melirik seorang pengamen jalanan. Di Jakarta ini segalanya diukur dari barang apa yang melekat dengan kita. Makanan apa yang biasa kita santap di pagi sampai malam hari. Destinasi mana yang dikunjungi jika akhir minggu tiba. Sedangkan bagi jejaka muda itu apa yang dimiliki mereka kecuali kegilaan yang mereka tampilkan kepada dunia. “Lagu apa hari ini, Lup?” tanya Ipul. “Lagu yang kemarin gue bawakan. Gue enggak terlalu hapal lagu lainnya. Kalau bawain lagu Barat kan sangat tidak mungkin,” Lupi menyombong. Mereka bertiga berangkat menuju komplek yang berada di depan komplek kemarin yang mereka sambangi. “Ada perlu apa?” tanya satpam komplek. Lupi menjelaskan maksud mereka. “Maaf. Di sini dilarang ngamen,” tegas satpam kekar itu. “Tapi kami cuma pengen ngamen saja. Tidak akan mengganggu,” terang Ipul. Keputusan sudah bulat. Mereka tidak diperkenankan mengamen. Ya mau tak mau mereka ke komplek kemarin. Tapi sayang di depan pintu gerbang itu tertulis : Dilarang Ngamen Di sini lagi. Tertanda ketua Satpam. Terima kasih.” Ketiga jejaka itu beralih ke komplek lain. Ternyata mereka menemukan hal yang sama: Dilarang Ngamen Di sini. Tertanda lurah. Terima kasih. Sungguh Jakarta semakin tidak berpihak kepada mereka. Mengamen seperti mencari kerja di perusahaan saja. Susah bukan main. Mau jadi apa bangsa ini? Kelas tertindas saja susah diberi ruang untuk mengembangkan potensinya, mencari rezeki yang halal. Dunia semakin menunjukan keegoisannya. Ah, zaman semakin modern tapi cara berpikir masih kalah dengan orang-orang terdahulu. “Ada solusi?” Ipul mencoba tenang sambil menikmati hembusan angin pohon akasia di dekat pintu gerbang komplek itu. “Kita tanya ke Siswo. Dia kan sekarang lagi ngerjain proyek penelitian bersama seniornya. Siapa tahu dia bisa mengajak kita jadi relawan surveyor,” usul Didi. “Patut dicoba,” tegas Lupi dengan mantap. Siswo merupakan kawan terdekat sekelas mereka, Dia salah satu mahasiswa tekun, aktivis forum diskusi, dan dekat kepada para senior yang bekerja di lembaga penelitian politik dan sosial independen. *** Siswo, kawan terdekat mereka dari Brebes, mendaftarkan mereka mengikuti penelitian survey politik. Penelitian politik ini dilaksanakan menjelang Pilkada dengan tujuan mengukur kekuatan kandidat para calon. Kebetulan survey ini dilaksanakan di wilayah Banten dan Jakarta. Didi mendapat tugas di Banten, sedangkan Ipul dan Lupi mendapat tugas di wilayah Jakarta dengan area yang berbeda. Lupi di daerah Timur dan Ipul mendapat tugas di daerah Jakarta Pusat. Didi berangkat dari Jakarta pagi sekali dengan naik bus Kalideres menuju Banten supaya tiba di tempat tujuan tidak terlalu siang. Setelah hampir tiga jam perjalanan, tiba sudah Didi di tempat tujuan. Di desa Antah Berantah. Tempat ini yang akan menjadi tujuan penelitian Didi. Sebelum memulai penelitian Didi mengurusi perizinan dengan pemerintahan desa setempat. Kemudian paska beres perizinan, dia mulai menggunakan metode acak sampel guna menentukan rukun tetangga mana yang akan diteliti. Setelah mendapat rukun tetangga mana yang akan diteliti, Didi menemui rukun tetangga terpilih untuk meminta izin melakukan penelitian dan meminta daftar warga rukun tetangga yang terpilih. Daftar warga didapat lalu Didi menggunakan metode acak sampel lagi untuk menentukan sepuluh orang yang akan diwawancarai. Begitulah metode sederhananya penelitian survey itu. Metode itu harus benar sesuai instruksi peneliti senior. Karena kalau salah dalam metode hasil penelitian akan jauh dari keakuratan. Ini soal ilmu statistika sosial dan penelitian empiris. Sama sekali tidak ada kendaraan atau ojek di daerah itu, jadinya Didi memulai wawancara dengan berjalan kaki untuk mendatangi responden yang akan diwawancarai. Berdasarkan petunjuk warga rumah responden pertama sudah ketemu. Syukur sang target sedang ada di rumah. Responden pertamanya ini seorang bapak yang usianya sekitar lima puluh tahunan. Sebagaimana orang desa yang selalu ramah pada tamunya bapak itu mempersilakan Didi duduk dan meminta penjelasan ihwal kunjungan Didi itu. Si bapak itu mengangguk-angguk. Dia bersiap diwawancarai. Didi mengambil nafas karena memang kuisioner pertanyaan itu berjumlah dua ratusan lebih. Dia harus mencari cara agar si bapak mengerti setiap pertanyaannya mengingat faktor pendidikan si bapak ini yang kurang sesuai dengan isi pertanyaan itu. Mendadak beberapa warga mendatangi rumah si bapak itu. Berkumpul. Mereka meneliti Didi seolah-olah orang luar angkasa. Ada yang mesem-mesem. Ada yang berbisik-bisik. Ada yang menampilkan wajah yang menyimpan harapan. Tapi Didi mencoba besikap biasa-biasa saja karena bagaimanapun dirinya juga orang kampung. Dia terus mewawancarai si bapak itu dengan pelan tapi serius. Kadang Didi mencoba memakai bahasa sederhana. Tidak menggunakan bahasa yang kaku dan melangit seperti dalam kuisioner. Dia baru merasakan bagaimana menjadi penerjemah bahasa kuisioner yang merupakan bahasa akademis ke dalam bahasa sehari-hari. Butuh perjuangan dan ketelitian memang. Sungguh menjadi peneliti yang turun lapangan tidak semudah seperti yang ditampilkan di televisi. Wawancara selesai sudah dengan menghabiskan waktu satu setengah jam. Si bapak menawarkan makan alakadarnya. Didi menerima karena di daerah itu tidak ada warung nasi. Dalam acara makan sederhana itu berlangsung obrolan yang serius antara dirinya dan si bapak itu. Didi mulanya tidak menyangka sama sekali. Si bapak yang kulitnya mulai mengeriput kerap menyimpan harapan kepada pemuda yang meneruskan studi ke kampus supaya menjadi orang jujur. Menurutnya setelah menonton berita dirinya merasa kecewa melihat orang-orang pintar dari kampus yang masuk penjara karena kasus korupsi. “Saking pinterna akal teu teu digunakan. Malah maling duit rakyat—saking pintarnya akal tidak digunakan. Malah maling duit rakyat,” katanya heran. Didi mendengarkan dengan seksama. Dia menjadi mafhum bagaimana masyarakat biasa sekarang sudah cukup kecewa denga para petinggi di negeri ini. “Semoga adik jadi mahasiswa anu bener nganggo akal—menjadi mahasiswa yang benar menggunakan akal,” kata si bapak itu lagi. Didi masih mendengarkan. “Bapak pasti ngadu’aken adik Didi supaya jadi mahasiswa anu bener—bapak pasti mendoakan semoga adik Didi menjadi mahasiswa yang benar,” katanya lagi seolah ingin menumpah ruahkan isi hatinya. Didi mengangguk dengan mengucapkan terima kasih. Acara makan sederhana itu selesai dengan meninggalkan pengalaman yang berharga. Mendengarkan suara yang muncul dari seorang bapak yang tidak lulus sekolah dasar tapi cukup prihatin dengan kelakuan para pejabat dan birokrat negeri ini. Tiba-tiba Didi mengingat kampusnya tempat belajar. Mengingat teman-temannya yang sekarang mungkin sedang belajar di kelas. Dan mengingat keluarganya yang pasti berharap dirinya menjadi orang yang benar-benar diharapkan oleh bangsa dan negara. Tapi ah tidak tahulah semua itu. Dia melakukan penelitian ini demi mendapatkan uang agar bisa hidup di Jakarta. Agar bisa membayar kostan untuk beberapa bulan kemudian. Agar bisa membeli segala yang diinginkannya. Agar tidak meminta lagi kepada orang tuanya. Didi kemudian beralih ke responden lainnya yang ternyata rumahnya cukup berjauhan. Berjalan kakilah dia dengan dilihat masyarakat sekitar. Didi menyapa mereka hangat. Mereka menyapa balik Didi. Setelah hampir seharian Didi sudah menyelesaikan sembilan responden. Artinya dia tinggal menyisakan satu responden lagi. Dia berniat melanjutkannya besok. Karena ini hampir menjelang malam. Tidak enak harus mengganggu ketenangan warga karena urusan penelitian ini. “Tidur di mana nih gue malam ini?” gumam Didi. Tidak mungkin dia pulang ke Jakarta karena ini sudah larut malam. Akses ke kendaraan terlalu jauh. Lagian tidak mungkin pulang juga sebab wawancara belum rampung semua. Dalam dirinya dia berharapa agar ada warga yang menawarkan dia tidur untuk satu malam saja. Apakah kembali ke rumah si bapak itu? Ah tidak mungkin dia tidak kuat harus mendengarkan keluh kesahnya. Apakah harus meminta bantuan ke Pak RT atau Kepala Desa? Ah tidak itu akan merepotkan. Beginilah menjadi surveyor lapangan. Harus siap menerima resiko menghabiskan malam tapi tanpa tahu di mana akan tidur. Tubuh Didi sudah pegal-pegal karena dibawa berjalan kaki. Kakinya terasa encok. Matanya sudah tak kuat menahan kantuk tapi perut lapar. Dia sudah ingin merebahkan tubuhnya. Didi mencari mesjid terdekat. Membuka pintu mesjid, mengucapkan salam kepada penghuni gaib mesjid, lalu tubuhnya sudah tak kuat lagi berdiri. Dia sudah jatuh tertidur di lantai mesjid. Angin malam berhembus menembus dinding kokoh mesjid. Hembusan angin yang sejuk menjadi menderu. Sesekali angin itu diiringi air. Padahal hujan tidak turun. Mungkin air laut yang terbawa oleh kekuatan angin. Suasana mesjid tiba-tiba menjadi gelap. Didi terbangun serentak. Didi mulai was-was. Dirinya mulai berlindung di mimbar mesjid. Tapi angin semakin kencang. Dibacanya ayat suci. Dikumandangkannya azan. Suasana malah kian mencekam. Nafas Didi mendadak sesak. Matanya membelalak ketika melihat keranda melayang sendiri ke arahnya. Haruskah hidupku berakhir begini, Tuhan, katanya dalam hati. Keranda melayang mendekati dirinya. Tuhaaaaaaaaaaaan, katanya. “Mas, gugah, mas—bangun, mas. Ini sudah subuh,” kata pengurus Masjid. “Cuma mimpi. Kampret,” gumam Didi dalam hati. Pak RT yang hendak shalat subuh menyapa Didi. Dia mengatakan mengapa Didi tidak menginap di rumahnya saja. Pak RT merasa tidak enak hati kemudian meminta Didi untuk sarapan di rumahnya paska salat subuh. “Oh, begitu,” kata Pak RT setelah mendengar cerita mimpi Didi. Beberapa menit kemudian ibu RT datang menghidangkan teh hangat dan nasi uduk ala Sunda. Nasi uduk jengkol. Didi yang lapar melahap habis hidangan itu. “Lain kali kalo mas tidur di mesjid itu lagi kudu minta izin selain mengucapkan salam. Konon penunggu mesjid merasa risih. Itu sih hanya peringatan saja,” kata Pak RT menjelaskan sambil menyuruput kopinya. Bahu Didi bergidik. Ah tidak mungkin dia akan tidur di mesjid itu lagi. Bukankah ini hari terakhir wawancara? Selesai wawancara dia akan langsung pulang ke Jakarta. Melaporkan hasil penelitiannya kepada kordinator. Kemudia menerima honor dari hasil kerjanya. Dan tinggal santai sebentar bersama Lupi dan Ipul sambil menceritakan pengalaman masing-masing turun ke lapangan, lalu nyari duit lagi. Ya hidup ketiga jejaka muda itu sekarang konsentrasi mencari duit yang banyak. Kuliah? Itu urusan nanti saja. Didi hendak menuju responden berikutnya sekalian pamit kepada Pak RT. Kemudian dia berbisik pelan, “Pak RT salamin sama keponakan bapak yang geulis itu—cantik itu.” Pak RT tertawa kecil. Didi memang anak kampung yang bermetamorfosis menjadi anak Jakarta yang tak tahu diri. Tapi Pak RT memakluminya karena memang juga dirinya sudah akrab dengan jejaka gebleg ini. Sebabnya mereka sama-sama dari Sunda meskipun terdapat aksen yang sedikit berbeda. Sunda Bogor lebih halus ketimbang Sunda Banten yang terdengar kasar. Responden terakhir adalah seorang ibu muda berusia kurang dari empat puluh. Agak takut dengan kedatangan Didi, ibu itu memanggil suaminya. Diwawancarainya ibu itu dengan ditemani suaminya. Setiap pertanyaan dijawab dengan lancar. Bahkan Didi tidak perlu berepot-repot untuk menerjemahkan bahasa kuisioner. Sampai dipertanyaan selanjutnya ihwal harapan yang diwawancara soal masa depan Indonesia yang menguras emosi. Si ibu menangis mengapa pemerintah tidak berpihak kepadanya. Suaminya baru saja keluar dari pekerjaannya karena ikatan kontrak sudah habis. Kini mereka harus berjibaku dengan hidup untuk kehidupan sehari-harinya. Mengapa para calon kepala daerah hanya memasang poster-poster mereka tanpa mengetahui persoalan dirinya dan rakyat kecil yang senasib dengannya. Mereka hanya membagikan uang dua puluh ribuan, baju, dan stiker tanpa mendengar kelus kesah rakyat. Program-program yang diusung pun terkesan basi-basi. Lagu lama yang tak