Taruhan
Didi tidak marah atas kejahilan Lupi. Jejaka
yang mengaku mirip Baim Wong ini memang pernah berseloroh kepada Lupi dan Ipul.
Katanya, hidup butuh gurauan dan kelakar kendati membikin sakit hati.
‘Tapi seumur-umur gue enggak bakalan lupa
keisengan elu, Lip,” Didi terdengar seperti mengancam.
“Gue mulai paham siapa elu, Di!” timpal Lupi
dengan enteng.
Didi menangkat bahunya yang gempal.
“Wah elu berdua mulai ketularan tabiat
politikus ya? Diplomatis tapi menyindir. Nyinyir,” Ipul menganalisa.
Kemudian, suasana yang agak menegang, mereda.
Pukul tujuh malam itu mereka bersiap menonton acara kesukaan mereka. Ipul
menyalakan televisi 14 inc merk Polytron yang dibeli dari tukang elektronik
bekas secara patungan.
Saat-saat seperti ini memang waktu yang pas
untuk menikmati berita tentang seputar situasi yang terjadi di seluruh penjuru
negeri, khususnya lagi berita aktual seputar politik praktis. layar hitam
langsung berubah menjadi gambar-gambar manusia yang berkerumun. Mereka, para
kuli tinta itu, merubungi seorang tokoh yang berpengaruh di negeri ini. Si
tokoh nasional itu tidak bisa bergerak sedikitpun karena memang para wartawan
sibuk menanyai paksa si tokoh yang mulai kelihatan tidak nyaman dengan suasana
yang ditonton seluruh publik negeri.
“KPK menanyakan hubungan saya dengan pak
Konde. Saya bilang kalau saya pernah bertemu sekali dengan beliau di acara
silaturrahim kebangsaan beberapa waktu lalu. Itu saja kok, enggak ada yang
lebih,” jawab si tokoh itu dengan tenang.
“Apakah KPK menanyakan kemungkinan keterlibatan
bapak dalam kasus ini?” tanya seorang wartawan dengan berani dan tentu ini agak
menyindir si tokoh. Tapi si tokoh tidak menjawabnya. Dia langsung menuju mobil
mewahnya dengan dikawal bodyguard yang gagah dan menyeramkan. Para wartawan
yang meliput agak kecewa atas respon si tokoh. Tapi setidaknya mereka sudah
mendapat bahan laporan untuk disampaikan ke publik.
Pak Konde yang terhormat, yang juga politikus
tersohor karena ucapan-ucapannya yang kontroversial ini sekarang sedang menjadi
tersangka. Ia terkena kasus mega korupsi yang merugikan negara hampi milyaran
rupiah. Diduga ia tidak sendiri melakukan praktik korup. Masih ada beberapa
pejabat yang disinyalir terlibat.
“Gue yakin dia terlibat,” Lupi berseloroh.
“Analisa elu?” Didi menagih alasan Lupi.
“Dari ekspresi wajah,” Tangkas Lupi menjawab.
Didi terkekeh. Lupi merasa tersinggung.
“Jadi selama ini elu belajar apa di kampus?”
ejek Didi.
Lupi agak terpojok. Ingin menyela tapi merasa
seolah sudah kalah. Ia memang menyadari ilmu berangkat dari perangkat ilmiah
yang harus bisa dipertanggungjawabkan. Sementara mengamati kasus mega korupsi
dari pendekatan ekspresi wajah sulit untuk dibuktikan meskipun di era sekarang pendekatan
itu sudah mulai dikenal luas di publik. “Ya tapi setidaknya gue bukan dukun,”
Lupi membela diri. Didi mengangkat alisnya. Memaklumi kekeliruan Lupi. Sejenak
kemudian ia menoleh ke Ipul yang masih asyik menikmati tayangan berita.
“Kalau elu, Pul?”
“Wani piro?”
Lupi ngakak mendengar tukasan Ipul yang tidak
disangka-sangka.
“Taruhan ni?” tanya Didi
Ipul membenarkan.
“Siap!” Didi mengiyakan.
“Dia pasti terlibat,” kata Ipul sambil
menunjuk si tokoh yang masih ditayangkan televisi.
“Dan gue yakin dia tidak terlibat. Hanya
lewat saja. Kebetulan. Supaya bikin geger dunia politik dan pemerintahan kita,”
begitu kata Didi.
“Analisa elu?” Lupi merasa penasaran.
“Tidak perlu pake analisa segala. Kita sedang
taruhan. Yang jelas gue tidak membacanya dari analisa ekspresi wajah, “ Didi
tertawa ngakak. Ipul menahan sekuat mungkin untuk tidak ikut tertawa.
“Ok, gue ikutan,” Lupi mulai emosional.
“Gue yakin dia terlibat.”
Ipul memberi jempol untuk Lupi.
“Apa yang ditaruhkan?” nada Lupi seolah
menantang dan seakan-akan akan mendapatkan kemenangan melawan Didi kendati
pembuktian kasus korupsi tersebut akan
memakan waktu tidak sedikit.
“Selama tiga bulan uang kostan dan makan elu
berdua gue yang nanggung, “ Didi menyombongkan diri. Padahal ia sendiri agak
tidak yakin dengan prediksinya. Tapi ia tak mau kalah. Ia harus menang.
“Siapa takut?” jawab Lupi dan Ipul kompak.
***
Ketiga jejaka muda yang mulai beranjak menuju
usia dua puluh ini mulanya tak pernah terpikir untuk tinggal satu kostan.
Kebersamaan mereka dimulai dengan beberapa kali ganti teman kostan diikuti
dengan beberapa kali ganti kepindahan kostan. Sampai di semester ke empat ini
mereka dipersatukan. Keterdamparan mereka di kampus yang mulai bergengsi ini
memiliki akar historis yang berdiferensiasi. Memiliki liku-liku dan lekukan
yang mungkin dirasakan oleh setiap calon mahasiswa yang hendak mengadu nasib di
kampus Jakarta.
Cerita ini dimulai dari Lupi. Semasih sekolah
Lupi bermimpi menjadi bankir yang sukses seperti bibinya dari pihak ayah..
Karena itu ia mendaftarkan diri di sekolah kejuruan. Ia merasa kaget karena di
sekolah ini ia harus berteman dengan perempuan. Dari tiga puluh siswa, ia
lelaki sendirian. Tapi justru kondisi itu dipolanya menjadi sebuah peluang. Ia
berpikir bergaul dengan perempuan akan mengasah ketelitian dan ketekunan yang
memang melekat erat dengan karakter perempuan. Karakter yang melekat ini
dimanfaatkan untuk menuju pintu menjadi bankir yang sukses.
Dan pada kenyataannya lingkungan kejuruan
yang membuatnya menjadi lelaki emosional. Lebih dari itu, di antara bertiga
Lupi menjadi pribadi yang lihai menarik perhatian cewek-cewek.
Sebagaimana anak SMA yang cerah menatap masa
depan, Lupi memulai rencana untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Ya ia
ingin menjadi bankir. Untuk itu ia bersiap mengikuti test di beberapa perguruan
tinggi Jakarta yangb terkenal di bidang ekonomi dan perbankan. Universitas
Indonesia, Trisakti, dan STIE Perbanas adalah incarannya untuk menorehkan masa
depan. Tetapi ia ingin memulai test di kampus negeri terlebih dahulu, yakni UI
lewat jalur mandiri, bukan tes nasional. Tingkat percaya diri yang tinggi
membuatnya yakin namanya akan tertera di jurusan manajmen UI.
“Masa depan gue dimulai dari sini,” katanya
pelan.
Di hari pengumuman, waktu itu, Lupi bangun
subuh-subuh. Sarapan nasi uduk bikinan ibunya diselesaikan, ia berpamit kepada
kedua orang tuanya. “Do’ain Lupi ya, ma, pak, semoga Lupi menjadi mahasiswa
UI,” katanya seperti memelas. Kedua orang tua yang memang sangat menyayangi
Lupi merestui. Bergegas Lupi menyalakan Honda Astreanya dari grogol menuju UI.
Cukup satu jam sampai di UI, Lupi memasuki gerbang, dan langsung berhadapan
dengan halaman kampus biru yang luas dan lapang. Ia meletakan motornya di
halaman parkir bersamaan dengan para bakal calon mahasiswa UI.
