Senin, 30 Mei 2016

Proyek Buku Three Bachelors

#Tigabiangkerok “Jejakers harus diluruskan. Mereka sangat berbahaya bagi mental negeri ini!” teriak seorang kordinator aksi di depan gedung parlemen berapi-api dengan keringat yang bercucur membasahi tubuhnya, menembus pakaiannya. Mereka berasal dari aktivis mahasiswa yang kritis soal pembangunan mental pemuda Indonesia. Para aktivis yang menamai diri sebagai Peduli Mental Pemuda Indonesia yang disingkat PMPI melihat gelagat yang menyimpang dari corak pemikiran Jejakers. Betapa tidak dalam sebuah pertemuan rutin komunitas itu selalu menggaungkan diktum : uang bukan segalanya, tapi segalanya memakai uang! Namun sesungguhnya menurut aktivis itu semua bermula dari buku ketiga jejaka yang laku keras itu. Karena secara keseluruhan isi buku itu menguraikan pemikiran yang selalu bertumpu soal urgensi materi tapi para pembaca mudah terbius sehingga pemikiran mereka mudah dipengaruhi. Aksi demonstrasi itu tidak terlalu mengundang perhatian karena sifatnya yang spontan dan berjumlah sedikit. Didi, Lupi, dan Ipul tidak menanggapi aksi itu dengan serius. Terlebih pemerintah yang sedang sibuk mengurusi negeri ini. Katanya begitu sih!” Namun beberapa minggu kemudian di Jakarta terjadi aksi besar-besaran menentang Jejakers agar dibubarkan karena berbahaya. Mereka meneriaki Didi, Lupi, dan Ipul sebagai biang keladi semua ini. Aksi ini disusul oleh aktivis mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi di berbagai daerah. Setiap aksi itu bersuara sama: menuntut agar Jejakers diluruskan kalau perlu dibubarkan. Selain pemikiran menyimpang sebagai aksi mereka, beberapa dampak dari pemikiran Jejakaers lah yang mendapat perhatian palin serius. Dampak pertama adalah para pemuda sudah mementingkan materi ketimbang ilmu dan pengetahuan. Kedua, para pemuda sudah tidak peduli lagi dengan dunia pendidikan. Mereka lebih tertarik mencari uang. Ketiga, para mahasiswa sudah menyatakan diri keluar dari kampus hanya untuk mencari kekayaan. Kampus bagi mereka membosankan karena terlalu mengajarkan argumentasi dan referensi keilmuan tanpa mementingkan pencarian kekayaan. Parahnya hampir 30 % mahasiswa aktif meyatakan keluar dari kampus dan memutuskan menjadi pencari kekayaan sejati. Dan dampak terakhir, Jejakers sudah mematikan pikiran dan hati para pemuda karena menjejali mereka dengan doktrin materialistis. Seluruh pendemo meminta agar pemerintah segera menindaklanjuti Jejaker. “Jejakers sudah menghianati para pendiri bangsa ini!” “Mereka harus dikembalikan kepada ajaran yang benar. Mereka telah melupakan agama!” “Jejakers sama bahayanya dengan narkoba!” “Negara, khususnya pemuda harus diselamatkan dari mereka!” “Mereka lebih berbahaya dari terorisme!’ “Mereka adalah virus!” “Mereka adalah Isme!” “Indonesia Darurat Jejakers?” Begitulah komentar dari para tokoh penting negeri ini yang dulu memang kritis terhadap buku karya ketiga jejaka muda itu. Apalagi mereka merasa resah ketika para pengikut ketiga jejaka muda itu membentuk Jejakers. Kekhawatiran yang diresahkan terjadi sudah. Para pemuda kadung gandrung dengan pemikiran yang disebarkan oleh Didi, Lupi, dan Ipul. Tapi pada waktu itu para tokoh kritis ini tidak bisa berbuat apa-apa setelah pemerintah tetap mengapresiasi ketiga jejaka ini terlebih karena mereka sudah membantu dalam mengurangi jumlah pengangguran negara berkat karya-karya mereka. Tapi apa yang akan dilakukan pemerintah kini? Apalagi kini televisi dan surat kabar sudah memojokan mereka. “Walaupun berbahaya, terlalu berlebihan menstigma Jejakers sebagai aliran paling berbahaya di negeri kita. Bagaimanapun komunitas itu sudah memberi masukan bagi pembangunan bangsa.” “Kita harus arif dan bijaksana memaknai kasus ini.” “Mungkin mereka salah, tapi tidak dibenarkan menghakimi mereka sesat.” “Pemerintah harus bertindak tapi harus dengan pertimbangan yang matang.” “Biarkan saja. Ini bagian dari kegelisahan pemuda yang terhimpun dalam Jejakers. Biarkan mereka menentukan masa depannya. Kita sebagai orang tua hanya bisa mengawasi dan menasehati. Yang penting biarkan pemuda maju!” Begitu pula para tokoh yang masih menghargai kontribusi dan karya dari Jejakers berikut ketiga jejaka muda itu sebagai panutan. Sehingga ada nada sumbang dari pengkritik Jejakers. “Kalian para tokoh negeri ini dibayar berapa sama Jejakers?” umpat mereka. Di hari berikutnya aksi demonstrasi semakin memuncak. Serempak di seluruh daerah terjadi aksi yang lebih besar lagi. Aksi ini diinisiasi oleh civitas akademika, para pendidik, para orang tua, dan lainnya. “Kalau pemerintah tidak segera bertindak, kami rakyat akan membubarkan mereka,” kata salah seorang kordinator aksi denga tangan yang menunjuk-nunjuk poster Jejakers. “Bakar saja mereka. Bakar hidup-hidup!” umpat salah seorang demonstran. “Hajar mereka,” teriak seorang demonstran. “Ganyang mereka!” “Setrika Mereka!” Beberapa menit kemudian poster Jejakers dan foto Didi, Lupi, dan Ipul diinjak-injak dan dirobek-robek. Televisi nasional hingga mancanegara heboh menyangkan berita menarik ini. Malahan Jejakers menjadi berita utama di mana-mana. Indonesia darurat Jejakers. Hebat memang! Ini karena ketiga jejaka muda ambisius itu. Mirisnya wajah ketiga jejaka itu yang sering ditayangkan. Lebih parah media membuat tagline: Siapakah sebenarnya ketiga jejaka muda itu? Lebih cepat dari kilat, di media sosial nama mereka menjadi trending topics dengan hastag: #Tigabiangkerok Sedang di lain pemandangan, yakni di rumah para biang keladi kerunyaman ini, ketiganya asyik melihat berita utama yang terjadi. Mata mereka lurus ke monitor televisi hampir tanpa berkedip. Keringat mulai muncul pelan-pelan di dahi mereka. “Kita menjadi semakin terkenal,” kata Lupi, lesu. Ipul mengusap rambutnya yang kusut. “Seluruh Indonesia sudah mencap kita sebagai orang paling berbahaya di dunia. Dan...” “Dan apa?” Didi memotong. “Sekampung gue bakal tahu kalau gue ini jahat. Bayangkan wajah kita tampil di televisi bukan lagi sebagai pahlawan tapi biang kerok,” kata Ipul dengan terbata-bata. Wajahnya merona lusuh. “Gue enggak nyangka kemarin kita dielu-elukan, sekarang malah jadi musuh publik,” tambah Lupi menggeleng-gelengkan kepala. “Kalian takut?” Didi sedikit menghardik. Lupi dan Ipul langsung menatap Didi. Mulanya pandangan mereka datar, tapi beberapa menit kemudian... Didi sudah merasakan kejanggalan dengan tatapan berarti mereka.”Jadi kalian?” Rasa serba salah mengundak jejaka Betawi dan Inderamayu itu. Tatapan mereka penuh kemarahan kepada Didi. “Semua karena, elu, Di,” mungkin kata hati mereka begitu jika diverbalkan. Didi menurunkan emosinya. “Ya biar gue yang menghadapi semua ini,” katanya dengan tulus. Tanpa ada kehendak menyindir kedua sahabatnya. Televisi masih memberitakan kebusukan mereka tanpa henti-henti ditambah beberapa tayangan yang menampilakna beberapa kampus yang hampir ditinggalkan mahasiswanya karena pengaruh Jejakers. Tapi ketiga biang kerok masih mendingin. Dalam hati mereka berkecamuk menyalahkan masing-masing. Didi yang bersiap bertanggung jawab atas semua kekacauan ini tetap merasa kecewa dengan kedua sahabatnya itu yang memojokan dirinya. Di lain sisi Lupi dan Ipul merasakan kegeraman dengan ide Didi yang berisiko. Mengapa mereka dulu tidak mencegahnya sekuat mungkin? Sudah terlambat. Tapi keduanya sadar bahwa mereka memulai semuanya dengan bersama. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. “Gue yang akan maju menghadapi ini, “kata Didi, lagi. Dia mulai berdiri. Lupi dan Ipul menekukan kepala mereka. Ponsel Didi berdering. “Salam, dengan Mas Didi?” “Benar.” “Kami dari kementrian pemuda dan olahraga. Pak Menteri meminta Anda dan kedua sahabat Anda mengundang Anda datang ke kantor.” “Soal?” tanya Didi berlagak tidak tahu. “Soal Jejakers,” kata staf kemendikbud itu singkat. Didi hendak menuju garasi mobil tanpa memedulikan Lupi dan Ipul lagi. Dia melangkah gontai. “Gue ikut, kawan,” kata Lupi. Didi mempersilakan, tapi senyumnya belum mengulur. “Ok. Gue juga ikut,” kata Ipul. “Ya,” jawab Didi pelan. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Didi menyetir tanpa menoleh ke arah kedua temannya. Sekalipun mereka ikut, Didi masih merasa mangkel dengan Lupi dan Ipul. Dia menyadari kesalahannya tapi mereka harus terbuka juga. Ini urusan bersama. “Maafin gue, Di,” kata Ipul. “Kita hadapi masalah ini bersama-sama,” Lupi meneruskan. Didi menjawab, “kita harus menyiapkan jawaban sesungguhnya. Gue yang akan menjelaskannya.” Lupi dan Ipul berpasrah. Sesampainya di kantor kementrian, ketiga jejaka itu disambut biasa-biasa saja. Mungkin tidak disambut tapi dibiarkan seperti orang biasa pada umumnya. Suasana ini berbeda dengan beberapa waktu lalu di mana mereka begitu diperlakukan khusus oleh pihak kementrian. Mereka menghadap pak menteri dengan posisi berlawanan. Seperti duduk seorang interogator yang bertanya kepada tersangka. “Jadi itu benar?” tanya Pak Menteri. “Ya, benar pak. Semua ini saya yang mengonsep. Saya yang memiliki gagasan untuk mempengaruhi kaum muda tentang pentingnya materi ketimbang pendidikan. Sayalah yang menjerumuskan. Lupi dan Ipul hanya mengikuti saya. Mereka sebenarnya tidak setuju dengan saya. Tapi karena mereka sahabat yang baik, maka tidak ada pilihan. Lupi dan Ipul sebenarnya sudah cukup puas dengan kesuksesan yang sudah kami raih. Tapi saya pengen lebih dari itu. Saya ingin mengubah dunia. Mungkin saya terlalu bombastis,” papar Didi. Pak menteri manggut-manggut. “Benar kalian sudah meninggalkan kuliah?” Pak menteri bertanya lagi. “Benar,” kata Didi. “Kami sudah berikrar untuk meninggalkan kuliah untuk fokus menjadi pemuda kaya. Tapi salahnya saya yang menyebarkan soal tidak pentingnya pendidikan ketimbang mencari kekayaan. Saya yang bertanggung jawab atas semua itu.” Pak Menteri menyimak dengan penuh perhatian sambil menopang dagunya dengan tangannya yang masih terlihat segar meskipun dirinya baru saja menghadiri acara di luar negeri. Pak Menteri ini memang dikenal sebagai pribadi bijak, progresif, terbuka, dan peduli kepada masa depan pemuda. Sebelum kasus ini, beliau tidak henti-hentinya menyemangati ketiga jejaka muda itu untuk terus meneruskan studi meskipun sudah berhasil secara finansial. Dia sangat kecewa dengan kejadian seperti ini. Tapi Pak Menteri mencoba bersikap tenang. Atas perintah Presiden, Pak Menteri diminta untuk mengadakan konferensi pers terkait kasus Jejakers. Ketiga jejaka muda itu juga harus mengeluarkan pernyataan. Mereka dihadirkan bersama. Ratusan wartawan baik dari dalam dan luar negeri hadir. Polisi dan TNI disiagakan untuk menjaga keamanan karena ratusan aktivis juga diundang untuk menyimak dan meminta penjelasan Jejakers melalui ketiga jejaka itu. Jumlah mereka yang hadir melampau luasnya gedung tersebut. Sehingga, beberapa dari mereka harus menghadiri konferensi ini dari luar gedung. Bahkan beberapa stasiun televisi menyiarkan khusus konferensi ini dengan mengundang komentator dari pakar pendidikan, pakar bisnis, dan pemerhati kepemudaan. Syukur! Acara yang mulanya menegangkan berjalan lancar. Ini karena upaya Pak menteri yang lihai mencairkan suasana. Pak Menteri memberi penjelasan bahwa apa yang dilakukan Jejakers khususnya melalui ketiga jejaka itu harus diapresiasi tapi tidak tepat dalam metode dan strategi. Tersebab selera humor Pak Menteri yang khas dengan mengatakan bahwa ketiga jejaka muda itu seperti suami yang memiliki dua isteri cantik. Suami itu dimisalkan sebagai Didi dan kedua isteri itu diibaratkan sebagai Lupi dan Ipul. Para peserta konferensi tertawa. Bahkan ada wartawan secara berkelakar bertanya mengapa Pak Menteri mentamsilkam mereka sebagai suami isteri. Lucunya pertanyaan seperti itu kembali mengundang tawa hadirin tidak terkecuali ketiga jejaka muda itu. Tapi suasana mulai hening kembali ketika ketiga jejaka itu memberikan penjelasan. Raut wajah Didi, Lupi, dan Ipul sedikit menegang. Sebenarnya Didi yang paling merasakan ketegangan ini karena dia yang akan menjadi perwakilan sebagai pembicara. Didi menghela nafas tenang. Ini dia sadari bukanlah forum seminar sebagaimana dia sering menjadi pembicara. Dalam seminar itu suasana hangat, tenang, dan cair jelas terasa sampai nadinya. Ini bukanlah ceramah umum sebagaimana sering dia sampaikan di acara-acara kepemudaan. Ini seperti penghakiman publik. Sidang pengadilan untuk dirinya, Lupu, dan Ipul. “Salam kepada semua. Semoga kita selalu menjadi pribadi-pribadi yang senantiasa menjunjung tinggi toleransi dan saling menghargai, “ Didi membuka dengan tenang. “Terkait peristiwa yang ramai mengundang riuh masyarakat sampai kepada hujatan ini memang kamilah sebagai biang keladi. Khususnya saya yang terlampau semangat. Niatnya ingin sekali memberi perubahan untuk bangsa ini, utamanya bagi kaum muda tapi harus kami akui seperti kata Pak Menteri metode dan strategi yang kami gunakan salah. Kalau diibaratkan Jalan menuju Surga adalah ibadah di masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya sesuai yang ditetapkan agama masing-masing tapi kami malah ibadah sesuka hati.” Para hadirin termasuk wartawan khidmat mendengarkan penjelasan Didi yang retoris tapi bernuansa ketulusan yang menyesap dalam ruangan di kementrian pemuda dan olahraga itu. Sesekali mereka manggut-manggut. “Sesungguhnya tak ada niat dari kami merusak mental para generasi bangsa. Keinginan terbesar kami adalah menularkan semangat kepemudaan dan kewirausahaan agar mereka mandiri secara ekonomi. Kami tidak ingin melihat pemuda hidup di jalanan tanpa tujuan. Kami ingin melihat mereka maju. Kami tidak ingin melihat mahasiswa gusar dengan masalah finansial karena biaya pendidikan yang terlalu jauh untuk dijangkau. Kami ingin melihat mereka bisa membayar kostan tepat waktu, sehari makan tiga kali, seminggu sekali mereka bisa membeli buku-buku akademik atau buku kesukaan mereka tanpa harus meminta uang kepada orang tua. Kami ingin melihat pemuda-pemuda Indonesia sejahtera secara ekonomi.” Penjelasan Didi yang sistematis dan nyaris lembut tapi mengharukan sedikit menyentuh hati hadirin. Beberapa aktifis yang menghujat ketiga jejaka itu dalam aksi demonstrasi bungkam. Mungkin dalam hatinya berbicara, “rupanya penyebar virus ini hatinya baik juga!” Didi mengakhiri, “dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas pengertiannya. Dan kami ingin mohon maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat Indonesia atas insiden yang tak diduga ini. Semoga kita mendapat petunjuk-Nya. Amien.” Konfersensi pers selesai setelah Pak Menteri dan Ketiga jejaka muda itu menjawab semua pertanyaan wartawan. Namun terdapat pertanyaan yang memungkinkan ketiga jejaka muda itu diseret ke jalur hukum karena dampak kerugian yang sulit diperbaiki : Mental. “Tak ada jalur hukum. Karena mereka—ketiga jejaka muda itu akan menerima konsekuensi,” jelas Pak Mentri itu. Apa konsekuensinya? Entahlah tapi yang jelas ketiga jejaka muda itu sudah meresahkan ketenangan publik. Bertiga kembali ke rumah mereka dengan tenang. Kali ini mereka melewati kampus