bosan-bosan diputar. Si ibu berharap hasil wawancaranya ini akan sampai kepada para pejabat negeri ini. Wajahnya menggambar harapan yang membubung tinggi. Ingin kelak dirinya bisa seperti keluarga sejahtera lainnya. Si filsuf dramatik mencoba menahan air mata. Emosinya tersulut. Dia semakin geram dengan pemerintah, terutama para pejabat. Bayangan-bayangan demonstrasi menyeruak kembali diingatannya. Ketika itu bagaimana ia bersama Lupi, Ipul, dan kawan aktivis lainnya menyuarakan kegelisahan mereka terhadap persoalan-persoalan negeri ini yang tidak kunjung selesai. Tapi persetanlah semua itu. Dia bersedia turun ke lapangan yang curam, berkeringat, jalan kaki, tidur di mesjid demi mendapatkan beberapa lembar rupiah. Tidak untuk menjadi dewa penolong rakyat. Dia hanya menjadi relawan yang dibayar atas kerjanya. Titik. Perlahan hati Didi terhunus mengingat ia memang manusia yang dibekali hati oleh Tuhan. Hatinya kali ini berfungsi untuk merasakan, menyesap, dan mendengarkan suara-suara sumbang dari dusun negeri ini. Didi sadar jawaban si ibu ini tidak akan direspon sekalipun para kandidat calon membacanya. Toh jawaban kuisioner ini dimanfaatkan guna mendobrak tingkat keterpilihan mereka. Selebihnya adalah basa-basi. Diam-diam dia merasa berdosa dengan kerja wawancara ini. Tapi sekali lagi ini memang bagian dari penelitian empiris dan tanggung jawabnya sebagai peneliti lapangan. Didi harus menerimanya. Dua lembar uang seratus ribuan dirogohnya dari kocek. “Ini untuk keluarga. Lumayan buat beli beras dan lauk-pauknya,” kata Didi yang akhirnya menangis juga. Si ibu dan suaminya menolak, tapi didi berkeras agar keluarga yang sedang tak beruntung itu untuk menerimanya. Selesai juga kerja lapangan ini. Hati Didi lega. Pikirannya sudah lapang. Kini tinggal pulang ke Jakarta. Bertemu dua koleganya yang masih di lapangan. Melaporkan hasil penelitiannya. Dan menerima honor. Indah benar hidup ini. Ah, tapi suara-suara yang lahir dari pedalaman itu masih mengganjal dalam dirinya. Kapan negeri ini dianugerahi kesejahteraan yang merata? Kapan negeri ini tidak terdapat lagi orang-orang yang mengeluh karena tidak mampu membeli beras? Kapan? Ah biarlah. Ah biarin. Toh masih banyak petinggi negeri ini yang peduli terhadap rakyat yang masih terkatung-katung. Toh masih banyak mahasiswa yang jujur, pintar, dan peduli dengan negeri ini. Ya benar masih banyak, tapi termasuk tipe mahasiswa apa dirinya. Sudahlah! *** Ketiga jejaka gila itu sudah berkumpul kembali di kostan. Wajah mereka menggambar kebahagiaan terutama Lupi dan Ipul. Sebab honor mereka akan digunakan untuk bidadari-bidadari pujaannya itu. “Kenapa murung, elu Di?” tanya Ipul. “Kangen Linda?” Lupi menebak. Didi tidak menjawab. Lupi dan Ipul saling melirik, menangkat bahu mereka yang terlihat segar. “Kalau penelitian lagi gue enggak mau turun di pedalaman,” kata Didi. Ipul bertanya, “kenapa, bro?” “Menyesakan,” kilah Didi. Didi menceritakan pengalaman memilukan ketika penelitian di Banten dengan detil. Lupi dan Ipul terharu, mengelus dada. “Gue enggak enak hati mendengar keluhan mereka. Gue kan kerja wawancara dapat duit, mereka malah dapat isak tangis,” kata Didi, masih murung. Lupi dan Ipul mengelus bahu Didi pelan. “Sudahlah. Tak usah elu jadi dramatik begini,” Ipul mencoba menghibur hati Didi. “That’s right,”Lupi membenarkan. “Tapi, elu, pul selama wawancara di komplek Jakarta dapat tante-tante yang cantik enggak?” Didi mulai gatal. Ipul menggelengkan kepala sebagai rasa tak percaya dengan perubahan Didi yang begitu mendadak. Lupi tertawa terbahak-bahak. ‘Penyakitan,elu. Virus Linda masih menyebar,” timpal Lupi. “Enggak ada pengalaman yang menarik selama survei di Jakarta. Kebanyakan responden kota tidak terlalu peduli dengan politik. Mereka lebih peduli dengan dapur mereka. Mereka sudah muak dengan politik,” kata Ipul. “Betul,” Lupi menyetujui. “Tapi, “ kata Ipul, “ada nih tante yang asyik. Responden gue,” Ipul menggoda. “Siapa?” Didi tergoda. “Isterinya bapak kostan,” Ipul menipu. “Neraka, Lu,’ timpal Didi kesal. Kemudian dia meminum kopi Lupi. “Aduhhhh. Pedes banget nih kopi,” Didi menyeringai. Bibirnya langsung jontor. “Kopinya gue campur merica bubuk, tujuh sendok. Supaya gue lancar berak,” Lupi ngikik. Ipul juga ikut ngikik. Didi lekas minum di dalam botol mineral, “gila rasa asam apa ini?” “Itu cuka, bro. Cuka sekarang pake kemasan botol mineral,” timpal Ipul yang tidak bisa menahan tawa. Sedang Lupi semakin ngikik. *** Honor dari penelitian habis sudah. Hanya menyisakan beberapa lima puluh ribuan saja. Honor itu mereka gunakan untuk membayar kostan selama beberapa bulan. Digunakan untuk membiayai kebutuhan mereka ke depan. Tapi mereka sudah lupa dengan buku. Lupi gagal membelikan novel John Grisham untuk Nurkho karena Nurkho sudah memiliki seluruh novel yang diburunya itu. Lagi pula sekarang Nurkho sedang asyik dan sibuk mendalami dunia tulis-menulis. Jadi ia berusaha menghindari gangguan dari Lupi dan pria-pria lainnya. Ia memang wanita berintegritas dan berani mengambil resiko. Tapi Lupi tetap menaruh hati kepada perempuan cantik itu. Ipul mengendurkan niat untuk memamerkan uangnya yang sedikit itu kepada gadis mangga Inderamayu. Dia terhindar menjadi lelaki sombong. Tuhan menyelamatkannya. Uang sudah menipis. Mereka harus segera mencari jalan keluar. Akan ke mana sekarang mereka mencari penghasilan? Sedang studi mereka untuk beberapa mata kuliah menuju kehancuran. Dari enam mata kuliah yang diambil semester ini, kemungkinan tiga mata kuliah yang akan lancar-lancar saja itu pun sudah dipastikan nilai dari tiga mata kuliah tersebut jauh dari A dan B. Ditambah mereka sudah semakin tidak bersemangat mengikuti kelas yang membosankan. Imbas dari kekacauan kuliah mereka itu adalah Ipul diturunkan dari jabatan ketua kelas. Tapi Ipul berkeras pendapat bahwa dirinya tidak diturunkan melainkan sadar mengundurkan diri. Ipul senang karena dirinya bebas untuk tidak mengikuti kuliah. “Keputusan sudah disepakati. Jadi hidup kita tidak boleh nanggung,” ucap Didi memberi semangat. Bah! Bukan semangat tapi propaganda yang sempurna. “Tugas kita sekarang adalah mewujudkan cita-cita untuk menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia. “Sepakat,” kata Lupi. Ipul memberi jempol kepada Didi. Ipul mulai berselancar di dunia maya untuk mencari penghasilan tambahan. Lupi mulai mencari informasi kanan-kiri. Didi mulai memikir-mikir tempat kerja yang tidak membolehkan kerja paruh waktu. Terpikir olehnya untuk menimbang gerai cepat saji yang pernah ia dan kedua sobatnya itu datangi. Didi menelepon gerai itu tapi lowongan sudah ditutup. Satu-satunya jalan adalah membuka halaman lowongan kerja di koran meskipun dirinya sudah kapok gara-gara PT. Gayalama yang tidak jelas itu. Aduh, setiap lowongan menginginkan kualifikasi sarjana. Ada perusahaan yang tidak memerlukan gelar sarjana tapi itu diperuntukan untuk wanita. Wanita memang beruntung. Mereka selalu diproritaskan meskipun masih terdapat dari beberapa mereka yang menggaungkan gerakan kesetaraan. Koran yang dibacanya sudah gila. Iklan lowongan data entri dengan tawaran penghasilan tiga juta setiap minggu itu masih bertengger. Kacau sekali. Berapa korban yang akan tertipu lagi dari para pelamar yang berharap-harap cemas. Didi merobek-robek koran itu. “Gue dapat, bro,” Ipul berteriak sumringah. Didi dan Ipul menghambur ke arah Ipul. Segera mereka mengirimkan data diri ke alamat imel yang dituju. Data diri itu tidak perlu ditulisi ijazah, prestasi, dan pengalaman kerja yang seabrek. Yang penting mereka memiliki motivasi untuk bekerja. Cukup itu sudah. Mereka ditelepon oleh perusahaan yang mereka kirimi data diri untuk langsung kerja besok hari. Ketiganya merona wajah senang. Pikir mereka, uang segera akan didapat. Cita-cita mereka menjadi pemuda paling tajir nasional tinggal menunggu waktu. “Ini kerja apa sih, Pul?” tanya Lupi.’ “Konsultan kebersihan. Tenang aja ini bukan penipuan seperti yang sudah-sudah,” terang Ipul. Pagi-pagi mereka menuju kantor di sekitar Blok M dengan berpakaian sederhana sesuai instruksi dari staf kantor yang menelepon. Kopaja melaju dengan cepat. Belum setengah jam mereka sudah sampai. “Ini benar kantornya,” kata Ipul yang mengecek alamatnya sesuai catatan. Gedung kantor itu memiliki tingkat tiga. Berdasarkan tulisan gedung itu tertulis bahwa kantor ini bergerak dalam pendanaan sosial untuk orang-orang atau anak yang kurang beruntung. Tapi mengapa pagi ini banyak sekali orang-orang berkumpul. Apakah mereka juga pelamar? Tapi orang-orang ini memakai seragam kaos bertuliskan : Hari Disabilitas Internasional. Wajah mereka juga diberi masker. Ditangannya memegang pengumpul sampah dan beberapa lidi. Ketiganya masuk menemui staf yang menelepon. Staf yang bernama Erna itu menyambutnya dan menanyakan kesiapan mereka. “Kita mau kerja apa, Mbak?” tanya Ipul. “Petugas kebersihan, “ jelas si Mbak. Ketiganya membelalakan mata. “Apa?” kata mereka setengah kaget. “Tenang, kalian akan dikontrak selama beberapa bulan. Dengan honor tujuh puluh ribu rupiah satu kali acara—event. Tugas kalian hanya membersihkan sampah di acara-acara besar di Jakarta. Bahkan diluar Jakarta. Lumayan untuk bujangan seperti kalian. Bagaimana?” Mata ketiga jejaka itu saling beradu. “Sepakat,” kata Ipul. Menurut mereka lebih baik kerja ini diambil ketimbang ditipu tapi tidak dapat duit. Tidak jadi masalah ditawari jadi konsultan kebersihan sekalipun faktanya hanya menjadi petugas kebersihan untuk acara-acara besar di kota-kota besar. Selesai penandatanganan kontrak, dengan memakai seragam kebersihan yang sudah dipersiapkan mereka menuju tempat acara bersama para pekerja lainnya dengan memakai kendaraan pick up yang disediakan kantor. “Filsuf kebersihan,” kata Didi kepada Lupi dan Ipul. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan jabatan barunya ini. Ketoprak Doraemon Setelah kontrak mereka dengan perusahaan jasa kebersihan dengan kamuflase sebagai lembaga pendanaan sosial untuk orang-orang yang belum beruntung, ketiga jejaka muda itu, praktis kehilangan penghasilan tetap. Mereka harus memutar otak. Bagusnya mereka menyimpan honor mereka dalam tabungan. Ketiganya sudah pintar mengelola keuangan. Lupi merasa belum tepat waktu untuk membelikan Nurkho Novel. Apalagi dia belum mengerti sebenarnya apa yang menjadi kriteria lelaki pilihan Nurkho. Tapi dia masih berharap bisa menarik perhatian Nurkho. Ipul cukup sadar bahwa si gadis mangga Inderamayu itu belum memiliki kesan tertarik kepadanya. Sedang Linda tampaknya sangat berjarak dengan Didi. Karena itu ketiga jejaka itu sadar diri kini wanita bukanlah tujuan mereka. Kini mereka benar-benar memantapkan diri menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia. Mereka harus memecahkan kebuntuan masalah mereka : mencari penghasilan tetap. “Melamar menjadi guru private?” Lupi bersaran. “Oh, sangat tidak mungkin. Gue tak ada potongan jadi pengajar,” Didi berkilah. “Honornya kecil, Lup,” sela Ipul. Seperti biasa mereka mencari ide-ide segar dengan caranya masing-masing. Didi menulis serampangan di buku kecilnya. Entah apa yang ditulisnya. Ipul menyetel televisi menonton apa saja. Akhir-akhir ini dia kurang menikmati berita tentang politik dan seputarnya. Lupi memainkan gitar bolongnya, menyanyiakan lagu Queen. Sampai beberapa menit tak ada gagasan yang diajukan. Semuanya terlihat mandek dan jalan di tempat. “Nah,” kata Lupi tiba-tiba. “Apa?” Ipul penasaran. “Bisnis,” jawab Lupi. “Modalnya gede,” timpal Didi. “Beri gue waktu buat jelasin, “Lupi memulai. Didi dan Ipul bersiap mendengarkan. “Kita jualan makanan. Nasi uduk. Bukanya pagi dan malam saja. Tenang gue bisa belajar dari nyokap gue,” jelas Lupi. “Jualan di mana?” tanya Ipul. “Di perempatan arah kostan kita.” “Enggak bisa. Di sana sudah banyak yang dagang itu—nasi uduk,” imbuh Didi. Lupi tidak sabar menjawab. “Kita bikin nasi uduk yang berbeda. Lagian nasi uduk tuh bisnis jualan yang simpel.” “Kasihan