Papan pengumuman sudah digerubungi para
penerus masa depan negeri ini. Ada yang bergembira karena namanya tertera dalam
papan itu. Ada yang masih mencari-cari nama masing-masing. Ada juga yang merasa
kecewa dengan wajah bermuram durja karena nama mereka tidak tercantum dalam
lembaran pengumuman. Bagi yang mengalami kegagalan seolah masa depan mereka tak
bernyawa lagi. Lupi memilih mengamati mereka. Ia akan mendekati papan itu
setelah mereka bubar. Ia melakukan ini karena seandainya namanya tidak
tercantum tak ada yang melihat seraut wajah kecewa seperti mereka yang gagal.
Namun jika berhasil, kebahagiaannya bisa ia nikmati sendiri.
Beberapa menit kemudian, di sekitar papan itu
sudah sepi. Lupi memantapkan diri. Ia sudah menyiapkan mental jika harapannya
tak sesuai. Ia melangkahkan kaki dengan yakin.
Melihat dari nama-nama yang tertera, kemudian matanya bergerak pelan
merendah. Dari urutan 1 sampai 100 ia belum menemukan namanya.
Mata nyang lelah ia pejamkan sambil memanjat
do’a. Ia meniliti lagi dengan saksama. Tetapi tetap ia tak menemukan namanya
dari urutan 101-200. Ia mulai pasrah meskipun masih menyimpan harapan. Menarik
nafas sejenak, kemudian meneliti lagi. Jika dari urutan 201-300 namanya tak ada
berarti UI bukan tempat untuk menuliskan masa depannya. Ia mulai dilebati
keraguan. Ia sendiri bahkan tak menyangka keyakinannya yang tinggi diakhiri
dengan keraguan yang mencengangkan.
Ia mulai melirik rencana B jika rencana A
gagal total. Tri sakti dan Perbanas adalah destinasi berikutnya. Terus dengan
hati-hati ia meneliti. Namun nama Lupi Samarupi Bin Khalidi tak tercantum. UI
dengan pasti bukan tempatnya menjadi orang beneran.
“Aku gagal,” kata Lupi kepada orang tuanya.
Orang tuanya bersikap bijaksana tapi berterus terang bahwa mereka tak bisa
melanjutkan studi Lupi ke Tri Sakti dan Perbanas. Alasannya terdengar klasik
memang, biaya kuliah swasta lebih mahal ketimbang kampus negeri. Mau ke mana
Lupi? Tapi orang tua Lupi tetap menginginkan anaknya melanjutkan sekolah.
Lupi berkeras pikiran. Siang dan malam ia
memeras otak memikirkan ke mana kampus yang sesuai dengan mimpinya dan tentu
saja biayanya terjangkau. Ia mulai mencari informasi. Singkat sekali ia sidah
mendapatkan kampus yang sesuai dengannya. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untungnya
pendaftaran masih dibuka. Menyisakan satu hari lagi. Nasib memang tampak
berpihak kepadanya. Masa depan seolah sedang terbuka lebar di hadapan Lupi.
Dalam formulir yang disediakan kampus, Lupi mengisi tiga opsi jurusan. Tiga
opsi ini wajib diisi. Mungkin sebagai kompensasi jika opsi ke 1 gagal, masih
bisa diterima di opsi ke 2 atau ke 3. Ia dengan tangkas menulis Perbankan
Syariah sebagai opsi ke 1, manajemen Keuangan sebagai opsi ke 2, dan ilmu
politik sebagai opsi ke 3.
Lupi mulai menimbang peluang untuk lulus tes
Perbankan Syariah. Logikanya sederhana, jika di UI gagal di UIN pasti berhasil.
Sebab UI lebih mentereng menurutnya. Ia mulai berani bertaruh dirinya akan
mulus menjadi mahasiswa Perbankan.
Diikutilah dengan senang hati test yang
berlangsung tiga hari itu. Hasil test akan diumumkan seminggu berikutnya.
Kesabaran Lupi sudah bertepi. Ia ingin segera pengumuman disegerakan. Hari
terasa cepat bagi orang yang menjalaninya dengan keyakinan dan harapan. Pengumuman
hasil test masuk tiba. Seperti di UI pada hari pengumuman papan hasil test
dikerubungi bakal calon mahasiswa UIN. Lupi merangsek ke dalam kerumunan. Oh,
darah Lupi merangsek naik, namanya tercantum di urutan ke tiga. “Yes,”
teriaknya. “Akhirnya gue akan menjadi bankir yang kaya raya.”
Seakan ingin meyakinkan dirinya yang
girang-gemirang, Lupi meneliti lagi namanya. Ya, benar itu namanya: Lupi
Samarupi Bin Khalidi!. Nomor urutan tesnya pun sesuai. Tapi beberapa saat
kemudian tubuhnya melunglai setelah ia melirik ke kolom berikutnya, setelah
tulisan namanya. Nama : Lupi Samarupi Bin Khalidi, jurusan ilmu politik. Ah,
tidak! Lupi menggelengkan kepalanya. Opsi 1 dan 2 gagal. Bagusnya, Lupi
menerima dengan ikhlas jikalau harus mendarat di Ilmu Politik. Daripada tidak
kuliah sama sekali!
“Ya sudahlah,” katanya pasrah dengan
membayangkan dirinya menjadi politisi di suatu saat. Ia tersenyum geli.
Orang-orang yang melihat tingkah Lupi merinding.
Pertaruhan masa depan terjadi di belahan
timur Jakarta. Seorang pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai kuli buruh di
industri rumahan yang memproduksi tahu tempe. Pasca merampungkan SMA, pemuda
ini harus menyerah kepada keadaan. Ia mengubur dalam-dalam impiannya untuk
melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.
“Tidak mungkin aku kuliah. Ekonomi keluarga
sedang tidak stabil, sementaa adik-adikku masih butuh biaya sekolah,” katanya
waktu itu saat menerima ijazah SMA.
Setelah satu tahun menjadi kuli, ia membaca
artikel di sebuah harian terkenal nasionaldengan judul, “Bagaimanapun
Pendidikan Tetap Penting!”. Pemuda yang memiliki kulit putih dan rambut
bergelombang dengan wajah mirip presenter Ramzi ini tergoda untuk sekolah lagi.
Ia mulai memikir, menimbang, dan membahasnya dengan kedua orang tua.
“Terima kasih, ma, pak, sudah memberi izin
aku untuk kuliah,” katanya dengan mencium kedua tangan kedua orang tuanya. Tapi
mau kuliah di mana? Ngambil jurusan apa? Ipul mulai mencari-cari informasi
kepada teman-temannya yang sudah terlebuh dahulu menginjakan kaki di perguruan
tinggi.
“Ente harus kuliah di Jakarta,” kata temannya
yang sudah menjadi mahasiswa di kampus Cirebon. “Jakarta aksesnya gampang kalau
sampean cari sampingan penghasilan. Tapi ente harus milih kampus yang
terjangkau dan jurusan dengan peluang diterimanya mudah. Ya tidak terlalu sulit
gitu,” katanya dengan pengucapan huruf R yang kurang sempurna.
“Di mana?” tanya Ipul.
“UIN Jakarta. Jurusan Ilmu Politik.”
“Tapi aku pengen masuk jurusan ekonomi.”
“Terserah , “ jawab temannya.
Ipul resign kerja dari pabrik tahu-tempe
dengan tabungan yang lumayan. Dengan tekad kuat berangkat ia ke Jakarta. Di
sana ia menginap di rumah saudaranya.
Setelah beres menyelesaikan pendaftaran ia mengisi formulir seperti yang
didapat oleh Lupi. Dari tiga opsi ia menuliskan ilmu ekonomi di opsi pertama.
Ia cukup menuliskan opsi pertama karena ia yakin akan diterima di jurusan itu.
Tapi pihak kampus mewajibkan ketiga opsim itu untu diisi. Maka ia memilih Manajeman
di opsi kedua dan seperti kata temannya ia menuliskan ilmu politik pada opsi
ketiga. Toh seperti senasib dengan Lupi, ia diterima di Ilmu Politik. “Di
jurusan mana saja yang masuk tidak jadi masalah. Yang penting kuliahh,” katanya
seolah pasrah.
Sementara di sebuah pusat kota Bandung, Didi
yang sudah duduk di semester pertama Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
jurusan manajemen bisnis dirasuki kegelisahan. Ia tak yakinkampus yang
ditempatinya ini sebagai masa depannya. . Gejolak hatinya mengatakan ia harus
hijrah ke Jakarta. Kerabat dan keluarganya kaget mendengarnya, dan lebih kaget
lagi ia memutuskan untuk tidak memilih manajemen bisnis sebagai pilihannya
lagi. Ia sudah muak dengan mata kuliah yang berbau angka-angka ekonomi. Ini
artinya ia harus memulai kuliah dari awal lagi. Menjadi mahasiswa baru. Sia-sia
ia habiskan dua semester di Bandung.