yang sudah lama ditinggalkan. Gedung Fakultas Ilmu Politik yang berdampingan dengan Fakultas Psikologi terlihat gagah. Kegagahan gedung yang sudah tak mereka langkahi menegaskan kemapanan sebuah ilmu yang mengendapkan kebodohan yang melintasi pikiran para generasi bangsa. Ipul, melihat gedung itu, masih ingat ketika dia pernah bertanya kepada dosen tentang politik yang dianggap bidang paling jahat. Ketika itu dirinya masih menjadi mahasiswa baru. Lupi mengenang bagaimana dirinya sekali pertama kali membaca buku pengantar ilmu politik di taman fakultas yang adem. Didi, hmmm, sang propogandis, mengenang ketika dosen filsafat politik menyarankan dirinya untuk lebih seius mendalamai teori-teori pilitik klasik sebelum mendalami teori politik kontemporer. Ah gila memang! Mengapa ingatan-ingatan di kampus dulu berserakan memenuhi pikiran mereka. Mungkin terbersit dalam benak mereka untuk menjadi mahasiswa. Mahasiswa senior. Ah bukan senior tapi tua mengingat teman-teman sekelasnya sedang mengerjakan tugas akhir. Uh! Ini artinya mereka sudah meninggalkan kampus hampir tiga tahun. Harusnya mereka kini memasuki tingkat akhir. Kalau masuk ke kelas kembali, mau tak mau mereka harus duduk satu kelas dengan adik-adik kelas mereka. Atau mahasiswa baru. Lalu, mereka akan dipanggil oleh kakak atau abang oleh teman-teman kelas yang baru itu. Entahlah! Mereka boleh jadi hanya bernostalgia. Atau bernostalgila. Yang menjadi pikiran mereka kini adalah bagaimana memulihkan nama baik mereka. Menenangkan diri selama mungkin sampai semuanya berjalan baik. *** Pemerintah memutuskan Jejakers untuk sementara dibekukan sampai waktu yang belum ditentukan. Mental para anggotanya dipulihkan atau direhabilitasi oleh beberapa pakar yang konsen dalam bidang psikologi, pendidikan, dan sebagainya. Sedang sangsi bagi ketiga jejaka muda adalah bahwa mereka untuk sementara waktu yang belum ditentukan juga tidak boleh tampil di publik semacam televisi, surat kabar, talk show, dan kontrak brand ambassador pula telah lepas dari kontrak mereka. Hukuman moral ini mendapat reaksi dari para pemerhati hukum yang menurutnya pemerintah terlalu berlebihan menindaklanjuti konsekuensi bagi Didi, Lupi dan Ipul. Keputusan ini merugikan aset pribadi—finansial dan perkembangan kepribadian—dari ketiga jejaka itu. Tapi pemerintah menginginkan masyarakat berjalan normal. Publik yang menghujat ketiga jejaka merasa puas karena suara mereka didengar pemerintah. Ketiga jejaka muda juga akan merasa diselamatkan oleh pemerintah dari amarah publik yang sudah tidak dibendung lagi. Inilah bagi pemerintah yang diklaim sebagai keadilan. Hmmm! Namun Didi, Lupi, dan Ipul menjalani hukuman ini dengan kepala tegak. Keputusan pemerintah berdampak pada penghasilan ketiga jejaka galau itu. Mereka harus merelakan pemasukan yang menggiurkan dari televisi, talk show, kontrak iklan dari perusahaan, dan semacamnya. Praktis mereka mengandalkan pemasukan dari bisnis ketoprak, deposito, dan investasi di bursa efek. Tapi kesialan agaknya sedang merangkul mereka sebab karena juga efek dari peristiwa ini pendapatan bisnis ketoprak mereka lumayan melesu. Setelah dikalkulasi pemasukan mereka dari bisnis ketoprak, perbulan menurun sampai tiga puluh persen dari angka biasanya. Untungnya mereka telah menyimpan uang mereka di rekening tabungan. Tabungan ini mereka pergunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dan tentu yang membuat mereka lebih frustasi lagi adalah bahwa mereka harus memikirkan kredit rumah, kredit kendaraan baru mereka yang wah, dan kredit-kredit lainnya. *** Keputusan pemerintah telah menjadikan mereka menjadi orang biasa kembali. Didi, Ipul, dan Lupi sekarang kembali membangun bisnisnya agar bangkit kembali dan fokus membayar semua tagihan kredit yang dianggit. Tidak ada lagi nongkrong di kafe berkelas. Tidak ada lagi makan di restoran mewah. Tidak ada lagi hang out ke luar negeri. Mereka harus berhemat dan pintar-pintar menggunakan uang. Semua kejadian ini justru membuat mereka merenungkan peristiwa demi peristiwa yang telah mereka lewati. Lebih jauh mereka, khususnya Lupi dan Ipul memaknai peristiwa yang sudah dilaluinya sebagai kebangkitan kembali mimpi-mimpi yang sudah ditulis dilangit Jakarta. Lupi semakin ingin mewujudkan mimpinya menjadi diplomat. Ipul tambah meyakini garis hidupnya adalah mewakafkan dalam sebuah organisasi besar yang berkaitan politik kebangsaan. Tapi semua itu harus diraih melalui jalan pendidikan. Kampus adalah pintu mereka untuk melangkah mengapit mimpi-mimpi mereka. Lalu bagaimana dengan Didi? Ah! Dia masih tidak mengerti dengan cita-cita dirinya. Menjadi ahli politik tidak lagi menjadi obsesi dalam hidupnya. Malahan dia berpikir ingin menjadi segalanya. Ingin menjadi praktisi hukum. Ingin menjadi ekonom diperhitungkan. Ingin menjadi sosiolog berpengaruh. ingin menjadi penulis terkenal. Ingin ini ingin itu. Tapi di dalam hati kecilnya, dia merasa dirinya ingin menjadi pembela kaum terpinggirkan. Bagaimana jalan untuk meraih semua itu? Didi sama sekali tidak memiliki jawaban. Apalah arti jawaban kalau dirinya sendiri selalu bertanya. “Gue mau masuk kampus lagi,” kata Ipul kepada Lupi yang tengah menikmati secangkir kopi hitam pekat dengan sedikit gula. Lupi tersenyum mendengar kejujuran hati sahabatnya itu. Dia meletakan cangkir itu di meja. “Apa yang elu pikirkan sama dengan yang gue pikirkan, Pul,” jawab Lupi. “Kita sudah terlalu lama turun ke lapangan tapi sudah lama sekali kita meninggalkan tempat kita berasal. Tempat kita mengalami pengalaman-pengalaman yang menggairahkan. Tempat itu yang mempertemukan kita. Kita harus kembali ke kampus.” Ipul memandang langit malam yang dihiasi bintang-bintang yang terang. Hidungnya menyesap aroma malam yang lebih dahulu menusuk-nusuk ke kolam rumah mereka. “Apa elu menganggap Didi sebagai penyebab semua ini?” tanya Ipul. Lupi mengangguk. “Tapi sebab dia juga kita mendapatkan pengalaman mahal ini. Kita tidak sepenuhnya menyalahkan dia. Toh ini adalah keputusan kita. Gue juga sudah membuat keputusan untuk meninggalkan kuliah demi mendapatkan kekayaan di masa muda. Ini murni keputusan gue. Didi hanya membangkitkan gairah gue,” terang Lupi yang kini sudah duduk di tepi kolam sambil kakinya memainkan air kolam. “Elu masih menyalahkan Didi sebagai biang keladi semua ini?” Ipul mendekati Lupi. Duduk di sampingnya. “Betul. Tapi setelah gue pikir-pikir dia tidak salah. Seperti kata elu, meninggalkan kuliah untuk jadi pemuda kaya adalah pilihan gue. Terus terang gue sangat marah sama dia. Gue sangat emosi sama dia. Tapi sekarang tidak lagi. Seperti kata elu juga karena kita bertemu dan terus terang hidup gue jadi lebih memiliki warna. Bayangkan dalam usia yang masih muda kita sanggup menyanggupi apa yang kita inginkan. Belum tentu pemuda sepantaran kita dapat memenuhinya. Apalagi kita pernah satu kursi bersebelahan dengan orang-orang penting. Berdiri di hadapan forum yang jumlahnya mungkin ribuan. Dan itu menambah kekayaan jiwa gue.” “Tapi kita harus ke tempat asal kita. Kampus. Karena bagaimanapun tujuan kita ada di sini adalah untuk belajar. Ini tanggung jawab kita. Apalagi orang tua gue kepingin anaknya segera menjadi sarjana,” Lupi menyambung. “Betul. Bagaimanapun pendidikan itu penting,” kata Ipul seraya mengingat bagaimana dirinya bersemangat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah membaca artikel di surat kabar yang menulis bagaimana pentingnya pendidikan. Tiba-tiba bibirnya mengulur senyum ketika dirinya meminta izin kepada orang tuanya agar diberi restu untuk menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah. Cahaya bintang di malam ini menembus ke dalam kalbunya, membuatnya bersemangat untuk kembali ke kampus. Di sela-sela Ipul yang mengingat momen-momen yang membuat hatinya terenyuh, Lupi juga mengingat-ingat ketika dirinya gagal tes masuk ke UI dan harus menghapus mimpinya melanjutkan ke STIE Perbanas. Kegagalan demi kegagalan tidak mengendurkan semangatnya untuk menjadi pakar keuangan sekalipun pada akhirnya ilmu politik menjadi masa depan cita-citanya. Dan sekalipun dirinya sudah tertinggal oleh teman-teman satua angkatannya. Tapi di mana sekarang Didi? Mengapa dia tidak ikut bergabung dengan kedua sahabatnya untuk mempercakapkan mimpi-mimpi mereka ke depan? Didi belakangan ini memang banyak merenung. Dia sengaja tidak terlalu sering bergabung degan Lupi dan Ipul karena masih merasa bersalah meskipun serumah. Meskipun Lupi dan Ipul tidak secara langsung mengatakannya sebagai penyebab semua ini. Lupi dan Ipul tidak harus mengatakannya langsung karena mereka juga menyadari ini pilihan mereka. Karena keduanya juga tidak ingin ada konflik dalam persahabatan mereka. Apalagi itu adalah konflik batin. Mereka sangat menghindari itu. Tapi mereka adalah tipe sahabat yang kadang tidak perlu mengucapkan kata maaf secara verbal. Sikap saja sudah cukup untuk memperlihatkan keharmonisan persahabatan mereka. Dan, tapi sekarang Didi sedang mendengarkan percakapan Lupi dan Ipul di balik pintu kaca ruang serba guna yang berhubungan langsung menuju kolam renang. Dadanya terasa semakin sesak. Pikirannya mengacau. Bukan karena kejujuran kedua sahabatnya yang tidak dikatakan langsung kepadanya, tapi karena dia merasa menjadi penjahat dalam persahabatan mereka. Dia merasa menjadi duri yang merugi bagi mimpi-mimpi Lupi dan Ipul. Dia juga merasa telah mematikan ketajaman hati kedua sahabanya untuk merasakan cinta kepada cewek-cewek yang mereka sukai. Benar-benar kejahatan besar yang sudah dilakukannya kepada kedua sahabatnya itu, katanya dalam hati. Tapi dia tidak perlu minta maaf. Gengsi? Tidak. Dia tidak ingin membahas kejadian yang sudah-sudah. Kini, yang harus dilakukannya adalah membiarkan masing-masing mengenali diri dan mewujudkan mimpi-mimpi yang tertunda. Didi melangkah keluar membiarkan kedua sahabatnya menikmati percakapan. Dia ingin bergabung tapi merasa akan mengganggu. Malam ini dia ingin sendirian menikmati malam dengan jalan-jalan ke sekitar komplek rumahnya. Dibiarkannya kakinya telanjang karena ingin merasakan aspal yang terkena angin malam. Tingkahnya ini seperti orang kampung saja. Memang dia orang kampung! Kaos santainya semakin terasa adem ketika angin menembus, jins gaulnya juga lebih terasa hangat karena terpaan angin. Dalam langkahnya yang santai dirinya juga mengingat perjalanan hidupnya dari kecil, ketika masih sekolah dasar, sampai terdampar di belantara Jakarta yang memang penuh dengan dinamika. Dia pun mengingat kembali bagaimana mula pertemuan dengan Lupi dan Ipul hingga sekarang menjadi sahabat kental. Hidungnya sengaja menghirup udara malam. Mendadak dia mengenang Bandung. Mengenang bagiamana dia memutuskan pindah dari kampusnya terdahulu untuk masuk UIN Jakarta. Itu memang keputusan yang sulit karena kepindahannya ini sempat ditentang oleh keluarga. Keluarga menyayangkan keputusannya karena Didi harus mengulangi studinya dari awal lagi. Dan parahnya kuliah yang barunya ini dengan enteng dia tinggalkan lebih karena hanya ingin meraih sukses finansial di masa muda. Aku telah mengecewakan semuanya, katanya dalam hati. Apakah gue harus kembali ke kampus? Tanyanya dalam hati. Ah! Mengapa mendadak dia mengingat dirinya terlambat masuk kelas karena ulah Lupi. Dia harus berhadapan dengan Bu Johan, dosen mata kuliah Pemikiran Politik Barat yang tidak menolerir keterlambatan sekalipun beberapa menit saja. Tapi itu tidak menjadi soal karena ulah Lupi dirinya dapat merasakan kehangatan sikap Linda yang menyiapkan sarapan nasi uduk. Senyum Didi mengembang bersama helaan udara malam yang menusuk-nusuk. Mungkin bila ada orang yang melihatnya senyum sendiri Didi akan dibilang sebagai pemuda yang sinting dan eror. Ah biarlah. Ah biarin. Karena dirinya mengingat kuat bagaimana Linda dengan motor otomatic-nya menawarkan tumpangan Didi yang berlari kencang untuk segera sampai ke kampus. Ketika itu Didi memohon kepada Linda agar dirinya yang menyetir tapi Linda tidak mau. Dengan berat hati dan malu Didi dibonceng Linda. Orang-orang yang melihatnya tersenyum-senyum. Didi juga membalas mereka dengan senyum tapi malu sedikit. Ah kini di mana perempuan cantik itu? Tapi pasti dia sudah melihat berita di televisi soal Didi dan kedua sahabatnya itu. Tapi pasti dia belum tahu tempat tinggal Didi sekarang. Linda aku memerlukanmu sekarang, kata Didi dalam hati kecilnya. Malam semakin pekat, Didi tetap berjalan kecil menikmati keheningan dan kesuyian yang menyeruak tapi terasa sangat nikmat. Sementara masih di kolam renang rumah mereka, Lupi dan Ipul masih asyik bercakap-cakap. Epilog “Bang, bu Johan killer ya?” “Tidak juga.” Didi menjawab pertanyaan juniornya dengan dingin. Dia sedikit risih sebab sekarang dirinya harus satu kelas dengan adik kelas yang beberapa tingkat di bawahnya. Dia harus memperbaiki nilai C untuk mata kuliah Bu Johan. “Abang?” ledek Lupi dan Ipul kompak setelah melihat pemandangan itu di lift fakultas. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Didi menahan marahnya karena dia malu dengan adik kelas yang sekarang harus satu kelasnya. “Hai abang Lupi, Abang Ipul.” Lupi dan Ipul menoleh ke arah suara itu setelah keluar dari lift. “Abang Lupi, abang Ipul kenalin aku Shinta. Semester tiga. Abang Lupi dan Abang Ipul sekarang satu kelas dengan aku di mata kuliah Politik Internasional. Entar ajarin aku yah,” kata Shinta adik kelas Lupi dan Ipul, angkatan di bawah mereka. Didi untuk mata kuliah ini memang mendapat nilai B. Sedang kedua sahabatnya itu mendapat nilai D. “Abang?” Didi balas meledek. Terkekeh. Skor menjadi 1-1, katanya kepada Lupi dan Ipul yang kikuk. “Halo Abang Tiga Jejaka muda,” pekik adik-adik mahasiswa yang melihat ketiga jejaka muda itu ketika mau masuk kelas masing-masing. Ketiga jejaka itu membalas mereka dengan berat hati tapi sangat membuat mereka malu bertubi-tubi. Sialan! Bisik mereka. Dunia masih normal karena Didi, Lupi, dan Ipul mempunyai “kemaluan” yang besar. Baguslah! Ketiganya menyaksikan berita di televisi yang seperti yang sudah-sudah dilakukan dulu ketika menjelang malam. “Wah berita bagus ni,” kata Ipul. “Mantap, “ seru Lupi. Tapi Didi malah menggelengkan kepalanya sebagai rasa tak percaya. “Sebagaimana janji elu dulu, elu harus traktir kita makan selama tiga hari dan bayar kostan tiga bulan. Karena sekarang kita ngredit rumah. Elu harus bayar kreditan rumah selama tiga bulan juga. Itu kan janji elu,” Lupi menagih janji Didi. Televisi menyiarkan berita menghebohkan karena seorang tokoh nasional yang terlibat mega korupsi. Si tokoh nasional tersebut menyusul rekannya Pak Konde yang lebih dulu menikmati hotel prodeo KPK. Semasih pertaruhan beberapa tahun lalu Didi meyakini si tokoh nasional sama sekali tidak terlibat dalam kasus mega korupsi itu. Sementara Lupi dan Ipul seratus persen meyakini tokoh nasional tersebut akan mengikuti jejak Pak Konde. Huh! Didi kalah dalam bertaruh. “Sialan!” umpat Didi. Dia marah kepada tokoh itu dan sebal harus menaggung kekalahan. Lupi dan Ipul menahan cekikikan mereka.