yang jualan. Kita akan mengambil rezeki mereka,” ucap Ipul. “Ah, elu gimana mau jadi pemuda paling tajir se-Indonesia, bisnis pake perasaan segala. Kita bersaing. Kompetitip.” Penjelasan Lupi ini sudah menunjukan betapa dirinya sudah siap untuk turun lapangan menjadi pebisnis. “Ada yang lain?” tanya Didi. Lupi menggeleng-gelengkan kepala. “Elu mau jadi pecundang juga, Di?” Didi menjawab, “gue merasa nasi uduk tidak cocok untuk kita.” “Penjelasan elu?” Lupi menagih alasan. “Gue pikir nasi uduk sudah banyak penjualnya,” jelas Didi dengan tangan yang tak bisa diam, “maksud gue bukan masalah alasan kompetitipnya tapi lebih ke soal kejenuhan pembeli. Di mana-mana nasi uduk, apa para pembeli tidak jenuh itu. Pasti jenuhlah.” “Pembeli butuh sesuatu yang beda. Yang baru,” Ipul memberi ide. Lupi menghela nafas. “Pemikiran kalian bisa dipertimbangkan juga.” “Lalu apa?” Lupi masih tak bisa bersabar. “Ketoprak!” kata Ipul. “Gue suka ketoprak. Ketoprak itu bisa menjadi pengganti nasi. Bikin orang kenyang juga. Gue sepakat dengan ide Ipul.” Didi merasakan perutnya kekenyangan bila mengingat ketoprak. Dari kecil dia memang suka dengan jajanan khas ini. Tapi Lupi masih berberat hati. Baginya ketoprak masih kalah sama nasi uduk. Dia masih mengedepankan egonya lebih karena nasi uduk merupakan kuliner khas Betawi. Dan lebih-lebih ibunya sering menjual nasi uduk di pagi hari. “Gue terserah kalian. Gue setuju,” kata Lupi. Setelah menyepakati bisnis ketoprak, mereka mulai menyusun rencana dari mulai anggaran, tempat, sampai pemberian nama ketoprak mereka. Modal ketoprak mereka peroleh dari rekapitulasi tabungan mereka selama menjadi petugas kebersihan. Tapi itu cukup untuk memodali gerobak dan bahan baku. Untuk sewa tempat mangkal harus mereka pikirkan secara matang. Bukan hanya memikirkan mereka seyogianya mencari kekurangan tersebut. Tapi mencari ke mana? “Minta ke orang tua?” Didi memberi masukan. “Apa memang diizinkan? Mereka pasti bertanya,” Lupi sedikit berkeberatan. “Alasannya kita gunakan uang itu buat bayaran semester. Sudah lama kan kita tidak minta uang semesteran,” jelas Didi. “Jadi pembohong besar?” tanya Ipul setengah hati. Kedua sahabatnya itu melongok seperti orang bodoh. “Kita sudah bhong soal kuliah, sekarang mau ngibulin orang tua lagi?” Ipul melanjutkan. Lupi hanya bereaksi diam. “Kita kan sudah lama tidak minta duit ke ortu kita masing-masing. Enggak apa-apalah berbohong sedikit,” Didi tak mau kalah. Ipul berkeras pendapat. Baginya kebohongan ini sangat tidak terpuji. Ini baginya tindakan seorang pecundang. Dia sangat tidak menyetujuinya. “Kebohongan demi kemajuan,” Didi mencoba meyakinkan Ipul. Ipul tetap tidak sepakat. Sedang lagi-lagi Lupi hanya bisa menyaksikan perdebatan sengit ke dua sahabatnya itu. “Ok kalau begitu elu ada cara lain buat nyari tambahan modal?” tanya Didi ke Ipul. Ipul yang ditanya tidak menyuguhkan jawaban. Dia tak punya solusi cemerlang. “Sidang urun pendapat ditunda!” kata Lupi mencoba mencairkan suasana dengan maksud bergurau. “Enggak lucu,”Ipul sedikit membentak. Lupi yang tidak mudah terpancing emosi hanya diam sambil hatinya ketawa-ketawa. “Kalau begitu gagal deh kita jadi pemuda paling tajir se-indonesia.,” Didi memancing. Lalu dia menyindir Ipul, kapan dong elu beli gadget keluaran terbaru? Kapan elu beli barang serba baru?” Ipul tidak bergeming. Sampai malam tiba Didi dan Ipul tampak masih dingin kecuali Lupi. Tapi Ipul masih belum menemukan jalan keluar. Pikirannya masih buntu. Dia malah menonton berita seputar politik yang sudah ditinggalkannya. Sementara Didi menikmati udara di luar teras kostan sambil berharap Linda akan melewatinya. Perempuan itu masih belum kembali ke kostannya. Pikirannya kacau karena Ipul menolak idenya. Sementara Linda tak keunjung terlihat. Padahal ingin sekali dia bertemu perempuan itu. Harus kemana dia mencarinya atau sekadar mendapat kabar darinya? “Lup, elu setuju dengan idenya Didi?” tanya Ipul yang masih menonton berita televisi. Lupi yang masih asyik memetik gitar langsung menjawab. “Sebenarnya gue enggak setuju. Ini ide yang gila. Seumur-umur gue enggak pernah ngibulin orang tua.” “Tapi kita selama ini sudah bohongin orang tua,” kata Ipul. Dahi Lupi menyeringai. “Hampir satu semester kita tidak masuk kuliah,” terang Ipul. Lupi mengangkat alisnya, pertanda membenarkan. “Menurut gue memang idenya tidak benar tapi...” “Tapi apa?” Ipul menyela. “Tapi tepat, Pul.” “Terus?” “Terpaksa kita mengikuti idenya,” jelas Lupi. “Demi menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia?” “Mengapa tidak?” jawab Lupi. Mereka diam sejenak seperti menimbang-nimbang ide Didi yang memang melawan arus. Pikiran mereka menajdi semrawut gara-gara kekonyolan Didi. Didi jejaka penggila mie rebus itu campur nasi itu memang sudah melewati batas. Dialah biang keladi semua ini. “Didi memang provokator,” ucap Ipul. Lupi membenarkan. Beberapa menit kemudian dia berkata, “tapi sekalipun begitu dia sudah membuat hidup kita menjadi lebih berwarna. Selama ini gue enjory-enjoy saja. Mungkin kalau tidak berkawan dengan dua, hidup gue terasa kaku.” “Betul,”kata Ipul, “tapi tetap saja dia itu gila. Aneh. Provokator. Entahlah gue masih bingung dengan kekonyolan dia itu.” “Tapi ini kesempatan kita, Pul. Coba elu pikirin semuanya dari awal. Kita sudah tidak mementingkan kuliah, lalu mutusin nyari duit sebanyak-banyaknya demi mimpi menjadi pemuda berduit. Mungkin mimpi kita tinggal selangkah lagi. Ayolah, kawan, jangan egois.” “Elu nyalahin gue, Lup?” “Jangan salah paham dulu, begini,”Lupi mencoba menjelaskan, “ok anggap saja sekarang kita berbohong kepada orang tua tapi ini demi masa depan kita. Sekarang gue mau tanya elu,Pul. Seandainya elu jujur tentang kuliah kita, jujur tentang minta modal buat usaha, apa orang tua elu bakal bahagia? Bakal ngizinin?” Ipul menggelengkan kepala. Dia kini menjadi pendengar setia Lupi yang terasa sudah mulai terpengaruh oleh Didi. “Orang tua gue juga bakal kecewa. Bakal enggak ngasih modal. Didi pun begitu. Kita bermain cantik saja,” Lupi menjelaskan lagi. *** Terpaksa dan berat hati Ipul mengikuti ide Didi. Biarlah soal kebohongan kepada orang tua dirinya sendiri yang akan menanggung sendiri. Habisnya, Didi tidak mau bertanggung jawab soal dosa. Didi menyunggingkan senyum. Senyumnya seolah mendapatkan kemenangan dalam sebuah pertandingan penting. Lupi berlega. Kedua sahabatnya mulai bersinergi kembali. Ketiganya mulai mempersiapkan anggaran dan konsep bisnis, tempat, dan pemilihan nama. Anggaran dan konsep bisnis menjadi urusan Lupi dan Ipul. Untuk soal tempat dan nama bisnis Didi ahlinya. Lupi dan Ipul merancang konsep dengan baik. Lupi dan Ipul mencoba menerapkan sajian ketoprak yang berbeda. Sebuah keberanian berbisnis sekalipun pemula. Meskipun pada umumnya bahan dasar ketoprak mereka sama, mereka berani bermain dalam soal bumbu dengan berbagai pilihan menu. Menu pertama, ketoprak pedas sekali. Menu ini diperuntukan bagi pelanggan yang menggilai cita rasa pedas. Karena menurut mereka masyarakat Indonesia adalah pasarnya pedas. Menu kedua adalah ketoprak pedas. Berbeda dengan menu pertama yang tingkat kepedasannya sampai 100%, tingkat kepedasan menu kedua ini berkisar pada angka 80%. Menu ketiga adalah ketoprak sedang. Menu ini diperuntukan buat anak-anak sekolah menengah. Dan menu ketiga adalah menu ketoprak tidak pedas sekali. Menu yang sengaja disajikan untuk anak kecil ini memiliki level kepedasaan 20 %. Singkatnya, aneka menu ini disajikan untuk berbagai ragam usia. Didi sangat puas dengan konsep Lupi dan Ipul ini. Kini giliran dia memberi nama ketoprak mereka setelah selesai mengurus perizinan tempat. “Apa nama ketopraknya, Di?” tanya Lupi. “Ketoprak Doraemon,” jawab Didi lugas. Didi tersenyum. Lupi dan Ipul merasa aneh dengan penamaan tersebut. Didi menguraikan pendasarannya dengan antusias. Pendasaran penamaan tersebut dilatar belakangi oleh tiga hal. Pertama, doraemon merupakan tokoh kartun produksi Jepang yang disukai di berbagai negara, termasuk Indonesia. Siapa tahu dengan memakai nama ini ketoprak mereka disukai oleh pembeli. Kedua, Doraemon adalah kartun legendaris yang disukai oleh lintas generasi. Sekalipun kartun itu diproduksi puluhan tahun silam, tetap saja disukai oleh generasi sekarang. Karenanya Didi berharap ketoprak ini eksis sampai kapanpun. Lebih-lebih bisa menjadi ketoprak legendaris. Ketiga, nama Doraemon merupakan nama yang unik untuk dipadu-padankan dengan kuliner. “Pendasaran yang sempurna,” Ipul memuji. Didi melenggangkan senyum. Tidak percuma gue baca buku, katanya dalam hati. Ah, kata siapa dia membaca buku, toh buktinya dia sudah sangat berjarak dengan buku-buku yang kemarin-kemarin dibacanya. “Kawan-kawan ada yang mau gue sampaikan,” Lupi merasa tidak enak hati menyampaikan gagasannya. “Hah?” Didi menyipitkan matanya. “Apa?” kata Ipul. Lupi menjawab, “tentang promosi.” “Kita mendegarkan,” jawab Ipul. Lupi melihat lekat-lekat wajah Didi dan Ipul secara teratur. Didi dan Ipul balik memandang Lupi dengan saksama dan teliti. “Begini kawan-kawan, gue sangat puas dengan udaha Didi nyari tempat dan nama. Apalagi namanya unik sekali. Gue juga salut sama elu, Pul soal pilihan menu. Kalian pokoknya orang-orang cerdas menurut gue...’ “Sudahlah langsung ke inti,” Ipul menyela. “Setuju,” kata Didi. “Ya percuma saja konsep bagus kalau promosinya tidak bagus,” kata Lupi. “Ya kita sebarin pamflet saja buat promosi,” Didi bersaran. “Atau lewat media sosial,” Ipul menambahkan. “Tapi itu akan terasa biasa-biasa saja kalau kontennya tidak berbeda,” Lupi menyanggah. “Jadi konsep, elu apa?” Didi nampak tidak cukup bersabar. Tingkat semangat yang tinggi mulai menjalari Lupi. “Gue punya usul bagaimana di hari pembukaan bisnis kita ini, kita gratiskan untuk tujuh puluh porsi. Kita pasang pamflet di gerobak ketoprak kita dan sebarkan lewat pamflet. Gue jamin perlahan-lahan ketoprak kita banyak yang kenal. Setelah kenal pasti dibeli deh,” jelas Lupi dengan rinci. Did dan Ipul hening sementara. “Kegilaan macam apa ini?” umpat Didi. Ipul menghela nafas, “belum apa-apa elu sudah merugi. Ingat! Buat nyiapin semua ini tidak mudah, Lup.” “Tujuh puluh porsi pasti terbayar dalam beberapa hari. Lagian tujuh puluh porsi pertama berbeda dengan porsi di hari selanjutnya. Kita pangkas porsinya untuk hari-hari berikutnya.” “Memangkas porsi?” Didi terkekeh yang dipaksakan. Kemudian dia melanjutkan, “porsi yang berbeda, resikonya akan rumit. Bisa-bisa pelanggan kecewa. Tapi yang jelas gue enggak setuju dengan gagasan promosi ini.” “Promosi yang standar aja, Lup,” tukas Ipul. Mendengar reaksi kawannya itu Lupi hanya bisa mengigit bibir. Sungguh keduanya primitif dalam berbisnis, gumamnya dalam hati. “Baiklah,” kata Lupi tenang, “untuk tujuh puluh porsi yang gratis, gua yang bakal ganti ruginya. Jadi elu berdua tidak usah khawatir.” Didi dan Ipul menunduk. Malu menggumuli mereka. Hmmm, pecundang. Untuk mencapai kesuksesan saja keduanya tidak mau berkorban penuh. Jadi pebisnis itu seyogyanya berani melakukan kegilaan meskipun seperti kelihatan merugikan. Tapi hasilnya pasti terlihat di kemudian hari. “Tidak perlu, Lup. Elu enggak usah menutupi biaya promosi,” Ipul berpendapat. Didi menarik nafas. Lega. “Elu emang jempolan, Lup. Gue dan Ipul setuju ide elu. Ingat! Demi menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia.” Mereka tertawa. Lalu mengepalkan tangan dan meninjukannya ke tangan satu sama lain secara serempak. Kini mereka tidak meu berpelukan seperti yang sudah-sudah mereka lakukan. Menurut mereka pelukan kebahagiaan sekalipun masih berada dalam batas kewajaran itu menggelikan. Bahkan terlihat seperti perempuan saja. Bisa membuat bulu kuduk mereka bergidik. Hari pertama pembukaan, jantung mereka berdebar-debar. Karena hari ini merupakan pintu pertama mereka menjalani kehidupan yang berbeda dari hari-hari yang sudah mereka lewati. Karena bisa jadi hari ini adalah hari yang akan menggambarkan