Minggu, 15 Mei 2016

proyek buku "Three bachelors"

Homo Ekonomikus Kini benar-benar kedua jejaka minus Didi itu sedang dimabuk oleh gadis yang begitu memikat diri. Lupi semakin sering mendengarkan lagu cinta yang dibawakan oleh musisi-musisi Barat dengan terkadang dia menikmati musik sekelas Tommy J. Pisa yang mengiris-iris hati itu. Ipul kian getol membuat puisi tentang penantian seoarang kekasih. Fakta yang tak bisa digugat memang bahwa sang filsuf dramatik pun tak kuasa menahan keindahan seorang wanita. Dunia ternyata masi berjalan normal. Syukur kalau begitu! Lalu apa yang terjadi dengan jejaka penggemar mie instan di campur nasi yang beberapa hari lalu dadanya dibikin deg-degan tak tentu oleh Linda? Didi masih menjadi filsuf dramatik yang semakin enggan masuk kelas, yang masih menikmati buku, yang masih menjadi pelopor agar kedua sahabatnya itu untuk mengenali diri mereka sendiri. Didi masih menjadi pemimpin untuk bidang ini. Tapi kini perasaannya mulai gundah menggelisah. Tersebab sang penggoda kaum Adamkah? Ah, bukan. Ternyata lamat-lamat ia mulai menyadari bahwa kehidupan ala Jakarta semakin melulu materil. Segalanya harus menggunakan uang. Makan pake uang. Mandi pake uang. Tidur pake uang. Untuk pintar pake uang. Mau menikmati hiburan dan liburan pun pake uang. Sampai kepingin kencing pun harus mengeluarkan dua ribuan. Didi mulai berpikir ekonomis. Dia semakin realistis. Bah, sialnya kedua karibnya sedang digilai asmara yang meracau-galau. “Kita tidak boleh begini terus, kawan-kawanku, yang mulia,” kata Didi paska maghrib sembari ketiganya menonton televisi yang kini memuat berita tentang para artis yang rame-rame mau menjadi pemimpin daerah dan anggota dewan. Lupi dan Didi menoleh ke Didi. “Kalian belum nyambung ya sinyalnya?” lagi, kata Didi serius. Lupi dan Ipul menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kawan-kawan yang terhormat, kita harus nyari duit. Semakin hari harga apapun semakin naik. Intinya apaun pake duit.” Lupi dan Ipul mendengarkan dengan khidmat. “Kamu Lupi,” wajah Didi menoleh ke Lupi, “katanya kamu kepingin banget beliin si Nurkho novel-novel John Grisham. Ya, itu harus make duit. Lupi membenarkan. “Dan elu saudaraku, Ipul. Kata kami si gadis mangga Inderamayu itu pengen dapat cowok yang pintar dan tajir. Ya kalau soal pintar kamu memang pintar di antara kita. Tapi untuk urusan duit kamu memble kan?” Lupi agak ngikik mendengar cibiran Didi tapi Ipul tetap mendengarkan. Kemudian Ipul menimpali,” gue juga bosan dengan kondisi ini. Gue juga pengen beli gadget keluaran terbaru kayak teman-teman. Pengen beli baju yang bermerek. Pengen beli celana jins yang lagi ngetrend kayak orang-orang. Gue pengen lebih pokoknya.” Lupi memperhatikan Ipul seolah dirinya merasa prihatin dengan cowok betawi-cirebon itu. Mungkin dirinya baru mendapati Ipul yang ternyata ingin menjadi teman-teman kelas dalam gaya sehari-hari. “Ya tabungan gue juga sudah mulai terkuras. Masa harus nodong ke ortu. Malu lah!” Akhirnya Lupi dan Ipul lagi-lagi terpengaruh oleh ajakan Didi yang terasa menyentuh. Emosional. Tapi toh mereka membenarkan apa yang dikatakan penggemar Lola Amaria itu. “Ok kalau begitu kita mulai dari mana” tanya Lupi. Didi dan Ipul mulai memikir-mikir jalan apa yang mungkin berpotensi akan menghasilkan uang. Didi menggagas ide bagaimana kalau mereka bekerja di mini mart atau menjadi pelayan di makanan cepat saji. Alasannya sederhana. Untuk menjadi pekerja yang disebutkan tadi hanya perlu ijazah SMA sesuai yang mereka punya. Lupi dan Ipul menyetujui. Rencananya sepagi mungkin mereka akan mencari lowongan kerja di tempat yang sudah mereka