Proyek Buku Three Bachelors

Wayang Uang Perlahan-lahan strategi mereka menunjukan hasil. Waktu ke waktu yang berjalan pelanggan baru berdatangan. Kini dalam sehari saja tiga ratus porsi terjual habis. Sedangkan masih banyak para calon pelanggan yang mengantri. Melihat antusiasme tersebut mereka menambah tiga gerobak lagi di kedai dan memperkerjakan tiga pegawai. Jam kerja ditambah pula sampai larut malam, yang dimulai dari pagi. Kesuksesan yang mereka raih mengantarkan mereka memiliki kendaraan beroda dua yang mereka mimpikan. Tidak perlu memakan waktu lama, kesuksesan mereka terus berlanjut. Setahun berselang sudah berdiri tujuh cabang ketoprak Doraemon mereka di wilayah Jakarta. Hampir seluruh penduduk Jakarta menggemari ketoprak mereka. Dari mulai anak-anak sekolah, ibu-ibu rumah tangga, eksekutif muda sampai pejabat tidak pernah melweati hari mereka dengan menikmati ketoprak Doraemon ini. Berkat kesuksesan yang sempurna ini mereka meraup keuntungan bersih hampir ratusan juta per bulan. Ketiga jejaka muda itu menjadi pendatang baru yang diperhitungkan di belantika bisnis sebagai pebisnis muda paling berprospek. Beberapa penghargaan baik dari pihak pemerintah atau swasta menganugerahkan penghargaan karena prestasi ketiga jejaka muda itu. Seluruh media memburu mereka untuk dijadikan headline. Wajah-wajah mereka terpampang di mana-mana. Televisi juga tidak mau ketinggalan meminta mereka untuk menjadi untuk tampil dalam wawancara ekslusif tentang kemandirian pemuda dalam wirausaha. Perusahaan produk terkenal tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dengan mengontrak mereka menjadi brand ambassador produk mereka. Tiap tujuh puluh detik sekali wajah mereka wara-wiri di iklan televisi. Ketiganya kini menjadi menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Masyarakat di negeri ini sudah menahbiskan mereka sebagai idola baru. Menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia sudah digenggam tangan. “Sudah saatnya kita meninggalkan gaya kehiupan lama kita,”kata Didi. Lupi dan Ipul yang masih bermalas-malasan di kasur kostan mereka yang belum diganti merem-melek sedikit mengacuhkan Didi. Hari minggu itu mereka tidak sudah tidak turun lagi ke kedai karena semua urusan kedai sudah diserahkan ke pegawai. Mereka tinggal mengontrol arus-kas dan mengambil keputusan penting lainnya yang berkaitan dengan bisnis. Aktivitas mereka sekarang adalah memenuhi undangan dari pemerintah dan swasta menjadi pembicara dalam seminar di dalam dan luar kota. Sesekali mereka diminta untuk pemotretan di majalah terkenal. “Kita harus pindah dari kostan ini,” suara Didi sedikit dikeraskan. “Membeli rumah baru dan fasilitas-fasilitas lainnya,” balas Ipul yang sudah bangun dari setengah sadarnya. “Duit kita masih belum cukup untuk itu!” timpal Lupi, bangun dari tingkah malasnya. “Duit, duit, duit. Betul fokus kita sekarang adalah mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya,” tangan Didi mengeras, matanya menatap tajam ke Lupi dan Ipul. Minggu pagi yang cerah menyegarkannya untuk bicara masalah uang dan uang. “Enggak ada soal lain selain duit,” Lupi menebalkan semangat Didi. “Mari kita membuktikan kepada dunia bahwa kita pemuda paling giat nyari duit,” Kata Ipul berapi-api. Semangat angkatan empat puluh lima menjalari jiwa dan raga mereka. Perbedaannya, jika semangat tahun itu adalah untuk meraih kemerdekaan dari kolonialisme, semangat ketiga jejaka muda itu dipakai untuk meraih uang dan uang. Cita-cita mereka untuk merubuhkan kebodohan dengan pendidikan, membaca buku, dan ihtiar lainnya sudah diselewengkan dengan cepat sekali. Sekarang bagi mereka tidak tersisa lagi ruang untuk segalanya kecuali bagaimana mendapatkan uang sebanyak mungkin. Mengerikan memang padahal Lupi dan Ipul kemarin masih sempat terlintas ingin mewujudkan cita-cita mereka melalui pendidikan. Keduanya sepintas memikirkan ingin meneruskan pendidikan mereka yang terlunta-lunta. Kecuali Didi, hmmm jejaka konyol yang sama sekali belum menentukan pilihan hidupnya. Hidupnya kini adalah menjalani apa yang sedang berdiri di hadapan mata. “Aku hidup untuk hari ini. Tidak risau memikirkan cita-cita. Cita-cita apa? Aku sendiri masih enggan untuk serius!” katanya. “Aku ingin uang banyak,” katanya lagi. Tapi untuk apa uang banyak kalau dirinya belum tahu makna hidup? Ah biarlah. Ah biarin toh dirinya hidup untuk hari ini, tidak pernah serius memikirkan masa depan. Target mereka mematok penghasilan bersih ratusan juta rupiah tercapai sudah meskipun perlahan. Itu didapat dari bisnis ketoprak, menjadi pembicara di beberapa seminar, iklan telvisi, brand ambassador merk, dan lainnya. Dari penghasilan tersebut mereka mulai mengkredit rumah di sebuah komplek yang tak jauh dari kostan mereka. Rumah itu memiliki ukuran yang besar untuk mereka dengan bertingkat dua, fasilitas lengkap , halaman luas yang ditumbuhi pepohonan rindang-hijau, dan garasi mobil yang cukup luas juga. Kini kemana-mana mereka tidak perlu berpanas-panas lagi sebab ketiganya sudah membeli kendaraan beroda empat. Praktis gaya hidup mereka berubah dengan pesat. Soal makanan mereka sudah tidak sudi menikmati sajian kuliner kelas bawah-menengah. Perut mereka sudah cocok diisi dengan makanan restoran mewah. Setiap seminggu sekali mereka berlibur ke luar kota yang dianggap memiliki destinasi wisata yang memikat. Bahkan sesekali dalam dua bulan mereka berlibur ke luar negeri. Kalau week end tidak kemana-mana, ketiganya menghabiskan malam di kafe berkelas dan mewah. “Semua bisa dibeli dengan uang,” kata mereka sambil meneguk wishkey yang baru mereka rasakan selama hidup sampai sekarang dengan terkekeh lepas sekali. Berbotol-botol miniman beralkohol tingkat tinggi mereka habiskan dengan tubuh dan pikiran yang linglung. Didi, sang provokator, mengoceh tidak karuan, sehingga menimbulkan kepekakan telinga para pengunjung kafe. “Gue sudah menaklukan Jakarta. Gue sudah membuat tunduk manusia-manusia Jakarta.” Matanya semakin memerah ketika menatap cahaya lampu kafe yang berkedip-kedip. Tapi pikiran sadarnya setengah waras. “Linda di mana kamu sekarang?” katanya dengan mulut yang tambah bau alkohol. Sedang wajah Ipul sudah terkulai di meja. Lupi malah muntah-muntah di toilet. Cairan alkohol yang dia minum menghambur kembali ke luar. Diam-diam dia menyebut Tuhan dalam kelimpungan pikiran dan tubuhnya. “Persetan dengan setan. Tuhan di mana Engkau? Tolong jangan marahin hamba-Mu ini,” katanya. Kemudian tubuhnya terkulai ke lantai toilet. Dia tertawa-tawa, “Tuhan tolong sampaikan salamku ke dia. Ke dia, Tuhan. Nurkho.” Tapi ketiga jejaka muda itu cukup bisa menahan nafsu untuk tidak menjadi pemabuk sejati. Sebab dalam tubuh mereka tidak terdapat darah yang senang dialiri oleh minuman beralkohol. Tubuh mereka masih menyukai air mineral. Minuman beralkohol tidak baik untuk kesehatan. Mereka menyadari itu. Syukurlah. Apalagi sekarang mereka harus bisa mengontrol diri agar sifat-sifat negatif mereka tidak tercium oleh para pengejar berita. Seandainya sifat-sifat negatif itu tertangkap oleh media, habislah karir yang sudah ditahbis dengan cucuran keringat. “Kita sekarang sudah jadi publik figure,” kata mereka. Ideolog Muda “Apa yang harus kita lakukan lagi?” kata Didi yang terlihat jengah dengan kemewahan segala ini. Dia memang seorang pribadi yang progresif di samping seorang yang cepat merasa bosan dengan status quo. “Bukankah yang kita cari ini? Uang dan kesuksesan,” jawab Lupi dengan menikmati jus alpukat yang menyegarkan. Minuman itu terasa pas dengan suasana kolam renang rumah mereka yang sejuk. Kemudian ia menyandarkan tubuhnya pada kursi rotan yang berbentuk memanjang. Kaki Didi masih asyik memainkan kakinya di air kolam. Batang hidung Ipul belum nampak di pagi yang selalu memanjakan mereka dengan keindahan. Play station yang ia mainkan sendiri semalam sudah membuat matanya enggan melihat matahari. Tapi beberapa menit kemudian dia muncul dengan mata dan rambut yang tidak menarik. “Gue di sini,” katanya setelah Didi menanyakan jejaka Inderamayu itu kepada Lupi. “Sebaiknya kita kembangkan bisnis kita. Kita investasi di bursa efek,” jawabnya setelah mendapat pertanyaan dari Didi soal apa yang harus mereka lakukan setelah mimpi menjadi pemuda paling tajir sudah melekati mereka. “Itu sudah pasti,” kata Didi. “Lalu apa?” tanya Lupi sambil menghabiskan jus alpukatnya. “Kita pengaruhi generasi muda,” kata Didi singkat. Didi dan Ipul masih belum mengerti maksud Didi. “Bukankah selama ini kita berbohong?” Lupi dan Ipul memandang Didi dalam-dalam. Keduanya masih belum mengerti juga. Didi meneruskan, “selama ini kita mengaku masih menjalani kuliah kepada publik tapi untungnya publik tidak pernah bertanya-tanya tentang konsep pendidikan menurut kita dan tentang kuliah kita atau sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan. Mereka hanya terkesiap dengan capaian kita yang gemilang....” “Intinya saja,” Ipul menyetop. Dia selalu tidak memiliki kesabaran yang penuh. “Betul,” Lupi menyepakati. “Mereka yang terkesiap adalah pemuda. Kalian tahu kan pemuda itu?” “Generasi yang siap menjadi pengganti,” jawab Ipul singkat. “Jiwa-jiwa yang resah. Jiwa-jiwa yang gelisah. Jiwa-jiwa yang memberontak,” kata Lupi seperti berpuisi. Didi membetulkan pendapat kedua sahabatnya. “Tapi,” katanya dengan darah bergejolak, “mereka adalah pribadi-pribadi yang mudah dipengaruhi,” Didi menyungging senyum. “Jangan bertele-tele,” Lupi mengikuti ketidaksabaran Ipul. “Kita pengaruhi mereka dengan cara berpikir kita selama ini. Kita katakan kepada mereka bahwa uang itu penting daripada pendidikan. Uang adalah segalanya. Segalanya pake uang. Logika uang,” jelas Didi. “Elu sudah gila, Di.” “Ya, elu sudah gila,” Lupi membetulkan Ipul. “Resikonya tidak kecil, Di. Apa elu mau kita dihujat?” Ipul menggeleng-gelengkan kepala. Didi membetulkan senyumnya. “Kita pakai ini,” katanya dengan menunjuk dahi, sebagai tempat otak untuk berpikir. “Kita enggak usah macam-macam lah dengan ide konyol elu, Di. Segini aja gue udah bahagia sekali,” timpal Lupi yang sudah merasa puas dengan pencapaian ini. Ipul menyocori Didi. “Kita kan sudah membangun semangat kewirausahaan mereka lewat seminar-seminar dan talk show lainnya. Apa mereka tidak tergugah? Gue pikir mereka sudah terpengaruh oleh cerita kita!” “Tapi itu tidak persuasif. Seperti gombalan cowok kepada cewek saja. Tidak berdampak apa-apa bagi gue. Ingat, “ Didi menghela nafas, “ masih banyak pemuda-pemuda atau mahasiswa yang masih tidur sekalipun kita sudah membangunkannya.” “Tujuan elu apa sebenarnya?” tanya Lupi, sedikit emosi. “Gue hanya ingin membantu mereka yang putus asa. Yang ingin meraih kesuksesan di masa muda. Kesuksesan itu uang, kawan-kawan. Bukan yang lainnya,” jelas Didi. “Gue sepakat itu. Tapi misi elu terlalu kasar. Berisiko,” terang Ipul yang masih belum mengerti keinginan sahabatnya itu. Didi menceritakan latar belakang gagasannya dengan jujur kali ini. “Kalian adalah pelaku utama kesuksesan kita bertiga. Kita, beberapa tahun lalu adalah mahasiswa polos dengan bayangan bahwa pendidikan adalah kunci keberhasilan. Kita sungguh-sungguh belajar demi cita-cita. Elu, pul pengen jadi pemimpin yang berikapasitas, intelek, dan dekat dengan rakyat. Elu, Lup pengen jadi diplomat yang paling disegani. Gue pengen jadi ahli politik. Tapi lama-kelamaan kita berpikir praktis. Logis. Bahwa kita hanya ingin menaklukan Jakarta dengan pencapaian kekayaan, “ tutur Didi yang pelan dan tertata menyentuh emosi Lupi dan Ipul. Cuih! Memang jejaka penggemar mie rebus dicampur nasi itu pintar mengoyak-ngoyak hati orang. Didi melanjutkan tuturnya, “bahwa yang sebenarnya kita inginkan dari semua ini, dari pendidikan adalah kesuksesan finansial. Elu berdua pasti berpikir bahwa mereka, pemuda, khususnya anak-anak kampus itu kuliah demi meraih kesuksean materi. Pendapatan yang berlimpah.” Lupi dan Ipul menyesap penjelasan Didi sampai relung jiwa. “Gue cuma kasihan kepada mereka yang kuliah capek-capek. Capek belajar. Capek biaya tapi ujung-ujung mereka duit. Ujung-ujungnya kekayaan. Mendingan kita selamatkan mereka dengan ideologi kita. Ideologi uang. Jangan lupa bahwa segalanya diukur dengan uang.’ “Tapi..” Ipul mau meyela, Didi menyetopnya. “Kita tidah perlu lugas bilang bahwa uang adalah itu maha penting dan ukuran dalam kehidupan. Mau tahu caranya?” Didi menggoda Lupi dan Ipul. Lupi dan Ipul mulai bersimpati dengan gagasannya. “Kita bikin buku tentang motivasi. Tentang penyadaran logika berpikir. Kita ajak pembaca untuk mengenali diri mereka sendiri seperti yang sudah kita lakukan dulu. Dipertengahan buku kita acak-acak logika pembaca yang masih kaku. Kita bangunkan emosi mereka dengan kisah-kisah para pengusaha sukses mendapatkan kekayaan. Dari situ kita sudah mulai mempengaruhi cara berpikir dan emosi mereka. Coba pikir apakah kita jelas menyebarkan semangat agar generasi-generas ini akan tangguh secara finansial.” Didi menatap kedua sahabatnya dengan mengulas senyum. “Gue yakin setidaknya kalau turun ke pedalaman lagi terutama sewaktu gue turun penelitian lapangan di pedalaman Banten, beberapa tahun mendatang gue tidak melihat orang-orang yang risau lagi soal sandang, pangan, dan papan,” Didi agak berurai air mata mengingat-ingat kondisi yang membikin jiwanya yang gundah gulana itu. Mata Lupi dan Ipul agak berkaca-kaca. Keduanya mulai memahami pendasaran gagasan Didi. Sempat mereka berpikir—sebelum Didi menguraikan pendasarannya—adalah virus yang mengerikan yang akan membuat generasi bangsa tunggang langgang. Inilah saatnya mereka menyumbangkan pemikirannya kepada bangsa. Wow! Sungguh ikhtiar yang patut dipuji setinggi langit. Membanggakan. *** Para peserta launching buku tiga jejaka muda bertepuk tangan. Suasana riuh setelah masing-masing dari ketiga jejaka itu menceritakan isi karya mereka. Puluhan eksemplar buku karya tiga jejaka itu langsung diserbu peserta setelah acara selesai. “Kita untung besar,” bisik Didi kepada Lupi dan Ipul. Lupi dan Ipul memberi jempol kepada Didi. “Bukan uang saja yang didapat, tapi kita akan berhasil mempengaruhi pembaca,”kata Didi lagi. “Elu memang jenius,” bisik Lupi sambil menghiraukan para peserta yang hadir yang sedang melakukan pembayaran buku. Luar biasa! Dalam beberapa minggu saja buku tiga jejaka itu langsung dinobatkan sebagai buku paling best seller. Baru diedarkan beberapa minggu lalu penjualannya mencapai tiga puluh ribu eksemplar mengalahkan beberapa buku yang sudah dulu dianggap best seller. Meskipun demikian para pembaca buku masih memburu buku tiga jejaka itu. Penerbit mencetak kembali dengan edisi khusus yang lebih mewah dan wah dari edisi pertama. Pula penerbit mencantumkan komentar-komentar penting dari tokoh penting dan terkenal di negeri ini. Edisi kedua buku ini yang dicetak sebanyak sepuluh ribu eksemplar laris manis dalam beberapa minggu juga. Para pembaca yang kehabisan buku, memprotes penerbit yang tidak segera mencetak kembali buku tiga jejaka itu. Penerbit kembali mencetak buku itu, dan seperti yang dapat diprediksi oleh pengamat buku, buku tiga jejaka muda itu kembali terjual habis. Sampai berbulan-bulan kemudian cetakan buku itu sudah dicetak lebih dari seratus kali. Menakjubkan! Mengagumkan! Karena seperti diketahui industri buku sedang mengalami kelesuan tapi buku ketiga jejaka itu seperti menjadi pemecah kebuntuan. Sungguh buku baru dengan penulis pemula itu mencetak rekor sejarah penjualan dalam industri buku Indonesia. Karena itu ketiganya digelari sebagai penulis pencetak rekor sejarah. Kekayaan Didi, Lupi, dan Ipul semakin bertambah. Para penggemar mereka pun semakin tersebar di mana-mana. Tidak hanya menggemari, mereka bahkan menjadi pengikut ketiga jejaka muda itu dengan menamai Jejakers. Lebih jauh lagi Jejakers ini membentuk kepengurusan dari pusat hingga daerah dengan diketuai secara nasional oleh Jejaker yang berasal di Jakarta. Hebatnya anggota Jejakers tidak hanya diikuti oleh mahasiswa tapi pemuda dari beberapa profesi bahkan para pemuda jalanan sampai pengangguran. Belum lama berdiri, anggota Jejakers sudah mencapai ratusan ribuan di seluruh negeri. Jejakers menjadi komunitas pertama di Indonesia yang struktur kepengurusannya rapi dan sistematis. Beberapa kalangan media pun mendaulat mereka sebagai komunitas visioner pertama di Indonesia dengan anggota terbanyak. Sebagai dedengkot Jejakers Didi, Lupi, dan Ipul mengatur jadwal-jadwal pertemuan atau kegiatan untuk komunitas. Setiap seminggu sekali secara bergantian mereka mengadakan diskusi kepemudaan dan bisnis dengan ketiga jejaka muda itu sebagai pembicara utama sesuai kepengurusan daerah masing-masing secara bergantian. Minggu sekarang tiga jejaka muda itu mengisi diskusi di Jakarta, minggu depan mereka akan berpindah tempat lagi. Namun secara nasional setiap dua bulan sekali komunitas mengadakan seminar dan pelatihan bisnis gratis yang digelar di Stadion Gelora Bung karno Jakarta dengan trainer ternama. Biaya acara itu meskipun gratis tapi tidak dikeluarkan oleh Didi, Lupi, dan Ipul tapi dari sponsor yang bersedia menanggungnya dengan timbal balik yang menguntungkan. Pihak sponsor akan mendapat nama dan prestise, juga mereka akan merekrut anggota komunitas untuk menjadi pekerja di perusahaan mereka. Great! Komunitas ini sungguh memiliki manfaat yang berharga bagi pembangunan bagsa. Karena itu lagi-lagi komunitas ini didapuk sebagai komunitas paling menjanjikan di Indonesia. Dan sebagai teladan, Didi, Lupi, dan Ipul mendapat penghargaan sebagai Great Young Award dari pemerintah. Nama mereka semakin melambung di langit.

Proyek Buku Three Bachelors

Rekayasa Bodi Tidak saja belajar mencoba menerapkan tipikal ala pebisnis profesional dengan membuat arus kas keluar-masuk, disiplin waktu, rencana jangka pendek dan panjang, ketiga jejaka muda progresif itu pun berusaha menampilkan pribadi yang baik di hadapan para calon pelanggan. Setiap bertemu dengan seseorang apalagi itu potensial menjadi pelanggan, senyum harus mengulur dan keramahan harus senantiasa membungkus sikap mereka. Tampilan fisik yang apik ditambah pewangi tidak boleh luput dari tubuh mereka. Mereka pokoknya harus bijak menampilkan sikap-sikap tipikal pebisnis profesional pada waktu-waktu tertentu tanpa perlu mempraktekannya setiap saat karena sejujurnya mereka sudah muak dan mual dengan pranata-pranata tersebut. Tapi pakem-pakem seperti itu kudu mereka lakukan sesuai anjuran motivator bisnis yang mereka ikuti seminarnya, sesuai buku pengembangan bisnis yang mereka baca, dan sesuai petunjuk-petunjuk dari googling di internet. Profesioanalitas dan responsibilitas adalah fondasi dasar mutlak yang harus mereka miliki sekarang. Kebiasaan-kebiasaan tersebut sangat jauh dari kehidupan mereka. Tapi sekali lagi mereka mesti menjalani dengan ikhlas kehidupan baru ini. Ingat! Mereka sudah berani meninggalkan kuliah mereka. Proses-proses seperti itu harus mereka lewati demi sebuah mimpi yang terwujud. Melelahkan memang. Menyebalkan memang. Memuakan memang. Tapi memang harus dilakukan. Toh berbisnis merupakan bagian dari pembelajaran yang akan mereka dapati setelah pembelajaran formal mereka tinggalkan beberapa bulan yang lalu. Ipul merasakan rekayasa bodi ini sebagai gambaran dirinya menjadi pemimpin kelak. Karena sejatinya para pemimpin harus bisa mencitrakan diri dengan baik. Gestur tubuh dan sikap kudu ditata dengan baik demi mendapatkan penilaian yang baik di hadapan masyarakat. Lupi memaknai rekayasa bodi ini sebagai persiapan dirinya menjadi diplomat. Menjadi diplomat tidak hanya diiringi oleh wawasan dan jaringan luas, citra yang baik juga menjadi pertimbangan utama. Tapi bagi Didi apa arti rekayasa bodi ini? Berbeda dengan Lupi dan Ipul yang masih memendam dengan baik cita-cita mereka, dirinya sudah mengubur mimpinya menjadi ahli politik. Segala mimpi-mimpi yang ia tuliskan tebal-tebal di langit sudah memuai terhempas oleh panasnya matahari. Dirinya kini menjadi manusia yang ingin melebihi cita-cita manusia lain. Tapi apa cita-cita terbesar itu? Dia sendiri belum menemukannya. Namun dalan hati kecilnya selintas perasaan bersalah muncul. Dia menyadari kekekacauan studi Lupi dan Ipul adalah karena provokasi dirinya. Ah sudahlah. Persetan semua itu. Dia tidak ingin menjadi pesakitan karena telah menjerumuskan kedua sahabatnya itu toh keduanya menjalaninya dengan bahagia. Tapi Didi mengulur senyum melihat Lupi dan Ipul begitu bersemangat menyiapkan bisnis ketoprak ini. Bahkan dia berharap semoga kedua sahabatnya itu menemukan kehidupan mereka sesungguhnya melalui bisnis ketoprak ini. Tuhan tunjukanlah jalan mereka. Tuntunlah mereka mengenali dirinya sendiri. Semua rekayasa-rekayasa ini mungkin aku yang membuat dan Kau yang mengikuti. Tapi jika semua rekayasa ini berjalan seperti yang tidak diharapkan benahilah semua ini. Demikian doa Didi dalam malam yang begitu sepi. Sebuah doa kepada Tuhan yang sudah lama dia lupakan. Dan mengapa dirinya di malam menyengat kerinduan yang hebat menyesap jiwanya. Siapa yang dia rindukan? Lindakah atau tiba-tiba dia mengingat sebuah kematian. Kematian tubuh. Kematian jiwa. Kematian pikiran. Dan kematian-kematian lainnya. Air mata bergulir pelan-pelan. Dadanya bergetar dahsyat. Tubuhnya gemetar. Tangannya kaku. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan esok yang masih teka-teki. Bisnis Kehidupan Hari ke hari. Minggu ke minggu. Bulan ke bulan, bisnis ketiga jejaka itu mulai dikenali orang-orang. Penghasilan pun tak dapat ditolak. Namun dalam waktu yang bergulir itu tidak ada perkembangan yang memuaskan dalam bisnis mereka. Kesimpulan ini bisa dilihat dari indikasi penghasilan yang tidak pernah bertambah. Padahal mereka menjalani bisnis ini dengan giat dan kerja yang keras. Laba yang mereka hasilkan hanya bisa membayar kostan, membiayai kehidupan sehari-hari mereka, menggenapi pakaian mereka, dan atribut-atribut lainnya yang tidak terlihat bergengsi. Mereka ingin membeli kendaraan baru karena selama ini mereka menggunakan motor butut. Itu pun didapat dari rental. Mereka juga ingin memiliki rumah dari bisnis ini. Ingin membeli tanah. Ingin berinvestasi di bursa efek. Hmmm, banyak sekali keinginan mereka ini. Tidakkah mereka bersyukur dengan apa yang sudah didapatnya selama ini? Mereka telah tumbuh menjadi pemuda ambisius. Kehidupan yang serba pas-pasan bukanlah tempat mereka sekarang. Cita-cita meeka tetap tidak berubah : menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia. Logika berpikir sudah mendekati logika pebisnis profesional. “Hampir setahun kita berbisnis tapi belum ada perkembangan,” umpat Didi ketika ketiganya bersantai ria di kostan yang itu-itu saja. Lupi mengigit bibir. Kebiasaan itulah yang sering ia lakukan kalau sedang dihimpit masalah. “Gue belum mendapatkan ide,” kata Ipul yang nerasa dimintai pendapat oleh Didi. “Kita harus buka dari pagi sampai malam, “ Lupi menjentikan jarinya karena mendapatkan ide baru. Tapi kedua sahabatnya itu belum menyetujui. Ide Ludi dirasa belum memecahkan masalah. Mereka malam itu terus menggali ide untuk kemajuan bisnis mereka di saat orang-orang sedang menikmati istirahat. Menguras pikiran sampai berkeringat hingga gagasan cemerlang mendekati mereka. Didi mulai berusaha menghubungkan antara kaitan bisnis dengan buku-buku yang sudah dibacanya. Lupi mengingat-ingat detil strategi berbisnis yang dipelajarinya di sekolah kejuruan. Ipul berusaha mengingat pelajaran berbisnis dari bosnya sewaktu menjadi kuli pabrik industri tahu-tempe. Ketiganya secara tidak disadari sedang memahami kehidupan dari sisi yang berbeda. Benar memang apa yang mereka lakukan itu adalah kehidupan yang nyata. Bukan sekumpulan teori rumit yang digumuli di kampus. Tanpa disadari juga bahwa mereka sekarang sedang merawat sebuah lokus bagian dari kehidupan yang harus dijaga. Lokus itu yang menghubungkan mereka dengan orang-orang baru yang tak mereka kenali. Berkat lokus itu mereka menjadi saling mengenal dengan orang-orang baru itu meskipun terikat dalam relasi antara penjual dan pembeli. Tapi kadang relasi yang berdasarkan kepentingan ikatan tersebut bermuara pada hubungan yang mendalam, saling memahami, bahkan menjadi saudara kental. Hubungan kental tersebutlah yang membuat hidup menjadi lebih berwarna. Dalam bisnis apapun kesadaran menjaga hubungan baik dengan pelanggan sangat krusial agar mereka tetap setia dan percaya pada produk kita. Layaknya jalinan hubungan persaudaraan yang harus dirawat melalui sikap saling menasehati, dan bertukar pendapat tanpa nirkehendak superioritas. Bisnis mereka pun akan eksis jika terjalin hubungan yang ajeg antara mereka dengan pelanggan. Didi mulai memikirkan bisnisnya ke arah itu berdasarkan bacaannya melalui buku refleksif-filosofis. Dia mulai menemukan pola hubungan baru antara pemilik usaha dengan pelanggan. Menurutnya pemilik usaha harus selalu meminta saran, masukan, dan kritik terhadap barang yang dijualnya kepada pelanggan. Lupi sudah ingat bagaimana produsen harus jeli mengenai hal-hal apa saja yang disukai oleh konsumen. Karena itu konsumen harus diberi ruang untuk menyampaikan keluhan terhadap barang yang dibelinya. Ipul dengan cepat menyadari bahawa bosnya selalu mengutamakan kepuasan konsumen. “Konsumen puas, kita senang. Untung pun datang!” begitu kata bosnya. Ketiga jejaka pejuang itu seolah mendapatkan hakikat bisnis. Bisnis kehidupan. Untuk meminta saran, masukan, dan kritik, mereka menyediakan kotak suara yang terbuat dari mika. Para pelanggan tinggal menuliskan keluhan mereka, kemudian memasukannya ke dalam kotak suara itu. Jika enggan menyampaikan keluhan lewat kotak itu, para pelanggan dapat mengutarakan keluhannya via sms. Sesudah cara itu dilakukan benar saja banyak saran dan kritik terhadap bisnis mereka. Ada yang menyarankan agar ketoprak mereka tidak berlebih dalam racikan bumbu. Ada yang meminta agar porsi ketopraknya lebih besar. ada yang memberi saran agar potongan ketupatnya diperkecil supaya terlihat mungul. Tidak melulu ihwal cita rasa yang dikeluhkan, kondisi kedai pun mendapat masukan yang cukup berharga. Dan saran dan kritik lainnya yang konstruktif. Berbagai saran dan kritik yang masuk, mereka tampung sebagai bahan pertimbangan. Cita rasa tingkat kepedasan menu tetap mereka pertahankan. Hanya saja mereka menyajikan cita rasa bumbu yang beraneka ragam. Disajikan racikan bumbu yang berlebih, juga disajikan racikan bumbu yang pas. Para pelanggan tinggal memilih sesuai selera. Suasana kedai juga mereka ubah sesuai masukan. Cat berwarna cerah mendominasi tembok kedai yang mulanya berwarna agak gelap. Selain cat yang cerah beberapa lukisan pemandangan pedesaan dipajang supaya terlihat lebih sejuk. Warna gerobak yang kusam kini disapu oleh cat keperakan. Agak mengkilat. Beberapa pelanggan pun menyarankan agar ketiga jejaka visioner itu mengenakan seragam yang bergambar Doraemon beserta kantong ajaibnya. “Huh,” Didi menarik nafas. Tarikan nafasnya seperti memburu karena lelah yang mendera tubuhnya. Lupi mengelap keringat yang bercucuran dari dahinya yang beberapa senti lagi menuju hidung. “Cape juga,” imbuh Ipul. “Dipikir-pikir enakan jadi pegawai ketimbang bos,” katanya lagi. “Bisnis itu seperti kehidupan,” Lupi menyeletuk. Didi dan Ipul melirik Lupi, lalu memandangnya serius. Lupi merespon pandangan kedua sahabatnya. “Ada yang salah ya?” tanya Lupi. Senyum yang rapi dan pas terurai dari Didi dan Ipul.