Banyak kampus yang bergengsi di Jakartan tapi
ia memilih UIN sebagai pilihan masa depannya.
Dari tiga opsi jurusan yang harus diisi dalam formulir. Ia seperti Ipul
hanya menulis satu opsi saja yang pada akhirnya harus mengisi ketiga-tiganya
sesuai mandat dari kampus. Ilmu Politik ia tempatkan di pilihan pertama,
diikuti Sejarah Peradaban Islam di pilihan kedua, dan sosiologi dipiliha
ketiga. Lancar sekali ia mengerjakan tes soalnya ia mengisi dengan santai dan
tidak terburu-buru karena yakin akan diterima di jurusan pilihan pertamanya.
Ketiga jejaka yang masih berapi-api ini akan
mempertaruhkan masa depannya di ibu kota yang multi berat dan keras. Mereka sudah
siap menerima segala apapun yang terjadi yang menghadang langkah-langkah mereka
dengan sigap dan tangkas.
Filsuf Dramatik
Kini mereka mempunyai mimpi yang berubah.
Mimpi menjadi bankir, pakar keuangan, dan ekonomi pupus sudah. Mimpi baru sudah
berdiri di depan mata. Ketiganya bersemangat menjadi diplomat sesuai yang
diimpikan Lupi, menjadi pemimpin yang dimaui Ipul, dan menjadi ahli politik
yang dicita-citakan oleh Didi. Di sisi lain yang membikin semangat mereka
mengejar mimpi adalah para alumni UIN Jakarta yang sudah dikenal oleh publik
karena kapasitas dan intelektualitas mereka. Lebih-lebih mereka sering tampil
di televisi nasional. Para alumni itu dikenal sebagai jurnalis, aktivis,
politisi, dan cendikiawan atau pemikir. Karena itu, Didi, Lupi, dan Ipul
semakin giat belajar sekuat mungkin, mereka memanfaatkan waktu dengan membaca.
Tetapi jujur hingga semester empat ini mereka merasa belum mendapat apa-apa.
“Apa mungkin ada yang salah?” kata Lupi.
Didi dan Ipul tampak menyerap prediksi Lupi.
“Cara belajar kita yang salah. Kondisi kita
juga salah,” tegas Lupi lagi.
“Maksudmu?” tanya Didi.
“Cara berpikir kita yang salah,” Ipul mencoba
memahami. Kemudian dia melanjutkan lagi, “Selama ini kita belajar hanya di
kampus dan kostan. Kita tidak pernah mencoba belajar di luar.”
“Kita harus belajar di forum-forum studi
githu?” sambut Didi.
“Betul,” serempak jawab Ipul dan Lupi.
Menjadi mahasiswa memang menajdi impian
setiap orang. Karena di kampus kita bisa mengenal segalanya dan setidaknya
mengetahui dunia. Kampuslah yang bisa mencerahkan pikiran seseorang sekalipun
kesimpulan ini bisa diperdebatkan karena toh masih banyak juga mahasiswa yang
pikirannya kurang berkembang. Situasi ini mungkin tergantung pada setiap
mahasiswa apakah mereka bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada di kampus.
Di kampus di manapun berada selalu berdiri forum-forum studi yang mengkaji
pelbagai disiplin keilmuan, tergantung minat mahasiswa. Forum studi ini
sebenarnya yang menjadi pendobrak kebekuan keilmuan mahasiswa. Sudah banyak para
tokoh nasional yang lahir dan berkembang dari forum studi sekalipun sebenarnya
forum studi ini tidak termasuk dalam sistem kampus. Forum-forum ini biasanya
terletak di luar bangunan kampus. Uniknya forum ini mendiami sebuah rumah yang
disewa dengan biaya patungan dari para penggiat forum. Bahkan menariknya,
forum-forum ini terus menerus melahirkan regenerasi yang tak putus-putus
sekalipun tersendat-sendat karena karena biaya sewa rumah yang tahun ke tahun
merangkak naik tanpa ampun.
Didi, Lupi, dan Ipul memilih bergiat di forum
studi yang terletak kira-kira berjarak dua ratus meter dari kampus utama. Forum
studi ini menempati sebuah rumah sederhana bertingkat dua yang memiliki ruang
tamu yang lumayan luas. Ruangan tamu ini dijadikan sebagai tempat diskusi. Di
sebelah ruang tamu terdapat kamar yang difungsikan menjadi ruang perpustakaan.
Melangkah dua meter dari ruang perpustakaan berdiri kamar mandi. Di sebelah
kamar mandi terdapat tangga untuk menuju ke lantai dua. Di lantai dua terdapat
dua kamar tidur dan ruang santai. Biasanya di lantai dua ini para penggiat
forum asyik membaca dan menulis sebelum dilahap oleh kantuk malam.
Forum studi tua ini serius menggeluti teks
studi keislaman, filsafat, sosiologi, politik, sastra dan sesekali mencoba
memahami ekonomi-politik. Selain itu yang menjadi keuntungan mahasiswa Jakarta
adalah menjamurnya lembaga nirlaba yang fokus mengkaji masalah sosial dan
kebangsaan. Lembaga-lembaga studi ini mengklaim independen, tidak berpihak pada
kekuasaan tertentu meskipun mengaku mendapat
funding dari lembaga luar negeri yang memiliki satu visi. Didi, Lupi, dan Ipul
sangat jeli memanfaatkan keberadan lembaga-lembaga tersebut untuk menambah
wawasan mereka, dan tentunya menambah relasi.
Ketiga jejaka ini terkaget-kaget melihat
geliat aktivitas forum studi yang mereka sambangi. Tampang para penggiat forum
itu serius-serius dengan mata yang agak gelap karena sering bergaul dengan buku
teks. Tidak tanggung-tanggung teks itu berbahasa Inggris dan Arab. Sesekali sih
ada yang berbahasa Perancis.
“Mereka sangat mengakrabi buku,” ucap Didi
dengan ketakjuban yang di luar nalar.
“Membosankan,” sela Lupi seenak udel.
“Membosankan tapi mau gimana lagi. Kalau mau
pinter ya kudu baca buku,” jelas Ipul.
Didi, Lupi, dan Ipul bahu membahu memahami
teks buku yang mengundang kening berkerut. Apa isi keseluruhan buku itu?
Gagasan apa yang dibicarakan? Kesimpulan apa yang bisa ditarik dari buku itu?
Mereka mulai serius menjadi pembaca yang teliti dan tekun dengan menandai
gagasan teks baik dengan sebuah pertanyaan dan komentar. Karena memang
buku tidak sebatas teks, ia adalah hasil
dari pemikiran para pemikir. Kegiatan ini memang cukup melelahkan pikiran
mereka tapi mau bagaimana lagi karena ini adalah salah satu jalan untuk keluar
dari lembah kebodohan.
Jika minggu kemarin mereka menggeluti
pemikiran sosial, pada minggu ini mereka harus berjibaku dengan teks filsafat
Yunani dimulai dari Plato. Ketiga jejaka
muda ini baru merasakan nikmatnya pemikiran filsafat padahal pada semester
pertama mereka pernah bertemu dengan studi yang diklaim sebagai ibu ilmu
pengetahuan ini. Sekalipun rumit, filsafat menuntun mereka pada penyelaman
makna terdalam dari sebuah kehidupan. Karena saking mendalami teks filsafat
itu, mereka jadi sering meragukan segala sesuatu. Mereka menjadi perenung
seolah filsuf.
Biang keladinya adalah Didi ketika membaca
kesimpulan pemikiran filsafat Thales, “kenalilah dirimu sendiri”. Pemikiran itu
seakan mengguncang bangunan mapan seluruh pemikirannya. Siapakah diri gue? Kata
Didi. Namun di balik kesangsiannya ia mencecap bahagia dan seperti mendapat
pencerahan spiritual. Ini harus disampaikan kepada Ipul dan Lupi!
“Wow, menakjubkan,” Ipul tercengang. Lupi
menggelengkan kepala.
Didi merebahkan tubuh pada kasur andalannya.
Ia memejamkan mata sebentar, kemudian melek lagi. Dan akhirnya menatap
langit-langit kostan. Lupi dan Ipul mengikuti tingkah Didi.
“Elu berdua pernah berpikir enggak?” Didi
memulaim percakapan yang sepertinya akan berlangsung khidmat. Lupi dan Ipul
menoleh kepada Didi.