tentukan. Pagi sekali mereka sudah berada di tempat makanan cepat saji. Asyiknya di pintu itu dipajang pengumuman kerja. Antusias mereka membuncah membaca lowongan itu. Pada pengumuman tersebut ditulis kriteria pekerja : minimal usia 17 tahun, pendidikan terakhir SMA, pengalaman tidak diutamakan, tekun dan rajin. “Ini sesuai dengan kita banget,” kilah Lupi. Namun pada tulisan tersebut tertulis kriteria : tidak sedang mengikuti perkuliahan. Ah, bukan rezeki kita! Karena mereka mengharapkan bekerja paruh waktu. Tapi di bawah persyaratan terakhir tertulis : tidak menerima pekerja paruh waktu. Wajah ketiga jejaka muda itu tertunduk layu, duduk di serambi makanan cepat saji itu. Mereka menghela nafas. “Susah juga nyari kerjaan,” kata Lupi sambil membetulkan rambutnya. “Kita tinggalkan saja kuliah supaya dapat kerjaan ini,” Didi bersaran. Ipul menggelengkan kepala. “Tidak.” Didi menagih alasan. “Bagaimanapun niat kita ke Jakarta itu belajar, bukan nyari duit.” Terang Ipul yang masih memperhatikan kuliah meskipun terkatung-katung. “Betul juga,” Lupi membenarkan. Didi tidak bisa berdalih karena bagaimanapun setidaknya pada semester ini mereka harusnya bisa mendapatkan nilai untuk beberapa mata kuliah. “Ok kalau begitu kita nyari kerja paruh waktu,” Didi beride. “Siap. Tapi di mana?” tanya Lupi bersemangat. Ipul memberi usul. “Di koran-koran besar.” Ketiga jejaka muda itu mendadak bungah. Mereka bangkit berdiri. Menyetop kopaja yang sekarang sudah agak bagus ketimbang sebelumnya. Tapi tetap saja di dalam kopaja tersebut cuaca masih sangat gerah. Setiba di kostan setumpuk koran lokal dan nasional mereka kumpulkan setelah dibeli dari perempatan bakso arah ke kostan mereka. Mereka membagi tugas. Masing-masing memeriksa halaman lowongan kerja dari koran yang dibaca. Detil sekali mereka meneliti satu per satu kolom lowongan kerja. Dari mulai kolom lowongan kerja untuk bagian kepala staf, auditor, analis keuangan, sekretaris, sampai marketing. Tapi bisang-bidang itu diperuntukan kepada pelamar yang bergelar strata satu dan dua. Alhasil ketiga jejaka muda itu tidak masuk kualifikasi. Sampai tiba ketika Ipul meneliti lagi kolom koran yang dibacanya tertulis : lain-lain. “Nah ini!” kata Ipul sumringah. Didi dan Lupi terperanjat. Tanda-anda kemakmuran seolah berdiri di depan mata mereka. Mengapa mereka begitu terkejut diiringi rasa bahagia? Karena pada halaman ini tertulis lowongan yang tak perlu memiliki persyaratan sarjana dan kerja paruh waktu. Pada kolom ini disebutkan : dibutuhkan apply data entry part time, mahasiswa/ibu rumah tangga/pensiunan. Income 3-8 juta/minggu. Send cv ke deni.humaedi@yahoo.com. Lupi yang langsung tergiur mengucek-ucek matanya. “Serius ini?” “Ini kesempatan kita,” timpal Didi dengan menepuk-nepuk bahu Lupi yang berlemak. Ipul mengepalkan tangannya seraya berkata,”gue bayangin bagaimana kalau sudah bekerja berminggu-minggu. Gue bisa beli gadget terbaru. Tiap minggu kita bisa makan di restoran mewah. Dan yang paling penting gue bisa memperlihatkan semua ini ke si gadis mangga itu. Sekalian kita bisa nantangin bapaknya buat naikin harga kostan.” Ketiganya terkekeh. “Dan gue bisa beliin nurkho novel-novel John Grisham,” Lupi mulai bermimpi. “kalau elu mau ngapain, Di?” Ipul melirik Didi. Lupi sedikit tersenyum. Didi belum bisa membayangkan. Dia kali ini kalah telak. ‘Sesegera mungkin kita kirim cv ke alamat imel itu,” kata Didi mengalihkan pembicaraan. Lupi dan Ipul hanya bisa mengangkat mata. Setelah sehari mengirim cv ketiga jejaka itu berharap-harap cemas. Mimpi-mimpi yang mereka bayangkan juga belum pasti. Hmmm mereka sekarang lebih menjadi mahasiswa