masa depan mereka. Karena mereka sudah mantap mengucapkan selamat tinggal kampus, dan tidak tahu apakah suatu saat mereka akan kembali ke kampus lagi atau tidak sama sekali. Entahlah. Mereka tidak bisa memastikan sebab tidak ada yang tahu secara pasti apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tapi dengan jelas mereka menjalani kehidupan sesuai langkah kaki. Ketiganya tidak pernah menduga bisa menjadi penjual ketoprak. Hmmm, bukan penjual ketoprak tapi pengusaha ketoprak, begitu kata Lupi. Ini pasti rencana Tuhan, menurut mereka. Dan seandainya jika ada kesalahan, siapa yang harus disalahkan?” Ah, hidup memang harus selalau berada di tengah-tengah. Kita memilih, memutuskan, dan menjalani. Tuhanlah yangn menentukan. Jadi seandainya ada kesalahan, siapa yang harus disalahkan?” “Tak pernah gue segerogi ini?” kata Didi dengan telapak tangan yang berkeringat setelah mereka membagikan pamflet ke sekitar perempatan mereka berjualan. Bah! Bukan berjualan tapi berbisnis, itu kata Lupi. “Tarik nafas,” saran Ipul. “Siap.” Beberapa menit kemudian para calon pembeli mendatangi ketoprak mereka. “Benar ini dengan ketorprak Doraemon?” kata ibu-ibu kompak. “Ini ketoprak Doraemon yang promosi itu ya?” seraya cewek-cewek yang sepertinya mahasiswi satu kampus dengan mereka bertanya dengan penuh antusisme. “Bang gratisannya masih berlaku?” tanya anak-anak sekolah menengah. “Wah yang jualan ternyata masih berondong ya?” kata ibu-ibu muda sepantaran Linda, genit. Lupi tak bisa menerima klaim sepihak ini. “Kita pemilik, mbak. Bukan penjual. Tapi penjual sekaligus pemilik.” “Oh, sebuah pledoi yang memikat,” sahut salah satu dari ibu-ibu muda itu. Lupi merasa jijik tapi Didi dan Ipul berusaha mengulur senyum. Tujuh puluh porsi dengan cepat habis tidak bersisa. Para calon pelanggan lain yang datang terlambat beraut wajah kecewa, “besok gratis lagi dong, mas.” Ketiga jejaka pebisnis itu memasang senyum terpaksa meskipun hati mereka merasa eneg. Tidak mungki melakukan promosi gila-gilaan terus-menerus ini untuk pebisnis pemula seperti mereka yang modalnya pelintat-pelintut. Wah! Tapi promosi gila ini memang jitu karena hampir tiga ratus orang mendatangi ketoprka mereka. “Ide elu memang mantap, Lup,” Didi memuji. Lupi meninggikan kerah bajunya. Dirinya seperti sedang berada di atas angin. “Permulaan yang meyakinkan,” sambung Lupi. “Pembuktian yang sesungguhnya itu besok hari,” Ipul mengingatkan. Rekayasa Bodi Tidak saja belajar mencoba menerapkan tipikal ala pebisnis profesional dengan membuat arus kas keluar-masuk, disiplin waktu, rencana jangka pendek dan panjang, ketiga jejaka muda progresif itu pun berusaha menampilkan pribadi yang baik di hadapan para calon pelanggan. Setiap bertemu dengan seseorang apalagi itu potensial menjadi pelanggan, senyum harus mengulur dan keramahan harus senantiasa membungkus sikap mereka. Tampilan fisik yang apik ditambah pewangi tidak boleh luput dari tubuh mereka. Mereka pokoknya harus bijak menampilkan sikap-sikap tipikal pebisnis profesional pada waktu-waktu tertentu tanpa perlu mempraktekannya setiap saat karena sejujurnya mereka sudah muak dan mual dengan pranata-pranata tersebut. Tapi pakem-pakem seperti itu kudu mereka lakukan sesuai anjuran motivator bisnis yang mereka ikuti seminarnya, sesuai buku pengembangan bisnis yang mereka baca, dan sesuai petunjuk-petunjuk dari googling di internet. Profesioanalitas dan responsibilitas adalah fondasi dasar mutlak yang harus mereka miliki sekarang. Kebiasaan-kebiasaan tersebut sangat jauh dari kehidupan mereka. Tapi sekali lagi mereka mesti menjalani dengan ikhlas kehidupan baru ini. Ingat! Mereka sudah berani meninggalkan kuliah mereka. Proses-proses seperti itu harus mereka lewati demi sebuah mimpi yang terwujud. Melelahkan memang. Menyebalkan memang. Memuakan memang. Tapi memang harus dilakukan. Toh berbisnis merupakan bagian dari pembelajaran yang akan mereka dapati setelah pembelajaran formal mereka tinggalkan beberapa bulan yang lalu. Ipul merasakan rekayasa bodi ini sebagai gambaran dirinya menjadi pemimpin kelak. Karena sejatinya para pemimpin harus bisa mencitrakan diri dengan baik. Gestur tubuh dan sikap kudu ditata dengan baik demi mendapatkan penilaian yang baik di hadapan masyarakat. Lupi memaknai rekayasa bodi ini sebagai persiapan dirinya menjadi diplomat. Menjadi diplomat tidak hanya diiringi oleh wawasan dan jaringan luas, citra yang baik juga menjadi pertimbangan utama. Tapi bagi Didi apa arti rekayasa bodi ini? Berbeda dengan Lupi dan Ipul yang masih memendam dengan baik cita-cita mereka, dirinya sudah mengubur mimpinya menjadi ahli politik. Segala mimpi-mimpi yang ia tuliskan tebal-tebal di langit sudah memuai terhempas oleh panasnya matahari. Dirinya kini menjadi manusia yang ingin melebihi cita-cita manusia lain. Tapi apa cita-cita terbesar itu? Dia sendiri belum menemukannya. Namun dalan hati kecilnya selintas perasaan bersalah muncul. Dia menyadari kekekacauan studi Lupi dan Ipul adalah karena provokasi dirinya. Ah sudahlah. Persetan semua itu. Dia tidak ingin menjadi pesakitan karena telah menjerumuskan kedua sahabatnya itu toh keduanya menjalaninya dengan bahagia. Tapi Didi mengulur senyum melihat Lupi dan Ipul begitu bersemangat menyiapkan bisnis ketoprak ini. Bahkan dia berharap semoga kedua sahabatnya itu menemukan kehidupan mereka sesungguhnya melalui bisnis ketoprak ini. Tuhan tunjukanlah jalan mereka. Tuntunlah mereka mengenali dirinya sendiri. Semua rekayasa-rekayasa ini mungkin aku yang membuat dan Kau yang mengikuti. Tapi jika semua rekayasa ini berjalan seperti yang tidak diharapkan benahilah semua ini. Demikian doa Didi dalam malam yang begitu sepi. Sebuah doa kepada Tuhan yang sudah lama dia lupakan. Dan mengapa dirinya di malam menyengat kerinduan yang hebat menyesap jiwanya. Siapa yang dia rindukan? Lindakah atau tiba-tiba dia mengingat sebuah kematian. Kematian tubuh. Kematian jiwa. Kematian pikiran. Dan kematian-kematian lainnya. Air mata bergulir pelan-pelan. Dadanya bergetar dahsyat. Tubuhnya gemetar. Tangannya kaku. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan esok yang masih teka-teki. Bisnis Kehidupan Hari ke hari. Minggu ke minggu. Bulan ke bulan, bisnis ketiga jejaka itu mulai dikenali orang-orang. Penghasilan pun tak dapat ditolak. Namun dalam waktu yang bergulir itu tidak ada perkembangan yang memuaskan dalam bisnis mereka. Kesimpulan ini bisa dilihat dari indikasi penghasilan yang tidak pernah bertambah. Padahal mereka menjalani bisnis ini dengan giat dan kerja yang keras. Laba yang mereka hasilkan hanya bisa membayar kostan, membiayai kehidupan sehari-hari mereka, menggenapi pakaian mereka, dan atribut-atribut lainnya yang tidak terlihat bergengsi. Mereka ingin membeli kendaraan baru karena selama ini mereka menggunakan motor butut. Itu pun didapat dari rental. Mereka juga ingin memiliki rumah dari bisnis ini. Ingin membeli tanah. Ingin berinvestasi di bursa efek. Hmmm, banyak sekali keinginan mereka ini. Tidakkah mereka bersyukur dengan apa yang sudah didapatnya selama ini? Mereka telah tumbuh menjadi pemuda ambisius. Kehidupan yang serba pas-pasan bukanlah tempat mereka sekarang. Cita-cita meeka tetap tidak berubah : menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia. Logika berpikir sudah mendekati logika pebisnis profesional. “Hampir setahun kita berbisnis tapi belum ada perkembangan,” umpat Didi ketika ketiganya bersantai ria di kostan yang itu-itu saja. Lupi mengigit bibir. Kebiasaan itulah yang sering ia lakukan kalau sedang dihimpit masalah. “Gue belum mendapatkan ide,” kata Ipul yang nerasa dimintai pendapat oleh Didi. “Kita harus buka dari pagi sampai malam, “ Lupi menjentikan jarinya karena mendapatkan ide baru. Tapi kedua sahabatnya itu belum menyetujui. Ide Ludi dirasa belum memecahkan masalah. Mereka malam itu terus menggali ide untuk kemajuan bisnis mereka di saat orang-orang sedang menikmati istirahat. Menguras pikiran sampai berkeringat hingga gagasan cemerlang mendekati mereka. Didi mulai berusaha menghubungkan antara kaitan bisnis dengan buku-buku yang sudah dibacanya. Lupi mengingat-ingat detil strategi berbisnis yang dipelajarinya di sekolah kejuruan. Ipul berusaha mengingat pelajaran berbisnis dari bosnya sewaktu menjadi kuli pabrik industri tahu-tempe. Ketiganya secara tidak disadari sedang memahami kehidupan dari sisi yang berbeda. Benar memang apa yang mereka lakukan itu adalah kehidupan yang nyata. Bukan sekumpulan teori rumit yang digumuli di kampus. Tanpa disadari juga bahwa mereka sekarang sedang merawat sebuah lokus bagian dari kehidupan yang harus dijaga. Lokus itu yang menghubungkan mereka dengan orang-orang baru yang tak mereka kenali. Berkat lokus itu mereka menjadi saling mengenal dengan orang-orang baru itu meskipun terikat dalam relasi antara penjual dan pembeli. Tapi kadang relasi yang berdasarkan kepentingan ikatan tersebut bermuara pada hubungan yang mendalam, saling memahami, bahkan menjadi saudara kental. Hubungan kental tersebutlah yang membuat hidup menjadi lebih berwarna. Dalam bisnis apapun kesadaran menjaga hubungan baik dengan pelanggan sangat krusial agar mereka tetap setia dan percaya pada produk kita. Layaknya jalinan hubungan persaudaraan yang harus dirawat melalui sikap saling menasehati, dan bertukar pendapat tanpa nirkehendak superioritas. Bisnis mereka pun akan eksis jika terjalin hubungan yang ajeg antara mereka dengan pelanggan. Didi mulai memikirkan bisnisnya ke arah itu berdasarkan bacaannya melalui buku refleksif-filosofis. Dia mulai menemukan pola hubungan baru antara pemilik usaha dengan pelanggan. Menurutnya pemilik usaha harus selalu meminta saran, masukan, dan kritik terhadap barang yang dijualnya kepada pelanggan. Lupi sudah ingat bagaimana produsen harus jeli mengenai hal-hal apa saja yang disukai oleh konsumen. Karena itu konsumen harus diberi ruang untuk menyampaikan keluhan terhadap barang yang dibelinya. Ipul dengan cepat menyadari bahawa bosnya selalu mengutamakan kepuasan konsumen. “Konsumen puas, kita senang. Untung pun datang!” begitu kata bosnya. Ketiga jejaka pejuang itu seolah mendapatkan hakikat bisnis. Bisnis kehidupan. Untuk meminta saran, masukan, dan kritik, mereka menyediakan kotak suara yang terbuat dari mika. Para pelanggan tinggal menuliskan keluhan mereka, kemudian memasukannya ke dalam kotak suara itu. Jika enggan menyampaikan keluhan lewat kotak itu, para pelanggan dapat mengutarakan keluhannya via sms. Sesudah cara itu dilakukan benar saja banyak saran dan kritik terhadap bisnis mereka. Ada yang menyarankan agar ketoprak mereka tidak berlebih dalam racikan bumbu. Ada yang meminta agar porsi ketopraknya lebih besar. ada yang memberi saran agar potongan ketupatnya diperkecil supaya terlihat mungul. Tidak melulu ihwal cita rasa yang dikeluhkan, kondisi kedai pun mendapat masukan yang cukup berharga. Dan saran dan kritik lainnya yang konstruktif. Berbagai saran dan kritik yang masuk, mereka tampung sebagai bahan pertimbangan. Cita rasa tingkat kepedasan menu tetap mereka pertahankan. Hanya saja mereka menyajikan cita rasa bumbu yang beraneka ragam. Disajikan racikan bumbu yang berlebih, juga disajikan racikan bumbu yang pas. Para pelanggan tinggal memilih sesuai selera. Suasana kedai juga mereka ubah sesuai masukan. Cat berwarna cerah mendominasi tembok kedai yang mulanya berwarna agak gelap. Selain cat yang cerah beberapa lukisan pemandangan pedesaan dipajang supaya terlihat lebih sejuk. Warna gerobak yang kusam kini disapu oleh cat keperakan. Agak mengkilat. Beberapa pelanggan pun menyarankan agar ketiga jejaka visioner itu mengenakan seragam yang bergambar Doraemon beserta kantong ajaibnya. “Huh,” Didi menarik nafas. Tarikan nafasnya seperti memburu karena lelah yang mendera tubuhnya. Lupi mengelap keringat yang bercucuran dari dahinya yang beberapa senti lagi menuju hidung. “Cape juga,” imbuh Ipul. “Dipikir-pikir enakan jadi pegawai ketimbang