Proyek buku Three Bachelors

Ketoprak Doraemon Setelah kontrak mereka dengan perusahaan jasa kebersihan dengan kamuflase sebagai lembaga pendanaan sosial untuk orang-orang yang belum beruntung, ketiga jejaka muda itu, praktis kehilangan penghasilan tetap. Mereka harus memutar otak. Bagusnya mereka menyimpan honor mereka dalam tabungan. Ketiganya sudah pintar mengelola keuangan. Lupi merasa belum tepat waktu untuk membelikan Nurkho Novel. Apalagi dia belum mengerti sebenarnya apa yang menjadi kriteria lelaki pilihan Nurkho. Tapi dia masih berharap bisa menarik perhatian Nurkho. Ipul cukup sadar bahwa si gadis mangga Inderamayu itu belum memiliki kesan tertarik kepadanya. Sedang Linda tampaknya sangat berjarak dengan Didi. Karena itu ketiga jejaka itu sadar diri kini wanita bukanlah tujuan mereka. Kini mereka benar-benar memantapkan diri menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia. Mereka harus memecahkan kebuntuan masalah mereka : mencari penghasilan tetap. “Melamar menjadi guru private?” Lupi bersaran. “Oh, sangat tidak mungkin. Gue tak ada potongan jadi pengajar,” Didi berkilah. “Honornya kecil, Lup,” sela Ipul. Seperti biasa mereka mencari ide-ide segar dengan caranya masing-masing. Didi menulis serampangan di buku kecilnya. Entah apa yang ditulisnya. Ipul menyetel televisi menonton apa saja. Akhir-akhir ini dia kurang menikmati berita tentang politik dan seputarnya. Lupi memainkan gitar bolongnya, menyanyiakan lagu Queen. Sampai beberapa menit tak ada gagasan yang diajukan. Semuanya terlihat mandek dan jalan di tempat. “Nah,” kata Lupi tiba-tiba. “Apa?” Ipul penasaran. “Bisnis,” jawab Lupi. “Modalnya gede,” timpal Didi. “Beri gue waktu buat jelasin, “Lupi memulai. Didi dan Ipul bersiap mendengarkan. “Kita jualan makanan. Nasi uduk. Bukanya pagi dan malam saja. Tenang gue bisa belajar dari nyokap gue,” jelas Lupi. “Jualan di mana?” tanya Ipul. “Di perempatan arah kostan kita.” “Enggak bisa. Di sana sudah banyak yang dagang itu—nasi uduk,” imbuh Didi. Lupi tidak sabar menjawab. “Kita bikin nasi uduk yang berbeda. Lagian nasi uduk tuh bisnis jualan yang simpel.” “Kasihan yang jualan. Kita akan mengambil rezeki mereka,” ucap Ipul. “Ah, elu gimana mau jadi pemuda paling tajir se-Indonesia, bisnis pake perasaan segala. Kita bersaing. Kompetitip.” Penjelasan Lupi ini sudah menunjukan betapa dirinya sudah siap untuk turun lapangan menjadi pebisnis. “Ada yang lain?” tanya Didi. Lupi menggeleng-gelengkan kepala. “Elu mau jadi pecundang juga, Di?” Didi menjawab, “gue merasa nasi uduk tidak cocok untuk kita.” “Penjelasan elu?” Lupi menagih alasan. “Gue pikir nasi uduk sudah banyak penjualnya,” jelas Didi dengan tangan yang tak bisa diam, “maksud gue bukan masalah alasan kompetitipnya tapi lebih ke soal kejenuhan pembeli. Di mana-mana nasi uduk, apa para pembeli tidak jenuh itu. Pasti jenuhlah.” “Pembeli butuh sesuatu yang beda. Yang baru,” Ipul memberi ide. Lupi menghela nafas. “Pemikiran kalian bisa dipertimbangkan juga.” “Lalu apa?” Lupi masih tak bisa bersabar. “Ketoprak!” kata Ipul. “Gue suka ketoprak. Ketoprak itu bisa menjadi pengganti nasi. Bikin orang kenyang juga. Gue sepakat dengan ide Ipul.” Didi merasakan perutnya kekenyangan bila mengingat ketoprak. Dari kecil dia memang suka dengan jajanan khas ini. Tapi Lupi masih berberat hati. Baginya ketoprak masih kalah sama nasi uduk. Dia masih mengedepankan egonya lebih karena nasi uduk merupakan kuliner khas Betawi. Dan lebih-lebih ibunya sering menjual nasi uduk di pagi hari. “Gue terserah kalian. Gue setuju,” kata Lupi. Setelah menyepakati bisnis ketoprak, mereka mulai menyusun rencana dari mulai anggaran, tempat, sampai pemberian nama ketoprak mereka. Modal ketoprak mereka peroleh dari rekapitulasi tabungan mereka selama menjadi petugas kebersihan. Tapi itu cukup untuk memodali gerobak dan bahan baku. Untuk sewa tempat mangkal harus mereka pikirkan secara matang. Bukan hanya memikirkan mereka seyogianya mencari kekurangan tersebut. Tapi mencari ke mana? “Minta ke orang tua?” Didi memberi masukan. “Apa memang diizinkan? Mereka pasti bertanya,” Lupi sedikit berkeberatan. “Alasannya kita gunakan uang itu buat bayaran semester. Sudah lama kan kita tidak minta uang semesteran,” jelas Didi. “Jadi pembohong besar?” tanya Ipul setengah hati. Kedua sahabatnya itu melongok seperti orang bodoh. “Kita sudah bhong soal kuliah, sekarang mau ngibulin orang tua lagi?” Ipul melanjutkan. Lupi hanya bereaksi diam. “Kita kan sudah lama tidak minta duit ke ortu kita masing-masing. Enggak apa-apalah berbohong sedikit,” Didi tak mau kalah. Ipul berkeras pendapat. Baginya kebohongan ini sangat tidak terpuji. Ini baginya tindakan seorang pecundang. Dia sangat tidak menyetujuinya. “Kebohongan demi kemajuan,” Didi mencoba meyakinkan Ipul. Ipul tetap tidak sepakat. Sedang lagi-lagi Lupi hanya bisa menyaksikan perdebatan sengit ke dua sahabatnya itu. “Ok kalau begitu elu ada cara lain buat nyari tambahan modal?” tanya Didi ke Ipul. Ipul yang ditanya tidak menyuguhkan jawaban. Dia tak punya solusi cemerlang. “Sidang urun pendapat ditunda!” kata Lupi mencoba mencairkan suasana dengan maksud bergurau. “Enggak lucu,”Ipul sedikit membentak. Lupi yang tidak mudah terpancing emosi hanya diam sambil hatinya ketawa-ketawa. “Kalau begitu gagal deh kita jadi pemuda paling tajir se-indonesia.,” Didi memancing. Lalu dia menyindir Ipul, kapan dong elu beli gadget keluaran terbaru? Kapan elu beli barang serba baru?” Ipul tidak bergeming. Sampai malam tiba Didi dan Ipul tampak masih dingin kecuali Lupi. Tapi Ipul masih belum menemukan jalan keluar. Pikirannya masih buntu. Dia malah menonton berita seputar politik yang sudah ditinggalkannya. Sementara Didi menikmati udara di luar teras kostan sambil berharap Linda akan melewatinya. Perempuan itu masih belum kembali ke kostannya. Pikirannya kacau karena Ipul menolak idenya. Sementara Linda tak keunjung terlihat. Padahal ingin sekali dia bertemu perempuan itu. Harus kemana dia mencarinya atau sekadar mendapat kabar darinya? “Lup, elu setuju dengan idenya Didi?” tanya Ipul yang masih menonton berita televisi. Lupi yang masih asyik memetik gitar langsung menjawab. “Sebenarnya gue enggak setuju. Ini ide yang gila. Seumur-umur gue enggak pernah ngibulin orang tua.” “Tapi kita selama ini sudah bohongin orang tua,” kata Ipul. Dahi Lupi menyeringai. “Hampir satu semester kita tidak masuk kuliah,” terang Ipul. Lupi mengangkat alisnya, pertanda membenarkan. “Menurut gue memang idenya tidak benar tapi...” “Tapi apa?” Ipul menyela. “Tapi tepat, Pul.” “Terus?” “Terpaksa kita mengikuti idenya,” jelas Lupi. “Demi menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia?” “Mengapa tidak?” jawab Lupi. Mereka diam sejenak seperti menimbang-nimbang ide Didi yang memang melawan arus. Pikiran mereka menajdi semrawut gara-gara kekonyolan Didi. Didi jejaka penggila mie rebus itu campur nasi itu memang sudah melewati batas. Dialah biang keladi semua ini. “Didi memang provokator,” ucap Ipul. Lupi membenarkan. Beberapa menit kemudian dia berkata, “tapi sekalipun begitu dia sudah membuat hidup kita menjadi lebih berwarna. Selama ini gue enjory-enjoy saja. Mungkin kalau tidak berkawan dengan dua, hidup gue terasa kaku.” “Betul,”kata Ipul, “tapi tetap saja dia itu gila. Aneh. Provokator. Entahlah gue masih bingung dengan kekonyolan dia itu.” “Tapi ini kesempatan kita, Pul. Coba elu pikirin semuanya dari awal. Kita sudah tidak mementingkan kuliah, lalu mutusin nyari duit sebanyak-banyaknya demi mimpi menjadi pemuda berduit. Mungkin mimpi kita tinggal selangkah lagi. Ayolah, kawan, jangan egois.” “Elu nyalahin gue, Lup?” “Jangan salah paham dulu, begini,”Lupi mencoba menjelaskan, “ok anggap saja sekarang kita berbohong kepada orang tua tapi ini demi masa depan kita. Sekarang gue mau tanya elu,Pul. Seandainya elu jujur tentang kuliah kita, jujur tentang minta modal buat usaha, apa orang tua elu bakal bahagia? Bakal ngizinin?” Ipul menggelengkan kepala. Dia kini menjadi pendengar setia Lupi yang terasa sudah mulai terpengaruh oleh Didi. “Orang tua gue juga bakal kecewa. Bakal enggak ngasih modal. Didi pun begitu. Kita bermain cantik saja,” Lupi menjelaskan lagi. *** Terpaksa dan berat hati Ipul mengikuti ide Didi. Biarlah soal kebohongan kepada orang tua dirinya sendiri yang akan menanggung sendiri. Habisnya, Didi tidak mau bertanggung jawab soal dosa. Didi menyunggingkan senyum. Senyumnya seolah mendapatkan kemenangan dalam sebuah pertandingan penting. Lupi berlega. Kedua sahabatnya mulai bersinergi kembali. Ketiganya mulai mempersiapkan anggaran dan konsep bisnis, tempat, dan pemilihan nama. Anggaran dan konsep bisnis menjadi urusan Lupi dan Ipul. Untuk soal tempat dan nama bisnis Didi ahlinya. Lupi dan Ipul merancang konsep dengan baik. Lupi dan Ipul mencoba menerapkan sajian ketoprak yang berbeda. Sebuah keberanian berbisnis sekalipun pemula. Meskipun pada umumnya bahan dasar ketoprak mereka sama, mereka berani bermain dalam soal bumbu dengan berbagai pilihan menu. Menu pertama, ketoprak pedas sekali. Menu ini diperuntukan bagi pelanggan yang menggilai cita rasa pedas. Karena menurut mereka masyarakat Indonesia adalah pasarnya pedas. Menu kedua adalah ketoprak pedas. Berbeda dengan menu pertama yang tingkat kepedasannya sampai 100%, tingkat kepedasan menu kedua ini berkisar pada angka 80%. Menu ketiga adalah ketoprak sedang. Menu ini diperuntukan buat anak-anak sekolah menengah. Dan menu ketiga adalah menu ketoprak tidak pedas sekali. Menu yang sengaja disajikan untuk anak kecil ini memiliki level kepedasaan 20 %. Singkatnya, aneka menu ini disajikan untuk berbagai ragam usia. Didi sangat puas dengan konsep Lupi dan Ipul ini. Kini giliran dia memberi nama ketoprak mereka setelah selesai mengurus perizinan tempat. “Apa nama ketopraknya, Di?” tanya Lupi. “Ketoprak Doraemon,” jawab Didi lugas. Didi tersenyum. Lupi dan Ipul merasa aneh dengan penamaan tersebut. Didi menguraikan pendasarannya dengan antusias. Pendasaran penamaan tersebut dilatar belakangi oleh tiga hal. Pertama, doraemon merupakan tokoh kartun produksi Jepang yang disukai di berbagai negara, termasuk Indonesia. Siapa tahu dengan memakai nama ini ketoprak mereka disukai oleh pembeli. Kedua, Doraemon adalah kartun legendaris yang disukai oleh lintas generasi. Sekalipun kartun itu diproduksi puluhan tahun silam, tetap saja disukai oleh generasi sekarang. Karenanya Didi berharap ketoprak ini eksis sampai kapanpun. Lebih-lebih bisa menjadi ketoprak legendaris. Ketiga, nama Doraemon merupakan nama yang unik untuk dipadu-padankan dengan kuliner. “Pendasaran yang sempurna,” Ipul memuji. Didi melenggangkan senyum. Tidak percuma gue baca buku, katanya dalam hati. Ah, kata siapa dia membaca buku, toh buktinya dia sudah sangat berjarak dengan buku-buku yang kemarin-kemarin dibacanya. “Kawan-kawan ada yang mau gue sampaikan,” Lupi merasa tidak enak hati menyampaikan gagasannya. “Hah?” Didi menyipitkan matanya. “Apa?” kata Ipul. Lupi menjawab, “tentang promosi.” “Kita mendegarkan,” jawab Ipul. Lupi melihat lekat-lekat wajah Didi dan Ipul secara teratur. Didi dan Ipul balik memandang Lupi dengan saksama dan teliti. “Begini kawan-kawan, gue sangat puas dengan udaha Didi nyari tempat dan nama. Apalagi namanya unik sekali. Gue juga salut sama elu, Pul soal pilihan menu. Kalian pokoknya orang-orang cerdas menurut gue...’ “Sudahlah langsung ke inti,” Ipul menyela. “Setuju,” kata Didi. “Ya percuma saja konsep bagus kalau promosinya tidak bagus,” kata Lupi. “Ya kita sebarin pamflet saja buat promosi,” Didi bersaran. “Atau lewat media sosial,” Ipul menambahkan. “Tapi itu akan terasa biasa-biasa saja kalau kontennya tidak berbeda,” Lupi menyanggah. “Jadi konsep, elu apa?” Didi nampak tidak cukup bersabar. Tingkat semangat yang tinggi mulai menjalari Lupi. “Gue punya usul bagaimana di hari pembukaan bisnis kita ini, kita gratiskan untuk tujuh puluh porsi. Kita pasang pamflet di gerobak ketoprak kita dan sebarkan lewat pamflet. Gue jamin perlahan-lahan ketoprak kita banyak yang kenal. Setelah kenal pasti dibeli deh,” jelas Lupi dengan rinci. Did dan Ipul hening sementara. “Kegilaan macam apa ini?” umpat Didi. Ipul menghela nafas, “belum apa-apa elu sudah merugi. Ingat! Buat nyiapin semua ini tidak mudah, Lup.” “Tujuh puluh porsi pasti terbayar dalam beberapa hari. Lagian tujuh puluh porsi pertama berbeda dengan porsi di hari selanjutnya. Kita pangkas porsinya untuk hari-hari berikutnya.” “Memangkas porsi?” Didi terkekeh yang dipaksakan. Kemudian dia melanjutkan, “porsi yang berbeda, resikonya akan rumit. Bisa-bisa pelanggan kecewa. Tapi yang jelas gue enggak setuju dengan gagasan promosi ini.” “Promosi yang standar aja, Lup,” tukas Ipul. Mendengar reaksi kawannya itu Lupi hanya bisa mengigit bibir. Sungguh keduanya primitif dalam berbisnis, gumamnya dalam hati. “Baiklah,” kata Lupi tenang, “untuk tujuh puluh porsi yang gratis, gua yang bakal ganti ruginya. Jadi elu berdua tidak usah khawatir.” Didi dan Ipul menunduk. Malu menggumuli mereka. Hmmm, pecundang. Untuk mencapai kesuksesan saja keduanya tidak mau berkorban penuh. Jadi pebisnis itu seyogyanya berani melakukan kegilaan meskipun seperti kelihatan merugikan. Tapi hasilnya pasti terlihat di kemudian hari. “Tidak perlu, Lup. Elu enggak usah menutupi biaya promosi,” Ipul berpendapat. Didi menarik nafas. Lega. “Elu emang jempolan, Lup. Gue dan Ipul setuju ide elu. Ingat! Demi menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia.” Mereka tertawa. Lalu mengepalkan tangan dan meninjukannya ke tangan satu sama lain secara serempak. Kini mereka tidak meu berpelukan seperti yang sudah-sudah mereka lakukan. Menurut mereka pelukan kebahagiaan sekalipun masih berada dalam batas kewajaran itu menggelikan. Bahkan terlihat seperti perempuan saja. Bisa membuat bulu kuduk mereka bergidik. Hari pertama pembukaan, jantung mereka berdebar-debar. Karena hari ini merupakan pintu pertama mereka menjalani kehidupan yang berbeda dari hari-hari yang sudah mereka lewati. Karena bisa jadi hari ini adalah hari yang akan menggambarkan masa depan mereka. Karena mereka sudah mantap mengucapkan selamat tinggal kampus, dan tidak tahu apakah suatu saat mereka akan kembali ke kampus lagi atau tidak sama sekali. Entahlah. Mereka tidak bisa memastikan sebab tidak ada yang tahu secara pasti apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tapi dengan jelas mereka menjalani kehidupan sesuai langkah kaki. Ketiganya tidak pernah menduga bisa menjadi penjual ketoprak. Hmmm, bukan penjual ketoprak tapi pengusaha ketoprak, begitu kata Lupi. Ini pasti rencana Tuhan, menurut mereka. Dan seandainya jika ada kesalahan, siapa yang harus disalahkan?” Ah, hidup memang harus selalau berada di tengah-tengah. Kita memilih, memutuskan, dan menjalani. Tuhanlah yangn menentukan. Jadi seandainya ada kesalahan, siapa yang harus disalahkan?” “Tak pernah gue segerogi ini?” kata Didi dengan telapak tangan yang berkeringat setelah mereka membagikan pamflet ke sekitar perempatan mereka berjualan. Bah! Bukan berjualan tapi berbisnis, itu kata Lupi. “Tarik nafas,” saran Ipul. “Siap.” Beberapa menit kemudian para calon pembeli mendatangi ketoprak mereka. “Benar ini dengan ketorprak Doraemon?” kata ibu-ibu kompak. “Ini ketoprak Doraemon yang promosi itu ya?” seraya cewek-cewek yang sepertinya mahasiswi satu kampus dengan mereka bertanya dengan penuh antusisme. “Bang gratisannya masih berlaku?” tanya anak-anak sekolah menengah. “Wah yang jualan ternyata masih berondong ya?” kata ibu-ibu muda sepantaran Linda, genit. Lupi tak bisa menerima klaim sepihak ini. “Kita pemilik, mbak. Bukan penjual. Tapi penjual sekaligus pemilik.” “Oh, sebuah pledoi yang memikat,” sahut salah satu dari ibu-ibu muda itu. Lupi merasa jijik tapi Didi dan Ipul berusaha mengulur senyum. Tujuh puluh porsi dengan cepat habis tidak bersisa. Para calon pelanggan lain yang datang terlambat beraut wajah kecewa, “besok gratis lagi dong, mas.” Ketiga jejaka pebisnis itu memasang senyum terpaksa meskipun hati mereka merasa eneg. Tidak mungki melakukan promosi gila-gilaan terus-menerus ini untuk pebisnis pemula seperti mereka yang modalnya pelintat-pelintut. Wah! Tapi promosi gila ini memang jitu karena hampir tiga ratus orang mendatangi ketoprka mereka. “Ide elu memang mantap, Lup,” Didi memuji. Lupi meninggikan kerah bajunya. Dirinya seperti sedang berada di atas angin. “Permulaan yang meyakinkan,” sambung Lupi. “Pembuktian yang sesungguhnya itu besok hari,” Ipul mengingatkan.