yang membawa misi untuk mencari kekayaan semata. Tujuan mereka semula untuk menuntut ilmu mulai berubah haluan. Dalam kemenungguan itu ponsel Didi berdering. Sang pemanggil bernomor 02178xxxx. Ini pasti telepon kantor jikalau dilihat dari kode angkanya. Besar kemungkinan cv mereka direspon. “Ya benar ini Didi.” Jawab Didi dari sang pemanggil yang rupanya resepsionis dari perusahaan yang ditunggu-tunggu. “Bisakah besok datang ke kantor kami untuk wawancara?” tanya si resepsionis. “Sangat bisa,” jawab Didi penuh percaya diri. Didi menyepakati setelah dia mencatat alamat kantor perusahaan sesuai yang dibacakan oleh sang pemanggil—resepsionis. Lupi dan Ipul antusias. “Mantap, di,” serentak mereka berseru. “Terus kapan dong giliran kita?” Lupi mulai tak sabar dengan melirik kepada Ipul. Beberapa menit kemudian ponsel Lupi dan Ipul berdering. Bukan main senangnya mereka karena ternyata yang menelepon adalah perusahaan yang sama, yang menelepon Didi. “Kita harus menyiapkan mental dari sekarang supaya besok tampil meyakinkan,” terang Lupi sambil mondar-mandir. Ipul membuka laptop bekasnya. Dipasangnya modem internet. Dia hendak mencari tips agar interview berjalan lancar di mesin pencari google. Lupi menelepon kakaknya untuk menanyakan tentang hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan untuk interview. Sedang Didi tak tahu apa yang harus diperbuat. Tak tahu siapakah yang harus dihubungi. Aha, bukankah Linda cukup berpengalaman untuk urusan ini. Lagi pula dirinya sudah lama tidak bertemu dengan wanita seksi itu. Rupa-rupanya diam-diam Didi mengangeni wanita yang usianya lima belas tahun lebih dari usianya. Rencananya Didi sore ini akan bertandang ke kostan Linda. Setiba sore Didi mengetuk pintu kostan Linda berkali-kali tapi tak ada suara yang merespon. “Mbak Linda sudah beberapa hari ini tidak di kostan,” kata bu Rosa, tetangga kostan Didi. Letak kostan bu Rosa berada di sebelah kostan Linda. “Ke mana?” tanya Didi penasaran. “Enggak tahu ya, mas,” timpal bu Rosa yang agaknya lebih tua dari Linda. Didi merasakan kejanggalan perasaan. Mendadak entah mengapa hatinya tidak terlalu senang mendapati kostan Linda yang kosong. Dia merasam ingin mencari wanita itu. Tapi ke mana? Entahlah. Yang jelas saat ini mengapa dia begitu menginginkan Linda bukan karena urusan interview. Dia tidak mendapatkan tips interview tapi Lupi dan Ipul mendapatkannya. Pagi-pagi sekali jejaka muda itu bersiap menyisir rambut, menyemprotkan wewangian ke tubuh, mengenakan kemeja dan celana bahan yang rapi, memakai sepatu yang mengkilat. “Kita akan menjadi orang nyang berbeda hari ini,” kata Lupi. “Sepakat,” kata Didi. “Bersiap menjadi mahasiswa yang lulusnya lama. Sesepuh kampus,” Ipul menambahkan. Kemudia ketiganya terbahak-bahak. Cepat sekali mereka tiba di gedung yang terletak di kawasan Sudirman ini. Gedung itu menjulang tinggi, mencakar langit. Memiliki lantai yang bertingkat-tingkat. Di lantai tujuh. Ya, mereka harus menuju lantai tujuh. “Mas Lupi,” seorang resepsionis memanggil Didi untuk masuk ruangan wawancara. Didi dan Ipul tetap duduk di ruang tunggu. Di ruangan itu terdapat lebih dari seorang pelamar kerja. Wajah-wajah mereka nampak antusias, penuh dengan harapan akan sebuah pekerjaan yang bisa mengubah kehidupan mereka. Termasuk ketiga jejaka muda itu. Lupi membuka pintu kaca. Seorang wanita berjas sedang duduk di kursi eksekutif. “Silakan duduk,” kata si pria yang rupanya pewawancara itu. Lupi duduk dengan sikap terjaga. Wajahnya menampilkan ketenangan yang dibuat setenang mungkin sesuai petunjuk kakaknya agar sesi wawancara berjalan sukses. “Mas Lupi Samarupi?” tanya si