“Ya maksud gue siapa sih diri kita? Apa
tujuan kita di sini? Apa keinginan kita?” lanjut Didi dengan kedua tangannya
yang dijadikan bantal.
Ipul menarif napas dalam-dalam sambil pula
menatap langit-langit. Lupi mengubah posisinya. Ia kini selonjoran. Tubuhnya
bersandar pada tembok yang dicat biru penuh coretan nakal dan gambar aktris
Holywood, Cameron Diaz, yang hanya memakai bikini.
“Apa ya?”Lupi berlagak seperti orang dongok.
“Jangan-jangan kita salah melangkah?” Lupi nyerocos lagi.
“Ya bisa saja tapi bukan itu,”Ipul menyahut.
“Persoalannya adalah kita mungkin abaia pada
diri kita sendiri. Kita terlalu jauh ngomongin hal-hal yang tak terjangkau...”
“Padahal bisa saja yang kita inginkan begitu
dekat,” Lupi menyela penjelasan Didi. Lalu, Didi dan Ipul mengangkat bahu atas
respon terhadap pernyataan Lupi.
“Mungkin,” Ipul menambahkan.
Dramatik. Para jejaka yang limbung itu
tersirap oleh kata-kata filsuf yang menakjubkan itu. Mereka benar-benar
meragukan setiap apa yang sudah mereka lakukan dan rencanakan. Buat apa menjadi
diplomat? Haruskah menjadi pemimpin politk? Apa untungnya menjadi ahli politik?
Apa yang sebenarnya yang kami inginkan? Dan lebih berbahaya lagi untuk apa kami
kuliah? Agar menjadi orang besar? Memperbaiki nasib? Atau memperbaiki negara
yang masih saja bobrok?
Waktu ke waktu berjalan Didi, Lupi, dan Ipul
kian parah saja. Kuliah mereka sedikit terabai. Masuk kelas sakarep dewek.
Ketiganya tidak lagi mempelajari teks politik dengan sungguh-sungguh. Di sisi
lain untungnya mereka tetap membaca buku-buku lain. Tapi sekali lagi bukan
politik. Para peragu itu semakin giat mengikuti diskusi di forum studi. Pun
mereka mencoba menjelajah teks lain. Dari filsafat yang berat sampai sastra
yang menegangkan. Sekali-kali ya sih baca teks politik tapi lebih mendalam
ketimbang teks yang diwajibkan di kampus.
Selagi mereka kacau balau soal absensi kelas
sesungguhnya mereka bersenmangat mencari makna hidup. Menemukan jati diri yang
masih terberai. Ruang kostan mereka kini tampak sepi tapi dijejali buku-buku
dan perenungan yang filsafati. Bisa jadi filsuf masa depan lahir dari kostan
milik pak haji Darman asli betawi ini?
Pencurian Terencana
Hidup ketiga pemuda tanggung yang tak
memiliki kekasih itu berjalan di sekitar kostan, forum studi, dan sesekali ke
kampus. Di ruang kostan pun mereka asyik dengan aktivitas masing-masing.
Sesekali mereka diskusi. Sesekali nonton televisi. Sabtu dan minggu mereka memilih tidur
ketimbang olah raga, aktivitas rutin yang kerap mereka lakukan sebelum menjadi
filsuf dramatik. Di saat menjadi perenung sejati, ketiga jejaka runyam ini
tampil khas dan berkarakter.
Entah membaca buku apa Lupi mengganti celana
bahan andalannya dengan jins yang ia beli murah dari Blok M. Kemeja panjangnya
ia mutasi, berganti menjadi kaos santai dengan tidak menggunakan tas gendong
lagi sebagaimana ia kenakan ketika ke manapun melancong. Parahnya, ia mulai
gandrung rokok saban lagi suntuk. Namun rambutnya tetap di sisir ke sisi kanan
dengan balutan minyak tancho yang klasik itu. Gaya bicaranya pun mulai
meniru-niru teman sekelasnya. Aku ia ubah menjadi gue, dan kamu ia ganti
menjadi elu. Padahal itu bahasa betawi yang merupakan leluhurnya dari pihak
ibu.
Ipul yang mungkin tergila-gila dengan
puisi-puisi romantik Kirdomulyo diam-diam sering mencoreti kertas HVS dengan
sebuah kata-kata yang diusahakan mirip puisi para penyair. Lagaknya pun
dimirip-miripkan para penyair. Sok nyentrik dengan memakai baju yang agak
kelihatan lusuh. Celana jins yang sengaja dibelelin memakai silet. Rambutnya ia
susun dengan tidak teratur. Sengaja tampil acak-acakan. Setiap kata yang ia
ucapkan dipaksakan puitik dan dramatik. Bahkan dengan percaya diri yang tinggi
ia memakai sandal jepit ke kampus seperti ingin mengatakan ke seluruh civitas
akademika bahwa dirinya sudah menjadi manusia yang bebas. Tidak takut pada
aturan kampus.
Nah, ini makhluk penyebab semua kekacauan
yang tampil sok kontroversial dan nyeleneh. Didi sebagai pelopor filsuf
dramatik mengklaim dirinya adalah titisan Socrates, filsuf pendek tapi
mengguncang peradaban dunia karena konsistensinya dalam mencari kebenaran hakiki tanpa lelah. Pemuda yang
sebenarnya melankolis ini sering menghantam Lupi dan Ipul lewat sebuah
pertanyaan demi pertanyaan yang seperti diada-adakan tapi menurutnya itu jalan
mencari kebenaran. Katanya, seperti mengikuti metode sokrates yang tiada pernah
berhenti bertanya pada sesuatu yang meskipun masih dipertanyakan kebenarannya.
Di antara ketiga jejaka runyam ini Didi
paling mendalami seluruh bacaan dari buku-buku yang ia baca. Teks yang ia baca
merasuki pikiran dan jiwanya. Hebatnya ia mengingat dan mampu menjelaskan
gagasan besar dari sebuah pemikiran yang tersaji dalam buku. Sungguh ia kini
bagaikan palu godam yang menghancurkan pendirian Lupi dan Ipul. Dari penampilan
tidak ada yang berubah dari Didi. Ia tetap tampil kasual dengan balutan kaos
rileks dan bawahan jins biru yang digemarinya. Hanya saja ia memakai kalung
rantai berwarna emas imitasi bak anjing penjaga rumah mewah.
Namun Didi tetaplah pribadi melankolis. Ia
masih suka mengurai air mata tatkala menonton
drama Korea dan film India.
Dirinya seolah yang menjadi subjek dalam drama itu. Kadangkala karena saking
menghayati sebuah film, ia suka menyendiri di sebuah taman di komplek milik
para orang kaya yang tidak jauh dari kostan mereka. Kacaunya dia sering
mengkhayal sedang memacari aktris Korea dan India yang cantik-cantik itu. Di
hadapan Lupi dan Ipul ia pernah berujar akan menikahi aktris pujaannya itu.
Keterlaluan memang!
Semua tampak berubah cepat tanpa kompromitas
meskipun sebenarnya perubahan mereka berangkat dari kegelisahan masing-masing
khas mahasiswa yang mencoba menceracah belantara dunia yang baru.
Perubahan-perubahan yang mendesir tanpa kontrol diri tak dimungkiri akan
bermuara pada kegilaan. Orang biasa yang melihat dari sisi luar mungkin akan
mencap mereka sebagai pemuda murtad yang sudah keluar dari rel-rel prinsip
kepemudaan. Tapi bagi ketiga jejaka itu perubahan yang mereka alami sebagai
anugerah alam yang tidak tertandingi oleh kelimpahan materi sekalipun.
Kuliah siang sampai sore ini mereka
selesaikan dengan asal-asalan. Tidur di saat dosen menerangkan materi seperti
yang dilakukan Lupi dan Ipul di balik buku tebal yang ia letakan dengan
berdiri, sehingga dosen berhasil dikibuli mereka. Sementara Didi keluar
pura-pura hendak ke toilet tapi tidak masuk kelas lagi. Ia tidur di mushola
fakultas dengan seenaknya. Perubahan tingkah mereka ini mendapat perhatian dari
teman-teman sekelas yang padahal menaruh minat kepada ketiganya karena ketekunan
dan kesungguhan mereka mengikuti perkuliahan. Nuranggraini, yang biasa disapa
Nur sangat khawatir pada mereka, terutama kepada Ipul. Mahasiswi asli
Inderamayu yang memiliki lesung di pipinya ini dari semester pertama dikenal
dekat dengan Ipul. Nur pernah mencoba mengingatkan Ipul agar tidak membolos
kuliah lagi tapi dengan santai Ipul menjawab, “mendingan belajar di kostan
daripada di kelas yang hanya pura-pura serius padahal main-main.” Nyelekit dan
bikin telinga merah mendengarnya tapi Nur menyabari nonsens Ipul.