Minggu, 15 Mei 2016

proyek buku "Three bachelors"

Serabuter No. 1 Jakarta oh Jakarta begitukah cara kerjamu? Haruskah mengiklankan lowongan kerja yang bagus-bagus hanya demi menjadi pencari nasabah untuk perusahaan investasi? Semua memang sudah gila. Apapun akan dilakukan untuk mencari mangsa. Tak peduli siapapun itu padahal yang dibohongi sangat berharap mengubah kehidupannya yang itu-itu saja. Ipul yang merasa tertipu merobek-robek habis koran itu. Karena tiap hari lowongan serupa masih saja diiklankan oleh koran nasional dengan alamat imel yang berbeda. Ini pembohongan publik namanya. Beberapa orang lagikah yang akan tertipu oleh iklan saru itu. Ipul yang kesal mencoba iseng mengirim cv ke imel itu. Beberapa menit kemudian ponselnya berdering. Si penelepon meminta Ipul untuk datang ke kantor itu di alamat yang sama, yakni jalan Sudirman. “Kami dari perusahaan Gayalama meminta Anda datang untuk wawancara besok,” begitu kata si penelepon. Ipul langsung menutup telepon. Sialan, bulsit, katanya dalam hati. Lupi yang merasa mimpi-mimpinya akan segera tercapai masih syok. Betapa ia menginginkan pekerjaan itu. Betapa ia sudah mencatat mimpi-mimpinya dalam buku hariannya tapi semua bohong belaka. Betapa dirinya sudah mempersiapkan segalanya dari mulai pakaian hingga sepatu. Dari mulai penampilan rambut sampai ujung kaki. Sementara Didi harus merelakan wanita Malaysia itu bukan karena hanya tidak berhasil mendapatkan pekerjaan yang diimpikan tapi lebih karena wanita itu mau menjadi penipu demi memancing investor. Sungguh cara yang dilakukan jauh dari kejujuran dan profesionalitas. Dunia Jakarta sudah penuh tipu daya. Wanita juga ikut-ikutan menjadi tukang ngibul. Mau jadi apakah bangsa ini ke depan. Jakarta benar-benar tidak dapat dipercaya. Jakarta sungguh telah mempermainkan ketiga jejaka muda itu. “Ada ide lagi?” kata Didi. Ipul masih malas berbicara. Lupi tetap belum bangkit dari kekecewaan. “Apa kalian mau menyalahkan gue gara-gara ini?” Didi mulai tak enak hati. “Ya ini memang salah gue. Seandainya gue enggak ngajakin elu nyari duit hasilnya tidak akan begini,” Didi melanjutkan. Ipul menggelengkan kepala, tidak membenarkan. “Ini resiko kita.” “Anggap saja itu pengalaman berharga,” Lupi mencoba bijak. “Lalu?” tanya Didi. “Aha,” Lupi girang karena mendapatkan ide paska melihat gitar bolongnya. “Itu,” dia menunjuk gitar disudut ruangan itu. “Ngamen?” Ipul menebak. “Yap.” “Ampun deh gue enggak bisa nyanyi,” Ipul mengeluh. “Elu bisa enggak, Di?” “Suara sama gitar suka enggak nyambung sih.” “Gampang,” Lupi menenangkan. “Gue yang main gitar. Gue juga yang nyanyi. Elu berdua tingal ikuti instruksi gue saja.” Ketiga jejaka gendeng itu benar-benar sudah fokus mencari duit. Malam tadi mereka sudah mengatur rencana untuk ngamen di kopaja Jakarta. Lupi yang mengagas ide ini. Dia pun yang mengendalikan vokal dan gitar bolongnya. Sementara Didi memainkan bekas botol mineral yang diisi dengan beras sehingga meniimbulkan bunyi kecrek kecrek. Dan Ipul mendapat tugas untuk mengumpulkan uang dari penumpang dengan plastik bekas makanan ringan. Inilah sementara hal yang bisa dilakukan oleh mereka untuk mengumpulkan uang. Mereka ngamen di Pasar Jumat tempat kopaja mangkal. Kopaja itu berangkat dari Lebak Bulus dan Ciputat dengan tujuan ada yang ke Pasar Senen, Blok M, Tanah Abang, dan wilayah Jakarta lainnya. Mereka memilih Pasar Jumat lebih karena dekat dengan kostan mereka dan pastinya lumayan strategis untuk mengamen. Ketangkasan mereka bersinergi dengan para orang-orang yang sudah bersiap bergumul dengan aktivitas Jakarta. Ketiganya sudah siap secara mental dan fisik. Lupi sudah menyiapkan beberapa lagu alakadarnya. Didi sudah berlatih mengoperasikan kecrekan berasnya itu. Ipul sudah bersimulasi bagaimana caranya menyodorkan dengan plastik bekas makanan ringan. “Ayo cepetan naik,” kata Lupi dengan menaiki kopaja yang mau ke Blok M. Didi dan Ipul mengikuti. “Selamat pagi para Insan pekerja keras Jakarta. Kami, perkenankanlah, sebagai pendatang baru musisi jalanan mengganggu sebentar kenyamanan Anda. Karena memang menyanyi lebih baik daripada mencuri. Menyanyi menjual suara dengan halal. Mencuri, menggunakan tangan untuk hal-hal haram. Sebelum menyanyikan lagu. Perkenalkan saya Lupi sebagai vokalis. Ini Didi sebagai penebuh kecrek, dan ini Ipul sebagai backing vokal sekaligus bendahara kami. Semoga lagu yang akan kami bawakan menyesap ke dada Anda sekalian yang terhormat.” Para penumpang—yang biasa disebut sewa—mulai menyadari kehadiran mereka. “Ok sebuah lagu dari Iwan Fals,” kata Lupi. “Judulnya kemesraan.” Lupi menyanyikan dengan penuh penghayatan dan sesekali dia melihat ke sekitar penumpang. Didi memainkan kecrekannya sesuai tempo lagu. Ipul sesekali membekingi suara Lupi. Para penumpang yang masih terlihat segar sedikit terbawa oleh lagu yang melegenda itu. Mungkin lagu yang dibawakan cocok dengan udara pagi Jakarta yang masih adem dan segar. Bahkan beberapa penumpang mengikuti lagu yang dibawakan Lupi. Hmmm Lupi serasa menjadi Iwan Fals. Dia terbang ke awan. Dua lagu selesai dibawakan dengan satu lagunya dari Slank. Ipul meenyodorkan plastik makanan ringan itu ke seluruh penumpang dari penumpang terdepan sampai ke belakang. Syukur para penumpang menyisihkan dua ribuan. “Terima kasih,” ucap Ipul bahagia karena penumpang berkepala pelontos itu memberikan sepuluh ribuan. “Semoga rezeki Anda lancar, Pak,” Ipul mendoakan si pelontos itu. “Tidak segitu. Aku minta kembalianannya sembilan ribu. Aku enggak ada recehan,” kilah si pelontos. Ipul menghela nafas. “Mana ada penumpang yang berela hati memberi uang sepuluh ribu,” gumamnya dalam hati. “Ini,” kata Ipul dengan berat hati. Si pelontos senyum-senyum. Didi dan Lupi yang menyaksikan ikut senyum pula. “Terima kasih atas kemurahan Anda. Semoga selamat sampai tujuan. God bless you all,” kata Lupi menutup aksinya. Ketiga jejaka muda itu meloncat dari kopaja yang mulai berjalan cepat. Kemudian ketiganya bersiap ke kopaja yang lainnya. Matahari Jakarta semakin terik. Sudah beberapa kopaja yang mereka sambangi. Mereka duduk di sisi-sisi jalan Pasar Jumat. Mata Ipul memicing karena tak tahan menahan terik. Didi menciptakan angin sendiri dan kibasan koran. Lupi menghitung uang hasil dari ngamen. “Wah lumayan. Baru setengah hari sudah dapat seratus dua puluh ribu.” “Mantap, Lup,” seru Ipul. “Kalikan saja seratus dua puluh ribu dikali tiga puluh hari. Lumayan buat jajan, buat bayar kostan, buat traktir bidadari-bidadari kalian,” Didi meneruskan. “Elu harus rajin-rajin menghapal banyak lagu, Lup.” “Siap,” kata Lupi. Mereka bersiap lagi beraksi. “Halo,” seorang pria berjaket kelabu, berjenggot kumal, berambut lusuh dengan rokok yang menyala menegur mereka. “Halo juga,” jawab Didi santai. “Anak mana kalian?” tanya si pria itu. “Anak sini, bang,” giliran Lupi menjawab. “Gue baru lihat muka kalian.” “Kita pendatang baru, bang.” Ipul menimpali. “Kalian pergi dari sini sekarang juga. Tidak usah ngamen lagi di kawasan ini,” katanya sambil bertolak pinggang. “Tapi,...” tukas Lupi. Sebelum meneruskan perkataan beberapa anak jalanan muncul dari belakang pria berjaket itu. Pakaian mereka layaknya pakaian preman. Wajah mereka sangar dengan memegang pentungan dan sabuk yang terbuat dari benda tajam. Tapi sebenarnya mereka pengamen yang biasa mangkal di Pasar Jumat. Artinya dengan kehadiran ketiga jejaka muda itu jatah mereka untuk mendapatkan uang sedikit tersendat. Salah mereka tidak ngamen pagi-pagi. Ketiga jejaka muda itu mulai mengerti dengan suasana ini. Ingin mereka menawarkan solusi di mana kalau pagi-pagi sekali itu jatah ketiga jejaka miris itu untuk ngamen. Dan selebihnya adalah hak para pengamen lama. Penawaran itu tidak disampaikan karena hal-hal yang sia-sia. Para pengamen lama tidak mau terusik. Lebih baik ketiga jejaka itu angkat kaki dari dunia musisi jalanan. Jakarta memang sialan. Sudah ditipu oleh lowongan iklan kerja ditambah pula dengan usiran secara halus oleh para pengamen merangkap preman Pasar Jumat. Langkah mereka lusuh. Tubuh mereka dialiri keringat yang apek dan bau ikan asin. Kemudian mereka mendarat di warung kopi. Para pelanggan yang sedang menikmati kopi merasa terganggu. Telapak tangan mereka menutupi hidungnya karena tak kuat menahan bau. Ketiga jejaka bau itu sedikit risih tapi mereka datang tidak untuk mengganggu tapi untuk membeli. “Kita seperti makhluk-makhluk yang terbuang di kota ini,” kata Didi sambil melirik para pelanggan yang jijik kepada dia, Lupi, dan Ipul. “Mereka sok bersih,” umpat Lupi pelan karena takut terdengar oleh pelanggan yang lain. “Ada solusi lagi?” Ipul menenggak es teh manis dengan garang. Dia tak menghiraukan sikap tak hormat para pelanggan lain. Didi melahap mie rebus dengan beberapa gorengan. Kemudian dia mengusulkan, “kita ngamen di komplek orang kaya saja. Bagaimana?” “Ide yang cemerlang,” suara Lupi yang keras mengagetkan para pelanggan yang lain. Dia melanjutkan, “tapi komplek perumahan kelas menengah juga harus kita bidik. Mereka biasa peduli sama orang-orang terbuang seperti kita.” “Mantap,” Kata Ipul. Mereka bersiap memulai aksi baru. Sebelum meninggalkan warung kopi Sunda itu Didi berkata, “mang semuanya berapa? Sekalian dengan yang dipesan para pelanggan yang cunihin—gelo ini?” Si mamang warung kopi tersenyum, sedang para pelanggan yang menyebalkan melirik Didi. Mungkin mereka tidak mengerti makna cunihin tapi muka mereka sedikit memerah. “Elu masih bocah kemarin. Jangan banyak tingkah elu. Elu pikir gue enggak ngerti maksud elu. Gue sudah lama di Pasar Jumat ini. Elu mau habis di sini. Elu punya apa berani ngomong gitu? Mau elu gue panggilin anak-anak sini. Duel jantan. Satu per satu,” umpat salah satu pelanggan yang rupanya kuncen Pasar Jumat ini. “Ngerti enggak elu?” dia membentak. Didi mulai panas dingin. “Enggak bang kita cuma mau bayarin doang, kok. Enggak ada maksud apa-apa,” Didi berkilah. “Pergi kalian bocah-bocah bau,” kata si pria itu. Didi, Lupi, dan Ipul langsung ngibrit. “Taik kucinglah orang itu,” umpat Didi. “Ngomong apa elu?” ucap salah seorang pria yang lagi nongkrong dengan teman-temannya yang main catur. Mereka merasa apa yang diumpatkan Didi itu tertuju kepada mereka. Pria itu mulai geram. Didi menghela nafas. “Enggak, bang. Maksud saya teman saya ini bau badannya kayak taik kucing,” Didi beralasan dengan menunjuk Lupi. “Iya, bang. Badan saya bau kayak taik kucing. Maklum tidak mandi beberapa hari,” kata Lupi terpaksa. “Lain kali elu mandi yang bener ya. Jadi pemuda harus klimis kayak gue supaya cewek suka sama elu,” si pria itu menasehati dengan berlagak sombong. Lupi manggut-manggut. Didi dan Ipul menahan tawa. “Sudah pulang elu. Cepetan mandi,” kata si pria itu lagi. Ah, hidup di jalanan memang selalu tak disangka-sangka. Mereka pikir jalanan itu datar-datar saja tapi kenyataannya penuh dengan gesekan, umpatan, sampai kekerasan. Sekali saja lengah, habislah kita. Sekali saja bertingkah babak belurlah wajah kita. Tapi bagi ketiga jejaka tanggung itu kehidupan jalanan yang baru mereka rasakan seolah kehidupan lain yang sangat kontras dari kehidupan di kampus. Di kampus mereka harus selalu tampil sempurna dan paripurna. Di jalanan mereka tidak perlu berepot-repot menampilkan fisik agar terlihat apik. Apakah mereka akan tetap memilih kampus atau memutuskan menjadi manusia jalanan? Siang yang terasa tidak bersahabat itu mereka lakoni dengan mengamen di komplek sesuai usulan Didi. Keringat dan baju lusuh sudah mereka akrabi. Jadi tak perlu repot-repot lagi pulang ke kostan untuk mandi. Stereotif manusia jalanan setidaknya sudah mereka akrabi. “Selamat siang ibu-ibu. Ibu-ibu saja ya. Kan bapak-bapaknya sedang pada kerja,” Lupi memulai aksinya. “Mohon maaf apabila suara ini mengganggu. Ini sebab karena kami hanya ingin mencari seperak dua perak dari rezeki yang Anda sisihkan. Daripada nyolong entar diboyong ke kantor polisi. Di akhirat nanti gosong. Lebih baik kami menyumbangkan suara alakadarnya. Kalau terganggu tinggal bilang saja. Kalau tidak terganggu kami ucapkan beribu-ribu terima kasih. Ini lagu persembahan dari kami.” “Maaf mas kami tidak menerima sumbangan,” kata wanita yang kira-kira berusia sekitar lima puluh ini. “Ibu yang punya rumah ini?” tanya Didi. “Bukan. Saya hanya pembantu rumah tangga.” “Nyonya dan tuannya ke mana?” “Semua kerja. Rumah ini kosong kalau wayah gini,” katanya dengan aksen jawa yang masih terasa. “Kesempatan dong,” kata Didi. Si pembantu itu tidak mengerti. “Begini ibu yang baik hati. Kita mau menyanyi di sini. Soal bayaran gampang. Tidak usah pake uang. Apa saja deh yang penting bisa dipake. Bermanfaat githu, Bu.” “Tapi aku enggak