pewawancara. Sang pewawancara adalah seorang wanita yang kira-kira berusia mendekati angka empat puluh tahun. Kulitnya menyembul cerah. Matanya hampir gelap. Bulu matanya lentik tanpa rekayasa. Jari-jari tangannya lentik tanpa rekayasa dengan kutek merah di kukunya yang terawat rapi. Bodinya sedang, ngepas. Tidak ramping juga tidak berisi tapi cukup indah dipandang mata. “Ya,” jawab Lupi dengan penuh wibawa. “Sudah pernah mengentri data?” tanya si wanita. “Tidak, Bu.” Lupi menjawab denga jujur sesuai perintah kakaknya. Karena bagaimanapun jujur merupakan trik untuk menarik perhatian si pewawancara bukan karena alasan moral. “Sudah siap?” tanya si wanita itu kembali. Lupi sedikit bingung. “Maaf siap untuk apa?” Lupi menjadi tidak enak hati dan merasa tidak sopan. Harusnya ia menjawab, bukan kembali bertanya. “Bekerja!” “Apa gue diterima bekerja?” kata Lupi dalam hati seolah tak percaya. “Menakjubkan.” Kata Lupi lagi dalam hati. “Minggu depan kamu mulai mengikuti pelatihan,” demikian kata wanita yang berbodi ngepas ini. “Selamat,” katanya lagi dengan menjabat tangan Lupi yang sedikit berkeringat. Oh, Lupi semakin bahagia. Sementara di pemandangan lain juga terjadi peristiwa yang menyenangkan hati. “Bayangkan saja tiap minggunya kamu akan mendapatkan pemasukan tiga juta per mimggu. Sebulan kamu bisa mendapat berapa itu? Tinggal dihitung saja!” kata si pewawancara kepada Didi. Jantung Didi berdegup bahagia. Bukan main senagnya dia. “Kamu bersedia?” tanya si pewawancara. “Bersedia, komandan!’ jawab Didi yang tak bisa menahan emosinya. Si pewawancara itu tersenyum ramah. Didi dan Lupi sudah kembali duduk di ruang tunggu. Sedang Ipul baru keluar dari ruangan wawancara. Matanya berkaca-kaca bahagia sambil memeluk Didi dan Lupi. Suasana menjadi haru dan klimaks. “Kita akan menjadi pemuda tajir,” kata Ipul begitu emosional. “Lalu kuliah kita?” tanya Didi menguji. “Persetan dengan kuliah,” jawab Ipul. Didi dan Lupi tertawa-tawa. Pesona Elisabeth Hari yang ditunggu tiba sudah. Semalam mereka tidak tidur larut malam karena memang besoknya akan menjalani pelatihan yang pertama. Mereka bangun lebih awal dari orang-orang yang bersiap menjalankan shalat subuh. Semangat mereka mengalahkan kemalasan. Jam delapan tepat yang diharuskan mereka untuk sampai di kantor itu dibalas dengan ketepatan waktu yang luar biasa. Malah mereka tiba di kantor itu satu jam sebelum waktu yang ditentukan. Maklum mereka sedang bersiap menjadi jejaka paling tajir di Indonesia. Mereka berangan mengelilingi Indonesia dengan gaji yang akan didapat. Mereka akan menikmati kuliner nusantara dengan uang yang berlimpah. Mereka akan melakukan segalanya dengan uang. Lalu kapan mereka akan membeli buku untuk menumpas pikiran gendeng mereka? Uang sudah mengubah mereka seribu persen. Mereka memasuki ruangan. Ruangan itu dipenuhi orang-orang yang haus uang. Orang-orang itu yang dilihat ketiga jejaka muda itu selama wawancara. Kira-kira jumlah mereka sekitar enam puluh orang. Dari jumlah sebanyak itu dibagi menjadi sepuluh kelompok. Satu kelompok terdiri dari enam orang. Setiap kelompok dipandu oleh satu orang pelatih. Jadi keseluruhan ada enam pelatih yang dipimpin oleh pelatih utama. Pelatih utama ini berwujud wanita yang berwajah Indonesia tapi aksennya terasa lain. Aksennya sedikit cepat dengan kadang-kadang menggunakan bahasa Inggris. Wajah wanita itu licin karena sering memakai krim. Rambutnya dicat merah dengan menyisakan warna gelap. Seperti warna rambut jagung yang sudah matang. Kulitnya bersih. Roknya selutut. Pantatnya gempal. Tubuhnya sangat seksi aduhai. Wanita membuka pelatihan dengan percaya diri. Ia