bos,” katanya lagi. “Bisnis itu seperti kehidupan,” Lupi menyeletuk. Didi dan Ipul melirik Lupi, lalu memandangnya serius. Lupi merespon pandangan kedua sahabatnya. “Ada yang salah ya?” tanya Lupi. Senyum yang rapi dan pas terurai dari Didi dan Ipul. Wayang Uang Perlahan-lahan strategi mereka menunjukan hasil. Waktu ke waktu yang berjalan pelanggan baru berdatangan. Kini dalam sehari saja tiga ratus porsi terjual habis. Sedangkan masih banyak para calon pelanggan yang mengantri. Melihat antusiasme tersebut mereka menambah tiga gerobak lagi di kedai dan memperkerjakan tiga pegawai. Jam kerja ditambah pula sampai larut malam, yang dimulai dari pagi. Kesuksesan yang mereka raih mengantarkan mereka memiliki kendaraan beroda dua yang mereka mimpikan. Tidak perlu memakan waktu lama, kesuksesan mereka terus berlanjut. Setahun berselang sudah berdiri tujuh cabang ketoprak Doraemon mereka di wilayah Jakarta. Hampir seluruh penduduk Jakarta menggemari ketoprak mereka. Dari mulai anak-anak sekolah, ibu-ibu rumah tangga, eksekutif muda sampai pejabat tidak pernah melweati hari mereka dengan menikmati ketoprak Doraemon ini. Berkat kesuksesan yang sempurna ini mereka meraup keuntungan bersih hampir ratusan juta per bulan. Ketiga jejaka muda itu menjadi pendatang baru yang diperhitungkan di belantika bisnis sebagai pebisnis muda paling berprospek. Beberapa penghargaan baik dari pihak pemerintah atau swasta menganugerahkan penghargaan karena prestasi ketiga jejaka muda itu. Seluruh media memburu mereka untuk dijadikan headline. Wajah-wajah mereka terpampang di mana-mana. Televisi juga tidak mau ketinggalan meminta mereka untuk menjadi untuk tampil dalam wawancara ekslusif tentang kemandirian pemuda dalam wirausaha. Perusahaan produk terkenal tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dengan mengontrak mereka menjadi brand ambassador produk mereka. Tiap tujuh puluh detik sekali wajah mereka wara-wiri di iklan televisi. Ketiganya kini menjadi menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Masyarakat di negeri ini sudah menahbiskan mereka sebagai idola baru. Menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia sudah digenggam tangan. “Sudah saatnya kita meninggalkan gaya kehiupan lama kita,”kata Didi. Lupi dan Ipul yang masih bermalas-malasan di kasur kostan mereka yang belum diganti merem-melek sedikit mengacuhkan Didi. Hari minggu itu mereka tidak sudah tidak turun lagi ke kedai karena semua urusan kedai sudah diserahkan ke pegawai. Mereka tinggal mengontrol arus-kas dan mengambil keputusan penting lainnya yang berkaitan dengan bisnis. Aktivitas mereka sekarang adalah memenuhi undangan dari pemerintah dan swasta menjadi pembicara dalam seminar di dalam dan luar kota. Sesekali mereka diminta untuk pemotretan di majalah terkenal. “Kita harus pindah dari kostan ini,” suara Didi sedikit dikeraskan. “Membeli rumah baru dan fasilitas-fasilitas lainnya,” balas Ipul yang sudah bangun dari setengah sadarnya. “Duit kita masih belum cukup untuk itu!” timpal Lupi, bangun dari tingkah malasnya. “Duit, duit, duit. Betul fokus kita sekarang adalah mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya,” tangan Didi mengeras, matanya menatap tajam ke Lupi dan Ipul. Minggu pagi yang cerah menyegarkannya untuk bicara masalah uang dan uang. “Enggak ada soal lain selain duit,” Lupi menebalkan semangat Didi. “Mari kita membuktikan kepada dunia bahwa kita pemuda paling giat nyari duit,” Kata Ipul berapi-api. Semangat angkatan empat puluh lima menjalari jiwa dan raga mereka. Perbedaannya, jika semangat tahun itu adalah untuk meraih kemerdekaan dari kolonialisme, semangat ketiga jejaka muda itu dipakai untuk meraih uang dan uang. Cita-cita mereka untuk merubuhkan kebodohan dengan pendidikan, membaca buku, dan ihtiar lainnya sudah diselewengkan dengan cepat sekali. Sekarang bagi mereka tidak tersisa lagi ruang untuk segalanya kecuali bagaimana mendapatkan uang sebanyak mungkin. Mengerikan memang padahal Lupi dan Ipul kemarin masih sempat terlintas ingin mewujudkan cita-cita mereka melalui pendidikan. Keduanya sepintas memikirkan ingin meneruskan pendidikan mereka yang terlunta-lunta. Kecuali Didi, hmmm jejaka konyol yang sama sekali belum menentukan pilihan hidupnya. Hidupnya kini adalah menjalani apa yang sedang berdiri di hadapan mata. “Aku hidup untuk hari ini. Tidak risau memikirkan cita-cita. Cita-cita apa? Aku sendiri masih enggan untuk serius!” katanya. “Aku ingin uang banyak,” katanya lagi. Tapi untuk apa uang banyak kalau dirinya belum tahu makna hidup? Ah biarlah. Ah biarin toh dirinya hidup untuk hari ini, tidak pernah serius memikirkan masa depan. Target mereka mematok penghasilan bersih ratusan juta rupiah tercapai sudah meskipun perlahan. Itu didapat dari bisnis ketoprak, menjadi pembicara di beberapa seminar, iklan telvisi, brand ambassador merk, dan lainnya. Dari penghasilan tersebut mereka mulai mengkredit rumah di sebuah komplek yang tak jauh dari kostan mereka. Rumah itu memiliki ukuran yang besar untuk mereka dengan bertingkat dua, fasilitas lengkap , halaman luas yang ditumbuhi pepohonan rindang-hijau, dan garasi mobil yang cukup luas juga. Kini kemana-mana mereka tidak perlu berpanas-panas lagi sebab ketiganya sudah membeli kendaraan beroda empat. Praktis gaya hidup mereka berubah dengan pesat. Soal makanan mereka sudah tidak sudi menikmati sajian kuliner kelas bawah-menengah. Perut mereka sudah cocok diisi dengan makanan restoran mewah. Setiap seminggu sekali mereka berlibur ke luar kota yang dianggap memiliki destinasi wisata yang memikat. Bahkan sesekali dalam dua bulan mereka berlibur ke luar negeri. Kalau week end tidak kemana-mana, ketiganya menghabiskan malam di kafe berkelas dan mewah. “Semua bisa dibeli dengan uang,” kata mereka sambil meneguk wishkey yang baru mereka rasakan selama hidup sampai sekarang dengan terkekeh lepas sekali. Berbotol-botol miniman beralkohol tingkat tinggi mereka habiskan dengan tubuh dan pikiran yang linglung. Didi, sang provokator, mengoceh tidak karuan, sehingga menimbulkan kepekakan telinga para pengunjung kafe. “Gue sudah menaklukan Jakarta. Gue sudah membuat tunduk manusia-manusia Jakarta.” Matanya semakin memerah ketika menatap cahaya lampu kafe yang berkedip-kedip. Tapi pikiran sadarnya setengah waras. “Linda di mana kamu sekarang?” katanya dengan mulut yang tambah bau alkohol. Sedang wajah Ipul sudah terkulai di meja. Lupi malah muntah-muntah di toilet. Cairan alkohol yang dia minum menghambur kembali ke luar. Diam-diam dia menyebut Tuhan dalam kelimpungan pikiran dan tubuhnya. “Persetan dengan setan. Tuhan di mana Engkau? Tolong jangan marahin hamba-Mu ini,” katanya. Kemudian tubuhnya terkulai ke lantai toilet. Dia tertawa-tawa, “Tuhan tolong sampaikan salamku ke dia. Ke dia, Tuhan. Nurkho.” Tapi ketiga jejaka muda itu cukup bisa menahan nafsu untuk tidak menjadi pemabuk sejati. Sebab dalam tubuh mereka tidak terdapat darah yang senang dialiri oleh minuman beralkohol. Tubuh mereka masih menyukai air mineral. Minuman beralkohol tidak baik untuk kesehatan. Mereka menyadari itu. Syukurlah. Apalagi sekarang mereka harus bisa mengontrol diri agar sifat-sifat negatif mereka tidak tercium oleh para pengejar berita. Seandainya sifat-sifat negatif itu tertangkap oleh media, habislah karir yang sudah ditahbis dengan cucuran keringat. “Kita sekarang sudah jadi publik figure,” kata mereka. Ideolog Muda “Apa yang harus kita lakukan lagi?” kata Didi yang terlihat jengah dengan kemewahan segala ini. Dia memang seorang pribadi yang progresif di samping seorang yang cepat merasa bosan dengan status quo. “Bukankah yang kita cari ini? Uang dan kesuksesan,” jawab Lupi dengan menikmati jus alpukat yang menyegarkan. Minuman itu terasa pas dengan suasana kolam renang rumah mereka yang sejuk. Kemudian ia menyandarkan tubuhnya pada kursi rotan yang berbentuk memanjang. Kaki Didi masih asyik memainkan kakinya di air kolam. Batang hidung Ipul belum nampak di pagi yang selalu memanjakan mereka dengan keindahan. Play station yang ia mainkan sendiri semalam sudah membuat matanya enggan melihat matahari. Tapi beberapa menit kemudian dia muncul dengan mata dan rambut yang tidak menarik. “Gue di sini,” katanya setelah Didi menanyakan jejaka Inderamayu itu kepada Lupi. “Sebaiknya kita kembangkan bisnis kita. Kita investasi di bursa efek,” jawabnya setelah mendapat pertanyaan dari Didi soal apa yang harus mereka lakukan setelah mimpi menjadi pemuda paling tajir sudah melekati mereka. “Itu sudah pasti,” kata Didi. “Lalu apa?” tanya Lupi sambil menghabiskan jus alpukatnya. “Kita pengaruhi generasi muda,” kata Didi singkat. Didi dan Ipul masih belum mengerti maksud Didi. “Bukankah selama ini kita berbohong?” Lupi dan Ipul memandang Didi dalam-dalam. Keduanya masih belum mengerti juga. Didi meneruskan, “selama ini kita mengaku masih menjalani kuliah kepada publik tapi untungnya publik tidak pernah bertanya-tanya tentang konsep pendidikan menurut kita dan tentang kuliah kita atau sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan. Mereka hanya terkesiap dengan capaian kita yang gemilang....” “Intinya saja,” Ipul menyetop. Dia selalu tidak memiliki kesabaran yang penuh. “Betul,” Lupi menyepakati. “Mereka yang terkesiap adalah pemuda. Kalian tahu kan pemuda itu?” “Generasi yang siap menjadi pengganti,” jawab Ipul singkat. “Jiwa-jiwa yang resah. Jiwa-jiwa yang gelisah. Jiwa-jiwa yang memberontak,” kata Lupi seperti berpuisi. Didi membetulkan pendapat kedua sahabatnya. “Tapi,” katanya dengan darah bergejolak, “mereka adalah pribadi-pribadi yang mudah dipengaruhi,” Didi menyungging senyum. “Jangan bertele-tele,” Lupi mengikuti ketidaksabaran Ipul. “Kita pengaruhi mereka dengan cara berpikir kita selama ini. Kita katakan kepada mereka bahwa uang itu penting daripada pendidikan. Uang adalah segalanya. Segalanya pake uang. Logika uang,” jelas Didi. “Elu sudah gila, Di.” “Ya, elu sudah gila,” Lupi membetulkan Ipul. “Resikonya tidak kecil, Di. Apa elu mau kita dihujat?” Ipul menggeleng-gelengkan kepala. Didi membetulkan senyumnya. “Kita pakai ini,” katanya dengan menunjuk dahi, sebagai tempat otak untuk berpikir. “Kita enggak usah macam-macam lah dengan ide konyol elu, Di. Segini aja gue udah bahagia sekali,” timpal Lupi yang sudah merasa puas dengan pencapaian ini. Ipul menyocori Didi. “Kita kan sudah membangun semangat kewirausahaan mereka lewat seminar-seminar dan talk show lainnya. Apa mereka tidak tergugah? Gue pikir mereka sudah terpengaruh oleh cerita kita!” “Tapi itu tidak persuasif. Seperti gombalan cowok kepada cewek saja. Tidak berdampak apa-apa bagi gue. Ingat, “ Didi menghela nafas, “ masih banyak pemuda-pemuda atau mahasiswa yang masih tidur sekalipun kita sudah membangunkannya.” “Tujuan elu apa sebenarnya?” tanya Lupi, sedikit emosi. “Gue hanya ingin membantu mereka yang putus asa. Yang ingin meraih kesuksesan di masa muda. Kesuksesan itu uang, kawan-kawan. Bukan yang lainnya,” jelas Didi. “Gue sepakat itu. Tapi misi elu terlalu kasar. Berisiko,” terang Ipul yang masih belum mengerti keinginan sahabatnya itu. Didi menceritakan latar belakang gagasannya dengan jujur kali ini. “Kalian adalah pelaku utama kesuksesan kita bertiga. Kita, beberapa tahun lalu adalah mahasiswa polos dengan bayangan bahwa pendidikan adalah kunci keberhasilan. Kita sungguh-sungguh belajar demi cita-cita. Elu, pul pengen jadi pemimpin yang berikapasitas, intelek, dan dekat dengan rakyat. Elu, Lup pengen jadi diplomat yang paling disegani. Gue pengen jadi ahli politik. Tapi lama-kelamaan kita berpikir praktis. Logis. Bahwa kita hanya ingin menaklukan Jakarta dengan pencapaian kekayaan, “ tutur Didi yang pelan dan tertata menyentuh emosi Lupi dan Ipul. Cuih! Memang jejaka penggemar mie rebus dicampur nasi itu pintar mengoyak-ngoyak hati orang. Didi melanjutkan tuturnya, “bahwa yang sebenarnya kita inginkan dari semua ini, dari pendidikan adalah kesuksesan finansial. Elu berdua pasti berpikir bahwa mereka, pemuda, khususnya anak-anak kampus itu kuliah demi meraih kesuksean materi. Pendapatan yang berlimpah.” Lupi dan Ipul menyesap penjelasan Didi sampai relung jiwa. “Gue cuma kasihan kepada mereka yang kuliah capek-capek. Capek belajar. Capek biaya tapi ujung-ujung mereka duit. Ujung-ujungnya kekayaan. Mendingan kita selamatkan mereka dengan ideologi kita. Ideologi uang. Jangan lupa bahwa segalanya diukur dengan uang.’ “Tapi..” Ipul mau meyela, Didi menyetopnya. “Kita tidah perlu lugas bilang bahwa uang adalah itu maha penting dan ukuran dalam kehidupan. Mau tahu caranya?” Didi menggoda Lupi dan Ipul. Lupi dan Ipul mulai bersimpati dengan gagasannya. “Kita bikin buku tentang motivasi. Tentang penyadaran logika berpikir. Kita ajak pembaca untuk mengenali diri mereka sendiri seperti yang sudah kita lakukan dulu. Dipertengahan buku kita acak-acak logika pembaca yang masih kaku. Kita bangunkan emosi mereka dengan kisah-kisah para pengusaha sukses mendapatkan kekayaan. Dari situ kita sudah mulai mempengaruhi cara berpikir dan emosi mereka. Coba pikir apakah kita jelas menyebarkan semangat agar generasi-generas ini akan tangguh secara finansial.” Didi menatap kedua sahabatnya dengan mengulas senyum. “Gue yakin setidaknya kalau turun ke pedalaman lagi terutama sewaktu gue turun penelitian lapangan di pedalaman Banten, beberapa tahun mendatang gue tidak melihat orang-orang yang risau lagi soal sandang, pangan, dan papan,” Didi agak berurai air mata mengingat-ingat kondisi yang membikin jiwanya yang gundah gulana itu. Mata Lupi dan Ipul agak berkaca-kaca. Keduanya mulai memahami pendasaran gagasan Didi. Sempat mereka berpikir—sebelum Didi menguraikan pendasarannya—adalah virus yang mengerikan yang akan membuat generasi bangsa tunggang langgang. Inilah saatnya mereka menyumbangkan pemikirannya kepada bangsa. Wow! Sungguh ikhtiar yang patut dipuji setinggi langit. Membanggakan. *** Para peserta launching buku tiga jejaka muda bertepuk tangan. Suasana riuh setelah masing-masing dari ketiga jejaka itu menceritakan isi karya mereka. Puluhan eksemplar buku karya tiga jejaka itu langsung diserbu peserta setelah acara selesai. “Kita untung besar,” bisik Didi kepada Lupi dan Ipul. Lupi dan Ipul memberi jempol kepada Didi. “Bukan uang saja yang didapat, tapi kita akan berhasil mempengaruhi pembaca,”kata Didi lagi. “Elu memang jenius,” bisik Lupi sambil menghiraukan para peserta yang hadir yang sedang melakukan pembayaran buku. Luar biasa! Dalam beberapa minggu saja buku tiga jejaka itu langsung dinobatkan sebagai buku paling best seller. Baru diedarkan beberapa minggu lalu penjualannya mencapai tiga puluh ribu eksemplar mengalahkan beberapa buku yang sudah dulu dianggap best seller. Meskipun demikian para pembaca buku masih memburu buku tiga jejaka itu. Penerbit mencetak kembali dengan edisi khusus yang lebih mewah dan wah dari edisi pertama. Pula penerbit mencantumkan komentar-komentar penting dari tokoh penting dan terkenal di negeri ini. Edisi kedua buku ini yang dicetak sebanyak sepuluh ribu eksemplar laris manis dalam beberapa minggu juga. Para pembaca yang kehabisan buku, memprotes penerbit yang tidak segera mencetak kembali buku tiga jejaka itu. Penerbit kembali mencetak buku itu, dan seperti yang dapat diprediksi oleh pengamat buku, buku tiga jejaka muda itu kembali terjual habis. Sampai berbulan-bulan kemudian cetakan buku itu sudah dicetak lebih dari seratus kali. Menakjubkan! Mengagumkan! Karena seperti diketahui industri buku sedang mengalami kelesuan tapi buku ketiga jejaka itu seperti menjadi pemecah kebuntuan. Sungguh buku baru dengan penulis pemula itu mencetak rekor sejarah penjualan dalam industri buku Indonesia. Karena itu ketiganya digelari sebagai penulis pencetak rekor sejarah. Kekayaan Didi, Lupi, dan Ipul semakin bertambah. Para penggemar mereka pun semakin tersebar di mana-mana. Tidak hanya menggemari, mereka bahkan menjadi pengikut ketiga jejaka muda itu dengan menamai Jejakers. Lebih jauh lagi Jejakers ini membentuk kepengurusan dari pusat hingga daerah dengan diketuai secara nasional oleh Jejaker yang berasal di Jakarta. Hebatnya anggota Jejakers tidak hanya diikuti oleh mahasiswa tapi pemuda dari beberapa profesi bahkan para pemuda jalanan sampai pengangguran. Belum lama berdiri, anggota Jejakers sudah mencapai ratusan ribuan di seluruh negeri. Jejakers menjadi komunitas pertama di Indonesia yang struktur kepengurusannya rapi dan sistematis. Beberapa kalangan media pun mendaulat mereka sebagai komunitas visioner pertama di Indonesia dengan anggota terbanyak. Sebagai dedengkot Jejakers Didi, Lupi, dan Ipul mengatur jadwal-jadwal pertemuan atau kegiatan untuk komunitas. Setiap seminggu sekali secara bergantian mereka mengadakan diskusi kepemudaan dan bisnis dengan ketiga jejaka muda itu sebagai pembicara utama sesuai kepengurusan daerah masing-masing secara bergantian. Minggu sekarang tiga jejaka muda itu mengisi diskusi di Jakarta, minggu depan mereka akan berpindah tempat lagi. Namun secara nasional setiap dua bulan sekali komunitas mengadakan seminar dan pelatihan bisnis gratis yang digelar di Stadion Gelora Bung karno Jakarta dengan trainer ternama. Biaya acara itu meskipun gratis tapi tidak dikeluarkan oleh Didi, Lupi, dan Ipul tapi dari sponsor yang bersedia menanggungnya dengan timbal balik yang menguntungkan. Pihak sponsor akan mendapat nama dan prestise, juga mereka akan merekrut anggota komunitas untuk menjadi pekerja di perusahaan mereka. Great! Komunitas ini sungguh memiliki manfaat yang berharga bagi pembangunan bagsa. Karena itu lagi-lagi komunitas ini didapuk sebagai komunitas paling menjanjikan di Indonesia. Dan sebagai teladan, Didi, Lupi, dan Ipul mendapat penghargaan sebagai Great Young Award dari pemerintah. Nama mereka semakin melambung di langit. #Tigabiangkerok “Jejakers harus diluruskan. Mereka sangat berbahaya bagi mental negeri ini!” teriak seorang kordinator aksi di depan gedung parlemen berapi-api dengan keringat yang bercucur membasahi tubuhnya, menembus pakaiannya. Mereka berasal dari aktivis mahasiswa yang kritis soal pembangunan mental pemuda Indonesia. Para aktivis yang menamai diri sebagai Peduli Mental Pemuda Indonesia yang disingkat PMPI melihat gelagat yang menyimpang dari corak pemikiran Jejakers. Betapa tidak dalam sebuah pertemuan rutin komunitas itu selalu menggaungkan diktum : uang bukan segalanya, tapi segalanya memakai uang! Namun sesungguhnya menurut aktivis itu semua bermula dari buku ketiga jejaka yang laku keras itu. Karena secara keseluruhan isi buku itu menguraikan pemikiran yang selalu bertumpu soal urgensi materi tapi para pembaca mudah terbius sehingga pemikiran mereka mudah dipengaruhi. Aksi demonstrasi itu tidak terlalu mengundang perhatian karena sifatnya yang spontan dan berjumlah sedikit. Didi, Lupi, dan Ipul tidak menanggapi aksi itu dengan serius. Terlebih pemerintah yang sedang sibuk mengurusi negeri ini. Katanya begitu sih!” Namun beberapa minggu kemudian di Jakarta terjadi aksi besar-besaran menentang Jejakers agar dibubarkan karena berbahaya. Mereka meneriaki Didi, Lupi, dan Ipul sebagai biang keladi semua ini. Aksi ini disusul oleh aktivis mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi di berbagai daerah. Setiap aksi itu bersuara sama: menuntut agar Jejakers diluruskan kalau perlu dibubarkan. Selain pemikiran menyimpang sebagai aksi mereka, beberapa dampak dari pemikiran Jejakaers lah yang mendapat perhatian palin serius. Dampak pertama adalah para pemuda sudah mementingkan materi ketimbang ilmu dan pengetahuan. Kedua, para pemuda sudah tidak peduli lagi dengan dunia pendidikan. Mereka lebih tertarik mencari uang. Ketiga, para mahasiswa sudah menyatakan diri keluar dari kampus hanya untuk mencari kekayaan. Kampus bagi mereka membosankan karena terlalu mengajarkan argumentasi dan referensi keilmuan tanpa mementingkan pencarian kekayaan. Parahnya hampir 30 % mahasiswa aktif meyatakan keluar dari kampus dan memutuskan menjadi pencari kekayaan sejati. Dan dampak terakhir, Jejakers sudah mematikan pikiran dan hati para pemuda karena menjejali mereka dengan doktrin materialistis. Seluruh pendemo meminta agar pemerintah segera menindaklanjuti Jejaker. “Jejakers sudah menghianati para pendiri bangsa ini!” “Mereka harus dikembalikan kepada ajaran yang benar. Mereka telah melupakan agama!” “Jejakers sama bahayanya dengan narkoba!” “Negara, khususnya pemuda harus diselamatkan dari mereka!” “Mereka lebih berbahaya dari terorisme!’ “Mereka adalah virus!” “Mereka adalah Isme!” “Indonesia Darurat Jejakers?” Begitulah komentar dari para tokoh penting negeri ini yang dulu memang kritis terhadap buku karya ketiga jejaka muda itu. Apalagi mereka merasa resah ketika para pengikut ketiga jejaka muda itu membentuk Jejakers. Kekhawatiran yang diresahkan terjadi sudah. Para pemuda kadung gandrung dengan pemikiran yang disebarkan oleh Didi, Lupi, dan Ipul. Tapi pada waktu itu para tokoh kritis ini tidak bisa berbuat apa-apa setelah pemerintah tetap mengapresiasi ketiga jejaka ini terlebih karena mereka sudah membantu dalam mengurangi jumlah pengangguran negara berkat karya-karya mereka. Tapi apa yang akan dilakukan pemerintah kini? Apalagi kini televisi dan surat kabar sudah memojokan mereka. “Walaupun berbahaya, terlalu berlebihan menstigma Jejakers sebagai aliran paling berbahaya di negeri kita. Bagaimanapun komunitas itu sudah memberi masukan bagi pembangunan bangsa.” “Kita harus arif dan bijaksana memaknai kasus ini.” “Mungkin mereka salah, tapi tidak dibenarkan menghakimi mereka sesat.” “Pemerintah harus bertindak tapi harus dengan pertimbangan yang matang.” “Biarkan saja. Ini bagian dari kegelisahan pemuda yang terhimpun dalam Jejakers. Biarkan mereka menentukan masa depannya. Kita sebagai orang tua hanya bisa mengawasi dan menasehati. Yang penting biarkan pemuda maju!” Begitu pula para tokoh yang masih menghargai kontribusi dan karya dari Jejakers berikut ketiga jejaka muda itu sebagai panutan. Sehingga ada nada sumbang dari pengkritik Jejakers. “Kalian para tokoh negeri ini dibayar berapa sama Jejakers?” umpat mereka. Di hari berikutnya aksi demonstrasi semakin memuncak. Serempak di seluruh daerah terjadi aksi yang lebih besar lagi. Aksi ini diinisiasi oleh civitas akademika, para pendidik, para orang tua, dan lainnya. “Kalau pemerintah tidak segera bertindak, kami rakyat akan membubarkan mereka,” kata salah seorang kordinator aksi denga tangan yang menunjuk-nunjuk poster Jejakers. “Bakar saja mereka. Bakar hidup-hidup!” umpat salah seorang demonstran. “Hajar mereka,” teriak seorang demonstran. “Ganyang mereka!” “Setrika Mereka!” Beberapa menit kemudian poster Jejakers dan foto Didi, Lupi, dan Ipul diinjak-injak dan dirobek-robek. Televisi nasional hingga mancanegara heboh menyangkan berita menarik ini. Malahan Jejakers menjadi berita utama di mana-mana. Indonesia darurat Jejakers. Hebat memang! Ini karena ketiga jejaka muda ambisius itu. Mirisnya wajah ketiga jejaka itu yang sering ditayangkan. Lebih parah media membuat tagline: Siapakah sebenarnya ketiga jejaka muda itu? Lebih cepat dari kilat, di media sosial nama mereka menjadi trending topics dengan hastag: #Tigabiangkerok Sedang di lain pemandangan, yakni di rumah para biang keladi kerunyaman ini, ketiganya asyik melihat berita utama yang terjadi. Mata mereka lurus ke monitor televisi hampir tanpa berkedip. Keringat mulai muncul pelan-pelan di dahi mereka. “Kita menjadi semakin terkenal,” kata Lupi, lesu. Ipul mengusap rambutnya yang kusut. “Seluruh Indonesia sudah mencap kita sebagai orang paling berbahaya di dunia. Dan...” “Dan apa?” Didi memotong. “Sekampung gue bakal tahu kalau gue ini jahat. Bayangkan wajah kita tampil di televisi bukan lagi sebagai pahlawan tapi biang kerok,” kata Ipul dengan terbata-bata. Wajahnya merona lusuh. “Gue enggak nyangka kemarin kita dielu-elukan, sekarang malah jadi musuh publik,” tambah Lupi menggeleng-gelengkan kepala. “Kalian takut?” Didi sedikit menghardik. Lupi dan Ipul langsung menatap Didi. Mulanya pandangan mereka datar, tapi beberapa menit kemudian... Didi sudah merasakan kejanggalan dengan tatapan berarti mereka.”Jadi kalian?” Rasa serba salah mengundak jejaka Betawi dan Inderamayu itu. Tatapan mereka penuh kemarahan kepada Didi. “Semua karena, elu, Di,” mungkin kata hati mereka begitu jika diverbalkan. Didi menurunkan emosinya. “Ya biar gue yang menghadapi semua ini,” katanya dengan tulus. Tanpa ada kehendak menyindir kedua sahabatnya. Televisi masih memberitakan kebusukan mereka tanpa henti-henti ditambah beberapa tayangan yang menampilakna beberapa kampus yang hampir ditinggalkan mahasiswanya karena pengaruh Jejakers. Tapi ketiga biang kerok masih mendingin. Dalam hati mereka berkecamuk menyalahkan masing-masing. Didi yang bersiap bertanggung jawab atas semua kekacauan ini tetap merasa kecewa dengan kedua sahabatnya itu yang memojokan dirinya. Di lain sisi Lupi dan Ipul merasakan kegeraman dengan ide Didi yang berisiko. Mengapa mereka dulu tidak mencegahnya sekuat mungkin? Sudah terlambat. Tapi keduanya sadar bahwa mereka memulai semuanya dengan bersama. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. “Gue yang akan maju menghadapi ini, “kata Didi, lagi. Dia mulai berdiri. Lupi dan Ipul menekukan kepala mereka. Ponsel Didi berdering. “Salam, dengan Mas Didi?” “Benar.” “Kami dari kementrian pemuda dan olahraga. Pak Menteri meminta Anda dan kedua sahabat Anda mengundang Anda datang ke kantor.” “Soal?” tanya Didi berlagak tidak tahu. “Soal Jejakers,” kata staf kemendikbud itu singkat. Didi hendak menuju garasi mobil tanpa memedulikan Lupi dan Ipul lagi. Dia melangkah gontai. “Gue ikut, kawan,” kata Lupi. Didi mempersilakan, tapi senyumnya belum mengulur. “Ok. Gue juga ikut,” kata Ipul. “Ya,” jawab Didi pelan. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Didi menyetir tanpa menoleh ke arah kedua temannya. Sekalipun mereka ikut, Didi masih merasa mangkel dengan Lupi dan Ipul. Dia menyadari kesalahannya tapi mereka harus terbuka juga. Ini urusan bersama. “Maafin gue, Di,” kata Ipul. “Kita hadapi masalah ini bersama-sama,” Lupi meneruskan. Didi menjawab, “kita harus menyiapkan jawaban sesungguhnya. Gue yang akan menjelaskannya.” Lupi dan Ipul berpasrah. Sesampainya di kantor kementrian, ketiga jejaka itu disambut biasa-biasa saja. Mungkin tidak disambut tapi dibiarkan seperti orang biasa pada umumnya. Suasana ini berbeda dengan beberapa waktu lalu di mana mereka begitu diperlakukan khusus oleh pihak kementrian. Mereka menghadap pak menteri dengan posisi berlawanan. Seperti duduk seorang interogator yang bertanya kepada tersangka. “Jadi itu benar?” tanya Pak Menteri. “Ya, benar pak. Semua ini saya yang mengonsep. Saya yang memiliki gagasan untuk mempengaruhi kaum muda tentang pentingnya materi ketimbang pendidikan. Sayalah yang menjerumuskan. Lupi dan Ipul hanya mengikuti saya. Mereka sebenarnya tidak setuju dengan saya. Tapi karena mereka sahabat yang baik, maka tidak ada pilihan. Lupi dan Ipul sebenarnya sudah cukup puas dengan kesuksesan yang sudah kami raih. Tapi saya pengen lebih dari itu. Saya ingin mengubah dunia. Mungkin saya terlalu bombastis,” papar Didi. Pak menteri manggut-manggut. “Benar kalian sudah meninggalkan kuliah?” Pak menteri bertanya lagi. “Benar,” kata Didi. “Kami sudah berikrar untuk meninggalkan kuliah untuk fokus menjadi pemuda kaya. Tapi salahnya saya yang menyebarkan soal tidak pentingnya pendidikan ketimbang mencari kekayaan. Saya yang bertanggung jawab atas semua itu.” Pak Menteri menyimak dengan penuh perhatian sambil menopang dagunya dengan tangannya yang masih terlihat segar meskipun dirinya baru saja menghadiri acara di luar negeri. Pak Menteri ini memang dikenal sebagai pribadi bijak, progresif, terbuka, dan peduli kepada masa depan pemuda. Sebelum kasus ini, beliau tidak henti-hentinya menyemangati ketiga jejaka muda itu untuk terus meneruskan studi meskipun sudah berhasil secara finansial. Dia sangat kecewa dengan kejadian seperti ini. Tapi Pak Menteri mencoba bersikap tenang. Atas perintah Presiden, Pak Menteri diminta untuk mengadakan konferensi pers terkait kasus Jejakers. Ketiga jejaka muda itu juga harus mengeluarkan pernyataan. Mereka dihadirkan bersama. Ratusan wartawan baik dari dalam dan luar negeri hadir. Polisi dan TNI disiagakan untuk menjaga keamanan karena ratusan aktivis juga diundang untuk menyimak dan meminta penjelasan Jejakers melalui ketiga jejaka itu. Jumlah mereka yang hadir melampau luasnya gedung tersebut. Sehingga, beberapa dari mereka harus menghadiri konferensi ini dari luar gedung. Bahkan beberapa stasiun televisi menyiarkan khusus konferensi ini dengan mengundang komentator dari pakar pendidikan, pakar bisnis, dan pemerhati kepemudaan. Syukur! Acara yang mulanya menegangkan berjalan lancar. Ini karena upaya Pak menteri yang lihai mencairkan suasana. Pak Menteri memberi penjelasan bahwa apa yang dilakukan Jejakers khususnya melalui ketiga jejaka itu harus diapresiasi tapi tidak tepat dalam metode dan strategi. Tersebab selera humor Pak Menteri yang khas dengan mengatakan bahwa ketiga jejaka muda itu seperti suami yang memiliki dua isteri cantik. Suami itu dimisalkan sebagai Didi dan kedua isteri itu diibaratkan sebagai Lupi dan Ipul. Para peserta konferensi tertawa. Bahkan ada wartawan secara berkelakar bertanya mengapa Pak Menteri mentamsilkam mereka sebagai suami isteri. Lucunya pertanyaan seperti itu kembali mengundang tawa hadirin tidak terkecuali ketiga jejaka muda itu. Tapi suasana mulai hening kembali ketika ketiga jejaka itu memberikan penjelasan. Raut wajah Didi, Lupi, dan Ipul sedikit menegang. Sebenarnya Didi yang paling merasakan ketegangan ini karena dia yang akan menjadi perwakilan sebagai pembicara. Didi menghela nafas tenang. Ini dia sadari bukanlah forum seminar sebagaimana dia sering menjadi pembicara. Dalam seminar itu suasana hangat, tenang, dan cair jelas terasa sampai nadinya. Ini bukanlah ceramah umum sebagaimana sering dia sampaikan di acara-acara kepemudaan. Ini seperti penghakiman publik. Sidang pengadilan untuk dirinya, Lupu, dan Ipul. “Salam kepada semua. Semoga kita selalu menjadi pribadi-pribadi yang senantiasa menjunjung tinggi toleransi dan saling menghargai, “ Didi membuka dengan tenang. “Terkait peristiwa yang ramai mengundang riuh masyarakat sampai kepada hujatan ini memang kamilah sebagai biang keladi. Khususnya saya yang terlampau semangat. Niatnya ingin sekali memberi perubahan untuk bangsa ini, utamanya bagi kaum muda tapi harus kami akui seperti kata Pak Menteri metode dan strategi yang kami gunakan salah. Kalau diibaratkan Jalan menuju Surga adalah ibadah di masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya sesuai yang ditetapkan agama masing-masing tapi kami malah ibadah sesuka hati.” Para hadirin termasuk wartawan khidmat mendengarkan penjelasan Didi yang retoris tapi bernuansa ketulusan yang menyesap dalam ruangan di kementrian pemuda dan olahraga itu. Sesekali mereka manggut-manggut. “Sesungguhnya tak ada niat dari kami merusak mental para generasi bangsa. Keinginan terbesar kami adalah menularkan semangat kepemudaan dan kewirausahaan agar mereka mandiri secara ekonomi. Kami tidak ingin melihat pemuda hidup di jalanan tanpa tujuan. Kami ingin melihat mereka maju. Kami tidak ingin melihat mahasiswa gusar dengan masalah finansial karena biaya pendidikan yang terlalu jauh untuk dijangkau. Kami ingin melihat mereka bisa membayar kostan tepat waktu, sehari makan tiga kali, seminggu sekali mereka bisa membeli buku-buku akademik atau buku kesukaan mereka tanpa harus meminta uang kepada orang tua. Kami ingin melihat pemuda-pemuda Indonesia sejahtera secara ekonomi.” Penjelasan Didi yang sistematis dan nyaris lembut tapi mengharukan sedikit menyentuh hati hadirin. Beberapa aktifis yang menghujat ketiga jejaka itu dalam aksi demonstrasi bungkam. Mungkin dalam hatinya berbicara, “rupanya penyebar virus ini hatinya baik juga!” Didi mengakhiri, “dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas pengertiannya. Dan kami ingin mohon maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat Indonesia atas insiden yang tak diduga ini. Semoga kita mendapat petunjuk-Nya. Amien.” Konfersensi pers selesai setelah Pak Menteri dan Ketiga jejaka muda itu menjawab semua pertanyaan wartawan. Namun terdapat pertanyaan yang memungkinkan ketiga jejaka muda itu diseret ke jalur hukum karena dampak kerugian yang sulit diperbaiki : Mental. “Tak ada jalur hukum. Karena mereka—ketiga jejaka muda itu akan menerima konsekuensi,” jelas Pak Mentri itu. Apa konsekuensinya? Entahlah tapi yang jelas ketiga jejaka muda itu sudah meresahkan ketenangan publik. Bertiga kembali ke rumah mereka dengan tenang. Kali ini mereka melewati kampus yang sudah lama ditinggalkan. Gedung Fakultas Ilmu Politik yang berdampingan dengan Fakultas Psikologi terlihat gagah. Kegagahan gedung yang sudah tak mereka langkahi menegaskan kemapanan sebuah ilmu yang mengendapkan kebodohan yang melintasi pikiran para generasi bangsa. Ipul, melihat gedung itu, masih ingat ketika dia pernah bertanya kepada dosen tentang politik yang dianggap bidang paling jahat. Ketika itu dirinya masih menjadi mahasiswa baru. Lupi mengenang bagaimana dirinya sekali pertama kali membaca buku pengantar ilmu politik di taman fakultas yang adem. Didi, hmmm, sang propogandis, mengenang ketika dosen filsafat politik menyarankan dirinya untuk lebih seius mendalamai teori-teori pilitik klasik sebelum mendalami teori politik kontemporer. Ah gila memang! Mengapa ingatan-ingatan di kampus dulu berserakan memenuhi pikiran mereka. Mungkin terbersit dalam benak mereka untuk menjadi mahasiswa. Mahasiswa senior. Ah bukan senior tapi tua mengingat teman-teman sekelasnya sedang mengerjakan tugas akhir. Uh! Ini artinya mereka sudah meninggalkan kampus hampir tiga tahun. Harusnya mereka kini memasuki tingkat akhir. Kalau masuk ke kelas kembali, mau tak mau mereka harus duduk satu kelas dengan adik-adik kelas mereka. Atau mahasiswa baru. Lalu, mereka akan dipanggil oleh kakak atau abang oleh teman-teman kelas yang baru itu. Entahlah! Mereka boleh jadi hanya bernostalgia. Atau bernostalgila. Yang menjadi pikiran mereka kini adalah bagaimana memulihkan nama baik mereka. Menenangkan diri selama mungkin sampai semuanya berjalan baik. *** Pemerintah memutuskan Jejakers untuk sementara dibekukan sampai waktu yang belum ditentukan. Mental para anggotanya dipulihkan atau direhabilitasi oleh beberapa pakar yang konsen dalam bidang psikologi, pendidikan, dan sebagainya. Sedang sangsi bagi ketiga jejaka muda adalah bahwa mereka untuk sementara waktu yang belum ditentukan juga tidak boleh tampil di publik semacam televisi, surat kabar, talk show, dan kontrak brand ambassador pula telah lepas dari kontrak mereka. Hukuman moral ini mendapat reaksi dari para pemerhati hukum yang menurutnya pemerintah terlalu berlebihan menindaklanjuti konsekuensi bagi Didi, Lupi dan Ipul. Keputusan ini merugikan aset pribadi—finansial dan perkembangan kepribadian—dari ketiga jejaka itu. Tapi pemerintah menginginkan masyarakat berjalan normal. Publik yang menghujat ketiga jejaka merasa puas karena suara mereka didengar pemerintah. Ketiga jejaka muda juga akan merasa diselamatkan oleh pemerintah dari amarah publik yang sudah tidak dibendung lagi. Inilah bagi pemerintah yang diklaim sebagai keadilan. Hmmm! Namun Didi, Lupi, dan Ipul menjalani hukuman ini dengan kepala tegak. Keputusan pemerintah berdampak pada penghasilan ketiga jejaka galau itu. Mereka harus merelakan pemasukan yang menggiurkan dari televisi, talk show, kontrak iklan dari perusahaan, dan semacamnya. Praktis mereka mengandalkan pemasukan dari bisnis ketoprak, deposito, dan investasi di bursa efek. Tapi kesialan agaknya sedang merangkul mereka sebab karena juga efek dari peristiwa