ngerti lagu-lagu zaman sekarang. Aku ngertinya lagu Jawa lho, mas.” Ketiga jejaka muda itu mikir-mikir. Si ibu nampak punya ide. “Begini saja, mas. Kebetulan ada makanan di dapur.” Ketiga jejaka muda itu mulai sumringah. “Tapi sisa tadi malam, mas. Masih segar kok. Entar aku panasin yah. Sayang kan soalnya tidak ada yang makan.” “Malahan kucing pun tidak mau memakannya,” kata si pembantu. Ketiga jejaka yang terbuang itu lesu tapi mata mereka membelalak. ‘Gimana mas?” tanya si pembantu ingin memastikan. “Enggak apa-apa, Bu. Terima kasih sudah mau berbaik hati,” kata Ipul setengah hati. Semakin siang beranjak, perut mereka mulai keroncongan. Mie rebus plus gorengan yang dilahap Didi belum benar-benar menghilangkan rasa laparnya. Lupi yang tadinya tak berselera makan mulai merasa lapar. Begitu pun dengan Ipul. Mau membeli nasi padang tapi tempatnya lumayan berjarak sementara perut mereka tak bisa kompromi. Terpaksa mereka memakan makanan pemberian si pembantu yang kucing pun enggan memakannya. Akhirnya mereka membuka makanan yang diwadahi kotak nasi. “Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada nasi padang, nasi sisa pun tak jadi soal. Bahkan kucing tak mau pun tak jadi masalah.” Kata Ipul. Didi sudah membuka duluan. Wow! Rezeki yang tak diduga-duga. Kotak nasi itu memiliki menu udang bakar yang kemerah-merahan. Sangat menggoda lidah. Ayam panggang yang masih terlihat segar. Sambal terasi yang menggugah selera. Dan beberapa lalapan yang segar, yang cocok bila dicocol ke sambal. Benar-benar makanan yang nikmat untuk disantap di siang hari. Mereka makan di taman komplek dengan lahap sekali. Sekonyong-konyong mereka teringat semasih tinggal di pondok pesantren. Karena bagaiamanapun gendengnya mereka adalah alumni pondok pesantren yang penuh kesederhanaan. Ipul mengingat bagaimana pondok pesantren mengajarkan kesetaraan di mana para santri makan bareng melalui nampan yang besar dengan lauk-pauk yang sederhana pula. Lupi mengenang ketika di bersama para santri lainnya masak bareng dengan peralatan yang seadanya dan bahan-bahan yang dimasak juga alakadarnya. Didi membuka kenangan bagaimana dirinya dan santri-santri lain senang bukan main ketika mendapatkan makanan dari warga yang menyumbang. Begitu nikmatnya saat itu. Kini suasana itu terulang kembali. Betapa kota Jakarta yang tak bersahabat tetap saja membuka kenangan mereka di masa-masa pesantren dulu. “Ayo kita nyari duit lagi,” kata Didi setelah mengakhiri lapar mereka. “Siap,” jawab Ipul. Mereka kembali beraksi. Ketiga jejaka itu mulai menyambangi rumah-rumah mewah dengan lagu-lagu gubahan Lupi. Jakarta yang masih terik tak menyurutkan langkah mereka. Karena mereka sudah berkeyakinan bahwa ini adalah pilihan mereka yang harus dipertanggung jawabkan. Sore sebentar lagi mengerubungi Jakarta. Mereka tetap menyambangi rumah satu per satu. Para penghuni rumah yang diwakili pembantunya sudah berbaik hati memberikan mereka uang seperak-dua perak. Beberapa menit kemudian mereka mengakhiri ikhtiarnya. “Dapat berapa pul?” tanya Lupi yang suaranya hampir habis. “Lebih sedikit ketimbang di Kopaja. Delapan puluh ribu, bro.” “Lumayanlah untuk hari ini. Tinggal lanjutkan besok.” “Betul,” kata Lupi. Esok memang terasa cepat datang bagi para pemburu pulus di Jakarta. Ketiga jejaka itu mulai bersiap dengan penampilan yang sederhana. Kalau mau turun ke jalan memang harus sederhana supaya mengundang simpati tapi baru seharian panas-panasan kulit mereka hampir gosong. Tidak peduli lah toh cewek mana yang mau melirik seorang pengamen jalanan. Di Jakarta ini segalanya diukur dari barang apa yang melekat dengan kita. Makanan apa yang biasa kita santap di pagi sampai malam hari. Destinasi mana yang dikunjungi jika akhir minggu tiba. Sedangkan bagi jejaka muda itu apa yang dimiliki mereka kecuali kegilaan yang mereka tampilkan kepada dunia. “Lagu apa hari ini, Lup?” tanya Ipul. “Lagu yang kemarin gue bawakan. Gue enggak terlalu hapal lagu lainnya. Kalau bawain lagu Barat kan sangat tidak mungkin,” Lupi menyombong. Mereka bertiga berangkat menuju komplek yang berada di depan komplek kemarin yang mereka sambangi. “Ada perlu apa?” tanya satpam komplek. Lupi menjelaskan maksud mereka. “Maaf. Di sini dilarang ngamen,” tegas satpam kekar itu. “Tapi kami cuma pengen ngamen saja. Tidak akan mengganggu,” terang Ipul. Keputusan sudah bulat. Mereka tidak diperkenankan mengamen. Ya mau tak mau mereka ke komplek kemarin. Tapi sayang di depan pintu gerbang itu tertulis : Dilarang Ngamen Di sini lagi. Tertanda ketua Satpam. Terima kasih.” Ketiga jejaka itu beralih ke komplek lain. Ternyata mereka menemukan hal yang sama: Dilarang Ngamen Di sini. Tertanda lurah. Terima kasih. Sungguh Jakarta semakin tidak berpihak kepada mereka. Mengamen seperti mencari kerja di perusahaan saja. Susah bukan main. Mau jadi apa bangsa ini? Kelas tertindas saja susah diberi ruang untuk mengembangkan potensinya, mencari rezeki yang halal. Dunia semakin menunjukan keegoisannya. Ah, zaman semakin modern tapi cara berpikir masih kalah dengan orang-orang terdahulu. “Ada solusi?” Ipul mencoba tenang sambil menikmati hembusan angin pohon akasia di dekat pintu gerbang komplek itu. “Kita tanya ke Siswo. Dia kan sekarang lagi ngerjain proyek penelitian bersama seniornya. Siapa tahu dia bisa mengajak kita jadi relawan surveyor,” usul Didi. “Patut dicoba,” tegas Lupi dengan mantap. Siswo merupakan kawan terdekat sekelas mereka, Dia salah satu mahasiswa tekun, aktivis forum diskusi, dan dekat kepada para senior yang bekerja di lembaga penelitian politik dan sosial independen. *** Siswo, kawan terdekat mereka dari Brebes, mendaftarkan mereka mengikuti penelitian survey politik. Penelitian politik ini dilaksanakan menjelang Pilkada dengan tujuan mengukur kekuatan kandidat para calon. Kebetulan survey ini dilaksanakan di wilayah Banten dan Jakarta. Didi mendapat tugas di Banten, sedangkan Ipul dan Lupi mendapat tugas di wilayah Jakarta dengan area yang berbeda. Lupi di daerah Timur dan Ipul mendapat tugas di daerah Jakarta Pusat. Didi berangkat dari Jakarta pagi sekali dengan naik bus Kalideres menuju Banten supaya tiba di tempat tujuan tidak terlalu siang. Setelah hampir tiga jam perjalanan, tiba sudah Didi di tempat tujuan. Di desa Antah Berantah. Tempat ini yang akan menjadi tujuan penelitian Didi. Sebelum memulai penelitian Didi mengurusi perizinan dengan pemerintahan desa setempat. Kemudian paska beres perizinan, dia mulai menggunakan metode acak sampel guna menentukan rukun tetangga mana yang akan diteliti. Setelah mendapat rukun tetangga mana yang akan diteliti, Didi menemui rukun tetangga terpilih untuk meminta izin melakukan penelitian dan meminta daftar warga rukun tetangga yang terpilih. Daftar warga didapat lalu Didi menggunakan metode acak sampel lagi untuk menentukan sepuluh orang yang akan diwawancarai. Begitulah metode sederhananya penelitian survey itu. Metode itu harus benar sesuai instruksi peneliti senior. Karena kalau salah dalam metode hasil penelitian akan jauh dari keakuratan. Ini soal ilmu statistika sosial dan penelitian empiris. Sama sekali tidak ada kendaraan atau ojek di daerah itu, jadinya Didi memulai wawancara dengan berjalan kaki untuk mendatangi responden yang akan diwawancarai. Berdasarkan petunjuk warga rumah responden pertama sudah ketemu. Syukur sang target sedang ada di rumah. Responden pertamanya ini seorang bapak yang usianya sekitar lima puluh tahunan. Sebagaimana orang desa yang selalu ramah pada tamunya bapak itu mempersilakan Didi duduk dan meminta penjelasan ihwal kunjungan Didi itu. Si bapak itu mengangguk-angguk. Dia bersiap diwawancarai. Didi mengambil nafas karena memang kuisioner pertanyaan itu berjumlah dua ratusan lebih. Dia harus mencari cara agar si bapak mengerti setiap pertanyaannya mengingat faktor pendidikan si bapak ini yang kurang sesuai dengan isi pertanyaan itu. Mendadak beberapa warga mendatangi rumah si bapak itu. Berkumpul. Mereka meneliti Didi seolah-olah orang luar angkasa. Ada yang mesem-mesem. Ada yang berbisik-bisik. Ada yang menampilkan wajah yang menyimpan harapan. Tapi Didi mencoba besikap biasa-biasa saja karena bagaimanapun dirinya juga orang kampung. Dia terus mewawancarai si bapak itu dengan pelan tapi serius. Kadang Didi mencoba memakai bahasa sederhana. Tidak menggunakan bahasa yang kaku dan melangit seperti dalam kuisioner. Dia baru merasakan bagaimana menjadi penerjemah bahasa kuisioner yang merupakan bahasa akademis ke dalam bahasa sehari-hari. Butuh perjuangan dan ketelitian memang. Sungguh menjadi peneliti yang turun lapangan tidak semudah seperti yang ditampilkan di televisi. Wawancara selesai sudah dengan menghabiskan waktu satu setengah jam. Si bapak menawarkan makan alakadarnya. Didi menerima karena di daerah itu tidak ada warung nasi. Dalam acara makan sederhana itu berlangsung obrolan yang serius antara dirinya dan si bapak itu. Didi mulanya tidak menyangka sama sekali. Si bapak yang kulitnya mulai mengeriput kerap menyimpan harapan kepada pemuda yang meneruskan studi ke kampus supaya menjadi orang jujur. Menurutnya setelah menonton berita dirinya merasa kecewa melihat orang-orang pintar dari kampus yang masuk penjara karena kasus korupsi. “Saking pinterna akal teu teu digunakan. Malah maling duit rakyat—saking pintarnya akal tidak digunakan. Malah maling duit rakyat,” katanya heran. Didi mendengarkan dengan seksama. Dia menjadi mafhum bagaimana masyarakat biasa sekarang sudah cukup kecewa denga para petinggi di negeri ini. “Semoga adik jadi mahasiswa anu bener nganggo akal—menjadi mahasiswa yang benar menggunakan akal,” kata si bapak itu lagi. Didi masih mendengarkan. “Bapak pasti ngadu’aken adik Didi supaya jadi mahasiswa anu bener—bapak pasti mendoakan semoga adik Didi menjadi mahasiswa yang benar,” katanya lagi seolah ingin menumpah ruahkan isi hatinya. Didi mengangguk dengan mengucapkan terima kasih. Acara makan sederhana itu selesai dengan meninggalkan pengalaman yang berharga. Mendengarkan suara yang muncul dari seorang bapak yang tidak lulus sekolah dasar tapi cukup prihatin dengan kelakuan para pejabat dan birokrat negeri ini. Tiba-tiba Didi mengingat kampusnya tempat belajar. Mengingat teman-temannya yang sekarang mungkin sedang belajar di kelas. Dan mengingat keluarganya yang pasti berharap dirinya menjadi orang yang benar-benar diharapkan oleh bangsa dan negara. Tapi ah tidak tahulah semua itu. Dia melakukan penelitian ini demi mendapatkan uang agar bisa hidup di Jakarta. Agar bisa membayar kostan untuk beberapa bulan kemudian. Agar bisa membeli segala yang diinginkannya. Agar tidak meminta lagi kepada orang tuanya. Didi kemudian beralih ke responden lainnya yang ternyata rumahnya cukup berjauhan. Berjalan kakilah dia dengan dilihat masyarakat sekitar. Didi menyapa mereka hangat. Mereka menyapa balik Didi. Setelah hampir seharian Didi sudah menyelesaikan sembilan responden. Artinya dia tinggal menyisakan satu responden lagi. Dia berniat melanjutkannya besok. Karena ini hampir menjelang malam. Tidak enak harus mengganggu ketenangan warga karena urusan penelitian ini. “Tidur di mana nih gue malam ini?” gumam Didi. Tidak mungkin dia pulang ke Jakarta karena ini sudah larut malam. Akses ke kendaraan terlalu jauh. Lagian tidak mungkin pulang juga sebab wawancara belum rampung semua. Dalam dirinya dia berharapa agar ada warga yang menawarkan dia tidur untuk satu malam saja. Apakah kembali ke rumah si bapak itu? Ah tidak mungkin dia tidak kuat harus mendengarkan keluh kesahnya. Apakah harus meminta bantuan ke Pak RT atau Kepala Desa? Ah tidak itu akan merepotkan. Beginilah menjadi surveyor lapangan. Harus siap menerima resiko menghabiskan malam tapi tanpa tahu di mana akan tidur. Tubuh Didi sudah pegal-pegal karena dibawa berjalan kaki. Kakinya terasa encok. Matanya sudah tak kuat menahan kantuk tapi perut lapar. Dia sudah ingin merebahkan tubuhnya. Didi mencari mesjid terdekat. Membuka pintu mesjid, mengucapkan salam kepada penghuni gaib mesjid, lalu tubuhnya sudah tak kuat lagi berdiri. Dia sudah jatuh tertidur di lantai mesjid. Angin malam berhembus menembus dinding kokoh mesjid. Hembusan angin yang sejuk menjadi menderu. Sesekali angin itu diiringi air. Padahal hujan tidak turun. Mungkin air laut yang terbawa oleh kekuatan angin. Suasana mesjid tiba-tiba menjadi gelap. Didi terbangun serentak. Didi mulai was-was. Dirinya mulai berlindung di mimbar mesjid. Tapi angin semakin kencang. Dibacanya ayat suci. Dikumandangkannya azan. Suasana malah kian mencekam. Nafas Didi mendadak sesak. Matanya membelalak ketika melihat keranda melayang sendiri ke arahnya. Haruskah hidupku berakhir