memulai dengan pelan. Tapi beberapa menit kemudian ia mulai menggebu-gebu. Suaranya penuh magis membangkitkan gairah kami. Pagi-pagi jiwa kami kebakaran. Wanita itu menutup pembukaan hari ini dengan sukses. Semua yang hadir seolah menjadi manusia baru. Kemudian ia berkeliling memeriksa tiap kelompok. Hingga tiba ia di kelompok ketiga jejaka muda itu. Didi, yang dari tadi merasakan debaran, malah memperhatikan wanita itu ketimbang pelatih mereka. Nampaknya Didi mengingat Linda yang sudah lama tak dilihatnya. Wow! Wanita itu sungguh menggoda gaira Didi. Ingin Didi berbincang dengan wanita yang ternyata asli kelahiran Malaysia yang memiliki nama Elisabeth. Didi memanggilnya Elis supaya terdengar lebih Sunda. “Kamu dipanggil,” ucap Bu Erma yang satu kelompok dengan Didi. “Ya, pelatih,” kata Didi yang kaget. “Kamu mau memilih bagian apa?” tanya si pelatih itu. “Bagian paha, Pak,” jawab Didi yang tak mengerti pertanyaan yang diajukan. Maklum dirinya berimajinasi terlalu tinggi tentang Elisabeth yang seperti mangga mengkal itu tapi bukan mangga Inderamayu anak pak kost itu loh. Satu kelompok itu tertawa mendengarnya. Pelatih pun ikut tertawa tak terkecuali Elisabeth yang mesem-mesem geli mendengar jawaban konyol itu. Didi menjadi keki. Dia menunduk sedikit malu. “Didi ini seorang seniman khayal, Pak. Daya imajinasi liar. Ke mana-mana tapi dia suka daun tua,” timpal Lupi dengan senang hati. “Tapi sayang si daun tua sedang pergi entah ke mana. Jadi pikirannya sedang galau,” Ipul menambahkan. “Kalau mau duit jangan mikirin ke mana-mana,” timpal Elisabeth yang membuat satu kelompok itu hening. Kemudian pelatih itu meneruskan materinya. Materi pertama adalah tentang komunikasi yang efektif dan efisien. Pelatih yang usianya baru menginjak tiga puluh itu memiliki kumis yang tidak terlalu pas. Sebaiknya kumit itu dicukur saja supaya lebih cocok dengan bentuk bibir dan wajahnya. Wajahnya juga tidak lelaki banget sehingga membuat Ipul ingin muntah saja. Tapi di perusahaan lelaki yang kemayu itu justru dipilih. Apa tidak ada lelaki lain? Perusahaan macam apa itu? Sebagai peserta mau tak mau Ipul menahan kegeramannya. “Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang bisa dimengerti oleh yang mendengarkan atau forum. Kita tidak perlu menggunakan bahasa yang canggih sementara forum tidak mengerti. Itu hanya buang-buang waktu,” kata si pelatih itu. Satu kelompok jejaka muda itu mendengarkan penuh perhatian kecuali Didi yang masih memperhatikan Elisabeth yang berkeliling memeriksa kondisi kelompok lain. Si pelatih kemayu itu melirik Didi. “Mas Didi?” “Ya,” kata Didi yang masih pula memperhatikan Elisabeth. “Bagaimana komunikasi yang baik itu?”tanya si pelatih. “Yang baik? Komunikasi yang baik itu ya langsung ke jantung perasaannya, Pak. Dijamin target akan klepek-klepek. Saya sudah membuktikannya semasih sekolah dulu,” jawab Didi santai tanpa memperhatikan peserta yang lain. “Apa yang sedang Anda pikirkan, Mas Didi?” tanya si Pelatih kemudian. Didi masih diam tak benar-benar menyadari suasana. “Apa yang sedang Anda pikirkan?” si Pelatih mengulang lagi dengan nada keras. “Wanita itu.” “Siapa?” “Wanita itu!” “Bisa diperjelas?” “Ya wanita itu, Pak.” “Siapa namanya?”tanya si Pelatih agak keras. Para peserta pelatihan mulai menikmati aksi ini. Lumayan! “Elisabeth Mariam,” jawab Didi. “Cuma satu?” si Pelatih memancing. “Tidak.” Didi mulai terpancing. “Siapa lagi?” “Linda Bleszinky.” “Apakah kamu tidak memikirkan aku?” si Pelatih keceplosan. Para peserta tertawa. Didi mulai sadar. Dia juga ikut tertawa. Si Pelatih yang kemayu jadi keki. Dia tidak berani menatap ke sekeliling. Tiba-tiba