“Kawan-kawan tercinta ke perpustakaan yuk,”
ajak Didi yang sudah bangun dari tidur panjangnya. “Siap,” kata Lupi dan Ipul
yang sudah mencuci muka dari kekusutan karena tidur di kelas saat belajar.
Ketiganya memperlihatkan kartu identitas
perpustakaan kepada petugas. Petugas mempersilakan. Lupi langsung menyambar
deretan buku-buku sejarah. Konon ia lagi penasaran pada sejarah peradaban
Islam, khusunya soal perang salib sebagai peristiwa paling menyeramkan dalam
sejarah Islam dan Kristen yang menyumbangkan ribuan nyawa dan melautkan darah.
Lupi memilih-milih dan mencari-cari buku yang ditujunya dari rak pangkal sampai
ujung rak. Praaaak. Pelan, buku jatuh di hadapannya tapi ia merasa tidak
menjatuhkan. Lalu segera terlihat sebuah jemari yang halus dan ramping sedang
mengambil buku itu dan sebuah kepala yang terlindungi oleh kerudung krem. Warna
kesukaan Lupi.
“Maaf,” kata mahasiswi itu.
Lupi melongok.
Ah, indah sekali perempuan ini. Pipinya
merah. Alis matanya lentik. Matanya gelap tapi menusuk. Bentuk wajahnya pas.
Tidak bulat juga tidak terlalu tirus. Hidungnya juga tidak jelek-jelek amat.
“Iya,”
jawab Lupi berdesir.
“Aku Lupi, anak Politik. Semester empat.
Kamu?” Ah, begitu cara Lupi memulai perkenalan meskipun si mahasiswi yang indah
itu tidak terlalu antusias untuk berbincang-bincang.
“Maaf,” mahasiswi itu mengulang dan berbalik
badan. Hendak pergi.
“Nama kamu?” Lupi agak mengencangkan suara.
Si mahasiswi yang indah itu cuek. Pura-pura
tidak mendengar. Tapi Ipul menandai wajahnya.
“Awas , ya,” gumamnya dalam hati.
“Pi, Didi lagi menunggu di lantai dua,” Ipul
mendekati Lupi.
Mereka berdua lekas menemui Didi di lantai
dua. Didi sedang sibuk memilah buku-buku
yang tebal. Di lantai dua ini memang disimpannya buku-buku tebal. Kebanyakan
ensklopedia. Bahkan, sulit didapatkan meskipun dicari di toko terbesarpun.
“Sudah dapat?” tanya Lupi.
Didi mengerlingkan mata kanannya. “Sesuai
rencana, bung.”
Sedang Ipul mengawasi situasi sekitar lantai
dua.
“Ok, gue duluan ya!” sahut Didi.
Perut Didi yang diselimuti oleh sweater agak
terlihat gendut. Tapi seorang petugas perpustakaan yang merasa kecolongan
menyuruh Didi membuka sweaternya. Didi mendadak tegang. Ipul dan Lupi tampil
ngeri. Gawat! Tapi Didi mencoba tenang dan bersahaja. Ia tidak ingin kelihatan
dicurigai oleh petugas itu. “Gimana ini, pul? Tamat riwayat Didi. Bisa-bisa ia
dikeluarkan dari kampus ini.” Ipul saking tegangnya tak menyadari kekhawatiran
Lupi. “Bisa-bisa kita tidak lagi melihatnya makan mie rebus dicampur nasi,”
Lupi semakin khawatir. Ipul tetap tegang.
Didi
dengan ikhlas membuka sweater itu. Lupi dan Ipul menutup mata dengan jarinya.
Ah tidak!
“Terima kasih pengertiannya,” kata petugas itu.
Lupi dan Ipul melepaskan jarinya. Membuka
mata lagi.
“Bagaimana bisa?” tanya Lupi kepada Didi.
“Ini,” kata Didi.
Buku yang hendak dicurinya ia masukan ke
balik kaos, bukan sweater. Makanya dia aman. Tetapi sebelum buku itu
disembunyikannya. Chips yang menempel pada sampul buku itu dicabutnya agar
tidak mengeluarkan bunyi ketika hendak melwati garis batas keluar dan masuk
ruang perpustakaan. Kalau tidak dilepas, bisa-bisa perpustakaan geger karena
ada mahasiswa yang mencuri buku. Ini pasti akan menjadi berita heboh di seluruh
kampus UIN Jakarta. Barangkali ketiganya akan diadili oleh pihak rektorat.
Mungkin untuk pertama kalinya akan tersiar berita bahwa ketiga filsuf dramatik
tertangkap ketika hendak mencuri buku perpustakaan.
Didi keluar mulus sambil membawa tiga buku
langka dibalik kaosnya. Ia kemudian melangkah ke luar halaman perpustakaan.
Tepat satu posisi dengan lantai dua di mana Lupi dan Ipul sedang menunjukan
aksi konyol mereka. Dari lantai atas melalui jendela Lupi menjatuhkan beberapa
buku tebal langka. Ipul mengawasi keadaan sekitar perpustakaan. Didi
mengamankan buku yang dilempar oleh Lupi. Kali ini ia tegang tidak seperti di
lantai dua tadi. Ia takut ada warga kampus yang melihat aksinya ini. Tapi hah
situasi aman dan terkendali.
Pencurian yang direncanakan tadi malam
berjalan sukses! Mereka tinggal melahap buku-buku itu nanti malam. Lalu tidur
dengan tenang sambil mendengkur. Asyiiiiik!
Moral Sokrates
“Ide bagus tuh.”
Lupi menjentikannya jari gempalnya.
“Elu takut, Pul?” Didi menginterogasi.
“Sejak kapan gue menjadi penakut?” Ipul
membela diri.
“Kalau begitu nunggu apa lagi?” Lupi
menggambar wajah sumringah.
“Elu mikirin resiko, Pul?”kilah Didi.
Ipul tak menjawab, seolah memikirkan sesuatu.
Entah apa.
“Ok, kalau begitu bungkus.”
Didi dan Ipul melongok.
“Maksud gue eksekusi,” jelas Lupi sambil
cengengesan. Dia mengira Didi dan Ipul
mengikuti perkembangan bahasa zaman anak sekarang.
Malam ini setelah berita yang itu-itu saja.
Berita Jakasa Agung yang ditangkap tangan oleh KPK sewaktu menerima suap, oknum
polisi yang disuap oleh tahanan narkoba, anggota dewan yang melakukan tindak
kekerasan terhadap pembantu, persidangan terpidana korupsi oleh politisi yang
masih belum menunjukan perkembangan, cas cis cus anggota dewan yang menuntut fasilitas
mewah, dan seabreg kasus ang membakar telinga masyarakat. Tontonan membosankan
tapi bisa menjadikan lahan penghasilan bagi teman-teman yang bekerja sebagai
penggali kebenaran. Gerrrr!
Para jejaka muda yang tambah kacau dan kian
berkarakter itu sudah pening dengan taik kucing semua itu. Mereka lebih memilih
menyusun rencana untuk mengambil absensi dosen yang disimpan di ruang dosen.
Tapi mereka belum tahu letak persis data kehadiran mahasiswa itu. Mereka hendak
mengambil buku itu dan mengubah data-datanya. Ya soalnya untuk tiga mata
kuliah, yakni gerakan politik modern, sosiologi II, dan bahasa Arab kehadiran
mereka sudah di ambang batas. Karena itu jika mereka tidak mengikuti kuliah
satu kali saja untuk masing-masing mata kuliah tersebut, dengan hormat mereka
harus mengulang tahun depan. Dosennya “pembunuh” semua lagi. Gila memang!
Mereka gengsi harus satu kursi dengan juniornya nanti. Malu bin canggung.
Mengapa sih absensi kehadiran begitu menentukan kontinuitas belajar di kampus.
Toh, bukankah yang penting mahasiswa memahami dan menguasai setiap ilmu yang
diajarkan di kampus? Huh, tapi aturan itu dibikin oleh kampus yang harus
ditaati. Lebih-lebih seluruh civitas akademika sudah menyepakati aturan kampus
tersebut. Ya, mau tidak mau mereka harus mengambil absensi kehadiran itu untuk
menyelamatkan muka mereka dari para junior yang kadung menganggap ketiga jejaka
itu sebagai mahasiswa yang dikenal sok kutu buku—pintar dan cerdas. Tapi
disimpan di mana?