begini, Tuhan, katanya dalam hati. Keranda melayang mendekati dirinya. Tuhaaaaaaaaaaaan, katanya. “Mas, gugah, mas—bangun, mas. Ini sudah subuh,” kata pengurus Masjid. “Cuma mimpi. Kampret,” gumam Didi dalam hati. Pak RT yang hendak shalat subuh menyapa Didi. Dia mengatakan mengapa Didi tidak menginap di rumahnya saja. Pak RT merasa tidak enak hati kemudian meminta Didi untuk sarapan di rumahnya paska salat subuh. “Oh, begitu,” kata Pak RT setelah mendengar cerita mimpi Didi. Beberapa menit kemudian ibu RT datang menghidangkan teh hangat dan nasi uduk ala Sunda. Nasi uduk jengkol. Didi yang lapar melahap habis hidangan itu. “Lain kali kalo mas tidur di mesjid itu lagi kudu minta izin selain mengucapkan salam. Konon penunggu mesjid merasa risih. Itu sih hanya peringatan saja,” kata Pak RT menjelaskan sambil menyuruput kopinya. Bahu Didi bergidik. Ah tidak mungkin dia akan tidur di mesjid itu lagi. Bukankah ini hari terakhir wawancara? Selesai wawancara dia akan langsung pulang ke Jakarta. Melaporkan hasil penelitiannya kepada kordinator. Kemudia menerima honor dari hasil kerjanya. Dan tinggal santai sebentar bersama Lupi dan Ipul sambil menceritakan pengalaman masing-masing turun ke lapangan, lalu nyari duit lagi. Ya hidup ketiga jejaka muda itu sekarang konsentrasi mencari duit yang banyak. Kuliah? Itu urusan nanti saja. Didi hendak menuju responden berikutnya sekalian pamit kepada Pak RT. Kemudian dia berbisik pelan, “Pak RT salamin sama keponakan bapak yang geulis itu—cantik itu.” Pak RT tertawa kecil. Didi memang anak kampung yang bermetamorfosis menjadi anak Jakarta yang tak tahu diri. Tapi Pak RT memakluminya karena memang juga dirinya sudah akrab dengan jejaka gebleg ini. Sebabnya mereka sama-sama dari Sunda meskipun terdapat aksen yang sedikit berbeda. Sunda Bogor lebih halus ketimbang Sunda Banten yang terdengar kasar. Responden terakhir adalah seorang ibu muda berusia kurang dari empat puluh. Agak takut dengan kedatangan Didi, ibu itu memanggil suaminya. Diwawancarainya ibu itu dengan ditemani suaminya. Setiap pertanyaan dijawab dengan lancar. Bahkan Didi tidak perlu berepot-repot untuk menerjemahkan bahasa kuisioner. Sampai dipertanyaan selanjutnya ihwal harapan yang diwawancara soal masa depan Indonesia yang menguras emosi. Si ibu menangis mengapa pemerintah tidak berpihak kepadanya. Suaminya baru saja keluar dari pekerjaannya karena ikatan kontrak sudah habis. Kini mereka harus berjibaku dengan hidup untuk kehidupan sehari-harinya. Mengapa para calon kepala daerah hanya memasang poster-poster mereka tanpa mengetahui persoalan dirinya dan rakyat kecil yang senasib dengannya. Mereka hanya membagikan uang dua puluh ribuan, baju, dan stiker tanpa mendengar kelus kesah rakyat. Program-program yang diusung pun terkesan basi-basi. Lagu lama yang tak bosan-bosan diputar. Si ibu berharap hasil wawancaranya ini akan sampai kepada para pejabat negeri ini. Wajahnya menggambar harapan yang membubung tinggi. Ingin kelak dirinya bisa seperti keluarga sejahtera lainnya. Si filsuf dramatik mencoba menahan air mata. Emosinya tersulut. Dia semakin geram dengan pemerintah, terutama para pejabat. Bayangan-bayangan demonstrasi menyeruak kembali diingatannya. Ketika itu bagaimana ia bersama Lupi, Ipul, dan kawan aktivis lainnya menyuarakan kegelisahan mereka terhadap persoalan-persoalan negeri ini yang tidak kunjung selesai. Tapi persetanlah semua itu. Dia bersedia turun ke lapangan yang curam, berkeringat, jalan kaki, tidur di mesjid demi mendapatkan beberapa lembar rupiah. Tidak untuk menjadi dewa penolong rakyat. Dia hanya menjadi relawan yang dibayar atas kerjanya. Titik. Perlahan hati Didi terhunus mengingat ia memang manusia yang dibekali hati oleh Tuhan. Hatinya kali ini berfungsi untuk merasakan, menyesap, dan mendengarkan suara-suara sumbang dari dusun negeri ini. Didi sadar jawaban si ibu ini tidak akan direspon sekalipun para kandidat calon membacanya. Toh jawaban kuisioner ini dimanfaatkan guna mendobrak tingkat keterpilihan mereka. Selebihnya adalah basa-basi. Diam-diam dia merasa berdosa dengan kerja wawancara ini. Tapi sekali lagi ini memang bagian dari penelitian empiris dan tanggung jawabnya sebagai peneliti lapangan. Didi harus menerimanya. Dua lembar uang seratus ribuan dirogohnya dari kocek. “Ini untuk keluarga. Lumayan buat beli beras dan lauk-pauknya,” kata Didi yang akhirnya menangis juga. Si ibu dan suaminya menolak, tapi didi berkeras agar keluarga yang sedang tak beruntung itu untuk menerimanya. Selesai juga kerja lapangan ini. Hati Didi lega. Pikirannya sudah lapang. Kini tinggal pulang ke Jakarta. Bertemu dua koleganya yang masih di lapangan. Melaporkan hasil penelitiannya. Dan menerima honor. Indah benar hidup ini. Ah, tapi suara-suara yang lahir dari pedalaman itu masih mengganjal dalam dirinya. Kapan negeri ini dianugerahi kesejahteraan yang merata? Kapan negeri ini tidak terdapat lagi orang-orang yang mengeluh karena tidak mampu membeli beras? Kapan? Ah biarlah. Ah biarin. Toh masih banyak petinggi negeri ini yang peduli terhadap rakyat yang masih terkatung-katung. Toh masih banyak mahasiswa yang jujur, pintar, dan peduli dengan negeri ini. Ya benar masih banyak, tapi termasuk tipe mahasiswa apa dirinya. Sudahlah! *** Ketiga jejaka gila itu sudah berkumpul kembali di kostan. Wajah mereka menggambar kebahagiaan terutama Lupi dan Ipul. Sebab honor mereka akan digunakan untuk bidadari-bidadari pujaannya itu. “Kenapa murung, elu Di?” tanya Ipul. “Kangen Linda?” Lupi menebak. Didi tidak menjawab. Lupi dan Ipul saling melirik, menangkat bahu mereka yang terlihat segar. “Kalau penelitian lagi gue enggak mau turun di pedalaman,” kata Didi. Ipul bertanya, “kenapa, bro?” “Menyesakan,” kilah Didi. Didi menceritakan pengalaman memilukan ketika penelitian di Banten dengan detil. Lupi dan Ipul terharu, mengelus dada. “Gue enggak enak hati mendengar keluhan mereka. Gue kan kerja wawancara dapat duit, mereka malah dapat isak tangis,” kata Didi, masih murung. Lupi dan Ipul mengelus bahu Didi pelan. “Sudahlah. Tak usah elu jadi dramatik begini,” Ipul mencoba menghibur hati Didi. “That’s right,”Lupi membenarkan. “Tapi, elu, pul selama wawancara di komplek Jakarta dapat tante-tante yang cantik enggak?” Didi mulai gatal. Ipul menggelengkan kepala sebagai rasa tak percaya dengan perubahan Didi yang begitu mendadak. Lupi tertawa terbahak-bahak. ‘Penyakitan,elu. Virus Linda masih menyebar,” timpal Lupi. “Enggak ada pengalaman yang menarik selama survei di Jakarta. Kebanyakan responden kota tidak terlalu peduli dengan politik. Mereka lebih peduli dengan dapur mereka. Mereka sudah muak dengan politik,” kata Ipul. “Betul,” Lupi menyetujui. “Tapi, “ kata Ipul, “ada nih tante yang asyik. Responden gue,” Ipul menggoda. “Siapa?” Didi tergoda. “Isterinya bapak kostan,” Ipul menipu. “Neraka, Lu,’ timpal Didi kesal. Kemudian dia meminum kopi Lupi. “Aduhhhh. Pedes banget nih kopi,” Didi menyeringai. Bibirnya langsung jontor. “Kopinya gue campur merica bubuk, tujuh sendok. Supaya gue lancar berak,” Lupi ngikik. Ipul juga ikut ngikik. Didi lekas minum di dalam botol mineral, “gila rasa asam apa ini?” “Itu cuka, bro. Cuka sekarang pake kemasan botol mineral,” timpal Ipul yang tidak bisa menahan tawa. Sedang Lupi semakin ngikik. *** Honor dari penelitian habis sudah. Hanya menyisakan beberapa lima puluh ribuan saja. Honor itu mereka gunakan untuk membayar kostan selama beberapa bulan. Digunakan untuk membiayai kebutuhan mereka ke depan. Tapi mereka sudah lupa dengan buku. Lupi gagal membelikan novel John Grisham untuk Nurkho karena Nurkho sudah memiliki seluruh novel yang diburunya itu. Lagi pula sekarang Nurkho sedang asyik dan sibuk mendalami dunia tulis-menulis. Jadi ia berusaha menghindari gangguan dari Lupi dan pria-pria lainnya. Ia memang wanita berintegritas dan berani mengambil resiko. Tapi Lupi tetap menaruh hati kepada perempuan cantik itu. Ipul mengendurkan niat untuk memamerkan uangnya yang sedikit itu kepada gadis mangga Inderamayu. Dia terhindar menjadi lelaki sombong. Tuhan menyelamatkannya. Uang sudah menipis. Mereka harus segera mencari jalan keluar. Akan ke mana sekarang mereka mencari penghasilan? Sedang studi mereka untuk beberapa mata kuliah menuju kehancuran. Dari enam mata kuliah yang diambil semester ini, kemungkinan tiga mata kuliah yang akan lancar-lancar saja itu pun sudah dipastikan nilai dari tiga mata kuliah tersebut jauh dari A dan B. Ditambah mereka sudah semakin tidak bersemangat mengikuti kelas yang membosankan. Imbas dari kekacauan kuliah mereka itu adalah Ipul diturunkan dari jabatan ketua kelas. Tapi Ipul berkeras pendapat bahwa dirinya tidak diturunkan melainkan sadar mengundurkan diri. Ipul senang karena dirinya bebas untuk tidak mengikuti kuliah. “Keputusan sudah disepakati. Jadi hidup kita tidak boleh nanggung,” ucap Didi memberi semangat. Bah! Bukan semangat tapi propaganda yang sempurna. “Tugas kita sekarang adalah mewujudkan cita-cita untuk menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia. “Sepakat,” kata Lupi. Ipul memberi jempol kepada Didi. Ipul mulai berselancar di dunia maya untuk mencari penghasilan tambahan. Lupi mulai mencari informasi kanan-kiri. Didi mulai memikir-mikir tempat kerja yang tidak membolehkan kerja paruh waktu. Terpikir olehnya untuk menimbang gerai cepat saji yang pernah ia dan kedua sobatnya itu datangi. Didi menelepon gerai itu tapi lowongan sudah ditutup. Satu-satunya jalan adalah membuka halaman lowongan kerja di koran meskipun dirinya sudah kapok gara-gara PT. Gayalama yang tidak jelas itu. Aduh, setiap lowongan menginginkan kualifikasi sarjana. Ada perusahaan yang tidak memerlukan gelar sarjana tapi itu diperuntukan untuk wanita. Wanita memang beruntung. Mereka selalu diproritaskan meskipun masih terdapat dari beberapa mereka yang menggaungkan gerakan kesetaraan. Koran yang dibacanya sudah gila. Iklan lowongan data entri dengan tawaran penghasilan tiga juta setiap minggu itu masih bertengger. Kacau sekali. Berapa korban yang akan tertipu lagi dari para pelamar yang berharap-harap cemas. Didi merobek-robek koran itu. “Gue dapat, bro,” Ipul berteriak sumringah. Didi dan Ipul menghambur ke arah Ipul. Segera mereka mengirimkan data diri ke alamat imel yang dituju. Data diri itu tidak perlu ditulisi ijazah, prestasi, dan pengalaman kerja yang seabrek. Yang penting mereka memiliki motivasi untuk bekerja. Cukup itu sudah. Mereka ditelepon oleh perusahaan yang mereka kirimi data diri untuk langsung kerja besok hari. Ketiganya merona wajah senang. Pikir mereka, uang segera akan didapat. Cita-cita mereka menjadi pemuda paling tajir nasional tinggal menunggu waktu. “Ini kerja apa sih, Pul?” tanya Lupi.’ “Konsultan kebersihan. Tenang aja ini bukan penipuan seperti yang sudah-sudah,” terang Ipul. Pagi-pagi mereka menuju kantor di sekitar Blok M dengan berpakaian sederhana sesuai instruksi dari staf kantor yang menelepon. Kopaja melaju dengan cepat. Belum setengah jam mereka sudah sampai. “Ini benar kantornya,” kata Ipul yang mengecek alamatnya sesuai catatan. Gedung kantor itu memiliki tingkat tiga. Berdasarkan tulisan gedung itu tertulis bahwa kantor ini bergerak dalam pendanaan sosial untuk orang-orang atau anak yang kurang beruntung. Tapi mengapa pagi ini banyak sekali orang-orang berkumpul. Apakah mereka juga pelamar? Tapi orang-orang ini memakai seragam kaos bertuliskan : Hari Disabilitas Internasional. Wajah mereka juga diberi masker. Ditangannya memegang pengumpul sampah dan beberapa lidi. Ketiganya masuk menemui staf yang menelepon. Staf yang bernama Erna itu menyambutnya dan menanyakan kesiapan mereka. “Kita mau kerja apa, Mbak?” tanya Ipul. “Petugas kebersihan, “ jelas si Mbak. Ketiganya membelalakan mata. “Apa?” kata mereka setengah kaget. “Tenang, kalian akan dikontrak selama beberapa bulan. Dengan honor tujuh puluh ribu rupiah satu kali acara—event. Tugas kalian hanya membersihkan sampah di acara-acara besar di Jakarta. Bahkan diluar Jakarta. Lumayan untuk bujangan seperti kalian. Bagaimana?” Mata ketiga jejaka itu saling beradu. “Sepakat,” kata Ipul. Menurut mereka lebih baik kerja ini diambil ketimbang ditipu tapi tidak dapat duit. Tidak jadi masalah ditawari jadi konsultan kebersihan sekalipun faktanya hanya menjadi petugas kebersihan untuk acara-cara besar di kota-kota besar. Selesai penandatanganan kontrak, dengan memakai seragam kebersihan yang sudah dipersiapkan mereka menuju tempat acara bersama para pekerja lainnya dengan memakai kendaraan pick up yang disediakan kantor. “Filsuf kebersihan,” kata Didi kepada Lupi dan Ipul. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan jabatan barunya ini.