dia minta izin ke toilet untuk menahan rasa malunya. Elisabeth yang sedang memeriksa kelompok lain mendengar kericuhan kelompok jejaka itu. Apalagi dia mendengar jelas namanya disebut. Ia melangkah ke arah kelompok Didi dengan langkah yang tangkas tapi menggoda. “Anda memanggil saya?” tanyanya ke arah Didi. “Ya,” Didi mengangguk. “Ada keperluan apa?” Didi melihat bibir merah wanita itu. Bibirnya digincu warna pink yang sedikit kemerah-merahan. Tonjolan dadanya menyembul. Dada Didi mendadak tertikam. Ser-seran tak karuan. Sungguh indah makhluk Tuhan ini. “Ada keperluan apa?” wanita itu mengulang. Ipul, Lupi, dan ke empat orang lainnya merasa tak enak. “Kapan Anda memberi pelatihan kepada kami?” Didi menjawab. Dia sudah lihai mengalihkan suasana. Elisabeth Mariam tersenyum. “Mengapa memang?” Elisabeth meneliti Didi yang sudah tidak keki lagi. “Supaya kami semangat,” tukas Didi. Wanita itu tersipu. Senyum. Kemudian bersikap elegan. “Nanti ada gilirannya,” jawab Elisabeth dengan melangkah pergi. Pelatih kemayu yang melihat perbincangan Didi dan atasannya itu sedikit cemburu. Rupa-rupanya si kemayu itu menaruh hati kepada Didi sejak pertama kali melihatnya. Didi sedikit bergidik melihat si Pelatih kemayu yang kembali ke kelompoknya. Tapi pikirannya berkelabat, berimajinasi sedang menikmati pantai berdua. Berdua saja. Yang lain tidak boleh ikut termasuk Lupi dan Ipul. Tertipu “Pilih Elisabeth atau Linda?”Lupi menggoda Didi. Ipul menambahkan, “cinta memang tak mengenal usia.” “Kalian sudah gila. Sudahlah yang penting bagaimana caranya kita bisa mendapatkan uang segera,” Didi mengalihkan pembicaraan, seperti biasa. Tapi Didi benar-benar memikirkan wanita Malaysia 42 tahun itu. Dia tak habis pikir mengapa wajah dan bodi wanita itu menggumpali pikirannya. Jantungnya bergetar seperti pegas bila membayangkan wajahnya yang menggairahkan pandangannya. Di setiap pandangannya hanya ada Elisabeth Mariam. Pun setiap melihat wanita yang lebih dewasa seolah wanita itu Elisabeth. Didi mulai mati kutu. Inikah jatuh cinta pada pandangan pertama? Jangan-jangan dia akan mengungkapkan perasaannya kepada wanita Malaysia itu? Tapi sebentar Didi diam. Dia mendadak mengingat Linda Bleszinky. Apa Linda sudah pulang ke kostan? “Mau ke mana?” tanya Lupi. “Mau keluar sebentar,” kilah Didi. “Bukankah mau berangkat tidur supaya besok berangkat lebih pagi. Kan mau ketemu Elisabeth?” Ipul menimpali. “Ngaco, elu.” Didi mulai keluar. Dari pintu kostan ia melangkah ke kanan. Berjalan pelan seperti mengendap. Dia meneliti bangunan. Bangunan itu gelap. Hanya ada cahaya listrik dari dalam. Itu kostan Linda. Linda benar-benar tidak ada di dalam. Ke mana wanita cantik itu? Entahlah. Tapi Didi begitu ingin bertemu dengannya. Didi duduk di kursi santai di teras kostan Linda. Sebatang rokok berfilter ia hisap. Wajahnya muram. Rambutnya kusut. Sungguh pikirannya dijejali dua wanita yang usianya lebih tua darinya. Tapi sesekali senyumnya menyungging. Kemudia dia menoleh ke belakang seolah Linda sedang berada di dalam. “Kalau sudah cinta mengapa harus diam saja?” suara Ipul mengagetkann lamunannya. “Cinta itu haram hukumnya dipendam,” Lupi ikut berpartisipasi. “Seperti mual dimuntahkan pasti lega. Ditahan akan sakit.,” kata Ipul lagi. “Gue enggak tahu nih kenapa...” “Elu sebenarnya suka sama Linda kan?”Lupi memotong perkataan Didi. Didi mengangguk malu. “Gue memang gendeng ya! Jatuh cinta sama wanita yang lebih tua.” “Masih normal kok daripada tidak sama sekali,” Lupi membalas dengan suara yang terkekeh. “Gue serius nih,” Didi membela. “Tapi elu juga suka Elisabeth kan?” tanya Ipul. Didi diam membisu, kemudian