Pasca mengikuti kelas dengan asal-asalan
seperti yang sudah-sudah, ketiganya terburu-buru menuju ruang dosen yang
terletak di lantai tiga. Mereka menggunakan lift dari lantai tujuh menuju
lantai tiga. Semenjak menjadai UIN—awalnya IAIN—kampus pembaharu ini dibangun
dengan arsitektur megah dan mewah. Bentuk arsitekturnya adalah perpaduan tigs
budaya: Islam, Barat, dan Indonesia. Jurusan-jurusan yang dianggap sekuler
mulai berdiri. Tidak seperti masih IAIN yang terdapat studi keislaman sich.
Tentu ini menjadikan UIN lebih lengkap dan berwarna. Sang rektor universitas—sebagai
pejuang yang mengkonversi IAIN ke UIN—menyebut konversi sebagai upaya
pengintegrasian keisalaman dan ilmu sekuler-modern guna menjawab tantangan
zaman yang kompleks dan menggeliat. Sangat visioner!.
Alhasil, memang patut diakui perubahan ini
menjadikan UIN Jakarta lebih greget dari sisi keilmuan, jumlah peminat calon
mahasiswa yang setiap tahun membanjiri tes masuk, dan konversi UIN Jakarta
diikuti oleh IAIN di hampir seluruh negeri. Namun, yang lebih menjanjikan
adalah para alumni UIN yang mampu bersaing dengan alumni kampus-kampus yang
dianggap bergengsi di Indonesia tercinta. Nah, mungkin pertaruhan ketiga jejaka
ini tidak sia-sia memang, terkhusus untuk Didi yang sekuat tekad meninggalkan
kampus lamanya. Ah, yang paling penting kepribadiannya mahasiswa yang menjadi
penentu keberhasilan. Mungkin nama besar kampus hanya menyumbang sekian persen
saja soal keberhasilan mahasiswanya.
Seperti aksi yang sudah-sudah, ketiganya
membagi tugas. Ipul diamanahi sebagai pengawas area, Didi dan Lupi menjadi
partner dalam ekskusi. Sore yang hampi menjelma, situasi kampus mulai sepi.
Ruang dosen juga tampak lengang. Mungkin hanya terdapat sepuluh orang termasuk
pesuruh dosen yang kerjanya menyediakan dan minuman serta tetek bengek lainnya.
Jongosnya dosen. Mulanya mereka ingin beraksi di malam hari tapi resikonya
tidak kecil. Seandainya aksi malam hari dilakukan, mereka harus mengendap-endap
supaya tidak ketahuan satpam kampus. Lebih jauh, mereka kudu mendobrak pintu
ruang dosen yang dikunci. Itu sangat beresiko besar. Jejak-jejak mereka pasti
tercium.
Ipul berdiri di depan pintu sambil
celingak-celinguk meneliti keadaan dengan seksama. Didi dan Lupi merangsek
masuk ruangan. Ruangan itu memiliki luas sepuluh meter dan lebar sepuluh meter
pula. Dengan luas dan lebar tersebut, ruangan itu bisa menampung tiga puluh
dosen lebih. Pertama masuk Didi dan Lupi bertemu dengan meja pak Satria yang
bertugas sebagai pesuruh dosen. Tugas pak Satria banyak. Ya kebanyakan mengkopi
lembaran dan data kertas lainnya. Mereka melihat ke depan lagi. Di sana
terdapat delapan orang. Dua orang baru saja keluar. Didi dan Lupi meneliti di
mana kira-kira absensi itu diletakan.
“Nyari siapa, dek?”
Didi dan Lupi terkaget sebentar. Seorang
dosen muda dan cantik yang tidak jauh dari mereka bertanya. Kedua sobat itu
berusaha mencari jawaban yang pas. Si dosen cantik yang memakai jilbab biru itu
memandang mereka dengan agak heran.
“Mengambil makalah kami yang masih salah.”
Si dosen masih belum mengerti.
“Tadi bu Farah menuruh kami mengambil makalah
kami yang masih salah,” jawab Didi tenang.
Si dosen yang tampak terganggu itu manggut
sedikit. “Silakan,” katanya.
Lupi mengelus dada. Ipul masih asyik
mengawasi.
Didi dan Ipul pura-pura mencari meja bu
Farah, dosen Filsafat. Mereka melangkah sedikit dari meja pak Satria. Beberpa
langkah dari meja pak Satria, yakni di sebelah kanannya terdapat empat meja
yang berisi berkas-berkas. Didi dan Ipul lupa sesuatu. Mereka tidak berpikir
kalau absensi setiap dosen tidak disatukan dalam satu berkas. Masing-masing
dosen punya data kehadiran. Ah, mereka
harus mengambil tiga absensi, donk. Satu untuk absensi mata kuliah gerakan
politik modern, satu untuk mata kuliah Sosiologi II, dan satu lagi untuk mata
kuliah bahasa Arab. Eah, pekerjaan yang tidak gampang. Di mana meja ketiga
dosen itu?
Lupi bergerak semakin ke kanan mendekati
jendela. Didi masih mencari-cari meja yang diburu.
Bahu Didi bergidik. “Ini dosen bu Farah,
dek.” Huh, seorang dosen yang agak tua menunjuk meja kerja bu Farah dengan
menepak bahu Didi. Tapi dosen itu menuju keluar. Beberapa menit kemudian satu
persatu dosen itu keluar. Menyisakan tiga orang dosen saja di dilam. Mantap.
Jadinya mereka tidak terlalu deg-degan lagi. Didi langsung pura-pura mencari
berkas di meja kerja bu Farah sambil mencari-cari ketiga meja yang diburu.
Sementara Lupi masih meneliti. Ipul masih mengawasi di luar.
“Sob, ini,” Lupi memanggil pelan ke Didi.
Didi mendekat.
“Ini,” kata Lupi menunjuk ketiga meja yang
diburu. Kebetulan Tuhan menolong. Ketiga meja yang diburu bersebelahan. Kini
Didi yang mengawasi, Lupi yang mencari. Aha. Beberapa menit kemudian data yang
diburu sudah didapat.
“Mudah sekali, Di.” Kata Lupi pelan.
“Mereka menyimpanna tidak begit rapat,” Didi
menimpali. “Mereka pikir mahasiswa di sini lugu-lugu mungkin,” kata Didi lagi.
“Ayo eksekusi,” Lupi meminta.
Misi berhasil. Mereka berpamitan kepada si
dosen cantik yang baru saja keluar. Terima kasih, kata mereka. Tetapi tidak
beranjak keluar. Dia masih ingin di dalam. Didi agak kesal. “Ayo, “ kata Didi.
“Sebentar,” jawab Lupi.
Lupi tidak ingin melewatkan pemandangan yang
cantik. Dia kesengsem dengan si dosen muda cantik itu. Sayang si cantik itu
mengajar mata kuliah di kelasnya. Didi menarik tangan Lupi. Lupi kesal. Tapi
mereka harus keluar. Mereka menuju pintu dengan tenang tapi beberapa detik
kemudian jantung mereka berdebar-debar. Pasalnya , dosen Bahasa Arab yang
absensinya dicuri masuk berhadap-hadapan dengan mereka. Mana roman dosen itu
seram sekali. Apalagi kumisnya yang tebal menakutkan. Didi dan Lupi merasa
heran bukankah dosen itu hari ini tidak mengajar ke kampus. Juga kedua dosen
yang abnsensinya mereka ambil juga tidak mengajar di kampus hari ini. Hari ini
ketiga dosen itu biasanya mengajar di kampus lain. Si dosen seram itu tidak
acuh tak acuh pada mereka. Didi dan Lupi langsung cabut.
Absensi sudah di tangan. Ketiga jejaka itu
cepat-cepat keluar fakultas FISIP. Ngibrit tanpa menoleh lagi ke belakang.
Takut si dosen itu curiga kalau-kalau dia tahu absensi hilang. Kalau ketahuan
urusan bisa panjang. Bakal menjadi kasus heboh di kampus ini.
“Waduh gimana ini?” Didi bingung.
Mereka tidak memikirkan bagaimana menghapus
tanda X sebagai tanda ketidakhadiran mereka di kelas. Tanda itu ditulis dengan
boldpoint. Satu alternatif hanya bisa dihapus dengan tipe x tapi nanti ketahuan
bekasnya.
“Tipe X saja. Siapa tahu ketiga dosen ‘hantu’
itu abai pada bekasnya tipe x. Urusan mereka itu banyak. Mereka pasti luput,”
Lupi menyarankan sambil menganalisa.
Didi menggeleng. Ipul memilih diam.
“Apa dong?” Lupi meminta solusi.
“Bakar saja!” saran Didi.
“Saran radikal,” Ipul mengomentari.
Lupi menimbang tapi manggut-manggut seolah
menyetujui saran Didi. Didi nampak yakin dengan idenya. Mau bagaimana lagi.
Cara terbaik, menurutnya, absensi itu dibakar. Sekalian berjaga-jaga seandainya
mereka dicurigai, absensi sebagai barang bukti bisa hilang. Artinya mereka bisa
aman dari kecurigaan atau tuduhan. Ipul tidak bergeming. Seolah-olah dia tidak
yakin dan mungkin tidak menyetujui ide konyol Didi. Didi menggemeratakan
giginya, menunjukan kekesalan pada Ipul. Lupi melihat situasi itu. Didi
mengamnil korek api dari lemari Lupi.
“Mau ngpain elu?” tanya Lupi.
“Ngerokok,” tukas Didi. “Ya mau bakarin ini
lah,” jawab Didi sambil menunjuk absensi itu.
“Pikiran elu pendek,” Ipul menimpali. Lupi
mulai khawatir kalau-kalau mereka adu mulut. Lupi memilih dia. Didi
menyeringai. “Maksud elu?” kata Didi emosional. Korek apai itu tidak jadi ia
nyalakan. Tapi sebentar kemudian ia nyalakan lagi.
“Elu enggak mikir kalau di absensi itu bukan
hanya ada nama saja,” sergah Ipul.
Didi menatap Ipul dengan malas.
“Biarin daripada harus mengulang tahun depan.
Toh kita pasti besok-besok tidak akan masuk lagi kelas dosen-dosen sialan itu
kan?” Didi sedikit emosi.
“Udah biarin aja absensi itu. Enggak usah
diapa-apain. Kita sportif aja. Kan, ini memang resiko kita membolos terus.
Kalau dibakar berarti elu menghianati teman-teman yang sudah berusaha mengikuti
kelas,” jelas Ipul dengan tenang.
Lupi diam. Tidak mau ikut terlibat.
“Masa bodoh,” Didi berkeras kepala.
Ipul tidak sanggup menahan emosi. “Mana moral
Sokrates elu. Elu ngaku sebagai titisan Sokrates yang kukuh menjaga moral dan
mendengar suara hati. Suara kebenaran yang elu sering katakan.”
“Terus apa maksudnya pencurian buku kemarin.
Perencanaan kita malam lalu yang sepakat untuk mengubah data absensi ini,” Didi
semakin tak tahan. “Elu tidak konsisten. Elu limbung, Pul. Taik lah.”
Ipul menunduk. Skak mat.
“Bersikap lah dewasa,” Lupi menengahi
meskipun sebenarnya dia tidak ingin terlibat dengan perbedaan pendapat ini.
“Gue rela kok harus mengulang tahun depan. Gue enggak malu sekalipun harus
duduk bareng dengan adik-adik kelas nanti.”
Mata Didi membelalak. Terkejut. Kemudian, dia
melempar absensi itu dengan emosional. Lupi memungut absensi itu dengan berat
hati. Didi keluar , menutup pintu dengan keras. Lupi kaget. Lalu mengelus dada.
Sementara Ipul hanya bisa mengepalkan tangannya yang mulai berkeringat.
Persekongkolan macam apa ini, kata Didi yang
kecewa pada Lupi dan Ipul.
Minus Tambah Minus jadi Plus
Paska bersitegang dengan Ipul di malam yang
buruk, Didi dan Ipul tampil dengan sikap dingin seseuai kekhasan masing-masing.
Dalam situasi tersebut Didi mendadak ingat petuah kiai di pesantren dulu bahwa
pencurian meskipun untuk kebaikan tetaplah tidak dibenarkan. Segalanya harus
dilakukan dengan sportif. Bahwa bersikap semau gue tidak patut dituruti. Bahwa
kita musti memperhatikan usaha orang lain adalah penghargaan terhadap
kemanusiaan. Bahwa benar membakar buku absensi hanya untuk kepentingan sendiri
adalah perilaku pecundang. Benar bahwa yang disarankan Ipul itu tepat untuk
diterima tapi Didi tetap masih tidak mau berdamai dengan Ipul. Ipul pun masih
tidak menerima dengan sikap Didi yang semau gue. Membanting pintu dan
sekonyong-konyong ngatain taik segala. Sungguh lidah yang tidak pernah
mengenyam bangku sekolah. Bedebah!
Lupi yang tidak mau terlibat perang dingin
berusaha berdiri di tengah-tengah. Dia ingin kedua sahabat gilanya itu kembali
rukun. Mau rujuk. Zaman sudah modern kok masih bersitergang saja. Tapi Lupi kudu
melakukan sesuatu. Tindakan kongkrit. Tapi apa dong? Tuhan please, help!
Kini Didi tak mengajak Ipul lagi kalau hendak
jalan-jalan. Mulanya ia mau menurutsertakan Lupi tapi merasa tidak enak. Takut
menyindir Ipul. Toh, Didi masih memiliki ketidakenakan perasaan. Ipul pun
bersikap sama seperti Didi. Dia ogah mengajak Didi dan Lupi lagi manakala mau
ada acara di luar. Jadinya ya ketiga jejaka itu jalan sendiri-sendiri.
Kehangatan yang pernahmereka rangkai sudah berantakan. Semua kegilaan yang
mereka lakukan telah luluh lantak. Segala kekonyolan yang mereka tampilkan
sudah tak terlihat lagi. Segalanya menjadi dingin. Semuanya menjadi hambar.
Hidup memang tidak pernah ajeg!
Sekali lagi Lupi harus berbuat untuk
persahabatan mereka!
Pada malam ke tujuh paska perang dingin
mereka duduk dalam satu ruangan di kostan. Menonton berita yang tidak pernah
berubah-ubah. Ipul duduk bersila di tengah-tengah. Lupi duduk di sebelah Ipul.
Didi bersila di samping kiri Ipul tapi agak menjauh. Suasana di kostan itu
hening, tak ada yang bicara. Hanya suara reporter di televisi yang terdengar.
Ketiganya tak lagi mengomentari sebuah kasus yang diberitakan seperti
malam-malam yang lalu. Kaku dan canggung berlangsung. Lupi tak tahan menjalani
semua ini. Selama setahu lebih sembilan bulan, dua tahun kurang tiga bulan
kebersamaan mereka baru kali ini ketiganya dalam situasi perang dingin ini.
“Tidak seru,” kata Lupi yang sebenarnya
menyinggung keadaan mereka. Tapi Didi dan Ipul tidak bergeming.
Lupi melanjutkan perkataannya, “tak ada kopi,
tak ada gula, tak ada garam, tak ada semut. Hambar sekali ruangan ini.”
Didi dan Ipul tidak peduli.
Lupi berdeham, mengharapkan kedua sahabat
egoisnya itu merespon. Didi dan Ipul tidak menangkap. Kesabaran Lupi memang
terukur. Dia merasa sebal. “kalian sudah pada gede. Pada dewasa. Sudah
mahasiswa. Baca buku tebal. Tapi tingkah kalian seperti anak kecil,” ucap Lupi
dengan kesal. Tapi Didi dan Ipul tetap cuek.
Tokek. Lupi bak tokek, ngoceh sendiri.
Lupi mencari strategi, memikir cara untuk
mengembalikan keutuhan persahabatan mereka tapi belum dapat-dapat. Tuhan belum
berkehendak membantu.
“Ok, kalian maunya apa sih?” celetus Lupi
dengan kesal. “Apa yang kalian ingin lakukan bakal gue jabanin. Didi elu mau
absensi itu dibakar. Ya entar gue bakar,” terusnya. “Ya tapi absensi itu sudah
ada di ruang dosen, lagi,” Lupi menundukan kepalanya. Pura-pura kecewa. Tapi
sebentar kemudian Lupi mengumpat lagi, “Pul elu mau apa? Toh absensi sudah
dikembalikan sesuai keinginan elu!” Tapi
Didi dan Ipul tetap tidak bereaksi. Lupi semakin tersinggung. Lupi bangun,
melangkah keluar. Sama seperti tingkah Didi, dia membanting pintu. Tapi
bantingannya lebih keras daripada Didi. Oh, Lupi jadi semakin terlibat dengan
perang dingin ini. Culun sekali! Namun bagusnya dia masih mencari cara
menyelamatkan persahabatan mereka yang karam. Oh Tuhan sekali lagi tolonglah!