ini pendapatan bisnis ketoprak mereka lumayan melesu. Setelah dikalkulasi pemasukan mereka dari bisnis ketoprak, perbulan menurun sampai tiga puluh persen dari angka biasanya. Untungnya mereka telah menyimpan uang mereka di rekening tabungan. Tabungan ini mereka pergunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dan tentu yang membuat mereka lebih frustasi lagi adalah bahwa mereka harus memikirkan kredit rumah, kredit kendaraan baru mereka yang wah, dan kredit-kredit lainnya. *** Keputusan pemerintah telah menjadikan mereka menjadi orang biasa kembali. Didi, Ipul, dan Lupi sekarang kembali membangun bisnisnya agar bangkit kembali dan fokus membayar semua tagihan kredit yang dianggit. Tidak ada lagi nongkrong di kafe berkelas. Tidak ada lagi makan di restoran mewah. Tidak ada lagi hang out ke luar negeri. Mereka harus berhemat dan pintar-pintar menggunakan uang. Semua kejadian ini justru membuat mereka merenungkan peristiwa demi peristiwa yang telah mereka lewati. Lebih jauh mereka, khususnya Lupi dan Ipul memaknai peristiwa yang sudah dilaluinya sebagai kebangkitan kembali mimpi-mimpi yang sudah ditulis dilangit Jakarta. Lupi semakin ingin mewujudkan mimpinya menjadi diplomat. Ipul tambah meyakini garis hidupnya adalah mewakafkan dalam sebuah organisasi besar yang berkaitan politik kebangsaan. Tapi semua itu harus diraih melalui jalan pendidikan. Kampus adalah pintu mereka untuk melangkah mengapit mimpi-mimpi mereka. Lalu bagaimana dengan Didi? Ah! Dia masih tidak mengerti dengan cita-cita dirinya. Menjadi ahli politik tidak lagi menjadi obsesi dalam hidupnya. Malahan dia berpikir ingin menjadi segalanya. Ingin menjadi praktisi hukum. Ingin menjadi ekonom diperhitungkan. Ingin menjadi sosiolog berpengaruh. ingin menjadi penulis terkenal. Ingin ini ingin itu. Tapi di dalam hati kecilnya, dia merasa dirinya ingin menjadi pembela kaum terpinggirkan. Bagaimana jalan untuk meraih semua itu? Didi sama sekali tidak memiliki jawaban. Apalah arti jawaban kalau dirinya sendiri selalu bertanya. “Gue mau masuk kampus lagi,” kata Ipul kepada Lupi yang tengah menikmati secangkir kopi hitam pekat dengan sedikit gula. Lupi tersenyum mendengar kejujuran hati sahabatnya itu. Dia meletakan cangkir itu di meja. “Apa yang elu pikirkan sama dengan yang gue pikirkan, Pul,” jawab Lupi. “Kita sudah terlalu lama turun ke lapangan tapi sudah lama sekali kita meninggalkan tempat kita berasal. Tempat kita mengalami pengalaman-pengalaman yang menggairahkan. Tempat itu yang mempertemukan kita. Kita harus kembali ke kampus.” Ipul memandang langit malam yang dihiasi bintang-bintang yang terang. Hidungnya menyesap aroma malam yang lebih dahulu menusuk-nusuk ke kolam rumah mereka. “Apa elu menganggap Didi sebagai penyebab semua ini?” tanya Ipul. Lupi mengangguk. “Tapi sebab dia juga kita mendapatkan pengalaman mahal ini. Kita tidak sepenuhnya menyalahkan dia. Toh ini adalah keputusan kita. Gue juga sudah membuat keputusan untuk meninggalkan kuliah demi mendapatkan kekayaan di masa muda. Ini murni keputusan gue. Didi hanya membangkitkan gairah gue,” terang Lupi yang kini sudah duduk di tepi kolam sambil kakinya memainkan air kolam. “Elu masih menyalahkan Didi sebagai biang keladi semua ini?” Ipul mendekati Lupi. Duduk di sampingnya. “Betul. Tapi setelah gue pikir-pikir dia tidak salah. Seperti kata elu, meninggalkan kuliah untuk jadi pemuda kaya adalah pilihan gue. Terus terang gue sangat marah sama dia. Gue sangat emosi sama dia. Tapi sekarang tidak lagi. Seperti kata elu juga karena kita bertemu dan terus terang hidup gue jadi lebih memiliki warna. Bayangkan dalam usia yang masih muda kita sanggup menyanggupi apa yang kita inginkan. Belum tentu pemuda sepantaran kita dapat memenuhinya. Apalagi kita pernah satu kursi bersebelahan dengan orang-orang penting. Berdiri di hadapan forum yang jumlahnya mungkin ribuan. Dan itu menambah kekayaan jiwa gue.” “Tapi kita harus ke tempat asal kita. Kampus. Karena bagaimanapun tujuan kita ada di sini adalah untuk belajar. Ini tanggung jawab kita. Apalagi orang tua gue kepingin anaknya segera menjadi sarjana,” Lupi menyambung. “Betul. Bagaimanapun pendidikan itu penting,” kata Ipul seraya mengingat bagaimana dirinya bersemangat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah membaca artikel di surat kabar yang menulis bagaimana pentingnya pendidikan. Tiba-tiba bibirnya mengulur senyum ketika dirinya meminta izin kepada orang tuanya agar diberi restu untuk menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah. Cahaya bintang di malam ini menembus ke dalam kalbunya, membuatnya bersemangat untuk kembali ke kampus. Di sela-sela Ipul yang mengingat momen-momen yang membuat hatinya terenyuh, Lupi juga mengingat-ingat ketika dirinya gagal tes masuk ke UI dan harus menghapus mimpinya melanjutkan ke STIE Perbanas. Kegagalan demi kegagalan tidak mengendurkan semangatnya untuk menjadi pakar keuangan sekalipun pada akhirnya ilmu politik menjadi masa depan cita-citanya. Dan sekalipun dirinya sudah tertinggal oleh teman-teman satua angkatannya. Tapi di mana sekarang Didi? Mengapa dia tidak ikut bergabung dengan kedua sahabatnya untuk mempercakapkan mimpi-mimpi mereka ke depan? Didi belakangan ini memang banyak merenung. Dia sengaja tidak terlalu sering bergabung degan Lupi dan Ipul karena masih merasa bersalah meskipun serumah. Meskipun Lupi dan Ipul tidak secara langsung mengatakannya sebagai penyebab semua ini. Lupi dan Ipul tidak harus mengatakannya langsung karena mereka juga menyadari ini pilihan mereka. Karena keduanya juga tidak ingin ada konflik dalam persahabatan mereka. Apalagi itu adalah konflik batin. Mereka sangat menghindari itu. Tapi mereka adalah tipe sahabat yang kadang tidak perlu mengucapkan kata maaf secara verbal. Sikap saja sudah cukup untuk memperlihatkan keharmonisan persahabatan mereka. Dan, tapi sekarang Didi sedang mendengarkan percakapan Lupi dan Ipul di balik pintu kaca ruang serba guna yang berhubungan langsung menuju kolam renang. Dadanya terasa semakin sesak. Pikirannya mengacau. Bukan karena kejujuran kedua sahabatnya yang tidak dikatakan langsung kepadanya, tapi karena dia merasa menjadi penjahat dalam persahabatan mereka. Dia merasa menjadi duri yang merugi bagi mimpi-mimpi Lupi dan Ipul. Dia juga merasa telah mematikan ketajaman hati kedua sahabanya untuk merasakan cinta kepada cewek-cewek yang mereka sukai. Benar-benar kejahatan besar yang sudah dilakukannya kepada kedua sahabatnya itu, katanya dalam hati. Tapi dia tidak perlu minta maaf. Gengsi? Tidak. Dia tidak ingin membahas kejadian yang sudah-sudah. Kini, yang harus dilakukannya adalah membiarkan masing-masing mengenali diri dan mewujudkan mimpi-mimpi yang tertunda. Didi melangkah keluar membiarkan kedua sahabatnya menikmati percakapan. Dia ingin bergabung tapi merasa akan mengganggu. Malam ini dia ingin sendirian menikmati malam dengan jalan-jalan ke sekitar komplek rumahnya. Dibiarkannya kakinya telanjang karena ingin merasakan aspal yang terkena angin malam. Tingkahnya ini seperti orang kampung saja. Memang dia orang kampung! Kaos santainya semakin terasa adem ketika angin menembus, jins gaulnya juga lebih terasa hangat karena terpaan angin. Dalam langkahnya yang santai dirinya juga mengingat perjalanan hidupnya dari kecil, ketika masih sekolah dasar, sampai terdampar di belantara Jakarta yang memang penuh dengan dinamika. Dia pun mengingat kembali bagaimana mula pertemuan dengan Lupi dan Ipul hingga sekarang menjadi sahabat kental. Hidungnya sengaja menghirup udara malam. Mendadak dia mengenang Bandung. Mengenang bagiamana dia memutuskan pindah dari kampusnya terdahulu untuk masuk UIN Jakarta. Itu memang keputusan yang sulit karena kepindahannya ini sempat ditentang oleh keluarga. Keluarga menyayangkan keputusannya karena Didi harus mengulangi studinya dari awal lagi. Dan parahnya kuliah yang barunya ini dengan enteng dia tinggalkan lebih karena hanya ingin meraih sukses finansial di masa muda. Aku telah mengecewakan semuanya, katanya dalam hati. Apakah gue harus kembali ke kampus? Tanyanya dalam hati. Ah! Mengapa mendadak dia mengingat dirinya terlambat masuk kelas karena ulah Lupi. Dia harus berhadapan dengan Bu Johan, dosen mata kuliah Pemikiran Politik Barat yang tidak menolerir keterlambatan sekalipun beberapa menit saja. Tapi itu tidak menjadi soal karena ulah Lupi dirinya dapat merasakan kehangatan sikap Linda yang menyiapkan sarapan nasi uduk. Senyum Didi mengembang bersama helaan udara malam yang menusuk-nusuk. Mungkin bila ada orang yang melihatnya senyum sendiri Didi akan dibilang sebagai pemuda yang sinting dan eror. Ah biarlah. Ah biarin. Karena dirinya mengingat kuat bagaimana Linda dengan motor otomatic-nya menawarkan tumpangan Didi yang berlari kencang untuk segera sampai ke kampus. Ketika itu Didi memohon kepada Linda agar dirinya yang menyetir tapi Linda tidak mau. Dengan berat hati dan malu Didi dibonceng Linda. Orang-orang yang melihatnya tersenyum-senyum. Didi juga membalas mereka dengan senyum tapi malu sedikit. Ah kini di mana perempuan cantik itu? Tapi pasti dia sudah melihat berita di televisi soal Didi dan kedua sahabatnya itu. Tapi pasti dia belum tahu tempat tinggal Didi sekarang. Linda aku memerlukanmu sekarang, kata Didi dalam hati kecilnya. Malam semakin pekat, Didi tetap berjalan kecil menikmati keheningan dan kesuyian yang menyeruak tapi terasa sangat nikmat. Sementara masih di kolam renang rumah mereka, Lupi dan Ipul masih asyik bercakap-cakap. Epilog “Bang, bu Johan killer ya?” “Tidak juga.” Didi menjawab pertanyaan juniornya dengan dingin. Dia sedikit risih sebab sekarang dirinya harus satu kelas dengan adik kelas yang beberapa tingkat di bawahnya. Dia harus memperbaiki nilai C untuk mata kuliah Bu Johan. “Abang?” ledek Lupi dan Ipul kompak setelah melihat pemandangan itu di lift fakultas. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Didi menahan marahnya karena dia malu dengan adik kelas yang sekarang harus satu kelasnya. “Hai abang Lupi, Abang Ipul.” Lupi dan Ipul menoleh ke arah suara itu setelah keluar dari lift. “Abang Lupi, abang Ipul kenalin aku Shinta. Semester tiga. Abang Lupi dan Abang Ipul sekarang satu kelas dengan aku di mata kuliah Politik Internasional. Entar ajarin aku yah,” kata Shinta adik kelas Lupi dan Ipul, angkatan di bawah mereka. Didi untuk mata kuliah ini memang mendapat nilai B. Sedang kedua sahabatnya itu mendapat nilai D. “Abang?” Didi balas meledek. Terkekeh. Skor menjadi 1-1, katanya kepada Lupi dan Ipul yang kikuk. “Halo Abang Tiga Jejaka muda,” pekik adik-adik mahasiswa yang melihat ketiga jejaka muda itu ketika mau masuk kelas masing-masing. Ketiga jejaka itu membalas mereka dengan berat hati tapi sangat membuat mereka malu bertubi-tubi. Sialan! Bisik mereka. Dunia masih normal karena Didi, Lupi, dan Ipul mempunyai “kemaluan” yang besar. Baguslah! Ketiganya menyaksikan berita di televisi yang seperti yang sudah-sudah dilakukan dulu ketika menjelang malam. “Wah berita bagus ni,” kata Ipul. “Mantap, “ seru Lupi. Tapi Didi malah menggelengkan kepalanya sebagai rasa tak percaya. “Sebagaimana janji elu dulu, elu harus traktir kita makan selama tiga hari dan bayar kostan tiga bulan. Karena sekarang kita ngredit rumah. Elu harus bayar kreditan rumah selama tiga bulan juga. Itu kan janji elu,” Lupi menagih janji Didi. Televisi menyiarkan berita menghebohkan karena seorang tokoh nasional yang terlibat mega korupsi. Si tokoh nasional tersebut menyusul rekannya Pak Konde yang lebih dulu menikmati hotel prodeo KPK. Semasih pertaruhan beberapa tahun lalu Didi meyakini si tokoh nasional sama sekali tidak terlibat dalam kasus mega korupsi itu. Sementara Lupi dan Ipul seratus persen meyakini tokoh nasional tersebut akan mengikuti jejak Pak Konde. Huh! Didi kalah dalam bertaruh. “Sialan!” umpat Didi. Dia marah kepada tokoh itu dan sebal harus menaggung kekalahan. Lupi dan Ipul menahan cekikikan mereka.