menjawab, “Melihat Elisabeth seperti melihat Linda. Melihat Linda seperti melihat Elisabeth.” “Elu belum mantap. Masih ke sana kemari,” ungkap Ipul jujur. “Begitulah,” jawab Didi.”Sudahlah yang penting kita harus mewujudkan untuk menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia,” Didi berkilah. Ketiga jejaka itu lalu masuk ke kostan. Tapi Didi berharap akan bertemu Linda di alam mimpi sekalipun hanya beberapa detik. *** Ini adalah hari terakhir pelatihan. Sesi pertama diisi oleh sang Core Trainer—pelatih utama, Elisabeth Mariam. Wanita yang ternyata masih singgel itu menampilkan wajah yang bersemangat karena itu memang kewajibannyan untuk menggenjot gairah para peserta. Pembicaraannya dimulai dengan konsep menarik dan menggugah meskipun terdengar klise. Katanya, “untuk mendapatkan uang kita mesti bekerja keras, cerdas, dan tekun.” Tak ada yang salah dalam perkataannya itu. Ia melanjutkan lagi, “kita mesti menjadi manusia kaya raya jika ingin membantu sesama.” Sekali lagi tak ada yang salah dengan perkataannya itu. Ia kemudian menanyai kelompok tiga jejaka itu. Setiap peserta dari kelompok itu nampak bersedia dengan pertanyaan yang akan diajukan kecuali Didi yang setengah sadar karena pesona Elisabeth. “Apa mimpi Anda?” tanyanya kepada Heni, peserta asli Betawi yang sudah memiliki tiga orang anak. “Punya penghasilan lebih. Tidak bergantung kepada suami,”jawabnya tegas. Elisabeth mengangguk. “Anda?” tanyanya kepada Hesty, peserta asli Tangerang yang baru saja lulus kuliah. “Membeli rumah yang mewah untuk kedua orang tua!” tandasnya. Elisabet mengangguk. “Anda?” tanyanya kepada Erma, peserta dari Jakarta yang usianya lebih dari Elisabeth. “Memiliki penghasilan lima belas juta perbulan,” timpalnya seperti ibu-ibu yang baru menikmati kesombongan. Elisabeth mengacungkan jempol kepadanya. “Anda?” tanyanya kepada Lupi. Lupi menjawab, “menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia. Punya mobil mewah. Rumah megah di Pondok Indah. Punya kapal pesiar. Punya pulau, dan pengen punya pacar cantik,” jawab Lupi meyakinkan. Elisabeth tersenyu puas. “Anda?” tanyanya kepada Ipul. Ipul tak mau kalah dengan Lupi, “menjadi pemuda paling tajir sejagat. Punya istana megah. Punya berhektar-hektar kebun kelapa sawit, kebun jati, kendaraan canggih, punya klub sepak bola, dan punya pacar paling canti sedunia.” Elisabeth juga tersenyum puas. “Kalau Anda?” tanyanya kepada Didi yang masih berada di alam mimpi. “Aku menginginkan Anda, miss,” tandasnya dengan setengah sadar tapi gendeng. Elisabeth memahami bocah yang dianggapnya masih ingusan itu. Sementara yang lain terkekeh. “Mimpi kali ye?” Bu Erma menimpali. “Cemburu buta nieh,” timpal Ipul sambil melirik Bu Erma. “Sudah, sudah!” Elisabeth sedikit membentak sehingga terdengar oleh kelompok lainnya yang sedang mendengar materi dari pelatih. Semua peserta hening. “Kamu yakin dengan ucapan kamu tadi?” Elisabeth menguji. Didi kembali ke alam sadar. “Yakin,” jawabnya karena kadung jujur. “Ok. Kamu memang pemuda berani. Tapi sadarkah kamu mengucapkan itu?” Elisabeth terus menguji. “Sangat sadar.” “Kamu serius?” “Serius pun tak mampu mewakili keyakinan perasaan saya. Saya sangat menaruh hati kapada Anda, Miss.” “Apa keahlian kamu?” tanya Elisabeth. Didi tidak berkilah. Diam. Elisabeth menanya lagi, “Berapa penghasilan kamu?” Didi tak mau harga dirinya luntur. “Saya adalah pembaca buku yang baik. Dan sekarang sedang berusaha menjadi penulis besar. Soal penghasilan, terus terang belum ada tapi...” “Tapi apa?” kata Elisabeth. “Tapi perlu waktu,” kata Didi. “Dan dengan kerja di sini. Perusahaan ini penghasilan saya akan