Di dalam kostan yang masih ada Didi dan Ipul
tetap canggung. Sejenak kemudian Didi memilih keluar juga. Sementara Ipul tetap
bersetia mengikuti berita televisi. Didi sudah berada di kostan lagi beberapa
menit kemudian, larut membaca buku di ruang pertama kostan. Tiba-tiba ponselnya
yang masih itu-itu saja—nokia jadul—berdering. Panggilan masuk. Suara yang
tergopoh-gopoh terdengar.
“Di, tolongin gue. Buruan,” itu suara Lupi,
jejaka muda yang memiliki bentuk hidung seperti Akbar Tanjung itu seperti dalam
keadaan bahaya. Didi tidak sempat bertanya. Panggilan dari Lupi sudah tertutup.
Didi panik tapi ia masih egois untuk memberitahukan kepada Ipul. Jadinya dia
memutuskan pergi sendiri.
Didi berlari kencang sambil menengok samping
kanan-kiri, siapa tahu di sekitar yang dilihatnya nampak sosok Lupi. Mana Lupi?
Ah, mengapa Lupi tak menyebutkan tempatnya. Didi berlari dengan panik. Dari
jarak tiga meter di perempatan bakso langganan ketiga jejaka muda itu tampak
sosok Lupi yang sedang diapit dua orang bertubuh kekar. Nampaknya Lupi sedang
dianiaya. Sepertinya Lupi sudah tidak bisa bergerak. Dia butuh pertolongan
pertama. Ini situasi yang gawat.
“Hei, bangsat,” teriak Didi. Kedua preman
yang menganiaya Lupi mewajah murka. Kemudian melepaskan Lupi dengan cuma-cuma
tapi wajah Lupi lebam. Rambut gaya sisi kanannya acak-acakan. Didi menantang
kedua bajingan itu sekalipun jantungnya kikuk. Kepalan tangan Didi hendak
meninju si preman satunya tapi ditahan oleh si preman yang satunya lagi.
Serentak Didi sudah disekap. Otomatis Didi tidak bisa bergerak. Kedua bajingan
itu tidak sepadan dengannya. Didi menyerah.
“Taik, lu. Bajingan elu pada,” suara Ipul
muncul dengan gaya betawi. Meniru-niru supaya dianggap asli Jakarta. Kedua
makhluk mengerikan itu tertawa-tawa.
“Anak ingusan,” seru si Preman.
“Jahanam. Enyah kalian ke neraka!”
Kedua preman semakin menggambar wajah murka.
“Sialan tengik,” kata mereka kencang.
Ah, tapi Ipul ngeper. Dia takut juga rupanya.
Ancamannya sekadar gertak sambal.
Lupi yang masih tidak berdaya memang sengaja
menelepon Ipul seperti yang dia lakukan kepada Didi. Sedang Didi tetap
terkunci.
“Kita negoisasi,” kata Ipul menawarkan. Dia
tidak mau berspekulasi dengan berkelahi. Dia pasti juntai. Kedua preman sangar
itu terbahak-bahak tapi mulai serius.
“Bisnis?”kata si preman. Ipul mengiyakan.
Wajah kedua preman mendadak sumringah. Mereka tidak perlu repot-repot lagi
mengeluarkan energi intimidasi.
Ipul merelakan jam tangan yang dibeli dari
uang tabungannya semasih menjadi buruh di pabrik tahu-tempe. Jam tangan itu
memang berharga dan harganya tidak main-main. Kedua preman merasa ok tapi ingin
meminta lebih. Pemerasan. Ipul tak menampik, dari pada babak belur mendingan
menurut bebek saja. Kedua bajingan tengik tertawa. Lalu mereka melirik Didi
yang sudah tak berniat melakukan perlawanan lagi. Dia takut, kemudian
mengeluarkan uang lima puluh ribuan seadanya. Para preman itu tersenyum karena
malam ini mereka sudah menguras kocek ketiga jejaka muda itu.
“Silakan kalian pergi,” kata preman itu.
Lebam di wajah Lupi dikompres dengan air
dingin oleh Didi dan Ipul.
“Kenapa elu senyum-senyum, badut?” kata Ipul.
Lupi merengut sepersis bocah tapi senyum
lagi. Kemudian ia melirik ke arah Didi dan Ipul berkali-kali. “Oh rupanya
kalian sudah berdamai? Lupi menyindir.
“Elu mau gue tonjok, Pi?” kata Didi sembari
mengepalkan tangan. Lupi ngikik. Ipul pun tak kuat menahan tawa. Mereka
nampaknya menyudahi perang dingin yang berlangsung beberapa minggu itu.
Usai islah, Didi dan Ipul kembali akrab
seperti semula. Keegoisan mereka seperti partikel yang memiliki energi minus.
Energi minus ini tidak mau menyatu karena mempertahankan kekuatan
masing-masing. Karenanya kekuatan energi ini tidak berpadu. Jauh dari keutuhan
dan kesempurnaan. Akibatnya partikel itu akan remuk jika mendapat gangguan dari
kekuatan dari luar. Tapi sekarang sesama energi minus itu sudah saling mengisi.
Kekuatan mereka menyatu menjadi energi plus-plus. Karena itu sesuatu yang
plus-plus akan terlihat berbeda di mata orang alias mungkin saja mengundang
penafsiran.
Hari ini Didi dan Ipul berjalan berdua saja
setelah nongkrong dengan kawan-kawan satu jurusan. Lupi mengaku sedang tidak
memiliki mood untuk bertemu dengan orang-orang karena sebenarnya malu juga
harus menunjukan wajah yang lebam. Mereka berjalan kaki dengan santai sambil
sesekali menyanyi lagu yang lagi ngehits. Sembari menyanyi mereka
menendang-nendang sampah kaleng minuman sehingga menimbulkan suara berisik.
Ipul menghentikan aksinya itu karena akan mengganggu orang lain. Tapi Didi yang
sengak tidak peduli dengan kekhawatiran itu. Begitulah Didi yang kadang jumud
memahami makna kebebasan diri.
Keduanya sudah mendekati perempatan bakso,
arah masuk komplek kostan mereka. Didi melirik ke kanan tepat ke arah kedai
bakso. Di mengucek-ucek matanya memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.
“Pul, lihat itu!” kata Didi sambil menunjuk
kedai bakso.
“Itu si Lupi. Itu siapa satpam yang lagi
makan bakso dengannya?” Ipul heran. Kemudian keduanya mendekati Lupi.
Didi dan Lupi menggelengkan kepalanya sebagai
tanda tidak percaya.
“Apa-apaan ini?” kata Didi emosi.
“Kampret, elu, Pi.” Ipul tak kalah emosi.
Lupi mengangah. Kepalanya terangkat. Bakso
yang ditelannya hampi keluar lagi. Kedua satpam dengan bodi besar juga
terkaget-kaget.
Tapi Lupi mencoba tenang. Berusaha
menjelaskan semuanya.
“Maafin gue. Gue lakuin ini untuk
persahabatan kita. Beneran. Tidak ada maksud apa-apa. Cuma buat persahabatn
kita kok.”
Didi dan Ipul masih tidak percaya. Si satpam
mencoba menguatkan penjelasan Lupi, “ya kalian harusnya berterima kasih kepada
Lupi. Dia bikin kepura-puraan ini untuk persahabatan elu pada.”
“Betul,” kata si satpam yang satu lagi
sembari menenggak es tehnya.
Didi dan Ipul mencoba memahami. Menerima
semua usaha Lupi yang menyewa kedua satpam itu untuk berpura-pura menjadi
preman bengis di malam yang lalu demi persahabatan mereka. Lupi tidak mau hanya
karena perbedaan pendapat semuanya menjadi hancur lebur begitu saja.
Tapi Didi dan Ipul masih penasaran. “Terus
uang kita yang sudah dikompas mana?” tanya Didi dan Ipul kompak.
“Udah gue pake buat bayar bakso ini plus yang
lain-lain,” jawab Lupi dengan tampang serius.
“Sialan lu,” sentak Didi.
“Kampret sampeyan,” bentak Ipul.
Lupi
dan kedua satpam itu terbahak-bahak. Lalu, memesan beberapa mangkok bakso lagi
dan beberapa es buah yang paling dingin untuk mendinginkan suasana yang sedang
panas membara itu. Didi dan Ipul menarik nafas. Huuuuuuuuh