lebih besar dari Anda, Miss Elis,” Didi membela diri. Sedang yang lain tak percaya apa yang dikatakan Didi. Bulshit. Mana mungkin bocah kemarin bisa menghasilkan pendapatan Elisabeth yang berpuluh-puluh juta per bulan. Mustahil. Elisabeth memperhatikan keberanian Didi. Sebenarnya Didi pemuda yang berpotensi, menurutnya. Dari segi fisik Didi termasuk pemuda yang jantan dan gagah. Ah tapi apa yang dikatakan Didi itu lelucon yang datang dari dunia seberang. “Hebat. Kamu pemuda hebat.” Didi merasa jumawa. Merasa sedang di puncak paling tertinggi. “Tapi kamu harus realistis dengan kondisimu. Kamu harus mengenali dirimu yang sekarang,” Elisabeth memotivasi tapi lebih terasa menyindir di telinga Didi. Kemudian ia melanjutkan lagi, “lebih baik kamu lupakan mimpi-mimpi kamu itu. Jadilah pemuda paling tajir se-Indonesia seperti kata teman-teman kamu itu.” Didi mencerna dalam-dalam wanita penggoda itu. Baru pertama kali ini dia mendapat penolakan dari seorang Hawa. Zaman memang sudah berubah. Cinta perlahan-lahan digantikan oleh materi. Makan tuh cinta! Materi yang disampaikan oleh Elisabeth selesai. Kesimpulan dari materi yang disampaikan dengan mengugah itu hanya soal pencapaian kesuksesan yang diukur dengan materi berlimpah. Dan itu cukup membuat Didi mual dan tak enak badan bukan karena kesimpulan wanita itu yang keliru tapi lebih kepada penolakan yang memalukan. Kini tibalah pada materi terakhir yang disampaikan oleh sang pelatih kemayu itu. Pelatih kemayu itu menjelaskan deskripsi pekerjaan yang akan peserta lakukan. Pertama adalah skop HRD yang bertugas menerima dan memilih calon pelamar. Kedua, adalah bagian keuangan. Ketiga, bagian cek data. Dan terakhir bagian administrasi. Setiap peserta memilih skop-skop itu sesuai minat masing-masing. Dijelaskan oleh si kemayu itu bahwa masing-masing pekerjaan akan diganjar tiga juta rupiah per dokumen dan per minggu. Mendengar itu peserta tampak antusias dan bungah. Impian mereka selangkah lagi tercapai. Lupi dan Ipul akan menjadi pemuda paling tajir se-Indonesia sebentar lagi. Didi akan membeli wanita Malaysia itu. “Tapi kalian harus membawa orang untuk investasi di perusahaan kita!” kata si kemayu. Peserta bengong, belum memahami. “Mengajak?” tanya Bu Erma. “Betul,” kata si pelatih. “Minimal berapa rupiah?” tanya Bu Erma lagi yang nampaknya paham dengan bisnis ini. “Minimal satu orang dua puluh juta.” Jawab si Pelatih. Semua terperanjat. Maukah orang berinvestasi dengan uang segede itu sementara jaringan—kenalan mereka bukan orang-orang tajir. “Komisi?” Bu Erma mulai mengerti. “Bawa satu prospek investor dapat satu juta. Bayangkan kalau kalian dapat sepuluh orang. Tinggal hitung saja,” si kemayu mulai mulai menjual mimpi-mimpi. “Gila,” kata Didi. “Gue enggak sanggup kalau begitu. Syukur-syukur orang itu dapat percaya sama kita.” “Enggak jelas ini perusahaan,” Hesty menimpali. “Sudah kuduga ini perusahaan ngibul,” cela Bu Erma. Si kemayu hanya bisa mengangkat bahu. Kemudian mereka bubar begitu saja. Sedang teman-teman yang lain hanya menggurem kecewa. Sialan! Waktu mereka habis untuk pelatihan yang tidak berguna ini. Lupi dan Ipul mangkel. Mimpi mereka untuk menjadi pemuda paling tajir pupuslah sudah. Keinginan membahagiakan Nurkho tak tercapailah sudah. Mimpi untuk mendapatkan si gadis mangga Inderamayu semakin mustahil. Tapi Alhamdulillah bagi Didi karena setidaknya dia bisa menikmati keindahan wanita Malaysia yang materialistis itu sekalipun sih hanya bisa memandang plus membayangkan jalan-jalan bersama wanita itu di pantai Bali dengan menyewa hotel yang serba wah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar